Tampilkan postingan dengan label seminar budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seminar budaya. Tampilkan semua postingan

Jejak Arkeologis Kesultanan Tidore dan Wilayah Periferinya

Jejak Arkeologis Kesultanan Tidore dan Wilayah Periferinya
 Pusat Kekuasaan dan Diaspora Peradaban 
  
Oleh: Wuri Handoko, MSi
Peneliti Madya Balai Arkeologi Maluku
Email : wuri.handoko@kemdikbud.go.id 

Disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Tidore Ternate; Titik temu peradaban Timur-Barat pada Senin, 12 Februari 2018. 
Wuri Handoko, MSi

Latar Belakang

Perjalanan sejarah Maluku Utara tidak lepas dari sejarah empat kerajaan yang dikenal dengan sebutan Moloku Kie Raha yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Dalam sejarahnya, masyarakat Maluku Utara mengenal cerita rakyat tentang terbentuknya empat kerajaan yang menjadi pilar kekuasaan politik di wilayah tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Andaya (2015), sejak masa awal kehadiran Portugis di Maluku, terdapat cerita-cerita rakyat yang menyebut empat kerajaan pertama di Maluku yaitu Ternate, Tidore, Makian, dan Moti. Keluarga-keluarga bangsawan dari Makian dan Moti kemudian berpindah untuk kemudian mendirikan kerajaan lain yaitu Makian berpindah ke Bacan dan Moti berpindah ke Jailolo (Andaya, 2015: 115).

Kesultanan Tidore adalah salah satu pilar peradaban dari empat pilar peradaban di wilayah Kepulauan Maluku. Dalam hikayat Dinasti Tang (618-906) disebutkan eksistensi suatu kawasan yang digunakan untuk menentukan arah daerah Ho-ling (Kaling) yang terletak di sebelah baratnya. Kawasan ini bernama "Mi-li-ki," yang diperkirakan sebagai sebutan untuk Maluku. Penulis- penulis Cina dari zaman Dinasti Tang, yang menyebutnya sebagai "Mi-li-ku," tidak dapat memastikan lokasi sesungguhnya kawasan yang ditunjuk dengan nama tersebut. 

Pada masa kemudian barulah diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan "Mi-li-ku" itu adalah gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan dan Moti. (Abdurrahman, 1978; Amal, 2010). Diantara empat pilar peradaban di kepulauan Maluku, Ternate dan Tidore merupakan dua pilar yang paling berkembang karena, diaspora kekuasaan keduanya melebar ke wilayah-wilayah lain sebagai daerah ekspansi atau wilayah-wilayah vasal dari dua pusat kekuasaan Islam itu. Dalam karya Tome Pires, Tidore sudah disebutkan sebagai wilayah yang besar, dengan 2000 penduduk, 200 diantaranya sudah menganut Islam pada masa Raja Almancor dan membawahi setidaknya Pulau Makian dan Moti. (Cartesao, 2016: 280).

Dengan demikian, bersama Ternate, Tidore mempunyai posisi penting dalam situasi politik, ekonomi, maupun militer. Keduanya mempunyai pandangan politik yang hampir sama yaitu ekspansionis, dan karenanya mempunyai kekuatan militer yang relatif hampir berimbang. Bedanya, dalam mengimplementasikan ekspansionismenya, Ternate mengarahkan bidikannya ke barat sementara Tidore ke timur (Amal, 2010:6). Meski demikian, dalam prakteknya gerak ekspansionisme Ternate dan Tidore tidak hanya dipahami dalam kerangka politik penguasaan sumberdaya, namun juga dalam konteks diaspora agama, budaya dan perluasan jaringan niaga dan ekonomi (Handoko, 2009:19; Handoko, 2013: 27).

Leonard Andaya menyebut bahwa dalam konteks peradaban dan kekuasaan di wilayah Kepulauan Maluku, Ternate dan Tidore disebutnya sebagai ‘dunia pusat’ dari keseluruhan dunia Maluku atau yang kita pahami wilayah Kepulauan Maluku. Di luar Ternate dan Tidore, disebutnya sebagai ‘dunia pinggir’. Tentu saja penyebutan oleh Andaya ini tidak dalam pngertian batas teritori pusat kota dan pinggiran kota, namun lebih pada menunjuk geopolitik dan geokultural. Bahwa Ternate dan Tidore adalah pusat kekuasaan, pusat peradaban, yang memperluas daerah keluasaannya dalam konteks Islamisasi dan perniagaan ke wilayah-wilayah lainnya di wilayah Kepulauan Maluku atau bahkan daerah-daerah seberang keluar dari batas teritorial kepulauan Maluku (Andaya 1993; 2015).  

Informasi historis lain menyebutkan bahwa pada awal kedatangan Spanyol di wilayah ini yaitu sekitar tahun 1527, pihak Spanyol memberi bantuan persenjataan dan pertahanan, bahkan melatih pasukan Jailolo dalam menghadapi kemungkinan serangan dari pihak lain (Amal, 2010: 29-30). Dalam konteks persaingan kedua kekuatan lokal ini pula terdapat dualisme yang ditunjukkan dalam sebuah bentuk pertentangan timur-barat yang jelas terlihat dalam ekspansi kerajaan-kerajaan ini. Wilayah penaklukan Ternate umumnya berada di wilayah barat, sementara wilayah penaklukan Tidore umumnya berada di timur (Andaya, 2015: 45).

Makalah ini dihasilkan dari studi kompilasi dari berbagai hasil penelitian yang sebelumnya sudah dilaporkan baik oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Tim Penelitian, 2006) maupun oleh Balai Arkeologi Maluku (Tim Penelitian, 2016). Selain itu juga melalui studi literatur dari berbagai kajian baik arkeologi, sejarah maupun etnografi (antropologi) berkaitan dengan perkembangan sejarah budaya di wilayah Kesultanan Tidore. 

Dengan demikian, sumber data diperoleh dari berbagai laporan penelitian dan literatur menyangkut hasil kajian tentang perkembangan sejarah dan budaya Kesultanan Tidore. Berdasarkan studi literatur ini, penulis melakukan analisis dan kajian untuk menghasilkan sintesa menyangkut perkembangan peradaban Kesultanan Tidore dan wilayah-wilayah periferi atau wilayah vasal kekuasaan Kesultanan Tidore.

Hasil dan Pembahasan
Jejak Arkeologi Kesultanan Tidore : Pusat Kota dan Kekuasaan dalam Dinamika Multibudaya

Berkaitan dengan keberadaan Kesultanan Tidore, telah digambarkan sebelumnya, bahwa Pulau tetangga Ternate di sebelah selatan, yakni Pulau Tidore, adalah lokasi berdirinya Kesultanan Tidore yang menggunakan nama yang sama dengan pulaunya. Wilayahnya meliputi, sebagian dari Pulau Halmahera, Pulau Raja Ampat dan semenanjung New guinea, sebagaimana dari lukisan yang digambarkan oleh Johannes Vingsboon untuk atlas Laurens van der Hens, bersama dengan pulau Motir dan Pulau Mare (pulau tempayan, tembikar) yang menjadi wilayah Ternate, sedangkan Pulau Mitara di sisi lain, merupakan wilayah milik Tidore (Roever dan Broemer, 2008: 259).

Kota Tidore berkembang menjadi pusat kekuasaan Kesultanan Tidore, setidaknya sejak abad 17 M. Parameter kota Kesultanan, ditunjukkan oleh jejak-jejak arkeologis adanya Kedaton Tidore, masjid, makam dan komponen kota lainnya seperti pasar dan pelabuhan juga pemukiman, yang berkembang pada awal berdirinya Tidore sebagai pusat kekuasaan Islam. Selain itu, pada masa Kolonial, perkembangan bangunan-bangunan kolonial, antara lain benteng-benteng kolonial yang menyebar di Pulau Tidore dan memusat benteng-benteng besar di pusat kota yang dekat dengan kedaton, menunjukkan Kota Tidore berkembang menjadi pusat kota Kesultanan yang ramai dan strategis berhubungan dengan pihak luar.

Namun demikian, proses perkembangan kota, seiring dengan perkembangan peradaban tidak terjadi serta merta. Ada petunjuk yang berharga baik dalam sejarah lisan maupun dukungan bukti arkeologis, bahwa perkembangan pusat kesultanan atau pusat kekuasaan mengalami proses dan dinamika dari awal berdirinya hingga terbentuknya kota Tidore sebagai kota Kesultanan yang dapat disaksikan hingga sekarang ini. 

Hikayat pada abad ke-17 pada dasarnya memiliki keseragaman tentang penggambaran bagaimana orang-orang di Maluku Utara di bawah pimpinan para kepala desa (momole) yang bersatu di bawah kolano. Di Tidore misalnya, terdapat hikayat yang dicatat oleh orang-orang Portugis tentang tradisi penduduk Tidore dalam mengingat waktu ketika perkampungan aslinya masih berada di Gunung Mareku. Perkampungan ini kemudian dipindahkan ke pinggir pantai karena para pedagang asing berdatangan dalam jumlah besar untuk mencari cengkih. Mareku tetap menjadi pusat yang suci di wilayah Tidore selama berabad-abad kemudian karena prestisenya sebagai sumber penguasa pertama Tidore (Andaya, 1993; Andaya, 2015: 43-44).

Gambaran tentang Mareko sebagai pusat kesultanan Tidore pada masa awal, juga sudah dilukiskan sebelumnya oleh pendatang dari Spanyol. Pada tahun 1613 menurut Piter Both, bahwa desa Marieko atau Mareko di Pulau Tidore sudah banyak didatangi oleh Orang-orang Spanyol. Disebutkan juga sebelumnya, bahwa di benteng Rumo (Rumi, Romtua), tahun 1605 di pantai utara - barat telah jatuh ke tangan Belanda, daerah yang penting sebagai sarana untuk mengendalikan pantai selatan Ternate, dan Pulau Mitara yang terletak antara Pulau Ternate dan Tidore. Beberapa saat kemudian Rumi dikuasai kembali oleh orang Spanyol, namun akhirnya sekali lagi menjadi milik Belanda. Selanjutnta pada 162, Belanda bahkan membangun benteng persegi di sana, yang pada peta yang digambarkan diatas ini belum ada.  

Lukisan Pulau Tidore Abad 17 M (1613) yang memperlihatkan keramaian aktivitas di perairan Tidore dan kepadatan pemukiman di pesisir Pulau Tidore yang digambar oleh Artus Gijsel (Sumber: Grote Atlas van de Verenigde Oost-IIndische Compagnie : Indische Archipel en Oceanie (Roever and Broemer, 2008; Sumber

Di sebelah selatan Mareko di pantai barat, orang Spanyol mnguasai daerah yang disebutnya Spaans Marieque, yang ditulis sebagai Cleijn Marieque (Marieque Kecil) di peta Vingsboon di atas, sampai keberangkatan mereka di tahun 1663. Ketika Laksamana Jacob Cornelisz van Neck tiba di Ternate selama pelayaran keduanya di tahun 1601, dia tidak hanya menerima sambutan hangat tapi juga diminta untuk membantu perjuangan melawan orang Portugis, yang telah membentuk diri mereka di Tidore dan dengan demikian memperkuat posisi Tidore dengan persaingan dengan Ternate. Gambar diatas menunjukkan bahwa di bawah komando laksamana Cornelisz, kapal Belanda memblokade jalan menuju Tidore dan kerusakan yang cukup besar dialami oleh Portugis, meskipun tidak sampai terusir. Tindakan ini justru menjadi mula hubungan yang baik dengan bangsa di tahun-tahun berikutnya (Roever and Broemer, 2008).

Tampaknya penelitian arkeologi harus membuktikan data-data sebagaimana yang telah dilukiskan oleh pihak Spanyol di abad 17 tentang perbentengan di Rumtao dan Mareko sebagai pusat kekuasaan Kesultanan Tidore sebelum berpindah ke Soa Sio di Kota Tidore yang sekarang. Berdasarkan penelitian arkeologi (Tim Penelitian, 2016) diperoleh data di lokasi-lokasi yang sudah dilukiskan sebagai bentuk konfirmasi data sejarah.

Situs Mareko dan Benteng Ome Temuan data di lapangan, Mareko merupakan sebuah situs arkeologi yang terletak di Kelurahan Ome. Indikasi arkeologi berupa sebaran fragmen gerabah dan keramik serta sisa struktur. Lokasi tersebut berada ± 1 km sebelah selatan Benteng Ome. Sementara itu Benteng Ome sendiri secara geografis, lokasi benteng berada di sisi barat Pulau Tidore sehingga dapat memantau arah  Benteng Kastela dan Benteng Kota Janji, di Ternate.

Situs Biji Nagara dan Benteng Toloa

Benteng ini berada di daerah perbukitan yang berada di sebelah tenggara daerah permukiman di Desa Toloa. Terdapat beberapa titik struktur yang diduga merupakan bastion berbentuk setengah lingkaran karena berada pada sudut-sudut dinding dengan kontur yang lebih tinggi. Pada sisi dinding sebelah barat tersingkap konstruksi dinding benteng berupa dua lapis susunan batuan yang mengapit lapisan yang berisi tanah. Pada sisi dinding sebelah barat dan timur  masih  menyisakan  lapisan  meski  telah rapuh namun masih dapat diamati material perekat berupa campuran pasir dan kapur bakar berwarna putih. Sementara pada sisi dinding yang lain hanya berupa susunan batu tanpa perekat. Di sekitar lokasi ini juga terdapat lokasi situs Biji Nagara dengan indikasi temuan arkeologi berupa sebaran fragmen keramik dan gerabah serta sisa struktur. Masyarakat sekitar meyakini lokasi tersebut adalah bekas pusat Kedaton sebelum dipindahkan ke Soa Sio. Sumber lain menyebut toponim Batu Cina, sebagai pusat kekuasaan Tidore, jauh sebelum berpindah ke Soa Sio yang sekarang. Untuk toponim Batu Cina, masih memerlukan verifikasi berdasarkan penelitian arkeologi untuk menemukan bukti-bukti faktual. Hingga saat ini penelitian arkeologi di toponim yang disebut dalam informasi sumber sejarah belum pernah dilakukan.

Benteng Cobo

Secara administratif, benteng ini terletak di Kampung Cobo Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan dan secara astronomis berada pada titik N 00° 45’25.9” dan E 127° 24’13.0”. Benteng berada di atas perbukitan atau tebing tanjung sehingga dapat memantau arah laut dengan cukup jelas. Lokasi benteng berada di sisi kiri jalan dekat dengan Masjid Kampung Cobo yang ada di sebelah kanan jalan.
Sementara itu, secara geografis lokasi  keberadaan benteng berada di sisi utara Pulau Tidore sehingga dapat memantau perairan di sekitarnya dan dari titik lokasi ini dapat juga memantau Benteng Oranje yang ada di Pulau Ternate. Terdapat dua struktur yang tampak terpisah di lokasi ini, Struktur I yang berada di sebelah barat memiliki tinggi ± 150 cm dan Struktur II memiliki tinggi ± 100 cm. Struktur I memiliki ukuran lebih besar dan menyerupai sebuah bastion. Material struktur terdiri atas batuan andesit dan vulkanik dengan sisi permukaan yang telah diplester.  

Benteng Rum dan Pendaratan Magelhens 

Benteng ini sering juga disebut dengan Benteng Cobe atau Tsjobe, secara administratif berada di Desa Rum Kecamatan Tidore dan keletakan astronomis berada pada titik N 00° 44’30.2” dan E 127° 23’11.3”. Titik lokasi benteng berada di sisi barat Pulau Tidore dan berhadapan langsung dengan Pulau Maitara. Benteng ini berada di atas bukit tanjung dan cukup mudah dijangkau karena berada di dekat dengan jalan utama yang menghubungkan Desa Cobo dan Desa Rum di Pulau Tidore. Benteng ini berbentuk persegi dengan areal yang relatif kecil yaitu 15 x 20 meter. 

Struktur penyusun dinding benteng didominasi oleh batuan andesit dengan lapisan perekat. Benteng ini dibangun dengan memanfaatkan kontur lahan sekitarnya sehingga sisi dinding yang berhadapan dengan laut tampak menyerupai sebuah tanggul karena memiliki ukuran yang sangat tinggi yaitu ± 20 meter. Di sekitar lokasi ini terdapat tugu pendaratan Armada Spanyol di bawah pimpinan Juan Sebastian De Elcano yang merupakan bagian dari Ekspedisi Besar Kerajaan Spanyol pada tahun 1521 yang saat itu dipimpin oleh Magelhaens. 

Dalam perkembangannya, setelah melalui serangkaian perpindahan pusat kesultanan, masa berikutnya Kota Tidore semakin berkembang semakin membentuk morfologi kota kesultanan, selain sebagai pusat kota, juga pusat pemerintahan, kekuasaan dan sekaligus pusat administartif Kesultanan Tidore. Ciri sebagai pusat kota antara lain adanya kedaton Tidore. Pada umumnya ciri atau tipe kota kesultanan baik Tidore maupun Ternate, maupun Jailolo menampilkan ciri morfologi kota yang serupa (Tim Penelitian, 2006). Selain orientasi bangunan kedaton menghadap ke laut, juga ciri lain adanya kedekatan makna terhadap kosmologi gunung dan laut. 

Gunung adalah makna simbol suci yang menempatkan dunia leluhur yang sakral (Handoko, 2015), sementara laut lebih menunjukkan makna hubungan kemanusiaan, sikap menerima dan terbuka terhadap arus datangnya masyarakat luar melalui laut, sementara posisi arah hadap kedaton ke laut di sebelah timur, jika merujuk pada makna orientasi kedaton Ternate, maka bermakna pada merupakan arah datangnya manusia dari berbagai penjuru dunia, yang membawa rezeki sekaligus berbagai cobaan, oleh karena itu di sebelah timur ditempatkan pelabuhan sultan (Tim Penelitian, 2006).
 
Kesultanan Tidore juga melengkapi aspek legalitasnya dalam berhubungan dengan pihak di luar kesultanan. Hubungan yang bersifat politis maupun maupun ekonomis di bidang perdagangan sering disertai dengan surat penguat. Naskah perjanjian dagang, surat keputusan pengangkatan suatu jabatan senantiasa perlu stempel resmi kerajaan. Minimal dari Kesultanan Tidore diperoleh 3 buah stempel logam berbentuk bulat dan oval. Stempel yang berbentuk bulat memuat nama Sultan yang pernah berkuasa. Stempel pertama tertulis Maliqu –buldan Tarnati - Stempel pertama ini berangka tahum 1216 Hijriah atau 1699 M. Stempel kedua bertuliskan Khalifatu –Almukarram Sayid Al Tsaqalayin `ala - jibaal al Tiduri. Sementara itu stempel berbentuk oval terdapat lambang Singa Netherland. (Tim Penelitian, 2006). 

Artefak koleksi kesultanan Tidore berupa stempel kesultanan. Sumber Tim Penelitian, 2006. Sumber Foto : Koleksi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Sementara itu, pola sebaran benteng banyak dipengaruhi oleh kehadiran Spanyol, dimana saat itu menjalin hubungan perdagangan dan politik dengan Kesultanan Tidore. Pada saat awal kehadiran Spanyol di Tidore, pusat kekuasaan Kesultanan berada di Mareku dimana terdapat benteng Spanyol di lokasi ini. Seiring dengan perjalanan historis dengan pertimbangan keamanan Spanyol kemudian mendirikan sistem perbentengan untuk melindungi kepentingan perdagangan mereka. Atas pertimbangan ekonomi pula, Kesultanan Tidore memindahkan pusat kekuasaannya hingga beberapa kali dan terakhir di wilayah Soa Sio yang saat ini menjadi pusat kota Tidore. Seiring itu pula, Spanyol mendirikan benteng di lokasi pusat kekuasaan Kesultanan Tidore sebagaimana tampak saat ini yaitu benteng Tahula dan benteng Torre yang dekat dengan Kedaton Tidore (Tim Penelitian, 2016)

Selain  benteng-benteng  kolonial  yang  sudah disebutkan diatas yang berhubungan dengan proses perpindahan pusat kekuasaan Tidore, juga terdapat dua benteng terbesar yang berdiri setelah pusat Kesultanan Tidore menetap di Soa Sio sekarang. Kedua benteng itu kini menjadi ikon wisata sejarah kolonoial Kota Tidore sekarang, yakni Benteng Torre dan Benteng Tahula.

Kota Tidore tidak banyak menampilkan penataan kota kolonial kecuali pola sebaran benteng kolonial baik yang dibangun oleh Spanyol, Portugis maupun Belanda. Penataan kota Tidore lebih banyak dipengaruhi oleh pusat kekuasaan Islam yaitu Kesultanan Tidore saat itu. Dengan demikian, tampak jelas pola sebaran benteng di Tidore dapat menjadi petunjuk awal tentang bagaimana pertumbuhan dan proses perkembangan pusat aktifitas di pulau tersebut. Kondisi keamanan sekaligus menjadi pertimbangan utama atas pemilihan sebuah lokasi sebagai pusat aktifitas baik bagi pihak Tidore. 

Tampak jelas, kehadiran bangsa Eropa berpengaruh atas proses perpindahan pusat aktifitas Kesultanan Tidore. Selain benteng dan bangunan berciri arsitektur kuno, di pusat Kota Tidore juga terdapat beberapa komponen kota yang menjadi bagian tata ruang kota. Komponen-komponen tersebut, diantaranya adalah Kedaton Tidore, Masjid Kesultanan, Pasar, Pelabuhan, dan Kompleks Makam Kesultanan, serta Kompleks Pekuburan Tionghoa. Lokasi keberadaan komponen tata ruang kota ini berada dalam satu kawasan yaitu kawasan Soa Sio yang menjadi pusat Kota Tidore (Tim Penelitian, 2016).

Tata kota Tidore di kawasan Soa Sio terbentuk oleh Kedaton sebagai pusat yang didukung oleh elemen-elemen pendukung diantaranya Kompleks Makam, Fala Hijo, Masjid Kesultanan, dan Dermaga. Elemen-elemen ini berada pada satu garis lurus yang membentang timur-barat dengan orientasi ke arah laut. Elemen lain yang membentuk tata kota di kawasan ini adalah wilayah-wilayah pemukiman yang disebut dengan soa sio atau sembilan soa. Masing-masing soa memiliki wilayah permukiman berdasarkan etnis yang mendiami. Dari kesembilan soa tersebut, dua soa merupakan soa pendatang yaitu soa Jawa dan soa Cina. Pusat perdagangan dan perekonomian berada di kawasan ini yang ditandai dengan keberadaan pasar, namun saat ini pasar tersebut telah dipindahkan ke kawasan lain. Kawasan sekitar lokasi pasar ini disebut oleh masyarakat sekitar dengan sebutan pasar lama yaitu di Jalan Sultan Zainal Abidin (Tim Penelitian, 2016.

Jadi diketahui bahwa penguasa Tidore telah memanfaatkan ruang-ruang disisi barat pulau untuk menempatkan rencana pusat pemerintahannya. Oleh karena itu dikenal dengan bekasnya kadaton Rum, yang sangat mungkin masih dipimpin oleh seorang Kolano. Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Kadaton Mareku yang pernah kedatangan bangsa Spanyol, dan lokasi selanjutnya dikadaton Biji Negara yang terletaknya di Toloa.  

Perpindahan kekuasaan yang terakhir yang dilakukan oleh Sultan Syaifudin atau disebut sebagai Jou Kota, perpindahannya keposisi arah timur pulau Tidore di kampung Soasio. Lokasi ini dikenal dengan nama Limau Timore (Kota Matahari Terbit). Pada masa itu Portugis sudah membangun pemukiman dibeberapa lokasi. Ketika belanda mengusir Portugis dari Tidore, maka lokasi Soasio dijadikan lokasi tidak terbatas. Hal ini dapat dilihat sisa pagar-pagar batu yang sangat kokoh untuk perlindungan rumah dan punghuninya. Perubahan yang menonjol ketika terjadinya kedatangan bangsa Belanda dan VOC. Pada masa itu terdapat bangunan-bangunan rumah untuk kebutuhan Belanda, posisi pemukiman dengan pagar-pagar batu alam seperti tembok benteng itu sendiri. (Jafar, Abdullah, 2012:16).

Dengan demikian meskipun morfologi kota menunjukkan ciri kota Kesultanan yang berkarakter kota Islam, namun dinamika peradaban menunjukkan wadah peradaban kota Tidore sebagai pusat kekuasaan yang majemuk atau multibudaya. Selain morofologi kota kuno Islam, akibat aktivitas niaga yang ramai, ciri kota majemuk juga tampak dengan deretan benteng kolonial, juga terdapat makam China (Tionghoa). 



Menyangkut keberadaan makam Tionghoa, hal ini berhubungan dengan proses jaringan niaga Tidore dengan para pedagang dari luar termasuk pedagang Tionghoa, yang tumbuh pesat pada abad 18-19 M (Tim Penelitian, 2006). Hal ini dapat dikonfirmasi dengan temuan artefaktual keramik Tionghoa yang justru paling banyak ditemukan di wilayah Kesultanan Tidore. Grafik dibawah ini dapat menjadi petunjuk untuk penjelasan itu.  


Grafik diatas menunjukkan, bahwa produk keramik dari Tionghoa mendominasi barang komoditi yang diperjualbelikan di Tidore. Kurun waktu abad 18-19, menjadi puncak perdagangan yang melibatkan berbagai pedagang asing di wilayah perairan Tidore. Dengan demikian, sesungguhnya Kota Tidore seagai pusat kekusaan Kesultanan Islam Tidore menunjukkan morofologi kota yang multibudaya (multikultural), sebab dalam pertemuan peradaban timur-barat, kota Kesultanan Tidore juga memberi ruang-ruang keberagaman untuk tumbuh dan hidup dalam dinamika budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Tidore. Setidaknya kurun waktu abad 18-19, kemultibudayaan semakin menemukan ruangnya, pada saat puncak-puncak perdagangan tumbuh. Selain pedagang Arab dan Tionghoa yang sebelumnya telah meramaikan aktivitas perdagangan, 50-100 tahun kemudian para pedagang Eropa juga turut memberi warna peradaban di dunia pusat Maluku, dalam hal ini Ternate dan Tidore.

Jejak Arkeologis dan Diaspora Peradaban di Wilayah Kekuasaan Tidore


Sejauh yang sudah diteliti dan dikaji menyangkut wilayah-wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore, menunjukkan adanya perluasan jaringan Islamisasi dan pernigaan antara Kesultanan Tidore dan wilayah ekspansinya. Penjelasan menyangkut wilayah ekspansi dalam pengertian bukan hanya soal ekspansi politik, namun juga ekspansi budaya (termasuk agama) dan ekonomi. Menyangkut wilayah vasal, atau dalam konteks penulisan ini dimaksudkan sebagai wilayah periferi kekuasaan, maka antara wilayah vasal Ternate dan Tidore beberapa diantara secara jelas disebutkan dalam berbagai sumber literatur. 

Tidore melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah kepulauan di sisi paling timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat, Irian Jaya (Leirissa, 2001, Putuhena, 2001, Jaffar 2006, Amal:2010). Namun beberapa diantaranya juga berbagi wilayah yang sama, misalnya terutama di wilayah Papua. Pada sub bahasan ini, akan diruaikan jejak arkeologi di wilayah-wilayah vasal kekuasaan Tidore baik di wilayah Kepulauan Maluku maupun di wilayah Papua. 

Dalam tulisan ini, yang dimaksud sebagai wilayah Kepulauan Maluku bagian selatan, adalah yang saat ini wilayah administratif Provinsi Maluku. Sementara itu wilayah vasal kekuasaan Tidore di wilayah Pulau Halmahera dan wilayah Maluku Utara lainnya, belum dilakukan penelitian arkeologi untuk maksud hal tersebut, meskipun beberapa temuan penting hasil penelitian arkeologi yang sudah dilakukan, beberapa diantaranya dapat dihubungkan dengan Kesultanan Tidore. 

Penelitian terbaru untuk menelusuri jejak arkeologis Kerajaan Loloda, berdasarkan informasi penduduk disebutkan toponim Ake Tidore, berupa sumber air yang lokasinya dekat dengan situs pemukiman yang diduga pusat Kerajaan Loloda pada masa lampau di Daerah Aliran Sungai (DAS) Loloda. Ake Tidore, tampaknya sebuah toponim, yang berhubungan dengan soal kedatangan seorang tokoh yang berasal dari Tidore dan kemudian meninggal di wilayah permukiman Loloda (Soa Sio lama) (Handoko, 2017:187). Namun, tidak diperoleh keterangan ang lebih memadai untuk memberikan penjelasan tentang hubungannya dengan Kerajaan Loloda, mengingat catatan-catatan sejarah tidak menyebut tentang hubungan Tidore dengan Loloda.

Jejak Arkeologi dan Diaspora Peradaban di Kepulauan Maluku Bagian Selatan 

Berdasarkan serangkaian hasil penelitian arkeologi yang telah di lakukan di wilayah yang kini menjadi wilayah administratif Provinsi Maluku, terdapat kerajaan atau negeri Islam yang secara meyakinkan merupakan daerah vasal Kesultanan Tidore. Pulau Gorom, Seram Bagian Timur, yang sekarang termasuk dalam wilayah administratif Provinsi Maluku, menunjukkan adanya pengaruh Tidore. 

Hubungannya dengan Tidore, catatan sejarah yang sedikit itu menyebutkan pada masa pemerintahan Sultan Nuku, Tidore mengembangkan wilayah kekuasaannya ke wilayah kepulauan Gorom, yang terletak di sisi timur Pulau Seram. Bahkan jika menunjuk pada prasasti di salah satu negeri di Pulau Gorom yakni Negeri Amar Sekaru, menegaskan adanya pengaruh kekuasaan Kesultanan Islam Tidore di wilayah Gorom. Tertulis pada prasasti tersebut antara lain Sultan Nuku dari Tidore pada tahun 1625 (?) melantik Raja Amar I Raja Mataweru Hiliuw Keliobas (Handoko, 2007). 

Catatan sejarah lainnya menyebutkan pada masa pemerintahan Nuku, wilayah Seram Timur dengan pulau-pulau antara lain Seram Laut, Gorom, Watubela, Kei dan Aru termasuk pantai selatan Irian Jaya merupakan daerah pengaruh dari Kerajaan Tidore (Pattikayhatu, 1997:1 dan 5). Bersamaan dengan itu, gerak niaga juga berkembang. Temuan keramik asing di Gorom dapat didentifikasi berasal dari China yang umumnya dari Dinasti Ming (16-17 M), Ching (17-19 M). 

Sejak abad itu, sangat mungkin pelabuhan tua Gorom sangat ramai disinggahi kapal-kapal dagang berbagai bangsa luar seperti China, Arab dan tentu saja Koonial Eropa, yakni Portugis dan Belanda. Kepulauan Gorom memegang peran penting dan strategis, menghubungkan kedua wilayah itu. Meskipun wilayah Kepulauan Gorom kecil, namun posisinya di tengah antara Pulau Seram menuju Pulau Papua dan wilayah Maluku Tenggara. Maka, bisa diduga, pada masa lampau wilayah ini cukup ramai dalam jalur lintasan budaya melalui perairan di wilayah timur ini. Wilayah ini menjadi semacam jembatan yang menghubungkan antara Papua dengan Pulau Seram (Maluku Tengah dan sekitarnya). Wilayah ini juga menghubungkan antara Maluku Tenggara dengan Maluku Tengah dan Utara (Handoko, 2007)

Di wilayah Teluk Waru, Seram Bagian Timur, indikasi diaspora peradaban yang berasal dari Kesultanan Tidore, dibuktikan adanya naskah Bebeto, yang menurut masyarakat merupakan naskah perjalanan syiar Islam oleh Sultan Tidore bernama Baba Ito. Kemungkinan yang dimaksud bebeto ataupun Baba Ito dalam tradisi masyarakat di Teluk Waru adalah Bobato, yakni utusam atau menteri yang diutus untuk urusan keagamaan (lihat Amal, 2009 dan 2010). Naskah Bebeto, menurut tua adat yang bisa membaca naskah tersebut berbahasa Tidore, yang menceritakan perjalanan penguasa Tidore dalam syiar agama, sekaligus perluasan wilayah kekuasaan (Handoko, 2010). Dukungan referensi sejarah menyebutkan pada masa pemerintahan Sultan Nuku, Tidore mengembangkan wilayah kekuasaannya ke wilayah-wilayah yang terletak di sisi timur Pulau Seram.

Data arkeologi lainnya berupa artefak alat ‘debus’ dan naskah mantranya, dapat dihubungkan dengan penyiaran Islam melalui jalan pengenalan sufi (Handoko, 2010). Jika dihubungkan dengan adanya naskah Bebeto, tentang perjalanan penguasa Tidore, maka temuan alat debus dan naskah mantra, semakin memperkuat pengaruh Tidore, mengingat tradisi badabus merupakan tradisi yang kuat berkembang di wilayah Pulau Tidore. 

Persentuhan Kawasan Teluk Waru dengan budaya Islam, dapat diperkirakan berasal dari beberapa sumber, baik langsung maupun tak langsung, yakni selain sumber para pedagang Persia dan Arab, juga kemungkinan terdapat pengaruh Islam dari Jawa, maupun dari wilayah Kerajaan Tidore. Sementara persentuhan dengan para pedagang China pada abad 17 M, menunjukkan pada abad itu aktivitas perdagangan jarak jauh juga berlangsung di wilayah itu Temuan keramik asing di Kawasan teluk Waru dapat didentifikasi berasal dari China yang umumnya dari Dinasti Ming (16-17 M), Ching (17-19 M) (Handoko, 2010).

Selain data-data arkeologi yang sudah dapat dikonfirmasi, di wilayah yang sekarang disebut Provinsi Maluku, jejak pengaruh Tidore kemungkinan juga masih terdapat di beberapa tempat, meskipun membutuhkan serangkaian verifikasi melalui penelitian sistematis. Beberapa informasi yang baru penulis peroleh dari literatur misalnya, tentang Soa Nukuhehe dan Masjid Nuku berikut tradisi pemberian zakat fitrah dua hari setelah hari raya Idul Fitri di Negeri Seith, di Jazirah Leihitu Pulau Ambon (Nukuhehe, 2014). 

Informasi ini menarik untuk diletili hubungan kesejarahannya dengan Kesultanan Tidore periode Sultan Nuku. Hal ini mengingat selama ini Jazirah Leihitu, sangat populer dengan keberadaan Kerajaan Hitu, yang lebih dekat afiliasinya dengan Kesultanan Ternate. Perlu diteliti kembali apakah Soa Nukuhehe dengan Masjid Nuku-nya serta tradisi zakat fitrah memiliki hubungan kesejarahan dan tradisi dengan Tidore atau hanya kebetulan belaka. Tentu saja hal ini juga menjadi rekomendasi penelitian lanjutan terutama untuk sejarah dan tradisi.

Jejak Arkeologi dan Diaspora Peradaban di Wilayah Papua

Selanjutnya wilayah Papua, data arkeologi dan sejarah juga banyak mengungkap tentang peran Kesultanan Tidore dalam proses diaspora peradaban Islam, juga mengikut di dalamnya proses perluasan kekuasaan dan jaringan niaga. Kerajaan Salawati sejak abad ke-16 merupakan sumber penghasil utama rempah-rempah, sagu, tempurung kura-kura, ambergris  (zat lilin abu-abu atau hitam berasal dari benih ikan paus; ditemukan terapung di laut atau terdampar di pantai; digunakan untuk pengharum) dan rempah-rempah yang dijual kepada pedagang Tidore atau keffing di Seram timur (Widjojo, 2013). Pulau Salawati sejak abad ke-16 sudah menjadi wilayah kekuasaan sultan Tidore (Sinaga, 2013; Fairyo: 2014). Di Kaimana, masjid besar merupakan sarana ibadah yang turun temurun dari kejayaan kesultanan Tidore yang menyebarkan Islam di pesisir selatan Papua (Wekke, 2013). 

Sumber lain menyebut bahwa diaspora peradaban Islam sebagaimana yang disebut seorang pedagang Spanyol, Louis vas de Torres dalam perjalanannya ke Papua pada abad ke 14 menemukan para pedagang dari Makassar, Ternate dan Tidore mengajarkan Islam sambil berdagang di Onim, Fak-fak. Pada abad ke 15 juga diketahui bahwa rakyat Papua di kawasan pantai utara dan Barat kehilangan kedaulatannya ketika kesultanan Tidore datang dan melakukan pendudukan. Islam pada awalnya tidak dibawa oleh organisasi dakwah keagamaan melainkan oleh perseorangan melalui para pedagang dan pelaut (Hamid, 2013:445).

Raja Tidore Sultan Saifuddin bahkan berhasil memperoleh legitimasi yuridis dan praktis atas daerah seberang laut Tidore dengan “menukar” hak monopoli atas cengkeh dengan pengakuan dari petinggi VOC di Batavia terhadap Kepulauan Raja Ampat dan Papua Daratan pada tanggal 28 Maret 1667 di Batavia (Amal, 2010: 177). Dengan pengakuan yang diperoleh Sultan Tidore memungkinkannya mengangkat perwakilan raja di wilayah Papua, sehingga memungkinkan pengaruh Islam memasuki fase berkembang. Pada fase pengaruh Islam berkembang, nampak mulai terbentuk koloni-koloni di peisisir baratdaya dan pulau-pulau yang menjadi satelit kesultanan atas kebijakan politik dan dagangnya. Hal ini ditandai dngan meningkatnya jumlah barang mewah di situs- situs pusat petuanan muslim di Papua, terutama keramik Ching (Abad XVII-XVIII) (Mahmud, 2012:32). Adanya bangunan masjid di distrik Fak-Fak, Kaimana, Sorong dan tumbuhnya jaringan perdagangan dan jaringan ulama, merupakan bagian dari pengaruh Kesultanan Tidore (Mahmud, 2012: 36). Di Fak-fak Diperkirakan bahwa agama Islam sudah ada dan berkembang di daerah Rumbati sebelum tahun 1724 dapat dibuktikan dengan ditemukan puing-puing bekas reruntuhan masjid. 

Di Kabupaten Fakfak terdapat beberapa kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa, diantaranya; kerajaan Ati-ati, Fatagar, Rumbati, Namatota, Kaimana, Ugar, Patipi. Dari keterangan Raja Rumbati ke-16 dikatakan bahwa Islam masuk di Was pada tahun 1506 melalui perang besar antara Armada Kesultanan Tidore yang dipimpin Arfan dengan kerajaan Rumbati (Mene, 2013). Di Distrik fak-fak, yakni di bekas Kerajaan Fatagar, terdapat tinggalan masjid, yang dikenal dengan Masjid Merapi dan di Ati-ati, ditemukan naskah Alqur’an kuno (Mene, 2013:14,18). Pedagang Arab mendapat jalan ke Papua, lewat jalur Kesultanan Islam Tidore dan Bacan (Prasetyo, 2011: 76). Dengan demikian, sesungguhnya dalam konteks diaspora peradaban Islam, Kesultanan Tidore memainkan pula perannya di wilayah Papua.

Salah satu illustrasi lain tentang diaspora peradaban adalah misalnya tentang bentuk perahu Mansusu di wilayah Biak, nampak dipengaruhi oleh bentuk perahu di Maluku Utara, terlihat dari bentuk haluan dan buritannya yang sama. Dalam naskah portugis tentang Sejarah Maluku yang ditulis oleh Antonio Galvao kira-kira tahun 1544 dan diterbitkan oleh H.Jacobs,S.J, Galvao mengungkapkan bahwa bentuk perahu orang di Maluku Utara di tengah-tengah kapal menyerupai telur (he ovedo no meio) dan kedua ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian kapal bisa berlayar maju maupun berlayar mundur. 

Pengaruh ini mungkin disebabkan banyaknya kunjungan orang Biak Numfor ke Maluku Utara dan terjalinnya hubungan baik antara orang Biak Numfor dan kesultanan Tidore. Bahkan dimasa VOC, orang Biak Numfor menjadi salah satu kekuatan armada laut bagi kerajaan Tidore (Marwati DJ dan Notosusanto, 1993: 112; Usmany:2009)

Dengan demikian gerak niaga regional antara wilayah Maluku Utara dan Papua, merupakan zona ekonomi menjadi semacam rantai-rantai perdagangan yang menghubungkan wilayah-wilayah niaga di Kepulauan Maluku dengan wilayah Papua. Hal ini karena kedua wilayah itu masing-masing memiliki komiditi andalan untuk saling dipertukarkan. Wilayah yang secara geografis relatif berdekatan, serta  dihubungkan dengan wilayah-wilayah perairan yang merupakan jalur perdagangan internasional sejak awal-awal Masehi. Bagi wilayah Maluku, wilayah perairan dan daratan Papua, sangat penting untuk menguatkan basis ekonomi kerajaan (Handoko, 2010:6-7).

Demikianlah, sejak beradab-abad yang lalu, jalur perairan Maluku Utara dengan wilayah Papua, telah menjadi zona politik, budaya dan ekonomi yang menghubungkan pusat kekuasaan Tidore dengan beberapa wilayah Papua. Jejak arkeologi dan sejarah menghadirkan bukti bahwa diaspora peradaban dari Kesultanan Tidore ke wilayah Papua sudah terbentuk sejak dulu. Berdasarkan data arkeologi dan sejarah, berikut tradisi kehidupan masyarakat di wilayah-wilayah diaspora peradaban dari pusat Tidore sesungguhnya melahirkan simpul peradaban, yang lahir dari kemultibudayaan yang hadir sebelumnya di pusat peradaban Kesultanan Tidore. Tidak hanya soal kekuasaan, namun juga agama, budaya dan jaringan ekonomi Tidore dan wilayah Papua sudah terjalin sejak jalur perdagangan rempah terbentuk.

Penutup

Sejak dikenalnya jalur rempah dan terbukanya jalur laut, maka sejak itu peradaban dunia timur-barat terjalin. Oleh karenanya Kepulauan Maluku, sebagai penghasil rempah, menjadi ruang bagi bertemunya bangsa-bangsa besar baik di timur maupun dari barat. Para pedagang Arab, Tionghoa, Eropa, tidak ketinggalan juga India dengan padagang nusantara, Jawa, Sumatera, Sulawesi, bertemu di dunia yang disebut dunia Maluku. Muncullah kemudian kejayaan-kejayaan suatu bangsa karena memiliki akses dan kemampuan menguasai sumberdaya Alam. Adalah Tidore, salah satu kejayaan itu, berada di titik stratetis jalur rempah, juga menghasilkan rempah-rempah itu sendiri dan mampu memainkan peran politiknya menguasai sumberdaya alam bagi daerah-daerah satelitnya, daerah periferinya, sekaligus menyebarluaskan Islam dan membangun jaringan niaga.

Bukti-bukti berkembangnya peradaban Kesultanan Tidore dan wilayah periferinya atau wilayah-wilayah kekuasaannya masih bisa kita saksikan hingga sekarang dan patut kita jaga kelestariannya untuk menguatkan jati diri bangsa, sebagai bangsa dengan peradaban yang besar di Nusantara. Kesultanan Tidore, berdasarkan jejak arkeologi yang ditinggalkan memperlihatkan peradabannya yang maju, dan Kota Tidore saat ini, masih meninggalkan jejak-jejak arkeologi sebagai kota yang dibangun dengan kemultibudayaan, sebab pada masa puncak perdagangan, berbagai bangsa tinggal dan menetap di Tidore. 

Pemukiman-pemukiman terbentuk, benteng-benteng pertahanan berdiri, menjadi pengalaman berharga sebagai proses perjalanan peradaban. Tidak hanya di Kota Tidore atau di Pulau Tidore sebagai Kota Kesultanan, pusat peradaban, namun peradaban itu juga menyebarluas ke daerah-daerah kekuasaannya, melalui jalur penyebarluasan kekuasaan, agama, budaya juga jaringan niaga di wilayah maritim Kepulauan Maluku pada umumnya. Bukti-bukti peradaban multibudaya ini merupakan kekayaan bangsa yang patut dipertahankan keberadaan, diungkap maknanya untuk menumbuhkan semangat kebangsaan di negeri tercinta Maluku dan Indonesia ini.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Syahruddin Mansyur, yang membantu penulis dalam pengumpulan literatur yang penting, utamanya buku Gotre Atlas yang tidak banyak dimiliki oleh para peneliti di tanah air. Juga disampaikan terima kasih atas bantuan beberapa literatur dan diskusi-diskusi via telepon seputar hasil penelitian arkeologi di Pulau Tidore.

Daftar Pustaka

Abdurachman, Paramitha, 1978 "Moluccan Responses to the First Intrusions of the West," Dynamic of History, (eds) Haryati Subadio,et. a l. Amsterdam: North Holland Pub. Co.

Abdurachman, Paramita,1984. Sumber-Sumber Sejarah Tentang Salawati, Raja Ampat dalam E.K.M.Masinambow (ed) Maluku dan Irian Jaya, Jakarta. Buletin Leknas Vol.III,No.1. LIPI

Amal, M. A. (2010). Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Gramedia.

Andaya, L.Y. 1993. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press.

Andaya, L.Y. 2015. Dunia Maluku: Indonesia Timur Pada Zaman Modern Awal. Edisi Terjemahan dari Judul Asli: The World of Maluku: Eastern Indonesian in Early Modern Period. Penerjemah: Septian Dhaniar Rahman. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Cortesao, Armando. 2015. Suma Oriental: Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues. Edisi Terjemahan dari Judul Asli: The Suma Oriental of Tome Pires An Account of The East, From The Sea to China and The Book of Francisco Rodrigues. Penerjemah: Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Fairyo, Klementin, (2014) Kajian Situs Gunung Dezh Di Pulau Salawati. Jurnal Arkeologi Papua. 6 (2): 187-193

Hamid, I. Al. (2013). Islam Politik di Papua: Resistensi Dan Tantangan Membangun. Millah, XII(2), 441–459.

Handoko, W (2007) Peran Strategis Wilayah Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya, Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam di Maluku”. Berita Penelitian Arkeologi (BPA) Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai Arkeologi Ambon.

Handoko, W. (2009). Dinamika Budaya Islam di Wilayah Kepulauan Maluku Bagian Selatan. Kapata Arkeologi, 5(9), 15–31.

Handoko, W. (2010). Gerak Niaga Maluku-Papua: Zona Ekonomi dan Kekuasaan Islam. Jurnal Papua, 2(1), 1–13.

Handoko, W. (2013). Perniagaan dan Islamisasi di Wilayah Maluku. Kalpataru, 22(1), 17–30.

Handoko, W. (2015) Tata Kota Islam Ternate. Tinjauan Morofologi dan Kosmologi. Kapata Arkeologi.11(2). 123-138

Handoko, W. (2017) Kerajaan Loloda : Melacak Jejak Arkeologi dan Sejarah. Kapata Arkeologi. 13(2). 179-194

Jafar, Abdullah, 2012 Sistem Pemerintahan Sultan Nuku dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Tidore Pada Abad Ke XVIII (suatu penelitian di Kota Tidore Kepulauan Propinsi Maluku Utara). Skripsi. Gorontalo, Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo

Mahmud, M. I. (2012). Pengaruh Peradaban Islam Di Papua, Jurnal Papua. 4 (2), 27–41.


Leirissa, R.Z. 2001. “Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera”. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera. Ternate: LinTas (Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).

Poesponegoro, Marwati Djoned dan Notosusanto N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia III.

Jakarta: Depdikbud.

Nukuhehe, Syaifud Mochamad 2014 Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi Pembagian Zakat Fitrah di Soa Nuku Hehe di daerah Adat Ambon Negeri Seith Kecamatan Leihitu,Kab. Maluku Tengah. Skripsi. Jurusan Hukum Islam Prodi Ahwalus Syakhsiyah. Fak. Syai’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya

Roever, A.de. et.al. 2008. Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie deel 3:

Indisvhe Archipel en Oceanie. Zierikzee: Asia Maior.

Sinaga, Rosmaida. 2013. Masa Kuasa Belanda di Papua. Depok: Komunitas Bambu.

Tim Penelitian, 2006. Jaringan Perdagangan Masa Kesultanan Ternate-Tidore-Jailolo di Wilayah Maluku Utara Abad ke-16 hingga Abad ke-19. Tahap I. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Tidak terbit

Tim Penelitian, 2016 Pola Sebaran Benteng Dan Pengaruh Kolonial Eropa Terhadap Perkembangan Kota Ternate Dan Tidore. Laporan Penelitian. Ambon. Balai Arkeologi Maluku. Tidak Terbit

Usmany, Desyy. 2009. “Menapak Jejak Pelayaran Tradisional Orang Biak Numfor Abad 16 Hingga Awal Abad XX. Kajian Sejarah Maritim”. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jayapura.

Widjojo, Muridan. 2013. Pemberontakan Nuku Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu.


Wekke, I. S. (2013). Masjid Di Papua Barat : Tinjauan Ekspresi Keberagamaan Minoritas Muslim dalam Arsitektur. El Harakah, 15(2), 124–149.


 
Seminar Nasional bertemakan Tidore Ternate, Titik Temu Peradaban Timur Barat ini sukses dilaksanakan di Aula Sultan Nuku, Kantor Walikota Tidore Kepulauan pada Senin, 12 Februari 2018. Seminar terselenggara atas kerjasama KSBN (Komite Seni Budaya Nusantara) dengan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan
Event ini telah sukses terselenggara di bawah koordinasi Mayjend TNI (Purn) Hendardji Soepandji, Ketua Umum KSBN, bersama dengan seluruh jajaran Kantor Walikota Tidore Kepulauan

Mayjend (Purn) Drs. Hendardji Soepandji, SH

Komite Seni Budaya Nusantara | Jl. Pejaten Raya No. 33D | Jakarta Selatan | Email: ksbnindonesia@gmail.com | Telepon +62.812.9236.345 | Website: www.ksbnindonesia.org

Tulisan terkait seminar nasional ini juga bisa dibaca pada tulisan : 
.