Tampilkan postingan dengan label travel blogger goes to tidore. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label travel blogger goes to tidore. Tampilkan semua postingan

Menikmati Keindahan Alam Tidore Dari Desa-desa di Lereng Gunung Marijang


Desa Kalaodi Tidore, Maluku Utara

Berpeluh di Tangga Jahanam Ake Celeng

“Lho, Yuk Annie kok nggak ikut turun?” tanya saya sedikit keheranan.

“Nggak, saya dan Ita mau di sini saja,” jawabnya.

Rasa heran itu muncul bukan tanpa alasan. Sudah jauh berkendara, melintasi jalan terjal, nyaris sampai di tujuan kok malah berhenti? Senyum Yuk Annie mengandung misteri, seperti ada yang sengaja disembunyikan. 

Saya curiga tapi tak ingin menyelidiki lebih lanjut. Bukan saatnya main detektif-detektifan, tapi saatnya menghadapi turunan curam Ake Celeng yang menyambut dengan sejumlah kelok yang menari-nari. 

Untuk mencapai Ake Celeng kami harus turun jauh ke lembah dengan berjalan kaki. Melewati tangga semen yang bisa dilewati dengan aman. Beberapa anak tangga berukuran lebar dan panjang. Beberapa lainnya kecil dan rapat. 

Mudah tanpa beban, semua terasa ringan dan menyenangkan. Apalagi sepanjang jalan menuruni tangga, mata disuguhi keelokan pemandangan laut Maluku Utara dengan pulau-pulau di sekitarnya. Indah memanjakan mata, meluruh peluh, dan menguatkan langkah saya selama 15 menit berjalan kaki bersama Mbak Zulfa, Mas Eko, Yayan, Deddy, Rifky, Kak Gathmir, Opan, Bams, Alex, dan adik Fia. 

Baca juga : Festival Tidore | Mempererat Tradisi | Mempertegas Jati Diri Bangsa Maritim

Jalan menurun menuju Ake Celeng

Ake Celeng dalam bahasa Tidore artinya air dingin. Dinamakan demikian karena suhu airnya yang dingin. Disebut juga air terjun mini karena terdapat aliran air menuju kolam yang terbentuk dari cekungan batu. Debit airnya kecil dan pelan bagai pancuran. 

Lain halnya jika dimusim penghujan, debitnya menjadi lebih besar dan deras. Jika ke sini, jangan berharap akan melihat tumpahan air meluncur deras dari tempat tinggi yang disertai gemuruh. Tak ada. 

Buat saya yang sudah melihat beberapa air terjun spektakuler dengan debit air yang besar, tinggi dan lebar, deras dan bergemuruh, Ake Celeng tampak biasa saja. Tidak menakjubkan. Bagi yang baru pertama ke tempat ini, bisa jadi akan kecewa karena yang dijumpai mungkin tidak sebanding dengan perjuangan untuk datang dan pergi dari lokasi. 

Tapi jangan khawatir, tak ada yang sia-sia. Treking dan menikmati segarnya air gunung di tengah belantara ketinggian Tidore yang masih alami, bisa menjadi pengalaman tersendiri. Kalau saya sih tidak mandi, tidak kuat dengan suhu airnya yang dingin. Hanya Kak Gathmir dan dik Fia yang menceburkan badan di kolam. Nah, selagi keduanya berendam dan berenang, saya dan kawan-kawan sibuk berfoto dengan pose ala-ala.  
Baca juga: Prosesi Tagi Kie dan Rora Ake Dango di Festival Tidore 2017

Kolam pemandian Ake Celeng

Bams!

Ake Celeng terdapat di lokasi yang agak tersembunyi. Tempatnya minim cahaya karena dikepung pepohonan. Saya agak kurang nyaman selama berada di lokasi. Untunglah kegiatan berfoto mengalihkan segalanya. 

Tapi naas, sebuah kecerobohan terjadi saat sedang asyik memotret. Ponsel kesayangan yang layarnya terbuat dari kaca terlepas dari genggaman. Meluncur deras ke bawah, disambut bebatuan keras yang siap meretakkan apapun yang menimpanya. 

Kaget dan panik jadi satu. Saya refleks menjerit, Opan refleks menjadi penyelamat HP yang mungkin terlambat. Tapi sungguh ajaib, ternyata HP masih selamat meski lecet-lecet di beberapa sisi. Tidak pecah itu luar biasa! 

Rasanya ingin teriak gembira saking senangnya. Tapi kegembiraan harus ditahan, karena tangga tinggi sudah menanti untuk dinaiki. Saatnya pulang. 

Baca juga: Drama Gagal Nanjak di Ngosi

Tangga Jahanam 😂

Udah, gitu aja? Belum cuy, keseruan sesungguhnya baru dimulai.

“Tangganya benar-benar jahanam.”

Kata-kata Yuk Annie mendadak memenuhi ruang benak saat perjuangan menaiki tangga dimulai. Jika saat turun wajah sumringah dihiasi oleh senyum dan tawa, maka saat naik jadi hambar dan pucat. Kaki seakan diganduli banyak batu. Keringat mengucur, baju basah, ketiak basah, semua basah. Nafas ngos-ngosan. 

Tak ada lagi aktivitas memotret dan merekam video. Otak hanya memerintahkan anggota tubuh untuk fokus menaiki tangga yang seolah tak berujung. Ketika puncak tangga seakan setinggi langit, indahnya pemandangan alam tak lagi menghibur. 

Begitulah tepar bermula, deritanya seakan tiada akhir. Terjawab sudah keheranan saya kenapa Yuk Annie dan Mbak Anita tidak ikut ke Ake Celeng. Rupanya menghindari penderitaan itu. Bagi mereka yang tak kuat menanjak, keluarlah sebuah nama; tangga jahanam! 

Istirahat bila lelah, jangan paksakan diri


Kalaodi Kampung Ekologi Pelindung Tidore

Kalaodi merupakan salah satu desa tertinggi yang ada di Tidore. Kampung ini terletak di bagian utara Tidore dan berada di ketinggian sekitar 900mdpl. Kalaodi dikenal kaya akan rempah, juga kaya akan keindahan panorama.

Kampung Kalaodi disebut juga sebagai Kampung Ekologi Pelindung Tidore. Kebun-kebun di kampung Kalaodi termasuk dalam kawasan hutan lindung Tagafura yang kaya dengan tanaman-tanaman produktif seperti cengkih dan pala. Kedua komoditi ini adalah penghasilan utama sebagian besar warga Kalaodi. Di sela-sela tanaman rempah itu, warga juga menanam kenari, kayumanis dan pinang.  

Desa Kalaodi

Ada sekolah PAUD di Desa Kalaodi

Beberapa kerajinan dari bambu seperti Saloi dan Tolu juga dihasilkan dari Kalaodi. Saloi itu semacam keranjang untuk dipakai ke kebun. Cara pakainya seperti memakai ransel. 

Sedangkan Tolu  sejenis topi lebar pelindung kepala dari hujan dan panas. Barang kerajinan ini banyak saya lihat di Pasar Goto, satu-satunya pasar tradisional yang ada di Tidore. 

Suasana kampung Kalaodi sangat tenang. Jalanannya kerap lengang. Sesekali saja motor berlalu santai. Di kebun-kebunnya, pohon-pohon rempah tinggi menjulang. 

Ketika melewati jalan desa, pohon rempah ini mudah sekali dijumpai karena tumbuh rapat hampir sepanjang jalan. Buah cengkih dan pala tampak dijemur begitu saja di tepi jalan tanpa khawatir akan hilang. 

Baca juga: Kota Ake Dango dan Ratib Haddad Farraj

Rumah warga desa

Bambu wadah air untuk wudhu

Objek wisata Ake Celeng yang kami kunjungi terletak di kampung ini. Kalaodi memang bukan hanya tentang Ake Celeng yang membuat nafas jadi tersengal, tapi juga tentang panorama alam yang membuat mata tak ingin berkedip. 

Pemandangan menawan kota Tidore dan Pulau Halmahera di timur, juga Pulau Maitara dan Pulau Ternate di sebelah barat, menjadi suguhan yang bisa dinikmati setiap saat.

Saya teringat pada sebuah cita yang sampai kini masih diharapkan tercapai; punya rumah di desa, di daerah pegunungan yang sejuk dan asri, punya pemandangan langsung ke laut dan pulau-pulau, suasananya tenang dan damai. Nah, cita-cita itu seperti menemukan petunjuknya; Kampung Kalaodi! 

Opan Koli

Banyak bunga di pekarangan warga 

Spot Pandang Tak Jenuh Lada Ake

Desa-desa di ketinggian Tidore rata-rata punya pemandangan yang sama. Lembah dengan hutannya dan laut dengan pulau-pulaunya. Suasananya pun hampir sama, sedikit ramai banyak sunyinya.  

Demikian juga dengan Lada Ake, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Gurabunga, memiliki kesamaan dalam segala hal.

Mengagumi desa-desa di ketinggian Tidore adalah mengagumi kebersihannya. Sepanjang berkeliling dari desa ke desa, nyaris tak ada penampakan sampah yang mencemari pemandangan. Sebuah kenyamanan yang membuat betah, dari desa hingga ke kota. Wajar jika Tidore diganjar dengan penghargaan Adipura sebanyak delapan kali. Memang terbukti.  

Rifky dan Yayan / omnduut

Ingatan saya pada Lada Ake banyak dipenuhi oleh deretan pohon-pohon pala yang seakan tak ada habisnya untuk dijumpai selama perjalanan berkendara. 

Masih lekat dalam ingatan bagaimana saya mendadak jadi norak melihat pala, rasanya ingin pegang, ingin foto, dan ingin membawanya pulang. Kenorakan yang timbul akibat baru pertama melihat banyak sekali pohon pala langsung di pusat rempah dunia. 




"Yuk rame-rame kita bikin ucapan selamat Hari Jadi Tidore ke-909 di sini,” ajak Mbak Anita.

Sore itu di sisi tebing Lada Ake yang sunyi, di atas spot pandang sederhana terbuat dari bambu, ajakan itu kami sambut gembira. Dengan sedikit latihan dan arahan, ucapan itu kami buat. Terekam manis dalam sebuah video yang kemudian kami bagikan di sosial media agar saudara-saudara di Tidore mendengarnya. 

Dari ketinggian Lada Ake, sebuah ucapan cinta dari kami yang datang dari luar Tidore; Selamat Hari Jadi Tidore yang ke-909. 

View Pulau Ternate dan Pulau Maitara dari Desa Lada Ake Tidore



*Tulisan ini saya selipkan dalam buku antologi To Ado Re yang terbit pada bulan April 2018.

Ngos-ngosan di Ngosi

“Semua tolong turun dulu, ya.”

Perintah itu akhirnya meluncur dari mulut Kak Gathmir setelah mobil Avanza yang dikemudikannya ngambek tidak mau di-starter. 

Barangkali si mobil lelah berjam-jam dibawa melaju. Ia berhenti ditanjakan, lalu mundur tanpa permisi, pelan tapi pasti. Deddy dan Yayan tergopoh-gopoh, gegas mengganjal roda dengan batu agar mobil tak meluncur turun tebing. 

desa desa di gunung tidore
Desa Ngosi, Kota Tidore Kepulauan

Desa Ngosi di Ketinggian Tidore

Hari itu Kamis (13/4/2017), kami sedang mengunjungi beberapa desa di ketinggian Tidore. Di antaranya Gurabunga, Kalaodi, Ngosi, dan Lada Ake. 

Kami menggunakan 2 kendaraan, Avanza dan satu mobil bak terbuka berwarna orange ngejreng. Dengan dua kendaraan inilah kami mengunjungi desa-desa tersebut. Perjalanan menuju Ngosi kami lakukan seusai mengunjungi Ake Celeng, air terjun mini di desa Kalaodi.  

Di dalam mobil Avanza yang dikemudikan oleh Kak Gathmir ada Mbak Anita, Ayuk Annie, Yayan, Deddy, dek Fia, dan aku. Sedangkan mobil bak terbuka yang dikemudikan oleh Rifqy ada Mas Eko dan Mbak Zulfa.

Sahabat-sahabat Tidore yang menemani kami melaju paling depan dengan motor. Mendahului, menuntun ke arah tujuan. Kalau tak salah ingat mereka adalah Alex, Gogo dan Bams.

Jalan mulus di tengah hutan yang selalu sepi

Kejadian mobil mogok itu memang di luar dugaan. Saat itu mobil kami melaju paling belakang. Sedangkan yang lain sudah jauh di depan. Pada saat mogok, kami para perempuan; Mbak Ita, Yuk Annie, dan adik Fia awalnya dibiarkan tetap di mobil. 

Setelah usaha menghidupkan mobil tak jua berhasil, kami disuruh turun. Barangkali setelah beban jadi ringan, mobilnya bisa hidup dan jalan lagi. Tak perlu disuruh dua kali, kami langsung mencelat keluar. Ada ketakutan besar jika mobil itu mundur tak terkendali, alamat akan terbanting-banting dan masuk jurang. Alangkah ngerinya. 

Siang itu matahari bersinar garang, aku tak terlalu kepanasan, hanya silau. Karena merasa nggak bisa bantu dorong dan menganjal mobil, jadi kubantu saja dengan doa. Berharap mobil bisa jalan lagi. 

Sembari menunggu mobil bisa gerak lagi, aku berjalan pendek bolak balik, mencari tempat berteduh. Saat sedang mondar-mandir itulah ketemu genangan air. Airnya bikin penasaran, jernih dan tampak bergerak mengalir. Kukira genangan biasa, hanya air sisa hujan semalam. Setelah diamati, ternyata ada mata airnya. Aku makin penasaran, lalu aku celupkan tanganku di situ. Brrrr....airnya dingin euy

Penemuan tak sengaja ini cukup mengalihkan kecemasanku pada mobil yang ngambek nanjak. Semacam hiburan kecil di tengah halangan 😃

Pick-up orange

Menurut Mbak Anita, jarang ada supir yang mau bawa mobil ke Ngosi. Tanjakannya terjal, mobil tidak akan kuat, biar motor saja. Begitu kata Dilan  😂

Yes, biasanya orang-orang di sini lebih suka motoran buat nanjak. Selain jalan terjal sulit didaki, juga selalu sepi. Jika terjadi apa-apa di jalan, mogok misalnya, sulit mencari pertolongan. 

Seperti yang kami alami, selama kejadian tak satu pun ada orang maupun kendaraan lain yang lewat. Sinyal ponsel pun tak ada. Kami tak bisa menghubungi siapa-siapa. 

Motoran lebih asyik

Untunglah bala bantuan datang. Mobil bak oren yang dikemudikan oleh Rifki muncul dari balik kelokan. Mereka bagai tim sar penyelamat korban bencana, sumringah kami dibuatnya 😄

Rupanya, Rifki dkk sudah merasa curiga ketika mobil kami tak kunjung menampakan diri. Akhirnya ia putuskan untuk putar balik, dan benar saja, akhirnya menemukan kami dalam keadaan pasrah di tanjakan penuh drama.

Mobil akhirnya berhasil didorong naik dan kembali bernyawa, siap untuk melanjutkan perjalanan.  

Pemandangan dari Desa Ngosi

Ngosi sangat indah karena berada di ketinggian Tidore. Memiliki view langsung ke laut dengan Pulau Ternate dan Pulau Maitara yang berkelip jelita jika dipandang pada malam hari. 

Udaranya selalu sejuk dan bersih, sangat memanjakan paru-paru. Suasananya tenang senantiasa lengang. Cocok jadi tempat membuang stress bagi penduduk ibukota yang setiap hari berhadapan dengan macet dan polusi. 

Eits tunggu! Apakah alam nan indah semata hanya jadi tujuan tempat membuang stress? Tentu tidak. Namun bila hati gundah, pikiran mumet, badan lesu tak bersemangat, pergilah ke tempat-tempat seperti ini. Dijamin tenang dan senang kembali.

Ah iya, bukan Ngosi namanya jika tanahnya tak subur. Alpukat, cengkeh, cempedak, dan pala adalah tanaman primadona yang bisa dijumpai. Kami tinggal blusukan seharian bila ingin berkeliling ke perkebunan. Namun sayang, miskinnya waktu membuat kami hanya menuju spot pandang Ngosi Highland.  

Banyak alpukat berkualitas

Jangan bayangkan spot pandang model kekinian seperti yang sedang tren di tempat-tempat wisata buatan. Anda tahu kan maksudku? Spot foto berbentuk perahu, lambang cinta, kereta kencana, ayunan, sarang burung, dan sebagainya. Semua itu tidak ada di Ngosi! 

Aku bahagia menemukan bibir-bibir tebing hanya dihiasi bebatuan alami sebesar kerbau. Terasa lebih menyenangkan dengan ketiadaan mainan buatan serba kekinian, atau pun papan nama yang biasanya malah mengganggu pemandangan. 

Terkadang, suasana sepi dari antrian orang-orang yang datang hanya untuk berfoto adalah sebuah kemewahan. 

Batu-batu alam

Sebuah kebahagiaan dapat menikmati keindahan alam Tidore dari Ngosi, walau perlu dicapai dengan sedikit drama; misalnya mobil mogok. 

Titip rindu untuk Ngosi.



*Tulisan ini aku selipkan dalam buku antologi To Ado Re yang terbit pada bulan April 2018.