Tampilkan postingan dengan label lembah pelangi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lembah pelangi. Tampilkan semua postingan

Air Terjun Pelangi yang Menggetarkan Hati


Lembah Pelangi namanya. Letaknya tersembunyi, masih alami dan belum banyak didatangi wisatawan. Yang menarik adalah air terjun di lembahnya, karena di air terjun itu ada pelangi. Itulah sekilas informasi yang saya dengar dari Mas Elvan sebelum mengikuti Tour D’Semaka 2015. 

Mas Elvan adalah Staf Bidang Pengembangan Destinasi dan Pemasaran Pariwisata di Disbudparpora Tanggamus yang menemani tim media (blogger, fotografer, jurnalis) mengunjungi beberapa objek wisata di Kabupaten Tanggamus. Kegiatan tour ini merupakan rangkaian dari acara Festival Teluk Semaka ke-8 yang rutin diadakan setiap tahunnya oleh Pemkab Tanggamus.

Saat pertama kali mendengar nama Lembah Pelangi, perasaan saya antara senang dan takut. Pelangi memancing keinginan saya untuk melihat, tetapi lembah membuat saya meringis. Terbayang jalan terjal yang harus dilalui. Antara yakin dan tidak, saya bertanya pada diri sendiri, apakah imbalan dari kesulitan yang akan saya alami nanti akan setimpal dengan kesenangan yang didapat?  



Lembah Pelangi terletak di Pekon Sukamaju, Kecamatan Ulu Belu. Tempat ini terasa jauh. Saya mencatat kilometer awal mobil Mas Indra saat mulai berangkat dari KotaAgung ada di posisi 85938. Waktu saat itu menunjukkan pukul 7.50 WIB. Tiba di Danau Hijau pukul 10.15 WIB. Di bukit Desa Proyek, angka kilometer menunjukkan 85997. Jarak tempuh dari Kota Agung-Gisting-Talang Padang hingga Ulu Belu sudah mencapai 59 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 2 jam (setelah dikurangi waktu mampir-mampir di jalan). Padahal Lembah Pelangi belum dalam jangkauan. Ada jarak dan waktu yang masih harus ditempuh. Jadi, bisa dibayangkan berapa lama dan berapa jauh Ulu Belu dari Bandar Lampung. Seingat saya, Bandar Lampung - Kota Agung itu sekitar 2 jam lebih.  


Kendati berada jauh di sekitaran Gunung Tanggamus, akses menuju Ulu Belu tergolong bagus. Mungkin karena Ulu Belu berada dalam dekapan Pertamina, makanya jalan aspalnya tebal dan mulus. Namun karena konturnya perbukitan, banyak jalan berkelok yang mesti dilalui dengan hati-hati. Salah satu keloknya bahkan menyerupai huruf S, tajam dan berbahaya. Sebahaya apa? Sebahaya bangkai mobil proyek yang saya lihat di tikungan S siang itu, terjungkal setelah terjun bebas ke jurang. Saya merasa tegang, tapi beruntung ada obat lain yang mampu mengurangi rasa itu yaitu bentangan alam yang terlihat dari ketinggian. Indah sejauh mata memandang. Perpaduan sempurna di antara dua sajian penyeimbang rasa: bahaya dan pesona.
 


Lembahnya masuk ke kiri

Plang nama itu sangat sederhana. Hanya sebuah papan kayu polos yang dipasang pada tiang setinggi 1 meteran saja. Ditulis seadanya dengan cat hitam. Terpancang di kiri jalan tak beraspal. Tertulis Jln Lembah Pelangi. Ada angka 25+50 +/-. Apa itu artinya jalan menuju lembah sekitar 75 meter saja? Saya nyaris meloncat girang, karena saya pikir turunan menuju lembah cukup dekat.

Sementara, tiga mobil yang membawa rombongan kami telah diparkir di pinggir jalan yang sempit. Saya sempat ragu akan keselamatan fisik mobil-mobil itu dari kendaraan lain yang mungkin saja akan lewat. Keraguan itu ternyata terbukti. Apa yang terjadi? Nanti, setelah kembali dari Air Terjun Pelangi, kami mendapati badan mobil Avanza yang digunakan Mas Elvan dan Mas Indra rusak digores kayu yang diangkut oleh motor yang sedang lewat. Breeet!

Sesaat, cuaca tampak tak mendukung. Ada rintik air hujan yang turun. Aku mengkhawatirkan kameraku DSLR ku yang tak menggunakan waterproof case. Setengah berlari aku mengikuti yang lain, mencari tempat berteduh, padahal entah akan berlindung di mana. Oh ya, ada pondok di kebun kopi. Mungkin di situ. Tapi kemudian gerimis tak berlanjut. Teman-teman sudah jalan. Saya mengikuti dari belakang. Sebatang kayu tampak tergeletak. Saya pungut, lalu saya jadikan tongkat. Sepertinya berguna untuk membantu tangan berpegangan.


Kebun kopi

Kopi ajib yang aku hayalkan jadi ajaib

Temuan-temuan kece

Imut banget Encip :D  @Encipholic

Jejak Bocah Ilang di kebun kopi @Halim_San
Jalan kecil berbatasan dengan jurang. Hati-hati!

Kami berjalan menuruni punggung bukit, menembus relung hutan kopi. Di tangkai-tangkai pohon, bergerombol buah kopi berwarna hijau dan merah. Saya suka melihatnya. Sempat membayangkan bebijian kopi itu punya kekuatan ajaib, bisa melenyapkan badan, lalu sim salabim langsung mengantar saya ke air terjun. Saya membayangkan hal itu karena sempat ngeri-ngeri sedap meniti jalan yang saya lalui. Seakan kapan saja bisa terpeleset, meluncur bebas, lalu buk! Terkapar di dasar jurang. Hiii…hayalan ini ngeri.

Selepas kebun kopi, pemandangan di lekuk-lekuk lembah membuat saya berhenti. Tampak punggung-punggung bukit menyajikan suasana alam lestari. Terasa menyegarkan mata dan pikiran. Panorama ini meluruh penat, walau sesaat. Sebab ketika saya memandang lurus ke bawah, Ya Tuhan…dasar lembah ternyata masih jauh. Sayangnya saya salah menerka, dasar lembah yang saya lihat itu bukanlah tujuan. Jalan menuju air terjun ternyata bukan lagi lurus ke bawah, melainkan menyamping. Kekhawatiran saya mati seketika. Saya mau lanjut lagi. Jalan lagi. Sampai bertemu pelangi! 


Pemandangan di lembah

Jalan yang dilalui tak lagi menurun

Di bawah sana ada air terjun kedua, juga pemandian air panas

Beberapa saat sebelum mencapai air terjun, seseorang menunjukkan letak air terjun lainnya. Lokasinya jauh di lembah, turun lebih ke bawah. Medannya tampak sangat curam. Mungkin harus merosot jika ingin turun, bukan berjalan. Meski diiming-imingi ada pemandian air panas tak berbau sulfur, saya belum tertarik. Perjalanan kembali dilanjutkan. Tak ada lagi turunan terjal, dan kami pun sampai. Berapa lama waktunya? Mungkin sekitar 20 menit. Tapi saya gemas dengan jarak yang tertulis di plang pinggir jalan. Mana ada 75 meter? Ada pula yang bilang 100 meter, 200 meter, 1 kilometer. Jadi berapa tepatnya? 


Air terjun sudah terpampang di hadapan. Saya belok kanan, turun ke bebatuan, dan langsung membiarkan diri menangkap kesan pertama akan tempat ini. Rasanya seperti berada dalam sebuah mangkok besar. Dikelilingi dinding-dinding batu. Air yang terjun dari ketinggian sekitar 50 meter itu terlihat seperti selendang, teruntai anggun di bahu tebing yang ditumbuhi semak belukar. Jatuhan air menimpa bebatuan yang terhampar di bawah. Percikannya melayang di udara, seperti hujan, membasahi apapun yang ada di dekatnya. Sinar matahari  yang mengenainya, menciptakan warna-warna yang tak terkatakan indahnya: Pelangi! 


Indah dalam kenangan

Aku, air terjun, dan @elephunx25_85 si penguasa Tanggamus :p

seseruan bareng @Encipholic & @elephunx25_85



Membeku. ~Photo by @Yopiefranz

Aku, air terjun, dan pelangi. ~Photo by @Yopiefranz

Teman-teman melakukan kesenangannya. Dari yang sibuk selfie, memotret air terjun, bahkan buka baju untuk mandi. Siapa yang buka baju? Encip dan mas Indra. Di sini, selain kami ada juga beberapa pengunjung lainnya. Mereka penduduk setempat. Di antara rombongan kami, saya jadi satu-satunya perempuan yang sampai di tempat ini. 
 
Saya berjalan mendekati tempat jatuhnya air. Melihat lengkung pelangi, sekaligus merasakan kesejukan titik-titik air yang membasahi kulit.

Di sini, ada pelangi yang tak bisa disentuh. Ada batu licin yang membuat saya terjatuh. Dan, ada air yang membuat saya seperti membeku.


Ada Pelangi yang Menggetarkan Hati. ~Photo by @Yopiefranz

Mas Indra dan Encip main air, keduanya berdiri persis di dekat tirai air. Saya hanya melihat iri, antara ingin mendekat tapi takut. Tapi saya lihat mereka aman dan baik-baik saja. Panggilan ajakan mendekat dari Encip hilang tenggelam seakan ditelan gemuruh tumpahan air. 


Saya nekat mendekat. Walau kaki amat sulit melangkah karena banyak batu licin dan sedikit tajam, tapi akhirnya bisa sampai berkat bantuan Encip.  Udara di dekat air terjun terasa sangat dingin. Ditambah tumpahan dan cipratan air yang mengenai badan membuat saya menggigil. Benar-benar menggigil kedinginan, tapi merasa senang. Lupa semua rasa lelah dan kesulitan yang dilalui saat mencapai tempat ini.  

Menikmati suasana. Menikmati dingin. Merayakan kesenangan itu dengan beberapa kali berfoto bersama. Sementara, dari kejauhan Mas Yopie terlihat mengarahkan kameranya ke kami.
 

Sepertinya aku duduk di batu tempatku jatuh

Siang kian tipis. Penduduk setempat yang jumlahnya bisa dihitung jari, satu persatu meninggalkan lembah. Tersisa rombongan kami. Namun, untuk satu sesi yang belum teralisasi, kami menahan diri, tak ikut-ikutan beranjak karena harus bikin foto bersama dulu. Lebat air terjun di latar belakang, akhirnya melengkapi foto kenangan.

Pulang. Kadang saya benci kata pulang.

Eh, mungkin saya harus benci pada batu-batu cadas itu. Mereka seperti mengganduli kaki. Berat dan sulit untuk dilepaskan. Mungkin juga pada sulur-sulur pelangi yang teruntai panjang melilit badan. Mungkin juga pada sunyi yang dimiliki tempat ini.

Kalau ada kata tetap seperti adanya, saya memilih tempat ini tetap apa adanya. Tanpa gubug-gubug jajan. Tanpa bilik-bilik bilas. Tanpa kamar-kamar ganti. Lembah Pelangi ini akan terus “berpelangi” jika hanya dikelilingi oleh apa-apa yang sudah disediakan oleh alam saja. Kalau pun harus ada perubahan, cukuplah sebuah akses masuk dan keluar yang aman bagi pejalan. Selebihnya jangan.

Kamu tahu, kemarin beberapa belas menit saya sempat merasakan benar-benar sendiri di sini. Semua orang saya paksa pergi. Untuk apa? Semedi? Bukan, tapi untuk ganti baju :D Iya, seperti saya bilang, di sini tak ada bilik satu pun. Saya harus merapat di balik batu-batu raksasa. Berasa benar-benar seperti dalam dongeng, jadi bidadari yang turun ke bumi, mandi, lalu bajunya dicuri Jaka Tarub. Jreng….apa kata dunia kalau ada yang benar-benar mencuri baju saya. Tapi lebih mengerikan lagi kalau ada yang diam-diam memotret dari balik tirai air. Hiiii….fotografer hantu.
 

Photo oleh @Fajrinherris

behind the shot ~Photo by @Omnduut
Thanks! @Yopiefranz @KelilingLampung

behind the shot ~Photo by @Omnduut
 
Rasa senang seusai mandi bareng pelangi ternyata memberi dampak baik untuk raga dan jiwa. Perjalanan keluar dari lembah jadi tak terasa berat. Ringan di kaki, ringan di hati. Tak ada rasa lelah hingga tanjakan terakhir. Bahkan sesampainya di atas, saya bergegas melemparkan tanya pada lembah yang mulai diselimuti remang petang. Kapan saya akan melihatmu lagi?


D'Semaka Tour 2015

Come to Majestic Tanggamus ^_^




Ulu Belu, Kab. Tanggamus. 20 Nopember 2015