Tampilkan postingan dengan label labuan bajo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label labuan bajo. Tampilkan semua postingan

Sensasi Bunk Bed di Escape Bajo Hotel Beri Pengalaman Baru Saat Liburan di Labuan Bajo

Escape Bajo - Labuan Bajo, Flores NTT
 

Menginap di Escape Bajo tidurnya di ranjang tingkat. Apa rasanya? Ya biasa aja sih ha-ha-ha. Paling, jadi pengalaman baru saja buat saya karena merupakan yang pertama kali terjadi kala menginap di sebuah hotel.

Escape Bajo adalah salah satu penginapan yang ada di Labuan Bajo. Tempat ini jadi pilihan Celly (Gamanesia Tour) untuk jadi penginapan kami (13-14 Maret 2019) sebelum sailing Komodo 2 hari kemudian (15-17 Maret 2019).

Escape Bajo punya tiga tipe kamar yaitu Bunk Bed, Private Bunk Bed, dan Private. Saya merasakan sensasi Private Bunk Bed hanya satu malam, yakni pada hari pertama di Labuan Bajo. Hari kedua dan pada hari kelima, saya dan Celly menempati kamar Private (bukan bunk bed lagi).


Oh Begini Rasanya Private Bunk Bed

Hari itu (tgl. 13-03-2019) Escape Bajo dikunjungi banyak tamu. Kamar-kamar terisi penuh. Tersisa Bunk Bed dan Private Bunk Bed. Perbedaan keduanya pada jumlah ranjang. Private Bunk Bed dengan 1 ranjang tingkat, Bunk Bed  dengan 2 ranjang tingkat.

Kamarnya tidak terlalu luas, tapi tidak terlalu sempit. Ibaratnya, kalau mau menari, badan masih bisa memutar dan gerak ke sana kemari tanpa terbentur he-he. Terdapat 1 jendela yang menghadap ke kampung dan sedikit ke arah laut, serta 1 pintu menuju balkon. 

Saya suka kamar mandinya. Bersih dan peralatan mandinya pun lengkap. Air hangat mengalir lancar. Ukuran kamar mandi cukup besar, sangat leluasa untuk mandi yang nggak kayak patung. Ya siapa tahu kan mandinya pakai joget-joget. Nah tenang aja, itu bisa banget dilakukan. Melakukan aktivitas di wastafel seperti cuci muka, gosok gigi, dan sisiran juga leluasa.  

Bagian terseru tentu saja ranjangnya. Saya agak kaget awalnya. Bukan tak suka, tapi merasa beda aja gitu karena belum pernah. Berhubung ingin merasakan sesuatu yang beda dari biasanya, saya pilih ranjang atas, Celly di bawah. 

Jadilah malam itu saya tidur di ranjang tingkat. Memang berasa agak aneh, karena ruang antara kepala dan plafon jadi semakin dekat. Tapi aman sih, nggak yang sampai bikin kejedot lah, malah masih bisa berdiri ha-ha-ha.

Perasaan takut jatoh ada? Ada banget wk-wk-wk. Soalnya, seumur-umur saya memang tidak pernah tidur di ranjang tingkat. Padahal nggak perlu takut juga lah, kan ada pagarnya, walau pendek. Kalau misal geser-geser saat tidur, masih ada penghalang, kecuali pas tidur pakai salto segala, jatoh gedubrak yang ada.

Private Bunk Bed, kapasitas 2 orang, harga Rp 550.000 / malam

Private Bunk Bed, fasilitas: WiFi, included sarapan, kamar mandi dalam, view

Private Bunk Bed, kamar mandi


Bunk Bed, kapasitas 6 orang, harga Rp  180.000 / malam, tanpa sarapan, tanpa view, tanpa kamar mandi dalam

Pilihan Menu Sarapan Sedikit tapi TERENAK!

Saya sangat suka dengan menu sarapannya. Tidak banyak pilihan, tapi semua pilihan yang ada enak-enak. 

  • Nasi Goreng Telur Gulung
  • Sandwich
  • Cup Sandwich
  • Egg & Bread

Nasi Goreng Telur Gulung jadi menu sarapan yang paling saya favoritkan. Selain rasanya yang amat sesuai dengan selera saya, porsinya juga mengenyangkan. Secara food plating juga amat menarik, membangkitkan keinginan untuk segera makan dan menghabiskannya tanpa bersisa.

Selama 3 malam menginap di Escape Bajo, hanya satu kali saya memesan selain Nasi Goreng Telur Gulung, yaitu Egg & Bread. Menu satu ini juga sangat enak. Menu biasa yang amat mudah ditemui di antara menu-menu sarapan hotel, tapi tidak semua hotel bisa membuat saya terkesan dengan Egg & Bread nya. Kalau di sini, saya ketagihan. Sampai saya memesan ulang, walau harus bayar lagi. Nah!

Apa sih resepnya bisa sampai terkesan gitu dengan nasi goreng telur gulung dan egg bread? Mungkin karena memang dibuat dengan resep terbaik, penampilan cantik, dan bisa jadi ditambah suasana tempat makannya yang langsung menghadap laut! Nah itu dia gaes...

Nasi Goreng Telur Gulung Menu Sarapan Terfavoritku!

Egg & Bread juga favorit

Banyak Pesanan Nasi Goreng Telur Gulung di saat Sarapan, karena memang jadi favorit banyak orang

Tak ketinggalan ada buah di saat sarapan

Kamar PRIVATE Kece! 

Ada banyak penginapan bagus di Labuan Bajo. Dari yang tak berbintang sampai yang berbulan dan berbintang-bintang pun ada wk-wk-wk. Mau hotel super mewah yang harganya berat di dompet ada banget he-he-he. Tinggal pilih saja mana yang kita sukai dan cocok dengan isi tabungan.  

Escape Bajo adalah salah satu penginapan yang saya sukai. Hotel ini mungkin tidak termasuk mewah seperti hotel-hotel besar tertentu. Tapi soal mewah tiap orang punya deskripsi berbeda, tergantung dari sudut pandang mana ia mengartikan mewah. Saya sering menginap di hotel mewah tapi tak merasa mewah. Sering pula di hotel biasa tapi merasa wow. 

Saya suka kamar Private yang dipunya oleh Escape Bajo. Ukurannya besar, ranjang King-nya juga nyaman sekali. Dan yang paling penting, kamar ini menghadap penuh ke laut. Sebuah pemandangan paling menawan yang tak akan pernah bosan untuk dinikmati. Inilah kemewahan itu.

Semua fasilitas dalam kamar baik, bisa digunakan, dan saya tak menemukan kekurangan. Sangat berterima kasih pada Celly yang telah memesan kamar ini. Saya bisa merasakannya selama 2 malam. Satu malam bersama Celly, malam lainnya saya lupa sama siapa. Kalau bukan dengan Katarina (nama kami mirip), dengan Rossa atau Feibe. Bisa lupa gitu ya sama teman sekamar? Ha-ha-ha. 

Private Room - Escape Bajo 
 
King Size

semua jendela menghadap ke laut




Pintu kaca lebar dan pemandangan laut di baliknya

Kamar mandi Private Room

Seaview Escape Bajo

Tak sedikit hotel menjadikan view yang mereka punya sebagai jualan utama. Jadi, mereka tak ragu memasang tarif tinggi dengan alasan view tersebut. Orang-orang yang membeli view pun tak sedikit, mereka kadang tak peduli kamarnya seperti apa, yang penting view-nya. Ada pula jenis tamu yang peduli keduanya, kamar dan view harus sama bagus.

Saya termasuk yang ingin mendapatkan keduanya. Kamar bagus bukan berarti kamar mahal ya, karena kamar bagus banyak kok yang harganya terjangkau. Nah, syukur kalau bisa dapat view bagus juga. Seperti di Escape Bajo ini, saya dapat keduanya. 

Ohya, arti kamar bagus buat saya adalah bila bersih dan aman. Aman dari maling, hal-hal yang membuat celaka, dan hal-hal yang membuat saya jadi sakit he-he-he.

Bermacam view saya suka, dari gunung dengan sawah-sawah, hutan dengan desa-desa nan permai, hingga laut dengan pantai-pantainya yang menawan.

Escape Bajo menawarkan pemandangan laut dengan hamparan kapal-kapal wisata yang tak pernah sepi setiap harinya. 

Dari sisi berbeda, ada pemandangan kampung, serta pulau-pulau. Matahari terbit dan tenggelam juga bisa disaksikan dari tempat ini. Tinggal siapkan mata telanjang untuk menikmatinya secara langsung, atau kamera untuk memotret agar bisa dinikmati indahnya di lain waktu dalam bentuk foto.

Jangan lupa siapkan hati yang kuat. Karena kalau sendirian, bakal baper sedihwoy ha-ha-ha. Sedihlah kalau sendirian di tempat seindah ini. Paling cocok jika berdua pasangan. Makanya, saya pingin banget suatu hari nanti balik lagi ke Labuan Bajo sama suami dan dua anak saya. Liburan bersama di sini, bersantai menikmati indahnya Labuan Bajo dari Escape Bajo.




Tetep dong kemana-mana bawa laptop ringkas yang ramah untuk traveling ke mana pun

Rooftop Spot Kece untuk Berfoto

Pagi atau sore hari jelang senja, paling nyaman duduk di rooftop. Bisa lihat matahari terbit atau terbenam. 

Bisa juga sekadar bersantai tak melakukan apa-apa. 

Bisa buat kumpul bersama teman sambil ngobrolin apa saja ngalor ngidul, bercengkerama, bercanda, apa pun itu.

Bisa juga menikmati pemandangan / suasana sambil melahap makanan / menyeruput minuman kesukaan.

Spot foto terbaik pastinya.

Selain rooftop juga ada balkon-balkon untuk duduk dan bersantai, sendiri maupun bersama teman.

Rooftop Escape Bajo

Tiap sore gak bakal bosan liat sunset dari rooftop



Kalau ini dari balkon di kafe Escape Bajo. Gak bisa foto bareng suami di Bajo, ya udahlah foto sama foto suami yang ada di HP ha-ha-ha

Ini juga dari balkon cafe, saat sarapan. Tempat favorit kalau sedang sarapan. Anginnya lumayan kencang sih di sini

Ini juga dari balkon cafe. Bangunan di bawah itu tempat pelelangan ikan hasil tangkapan nelayan

Ini balkon lainnya lagi, sering jadi tempat kumpul dan makan di malam hari

Liburan Bareng Seru

Saya sudah lama sekali ingin jelajah Flores, dimulai dari Trip Komodo, dan alhamdulillah baru kesampaian bulan Maret 2019 lalu. Lewat Celly (Gamanesia Tour), saya bisa berangkat bersama 11 orang lainnya, sama-sama dari Jakarta. 

Sailing Komodo itu nggak murah. Sewa kapalnya saja 30-50 juta setiap berangkat. Kalau pergi sendiri, bukan dompet lagi yang jebol, tapi tabungan jadi bocor banyak ha-ha-ha.

Makanya, ada paket-paket trip yang dijual para agent tour. Bisa kita beli dengan murah tralala. Cukup keluar duit 5 jutaan, sudah bisa keliling naik kapal 3 hari 2 malam dari pulau ke pulau, dan itu sudah sama tiket pesawat PP dari Jakarta. Makan minum udah lengkap gak bakal kelaparan, udah ditemani guide profesional, dan udah difotoin (bahkan divideoin pakai drone). 

Selama 3 hari 2 malam puas banget diajak mengunjungi Pulau Padar yang amat indah itu, Pulau Rinca yang jadi sarangnya Komodo, Pulau Kalong, Pulau Kenawa, dan pulau-pulau lainnya yang saya nggak hafal namanya, tapi pesonanya masih melekat kuat dalam ingatan.

Nah, karena paket trip, udah pasti kita gabung dengan orang lain. Senangnya niiiiih, saya gabung sama teman-temannya Celly dan Jeffry. Para traveler yang juga punya usaha tour. Jadi, orang-orang yang bersama saya saat itu adalah kumpulan pemilik travel agent. Ada juga yang bukan sih, tapi masih orang-orang yang satu lingkaran. 

Saya berteman baik dengan Jeffry (Picniq Tour) dan Celly (Gamanesia Tour), otomatis temannya mereka ya teman saya juga. Saya suka sekali sama mereka, udah pengalaman jalan kemana-mana, jadi asyik saja gitu pas jalan bareng. Ngobrol enak, jalan enak, kumpul enak, dan apa aja enak. Baek-baek semua 💚

Para gadis dalam rombongan, cuma saya emak-emak di situ 😂

Enak ramean begini, kalau sendirian aja ya bengong 

Asyik jalan sama mereka

Sebelum meninggalkan Escape Bajo

Saya bersama Celly (owner Gamanesia Tour) Jeffry (Bosnya Picniq Tour), dan Kohar (bos dimsum Moresto Lampung)

Saya sertakan link untuk tulisan-tulisan terkait liburan di Labuan Bajo. Jadi, silakan baca dengan meng-klik tautan berikut:

Info lebih lanjut tentang Escape Bajo bisa dilihat pada kanal berikut:

Teman-teman juga bisa mencari informasi paket wisata Komodo dan Labuan Bajo melalui instagram

  • Gamanesia @gamanesia.id
  • Picniq Tour @picniqtour

Berikut saya tambahkan foto-foto dan informasi lainnya:

Pajangan Kain Tenun Flores di area lobby Escape Bajo

Di belakang saya adalah Kapal Adishree, kapal milik owner Escape Bajo

Saya dan Celly bersama Liz dan Larz, pasangan yang mengajar secara sukarela di Kampung Mello

Kami membawa sumbangan peralatan belajar untuk Liz dan Larz, tetapi saat itu Kampung Mello tak bisa ditempuh karena terhalang longsor. Karena Itu Liz dan Larz mendatangi kami ke hotel, menjemput barang bantuan. 

Liz dan Larz menggunakan motor mengambil barang bantuan

Saat ini Liz buka kafe di Labuan Bajo namanya Dapur Tara Flores yang menawarkan Kuliner Khas Labuan Bajo. Buat kalian yang sedang di Labuan Bajo, singgahlah ke kafe Liz ya. Kalian bisa berbincang juga tentang Anak Alam Flores atau murid-murid yang diajarnya secara gratis di Kampung Mello.

Senangnya liburan di Labuan Bajo, sailing Komodo, dan menyempatkan berbagi untuk anak-anak Flores, jadi cerita yang tak terlupakan.

Semoga pandemi segera berakhir, agar wisata Labuan Bajo dan lainnya bisa dibuka kembali, dan semua bisa berlibur dengan aman.

Video Escape Bajo dapat dilihat pada channel saya di Youtube, atau bisa ditonton langsung dengan meng-klik video berikut:

Diserang Gatal di Tengah Indahnya Pulau Padar

Wisata pulau padar flores NTT
Pulau Padar, Flores NTT

Ada dua hal yang saya khawatirkan ketika sedang pergi berwisata alam. Pertama, mendadak haid. Kedua, mendadak kegatalan (alergi). Lebih mengkhawatirkan lagi jika keduanya datang serentak. Deritanya bukan main.

Jadi, di antara serunya cerita perjalanan, dibalik foto-foto indah yang mengundang decak kagum, kadang ada perjuangan melawan sakit dan gatal yang tak terceritakan. Meskipun sifatnya sementara, tapi sukses membuat mood jadi berantakan. 

Dua hal tersebut pernah saya alami serentak ketika mengunjungi Pulau Padar di Taman Nasional Komodo, Flores NTT pada bulan Maret 2019 lalu. Apa rasanya kegatalan di tengah indahnya pesona Pulau Padar? 😁

Pulau Padar, Flores NTT (dari kameranya Rio Motret lho) 😎

Turun Kapal Jam 5 pagi

Selama live on board 3 hari 2 malam di perairan Taman Nasional Komodo, saya (bersama 11 teman trip dari Jakarta) berlayar menggunakan kapal semi phinisi bernama KLM Lamborajo.

Meskipun telah berada di Labuan Bajo sejak tgl. 13-03-2021, tetapi sailing komodo baru dimulai tgl. 15-03-2019. Hari pertama mengunjungi Pulau Kenawa. Di sana berenang, snorkeling, diving (berburu penampakan manta/ikan pari raksasa), serta menghabiskan senja di gusung Makasar. Malamnya menginap di Pulau Padar. Bukan di daratan Pulau Padar, tapi di lautnya. Kapal mengapung di laut semalaman, berjarak kurang lebih 200 meter dari daratan. Apa rasanya tidur di dalam kapal? Oleng gaes ha-ha-ha, tapi seru.

Pukul 4 pagi (16-03-2019), Pak Deddy (tour guide) memanggil kami untuk bangun. Katanya, jam 5 harus turun. Yak, pagi itu jadwal menjejak Pulau Padar. Semua orang harus berangkat. Rugi kalau sampai enggak ikut eksplor Pulau Padar yang merupakan salah satu ikon wisata di Taman Nasional Komodo.

Dini hari yang tenang jadi riuh. Ada yang bergegas mandi, ada yang cuci muka dan gosok gigi saja, ada yang nggak cuci apapun tapi langsung dandan ha-ha-ha. Saya nggak mandi dong, cuma cuci muka dan ganti pakaian dalam (hari itu saya masih haid hari ke-3). Mandinya nanti saja setelah jelajah pulau.

Lalu, ngapain turun kapal pagi-pagi amat? Ya buat liat sunrise-lah buk! 

Sunrise di Pulau Padar terkenal indah gaes 😍

Kapal semi phinisi yang saya tumpangi saat sailing komodo 2019

Dandan dan Barang Bawaan

"Nggak usah banyak bawaan, nanti berat di jalan. Kita mendaki lho...." ucap pak Deddy.

"Ok, pak. Kalau begitu saya titip kamera ya." 

Lalu DSLR seberat 1,8kg itu saya serahkan ke Pak Deddy yang menerima dengan senang hati. Ulala bisa banget deh ya ngerepotin tour guide . Tapi tenang, saya punya tip khusus buat beliau, gak gratis kok 😃

Berkat Pak Deddy, ransel jadi ringan. Isinya tinggal 1 botol air minum, 2 handphone, 2 powerbank, minyak kayu putih (buat jaga-jaga kalau mendadak ga enak perut atau digigit serangga), tolak angin (siapa tahu mendadak meriang ), dan 1 bungkus biskuit buat jaga-jaga bila mendadak lapar (kami baru dikasih sarapan setelah balik ke kapal).

Saya juga bawa mantel tebal dan panjang, biar hangat! Udara pagi itu dingin. Di tambah angin laut yang bertiup, bikin menggigil. Saya belum mau flu gara-gara itu. 1 jam pertama, mantel itu memang berguna, tapi setelahnya....(simak cerita selanjutnya pas mendaki bukit di pulau) 😂

Sebelum turun kapal, tak lupa dandan. Biarpun belum mandi, yang penting muka paripurna! Padahal nantinya semua itu luntur kena keringat haha. Di foto juga nggak bakal jadi perhatian, kalah cantik sama pemandangan!

Cahaya dari kapal-kapal wisata yang bermalam di perairan Pulau Padar

Penampakan kapal-kapal wisata (salah satunya kapal kami) dilihat dari bukit di Pulau Padar

Penampakan jetty di Pulau Padar

Melaju Kencang di Atas Sekoci

Ada 1 sekoci yang selalu dibawa kemanapun kapal berlayar. Sekoci itu diikat di buritan kapal. Hanya dipakai jika hendak mengangkut kami ke daratan. Dengan sekoci itulah kami menyeberang dari kapal ke Pulau Padar. Kapal-kapal memang tidak bisa merapat karena makin dekat ke pantai airnya makin surut. 

Alam raya masih gelap ketika kami mulai menaiki sekoci. Bintang gemintang masih bertaburan di angkasa. Cahaya lain yang terlihat hanya lampu dari kapal-kapal lain yang juga menginap di perairan Pulau Padar. Kami mengandalkan senter masing-masing untuk melihat keadaan terdekat. 

Sekoci melaju kencang, hembusan angin pun tak kalah kencang. Dingin? Pasti. Untunglah mantel tebal yang saya pakai, kaos yang membungkus kaki, kerudung yang menutup kepala dan leher, serta celoteh teman-teman dalam sekoci, ampuh menghalau serangan dingin yang datang tak diundang.

Sementara teman saya ada yang berpakaian minim. Kulitnya ditampar angin, rambutnya berkibar-kibar ngalahin bendera, dia santai wae.  Hebat kalilah anak muda. Dulu waktu masih zaman zahiliyah saya juga santai di tengah udara dingin, walau berpakaian minim. Sekarang udah emak-emak zaman tobatiyah, udah beda 😂

Kostumku di Pulau Padar dan make-up yang nggak keliatan 😆

Gatal Menyerang

Sekoci merapat di jetty, kami bergantian turun, lalu berjalan bersama beriringan. Saya berjalan dekat Pak Deddy. Selain karena kamera saya berada di tangannya, juga buat berjaga dari kemungkinan diserang komodo. Hohoho saya takut komodo gaes. Lhooo, emang ada komodo di Pulau Padar?? 

Pulau Padar memang tak berpenghuni. Manusia boleh berkunjung tapi tidak untuk tinggal. Menurut informasi, kemungkinan adanya komodo 1 : 1000. Bagaimana pun pulau ini berada di kawasan Taman Nasional Komodo, habitatnya Komodo. Jadi, meski tampak aman, tetap harus waspada. Itu kenapa saya tak mau menjauh dari Pak Deddy, biar bisa diandalkan jika ada apa-apa. Saya lagi haid lho, mudah jadi incaran komodo. Apalagi saat itu masih gelap, tak mudah melihat apa yang ada di sekitar. 

Selepas meniti jetty, kami menaiki tangga kayu yang langsung mengantar ke atas bukit. Pulau ini memang dipenuhi bukit, tak heran bila sampai di pantainya langsung disuguhi jalan menanjak. Bagusnya, tangga dan jalan sudah dibuat bagus, jadi bisa dilalui dengan mudah. 

Perjalanan yang terus menanjak, memutar, lalu menanjak lagi, membuat badan berkeringat. Udara yang tadinya dingin, perlahan mulai menghilang, berganti hangat dan akhirnya membuat gerah. Saat itu saya berada di barisan paling depan, persis di belakang Pak Deddy. Teman-teman di belakang. Sempat salah seorang bertanya:

"Mbak Rien gak kepanasan tuh pakai mantel? Saya yang pakai tank top saja gerah banget..."

Benar sekali, saya gerah! Tapi mantel tidak saya lepas. Saya khawatir akan alergi gatal yang biasanya timbul dari perpaduan keringat, angin, dan gerakan yang tidak berhenti (dalam hal ini jalan kaki menanjak).

Baru juga melintas dalam pikiran, eeeh beneran gatalnya muncul!

Alamaaak, khawatir diserang komodo, malah diserang gatal. 

Tangga kayu buat nanjak bukit. Perjalanan kami masih dikelilingi gelap. Pak Deddy di depan, memimpin rombongan

Penampakan tanjakan batu. Tanjakan bagus ini belum separuh perjalanan menanjak. Sisanya adalah jalan tanah biasa. Kecil dan terjal.

Bergelut dengan Gatal

Awalnya rasa gatal itu muncul di paha, lalu betis, pinggang, dan perut. Kedua tangan saya ingin sekali menggaruk bagian-bagian itu, tapi resikonya adalah semakin gatal. Terpaksa ditahan.

"Masih jauh nggak ya naiknya?" tanya saya ke orang-orang.

"Paling 20 menit lagi sampai," jawab seseorang, entah siapa. Saya lupa.

20 menit itu lama, berarti masih jauh. Apa yang harus saya lakukan? Berhenti bergerak adalah solusi mengurangi gatal. Lalu dengan mengelap bagian gatal pakai tisu basah, supaya keringatnya bisa dihilangkan. Tapi hal itu tidak memungkinkan.

  • Jika berhenti jalan, otomatis saya menghalangi orang-orang di bawah yang sedang bergegas naik mengejar matahari terbit dari ketinggian bukit. Lereng bukit itu beneran terjal, nggak bisa sembarang pindah jalan buat naik. Satu-satunya jalan hanya yang sedang kami lewati saat itu. 
  • Mengelap badan dengan tisu basah juga nggak mudah. Agak sulit untuk berdiri tegap di tanjakan. Lagipula tidak mungkin buka baju supaya bagian-bagian yang gatal bisa dilap. Masa iya telanjang depan orang-orang haha. Saya pakai celana panjang yang ditutup rok, juga pakai mantel. Kalaupun terpaksa dibuka, perlu durasi buat membuka semua itu. Lagian repot lah ngelap-ngelap di tanjakan. 
 
Berhenti gak bisa, ngelap badan pakai tisu basah juga gak bisa. Demi melancarkan orang-orang, saya memutuskan untuk terus nanjak sambil sesekali mengusap bagian yang gatal. Mengusap ya, bukan menggaruk. Saya terus nanjak, terus, terus, dan terus, sambil nangis (diam-diam). 

Fokus nanjak bikin saya tidak sadar telah terpisah jauh dari kawan-kawan yang berada di belakang. Entah pada berhenti di mana. Hanya saya dan Pak Deddy di atas, di tempat paling puncak.

Sadar perjalanan sudah bisa dihentikan, saya langsung duduk di atas rerumputan yang masih basah. Meluruskan kaki, menahan kedua tangan, dan kemudian memejamkan mata. Bukan mau tidur ya gaes haha, tapi menahan gatal. 

"Pak Deddy, saya mau istirahat sebentar."

Di tengah rasa gatal yang amat menggila itu, sejenak saya melupakan keinginan untuk melihat matahari terbit. Mood saya sudah berantakan.

Ternyata.....

Tak ada pemandangan matahari terbit, tapi saya sangat menikmati suasana pagi di sini.
 
Sampai puncak juga meski kegatalan haha

Awan Kelabu Menggantung di Langit Pagi

"Mbak Rien cepat amat jalannya, kami sampai ketinggalan," suara seseorang membuat saya membuka mata. Ternyata Alief dan beberapa yang lainnya. Sisanya masih di bawah, tidak lanjut sampai atas.

Saya gembira melihat kedatangan Alief. Jadi semangat lagi berburu pemandangan matahari terbit. Tapi sayang, alam semesta seperti tidak mendukung. Di hadirkannya awan kelabu. Penampakan sunrise tak sedikitpun muncul dalam pandangan. Bahkan, sempat turun gerimis kecil. Untunglah hanya sesaat.

Ada setitik kecewa, tapi kemudian langsung berganti syukur. Bagaimanapun, saya berhasil melewati kesakitan (gatal) dalam perjalanan ke puncak bukit. Toh pada akhirnya saya juga tetap bisa menyaksikan pemandangan indah di tempat ini, walau tanpa matahari terbit. 

Pak Deddy sangat baik. Beliau lah yang membantu perjalanan saya menanjaki bukit, termasuk menjadi fotografer selama saya di  Pulau Padar. Hal yang tak saya sangka ternyata Pak Deddy ini kenal dan bersahabat dengan Pak Andry Garu, pengusaha hotel terkenal di Labuan Bajo. Ketika saya bercerita bahwa saya adalah kenalan Pak Andry, tampak Pak Deddy hormat pada Pak Andry. 

Mood saya perlahan membaik, rasa gatal semakin berkurang. Seiring dengan itu awan kelabu perlahan menyingkir, berganti putih berlatar langit yang mulai terlihat biru. 

Dalam keadaan tenang, alergi itu memang pergi. Tetapi, hanya sementara.....

Awan kelabu pergi, pemandangan indah tersaji

Kain tenun NTT yang saya beli di Labuan Bajo jadi properti terbaik ketika berfoto di sini

Berada di antara rumput dan bunga-bunga liar ini malah nggak gatal 😁

Gatal Pergi Untuk Kembali

Saya hanyut dalam pesona Pulau Padar. 

Semua yang saya lihat, rasa, dan dengar di tempat ini, membuat saya merasa sangat bahagia. Pantai-pantai nan elok, deretan pulau dengan berbagai bentuk dan pola, lautan dengan airnya yang berwarna hijau kebiruan, rumput liar yang menyelimuti seluruh permukaan bukit, udara yang teramat bersih, debur ombak yang terdengar di kejauhan, pasir yang begitu lembut, dan sinar matahari yang memeluk dengan begitu hangat, semuanya membuat saya tertawan.

Padar menyenangkan hati, menenangkan jiwa. 

Rasanya, tak mau berhenti menekan tombol shutter kamera. Seolah semua harus saya abadikan agar apa yang saya lihat langsung saat itu bisa jadi foto untuk saya lihat lagi di kemudian hari. 

Selama mengambil foto dan difoto, rasa gatal itu sudah hilang. Namun tak disangka kembali datang saat dalam perjalanan pulang. Seluruh kegembiraan dan kebahagiaan kembali diambil alih oleh alergi. Dan saya mulai meringis lagi, diam-diam. Ya kali teriak-teriak, bisa-bisa gempar se-Padar 😂

Yang terpikirkan kemudian adalah secepatnya pulang ke kapal. MANDI! 
Pak Deddy, tour guide kami

Teman trip 1 rombongan 

Hal-Hal yang Membuat Gatal

Saya tahu apa pemicunya, tapi saya tidak tahu kapan gatal bakal datang, sebab dengan pemicu yang sama, tidak selalu menimbulkan gatal.

  • Jalan kaki
  • Lari
  • Naik sepeda
  • Naik motor
 
Kalau sekedar jalan, lari, naik sepeda, atau naik motor saja, belum tentu kegatalan. Biasanya ada faktor penyerta, seperti:

  • Keringatan
  • Kena sinar matahari
  • Kena angin
  • Jarak jalan kaki kejauhan (1 kilo pun buat saya sudah kejauhan)
  • Kondisi tertentu pada jalan yang dilalui saat bersepeda / bermotor. Misalnya berbatu atau berlubang. Getaran maupun lonjakan yang terjadi menyebabkan gatal
 
Hal-hal yang saya lakukan bila sudah mulai terasa gatal:

  • Berhenti jalan / lari
  • Berhenti sepedaan / motoran
  • Mengelap badan dengan tisu basah, khususnya bagian yang gatal dan paling banyak keringat
  • Segera mandi
 
Tidak terjadi gatal bila: 
  • Jalan pelan dan dekat
  • Naik motor di jalan mulus
  • Naik sepeda tidak terlalu lama
  • Tidak keringatan dan tidak kena hembusan angin
Bule-bule kepanasan dan keringatan bisa buka baju. Kalau emak-emak? Bisa-bisa gempar se-Padar😂


Sembuh !

Pukul 9 kami sudah di jetty, naik sekoci, kembali ke kapal. Selama dalam perjalanan naik sekoci saya masih merasakan gatal meskipun sudah tidak separah sewaktu masih di bukit. Keringat dan angin yang menerpa di antara kencangnya laju sekoci, membuat rasa gatal itu masih bertahan. Namun saya masih menahan untuk tidak garuk-garuk badan.

Sesampainya di kapal, saya minta ijin sama yang lain untuk duluan mandi. Di kapal hanya ada 2 kamar mandi, jadi kami harus bergantian. Setelah mandi, berganti pakaian, barulah saya merasa tenang kembali. Semua rasa gatal telah pergi bersama air yang mengalir membasahi tubuh. Alhamdulillah.

Perjalanan wisata masih panjang. Kapal akan terus berlayar. Kegiatan yang akan kembali membuat saya berjalan, kena angin, keringatan, masih akan terjadi. Tapi saya tidak berhenti. Tak ingin dikalahkan oleh alergi.
Nikmatnya makan di kapal bersama kawan, nikmatnya perjalanan


Jadi, bagaimana menurutmu kawan? 

Apakah setiap yang indah-indah dari cerita perjalanan adalah tanpa kesakitan atau pun ketakutan di baliknya?

Saya mengalami hal-hal tak enak dalam melakukan hobi. Takut hantu di hotel, takut gatal di jalan, itu sudah biasa. Tapi saya tidak menyerah. Karena,

Sedikit gatalnya, banyak serunya.  
Sedikit saja gak enaknya, lebih banyak senangnya 😃


-----------------------
Cerita sailing komodo ini juga bisa dibaca pada tulisan saya yang lainnya: