Tampilkan postingan dengan label pelajaran hidup. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pelajaran hidup. Tampilkan semua postingan

Hal-Hal yang Membuat Berhenti Terlalu Dekat

Haruskah dijauhi? Kapan harus menjauh? (gambar dari FB)

Hidup adalah perjalanan

Perjalanan membuat kita melalui serangkaian peristiwa. Ada peristiwa menyenangkan yang membuat bahagia, ada pula yang menyedihkan dan membuat kecewa.

Sepanjang berjalan kita mendapatkan berbagai pengalaman baru, melihat tempat-tempat baru, dan bertemu orang-orang baru. Ada orang baru yang kemudian menjadi teman baik, sahabat sejati, bahkan jadi saudara (walau tak ada hubungan darah). Ada pula yang sekedar untuk berpapasan saja, tanpa ada yang tertinggal di hidup kita, apapun darinya. 

Adakah di antara orang-orang yang kita temui itu kemudian jadi lawan bahkan bermusuhan? Ada saja. Bedanya, ada yang bermusuhan sebentar, lalu bermaafan. Ada pula yang selamanya, bahkan sampai mati. Tak baik memang, tapi ada yang seperti itu. Banyak contohnya di luar sana.

Adakah yang tadinya teman baik, sahabat sejati, bahkan telah dianggap saudara, tapi kemudian jalinan hubungan itu berubah menjadi sebaliknya? Ada. Ini pun tak sedikit contohnya. 

Berhenti terlalu dekat

Orang yang memusuhi berubah jadi teman baik, ada. 
Teman baik atau sahabat sejati berubah jadi racun, ada. 8 ciri-ciri racun ada pada gambar di atas.

Racun itu menyakiti. Dan, diri sendirilah yang harus memutuskan kapan berhenti terlalu dekat dari racun. Berhenti terlalu dekat bukan berhenti menjalin silaturahmi. Lebih tepat disebut menjaga jarak. Membuat jarak dari racun akan membebaskan diri dari energi negatif. 

Berhenti terlalu dekat bukan berarti benci, tapi karena ada cinta yang dijaga. 

Memutuskan berhenti terlalu dekat dengan seseorang bukanlah hal mudah. Apalagi bila telah berteman lama, pernah berkegiatan bersama, bepergian bersama, bercanda dan tertawa bersama, dan mengalami hal-hal menyenangkan bersama. Pasti nggak mudah. Tapi ya itu tadi, pada satu titik, di mana kita tulus menjadikannya teman kita, tulus menyukainya, tapi dia tidak, justru membuat kita jadi bahan ocehannya, harus ada sikap yang diambil. Ini bukan tentang berharap kita disukai balik, pamrih, bukan sama sekali.

Sabar yang benar itu sejatinya tak ada batas. Namun, karena banyak hal dalam hidup ini yang harus dilakukan dengan energi positif. Maka, tegakkan sabar tapi jangan pernah biarkan racun bertahta.

Apakah racun harus diberi pelajaran? Menurutku tidak selalu harus begitu. Selama masih jadi manusia yang punya hati dan percaya bahwa Allah itu maha pembolak balik hati, biarlah diri sendiri yang MENGAMBIL PELAJARAN TANPA PERLU MEMBERI PELAJARAN. 

Membalas dendam atau mendoakan yang baik-baik? Jika mau bahagia menjalani hidup ini, ternyata mendoakan lebih menenangkan jiwa. 

Buat yang suka drakor, pernah nonton Taxi Driver nggak? Drama tentang aktivitas balas dendam yang dilakukan oleh Kim Do-gi (Lee Je-hoon) di bawah pimpinan Jang Shung-chul (Kim Eui-sung). 

Inti cerita drakor itu ada pada kata-kata Jang Shung-chul yang ditujukan pada Kim Do-gi:
"Revenge isn't completed by ruining the other person. Only when you can live your own life is your revenge complete."

See?

Balas dendam tidak akan selesai dengan menghancurkan orang lain. Saat kamu bisa menjalani hidupmu, pembalasan dendam barulah selesai.

Berhenti terlalu dekat mungkin adalah filosofi untuk kembali menjalani hidup dengan damai. Tidak perlu repot meminta orang lain berdamai dengan dirinya, kita saja yang perlu segera berdamai dengan diri sendiri. Selesai.

Hal-hal yang membuat berhenti

Di dunia ini ada orang yang membuat kita merasa nyaman ketika bertemu atau hanya ketika melihatnya, tapi ada juga orang yang membuat kita merasa terpuruk hanya setelah bercakap-cakap dengannya. Nah, orang yang memiliki aura negatif itu sering kali tidak menyadari namun efeknya mampu dirasakan oleh kita yang berada disekitarnya. 

Ciri-cirinya mudah meledak amarahnya hanya dengan persoalan sepele, cenderung sibuk dengan energi negatifnya ketika berbicara dengan orang lain. Biasanya orang ini belum selesai dengan dirinya. Dia hadir membawa beban itu dan sibuk dengan bebannya sendiri sehingga menimbulkan masalah baru saat berinteraksi dengan sekelilingnya.

Ada banyak macam sifat yang dimiliki orang lain yang bisa jadi racun pada kita. Sayangnya, aku termasuk orang yang, kalau kata temanku, terlalu baik pada racun, bahkan nggak ngeh ditempeli racun. Tetap disenyumin, tanpa berpikir itu bahaya. 

Apakah nyaman, bila punya teman gemar melihat, tapi bila melihat selalu pakai kaca mata negatif. 
Pandai bicara, tapi setiap bicara, baik secara pribadi maupun di depan publik, selalu membicarakan hal-hal dengan bahasa yang negatif, mengomentari apa saja yang orang lain lakukan pakai sudut pandang negatif. Dan mudah sekali melabeli seseorang dengan sebutan hina.

Di dunia maya, orang macam ini sering dipergoki membicarakan orang lain, bahkan temannya sendiri dijadikan pokok bahasannya.

Misal nih, ada selebgram jalan-jalan ke luar negeri. Luar negerinya itu memang sih cuma ke Timor Leste, atau Brunei. Lalu, teman kita yang hobi komentar nyinyir ini bikin status:
"Halah baru juga ke Brunei, gayanya udah kayak keliling Eropa aja. Gue mah udah dari dulu keliling luar negeri, kemana-mana." 

Kan, aneh.

Contoh lagi nih, ada seleblog yang tulisannya tuh selalu berisi hal-hal baik saja. Pokoknya isinya hal-hal yang menyenangkan saja. Lantas, si teman kita ini mulai heboh bikin status:
"Tulisan kok baik-baik terus, kayak orang yang hidupnya baik terus. Pencitraan banget deh. Masa iya nggak pernah ada cerita sedih. Biar dipuji ya?"

Kan, aneh.

Apakah nyaman bila punya teman begini yang suka ngomongin teman kita yang lain, padahal itu temannya sendiri? 

Jika dia bilang: "suka-suka gue nulis apaan, wong ini akun gue." 

Nah kalau gitu: "suka-suka orang lain dong pingin posting hal bahagia-bahagia saja, yang enak-enak saja, yang baik-baik saja. Kenapa situ yang repot sampe apapun yang orang lain lakukan harus dijadikan status negatif mulu" 

Mungkinkah akan dijawab: "karena aku kurang kerjaan" ? 

Halu 😂

Kalau aku pribadi liat orang lain posting foto liburan, aku senang, jadi terinspirasi pingin liburan juga ke tempat kayak yang dia posting. Orang lain posting ayat-ayat kebaikan, aku nyimak sambil ngaca jangan-jangan itu nasihat cocok buat aku. Orang lain posting gadget terbaru terus, aku ikut senang, jadi gak ketinggalan berita dengan teknologi terkini. Orang lain posting kerjaan/endors mulu, aku kagum karena dia kok hebat banget dapat kerjaan terus. Orang lain dapat job jadi juri bermacam lomba, aku takjub, kok hebat banget dia bisa dipakai brand besar sana-sini. Ya intinya aku sama sekali gak kepikir buat julid, nyinyir atau apalah itu terhadap hal-hal semacam itu. Lagian, apa gunanya? Dapat apa? Capek iya.

Aku sedih kalau liat orang nggak kuat main di dunia maya. Mudah baper, mudah iri, mudah benci, mudah memandang miring. Dan lebih sedih lagi ketika melihat kebaperan tertuang dalam tulisan-tulisan benci, berisi hasut pula. Kalau mau bikin dosa, dosa sendiri saja, nggak usah ajak orang lain. 

Pingin rasanya bilang kayak gini: Jangan lupa pakai kaca mata yang bening kalau sedang scroll beranda medsos, biar pikiran atau komentar yang nanti akan keluar bukanlah sesuatu yang keruh.
 

Setiap kita punya pilihan
 
"Kalau ingin memahami orang lain, tempatkan diri pada posisi mereka."

Saat aku tak suka melihat orang lain jadi racun buat diriku, maka orang lain pun tak kan suka bila aku jadi racun buat dirinya. Berarti, tebas semua sifat-sifat yang berpotensi menjadikan kita racun bagi orang lain. 

Setiap orang punya punya cara sendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Cara yang dipilih akan mencerminkan tingkat kedewasaan masing-masing.

Ada yang diganggu, lalu menyelesaikannya dengan cara memberi pelajaran. Ada yang diganggu, lalu menyelesaikannya dengan cara cukup mengambil pelajaran. 

Ada yang memilih berpikir positif terhadap apapun yang orang lain lakukan, kendati ada yang negatif, ia memilih cara bijaksana dalam menyikapi hal negatif tersebut.

Orang beribadah, ada yang diam-diam saja cukup hanya ia dan Allah yang tahu. Ada pula yang terang-terangan dengan menunjukannya kepada orang lain. Kita punya 2 pilihan untuk menilai dan berkomentar akan hal tersebut:
1. Ibadah kok dipamerin, riya!
2. Masya Allah, soleh/soleha ya dia. Sungguh menginpirasi. Saya juga mau seperti dia.

Mau berkomentar macam apa? Bebas. Tapi caramu berkomentar mencerminkan pribadimu.

Teman yang kita kenal, ada yang suka berbagi hal-hal baik saja di blog/medsosnya. Postingannya selalu ceria, berisi kebahagiaan dan aktivitas menyenangkan bersama keluarga/teman/sahabatnya saja. Kita punya pilihan untuk mengomentari hal tersebut:
1. Hah! Pencitraan banget! Gak apa adanya! Palsu! Minta dipuji!
2. Masya Allah, bawa vibes positif banget sih kak postingannya. Sehat dan bahagia selalu, ya kak.

Mau berkomentar macam apa? Bebas. Tapi caramu berkomentar mencerminkan pribadimu.

Rambut boleh sama hitam, tapi isi kepala bisa beda-beda. Mulut sama-sama punya satu, tapi isi yang keluar bisa beda-beda. Beda tapi positif, bukan masalah. Yang masalah, sudah beda, negatif  pula. 

Kita bisa saling menghargai dan menghormati selama kita bisa mengendalikan perbedaan itu menjadi sesuatu yang positif. 

Seperti apa kita di akhir usia?

Ada orang pernah salah dan terjerumus maksiat, tapi karena hatinya terbuka menyambut tiap nasihat, ia lalu menyesal dan mengambil pelajaran, bertobat, berubah, kemudian menjalani sisa hidupnya dengan baik dan terus berperilaku positif di tiap detik kehidupannya.

Ada orang yang tampaknya selalu Allah mudahkan hidupnya, fine fine saja...tapi punya sifat dan sikap yang selalu negatif ke orang lain yang sulit dilepaskan walau sudah dinasihati ribuan kali. Mulut, mata, hidung, telinga, dan jari-jarinya sibuk mengurusi hal-hal tak penting, menggunjing orang lain tiada henti, suka berprasangka buruk, gemar menghujat, menuduh, memfitnah, dan semua hal buruk yang bikin ia tidak bisa tidur kalau tidak berbuat jahat dengan anggota tubuhnya. Begitu terus dari waktu ke waktu... 

Aku pribadi, ingin mati dengan akhir yang baik. Tidak dalam keadaan sakit dan berpenyakit, baik badan maupun hati. 



Tulislah yang baik-baik saja

Menulis hal-hal begini, tidak afdol jika tidak ditambahkan kalimat: Aku bukan manusia suci. Bukan pula ahli agama. Aku menulis begini karena aku ingin menulis. Aku ingin menulis yang baik-baik saja, meski aku belum baik 😅😂

Dalam WAG Masjid Komplek yang aku ikuti, aku pernah mendapat nasihat baik (sudah pernah aku posting di FB ku) tentang Tulislah Yang Baik-Baik Saja! 

TULISLAH YANG BAIK-BAIK SAJA

Akan tiba saatnya nanti, semua temanmu akan melihat namamu offline.
Mereka mengirim pesan lewat WhatsApp, tapi kamu tak menjawabnya.
Mereka chat di Messenger, tapi kamupun tak mampu membalasnya.
Pada hari itu, postinganmu tiba-tiba saja terhenti, tidak lagi update.
Kamu tidak akan pernah online lagi, tidak mampu reply chat, ataupun berkomentar pada postingan teman temanmu.
Postinganmu yang telah lalu bisa jadi telah di share berkali-kali tanpa kamu mampu mengeditnya. Dibaca dan direspon orang lain tanpa kamu dapat membendungnya.
Kamu tidak mampu meminta maaf kepada orang yang tersakiti karena postinganmu.
Kamu tidak mampu membendung orang lain yang berprasangka buruk, mengeluarkan statement buruk akibat postinganmu yang telah lalu.
Semua sudah  terlambat ketika kamu telah pergi meninggalkan dunia ini. 
Yang tertinggal hanyalah huruf - huruf di postinganmu.
Postinganmu akan menjadi pembelamu atau akan membinasakanmu di alam sana.
Maka dari itu, tulislah yang baik-baik saja, walaupun kita belum baik.
Sekurang-kurangnya kita terselamatkan dari dosa akibat menulis yang buruk.
Ikatlah dirimu dengan lisan yang baik, dan dengan tulisan yang baik sebagai usaha dan do'a menjadi insan yang baik.
Berusahalah menjadi orang yg bermanfaat bagi orang lain, meski cuma sebatas tulisan sederhanamu.
Jangan menjadi penyebab orang lain bertambah lebih buruk, karena ketikan jari jemarimu.

Tulis saja yang baik-baik, berkomentar yang baik, berkata yang baik, meski belum baik, meski disangka sok baik, meski dituduh pencitraan, meski dianggap minta dipuji, dan meski-meski lainnya. 

Menulis itu adalah DOA. Menulislah untuk kebaikan.