Tampilkan postingan dengan label kuliner palembang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kuliner palembang. Tampilkan semua postingan

Libur Tahun Baru 2021 Blusukan di Kebun Buah di Muara Enim Sumsel

Libur tahun baru
Libur Tahun Baru 2021 


Berkendara mobil dari BSD Serpong - Lampung - Palembang - Prabumulih hingga ke Muaraenim SUMSEL di ujung tahun 2020 bukanlah sebuah rencana yang kubuat sejak jauh hari. Kami bahkan sudah membayangkan di rumah saja saat pergantian tahun, tetapi Tuhan seperti menunjukkan jalan dan kemudahan sehingga aku dan keluarga bisa berangkat bersama menuju kampung halaman hanya dengan persiapan 3 hari saja sejak kesempatan untuk pergi itu ada. 

Tujuan dari roadtrip ini sudah kuceritakan pada tulisan yang aku posting sebelumnya berjudul Naik Kapal Ferry Express Merak - Bakauheni (klik). Aku pulang untuk mengurus surat-surat kebun buah, tanah, dan rumah peninggalan orang tua. 

Mengunjungi Kebun Buah Duku dan Durian, Menengok Kebun Karet

Berangkat di musim libur bersiaplah untuk dilabeli bepergian untuk berlibur, meskipun kenyataannya ada urusan keluarga yang mendesak untuk diurus di kampung halaman. 

Sebagai anak tunggal dari bapak ibuku, aku pewaris satu-satunya harta dari kakek yang diwariskan ke bapak. Ya, selagi saudara kandung bapak masih hidup, meski telah tua tapi masih bisa bersaksi atas apa-apa yang menjadi hakku.

Berurusan dengan kebun, otomatis kami pergi ke tempat yang jauh dari keramaian. Pergi ke mana lagi kalau bukan ke kebun itu sendiri. 

Kebunku berdampingan dengan kebun-kebunnya saudara bapak. Ada kebun duku, durian, dan ada karet. Sayangnya tahun ini duku dan durian tidak berbuah, padahal saat aku tidak pulang, tanaman-tanaman itu berbuat lebat dan berpeti-peti dikirim ke pasar induk di Kramatjati pakai truk besar melintasi Selat Sunda.

Mungkin bakal buah pada sembunyi takut corona? he he. Entahlah.

Aku punya bapak sudah lama tiada, meninggal sejak aku masih berusia 15 bulan. Tak ada yang bisa kuingat dari almarhum.

Kakek, orangtuanya bapak, serta puyang orang tuanya kakek adalah orang dengan banyak harta berupa tanah di mana-mana. Kebun-kebunnya menghasilkan, dari dulu, makanya zaman mereka berangkat haji, biayanya ya dari kebun-kebun itu. 

Bagi orang kota apalah enaknya punya tanah di hutan sana, sunyi nggak ada yang bisa dilihat, padahal dari sanalah pendidikan terbiayai, makan tercukupi, rumah besar berdiri tegak, hidup sejahtera tanpa kekurangan.

Tak ada bunyi letusan kembang api, ataupun terompet berisik yang ditiup entah untuk apa. Aku hanya asyik motoran berdua suamiku di sini, menikmati aroma tanah yang diselimuti daun-daun tua yang gugur dan membusuk, suara-suara burung, daun-daun yang bergesekan ditiup angin, rumput-rumput basah, tanah becek, bahkan hewan pacet si penghisap darah.

Sebuah tempat yang telah 5 tahun tak kutengok. Pohon-pohon makin besar dan menua, seperti aku. 

01 Januari 2021 - Motoran di kebon

01 Januari 2021 - Kebun duku tua berusia satu abad

01 Januari 2021 - Kebun karet di tanah lama

Pohon Karet

Getah karet


Ziarah ke makam bapak bersama suami dan anak-anak

Waktu mudik yang singkat terasa begitu berharga, maka kugunakan untuk berziarah ke makam bapak. 

Anak-anak kuajak mengunjungi makam almarhum kakek mereka. Semoga menjadi pengingat bahwa mereka beruntung dianugerahi Tuhan memiliki kedua orang tua yang hidup dalam waktu lama, tidak seperti mamanya ini yang telah yatim sejak bayi. Dengan begitu kuharap mereka banyak bersyukur, menghargai waktu yang ada, dan memanfaatkan kebersamaan dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup.

Semoga Allah memanjangkan umurku dan suami, selalu sehat, supaya bisa lebih lama membersamai anak-anak kami, menjadikan mereka anak-anak yang taat dan bertakwa pada Allah SWT, serta kuat dan dewasa dalam mengarungi kehidupan yang keras dan amat singkat ini.

Semakin ke sini aku semakin memikirkan hidup, akan seperti apa pada akhirnya. Harapanku tentu saja, kelak bisa mati dengan baik, husnul khotimah.

Sungguh, awal tahun tidak terpikir olehku untuk hura-hura. Kalaupun terucap ingin jalan-jalan ke sana dan ke situ, tak ada yang lebih dalam dan berarti selain menyepi dengan cara seperti ini, berziarah ke makam bapak dan bersilaturahmi dengan keluarga orang tua yang masih ada.

Di sini, kerinduanku terobati.

Makam Bapak

01 Januari 2021

01 Januari 2021 - Ziarah

Pergi ke Hutan Karet, Berpapasan dengan Rotan dan Keladi

Ada banyak tempat wisata di Sumsel, tinggal pilih mana yang disukai, lalu pergi dan datangi. Tapi pandemi yang tak jua pergi, masih menjadi ancaman berat bagi kesehatan dan keselamatan hidup. 

Objek wisata populer bukanlah tempat aman, apalagi jika orang-orang berkunjung tanpa menerapkan protokol kesehatan. Orang lain santai, kitanya yang cemas. Gimana bisa bahagia kalau liburan dilanda kecemasan?

Tak kan berkurang rasa bahagia walau liburan di isi dengan blusukan ke hutan yang sunyi, tempat di mana kesenangan bisa didapat dengan menikmati udara segar tanpa polusi, sembari memanjakan mata dengan hijaunya hutan yang tak meminta bayaran kunjung.

Cerita tentang perkebunan karetku, adakah yang ingin membacanya bila kutulis di sini? Ah, lain waktu saja ya 😀

Ada hutan rotan di samping hutan karet. Rotan-rotan muda yang batangnya sering kukira bambu kurus, berwarna hijau. Tentu bukan kuning/coklat seperti yang sudah berbentuk kursi/meja di toko-toko mebel.

Kutemukan keladi seperti yang dijual di tempat tanaman hias. Kutemukan anak rotan yang kukira pohon sikas. Jika dipindah ke pot, dia akan naik kelas, kata orang-orang. Kelasnya tumbuhan ini ya di hutan, bukan di pot. 

Entahlah, saat menemukannya di hutan, aku malah tak ingin mencabutnya. Tak ingin kujadikan tanaman dalam pot. Sudahlah, mending aku beli yang sudah dijual saja. Yang di sini, biarlah tetap ditempatnya. 

Di sini kutemukan banyak buah karet. Saat kuposting fotonya di IG, orang-orang berkomentar tentang masa kecil mereka yang suka memainkan buah karet itu. Aku berusaha mengorek kenangan tentang buah karet, tapi tak kutemukan apa-apa. Apa aku tidak pernah main buah karet?

Kucari kenangan kala SD, yang ada malah ingatan tentang kebahagiaan membaca buku di perpustakaan sekolah. Iya, dulu aku bersekolah di YKPP, sekolahnya anak-anak pegawai Pertamina. Perpus SD ku sangat besar dan penuh buku bermutu. Karya-karya Enid Blyton jadi santapanku sehari-hari, kubaca di waktu istirahat. Perpus itu bagaikan taman yang indah, bunganya adalah buku-buku dan majalah. 

Karena masa kecilku banyak bermain dan bergelut dengan buku bacaan, bukan di kebon, maka tak ada kenangan akan buah karet.

02 Januari 2021 - Kebun Karet

02 Januari 2021 - Kebun Karet

02 Januari 2021 - Hutan Rotan

02 Januari 2021 - Anak Rotan

Keladi

Buah Karet

Belanja Oleh-oleh di Pempek Candy

Tgl. 3 Januari 2021 adalah hari terakhirku di Sumsel. Beberapa urusan penting telah selesai tepat waktu, dan kami bisa kembali ke BSD dengan lega.

Tentu tak elok bila tak membawa oleh-oleh untuk keluarga di Jakarta, terutama keluarga ibu mertuaku. Jadi, mereka akan kubelikan makanan khas Palembang, pempek dan kerupuk.

Pergi ke kota tak elok pula rasanya bila tak menyapa kawan-kawan yang kukenal. Jadi, kuhubungi Deddy Huang dan Haryadi Yansyah aka Om Nduut. Kubilang aku ingin jumpa dengan mereka di tempat oleh-oleh yang ada tempat makannya.

Bukan aku tak tahu ada Pempek Candy, Pempek Pak Raden, Pempek Beringin, atau pempek lainnya. Tapi, aku ini sudah lama tak kelayapan di Palembang. Tentu sudah banyak ketinggalan info-info tempat makan yang baru dan sedang hitz.

Deddy membantuku dengan mudah, dikiriminya aku alamat Pempek Candy Ruko di Jalan Kapten A Rivai No.402, 26 Ilir D. I, Kota Palembang. Maka, ke sanalah aku menuju pada Minggu pagi tgl. 3 Januari 2020.

Pagi itu jalanan lengang, Mas Arif seperti menyetir di jalan tol, melesat dengan kecepatan cahaya. Tahu-tahu kami sudah di Palembang. Yayan sudah standby, sedangkan Deddy masih tidur. Halah 😂

Akhirnya, aku pergi mencari toko pakaian mencari sarung buat Alief. Ceritanya, si Alief ketinggalan sarung di rumah neneknya. Nah, karena dia selalu celana pendekan selama roadtrip, salatnya butuh sarung. Pas tahu ketinggalan, dia langsung bersikeras harus beli sarung. Demi salat yang dia jaga, aku pun bertekat harus menemukan sarung. Kami ke Transmart, di sana ga ada. Trus ke mall, ga ada juga. Ya udahlah akhirnya terpaksa bongkar tas yang sudah disusun rapi di bagasi, cari celana panjang yang ada. Biar tetap bisa salat.

Di Pempek Candy, aku gak cuma ketemu Yayan dan Deddy, tapi dengan Yuk Tika juga. Hore. AKu seneng! Dan semakin senang karena Yayan dan Yuk Tika membawakanku oleh-oleh kerupuk dan kemplang. Masing-masing 1 kantong! Wuaaah! Thank you!

Mas Arif janjian dengan kawan-kawan kuliahnya, tapi hanya Kak Kiki yang bisa datang. 

Di sana kami makan siang. Aku memesan beberapa menu, mulai dari Pindang Tulang Iga, Ayam Goreng Kampung, Mie Celor, Model, Lenggang, Pempek Panggang, hingga Es Kacang Merah. 

Sibuk dan asyik ngobrol sama Yayan, Deddy dan Yuk Tika, aku lupa motret semua makanan-makanan itu haha. Tapi tak apa, ngobrol lebih enak dari pada motret. Jarang ketemu mereka juga kan.

Waktu terasa begitu singkat untuk bertemu. Saat Mas Arif mengingatkanku untuk mulai melanjutkan perjalanan menuju Jakarta, kami pun berpamitan, dan berpisah di sana. Moga bisa jumpa lagi di waktu dan kesempatan yang lebih baik, dan saat itu corona sudah pergi tanpa sisa. Aamiin.

Palembang 3 Januari 2021 - Deddy, Yayan, Yuk Tika

Mas Arif dan Kak Kiki

Alief dan papanya

Mie Celor

Pempek Panggang

Es Kacang Merah


Total hanya 4 hari di Sumsel. 2 hari di perjalanan, 2 hari mengurus kebon sambil silaturahmi ke keluarga, tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan.

Tak semua sempat kami kunjungi karena keluarga ada di beberapa tempat berbeda yang tidak semuanya bisa dijangkau dalam 2 hari yang amat padat.

Alhamdulillah. Allah perjalankan kami dengan lancar dan Allah mudahkan urusan kami di sana✨

Tanpa sadar, keinginanku tahun lalu pulang kampung halaman untuk berziarah, bertemu para tetua dan memiliki tambahan penghasilan, tercapai di awal tahun 2021. Semoga keinginan-keinginan baik lainnya juga dimudahkan😇

Allah selalu ada dalam setiap langkah ❤️ 



Liburan Akhir Pekan di Palembang Bersama Keluarga

Palembang sangat berkesan bagi Mas Arif. Tempat dimana dia pernah tinggal lama untuk studi. Di kota ini dia punya banyak teman dekat, juga punya satu keluarga angkat. Semuanya masih ada dan masih berhubungan baik sampai kini. Meski masa kuliah telah lama berlalu, tapi kecintaannya pada Palembang masih kuat. Bahasa Palembang masih lancar. Semua kuliner khas Palembang pun masih jadi kesukaan.

Bulan April ini, Palembang jadi pilihan Mas Arif untuk membawa kami jalan-jalan. Ceritanya dia ultah (saya ga usah sebut tgl nya, ya), mau traktir-traktir keluarga. Bukan untuk merayakan, tapi sebagai tanda syukur dan bahagia karena masih punya usia sehingga masih bisa berkumpul bersama keluarga yang dicintai. Kalau soal traktir, tiap hari di rumah juga ditraktir berkali-kali :D 


Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang

Nah, kenapa Palembang? Katanya, kalau masih sekitaran BSD saja, atau katakanlah Jabodetabek, sudah biasa. Sesekali cari yang beda. Jauh di luar kota. Dan kota yang dipilihnya adalah kota yang pernah memberinya banyak kenangan.

Rencananya, Mas Arif mau ajak kami makan berbagai jenis makanan khas Palembang di beberapa tempat yang sudah direkomendasikan teman. Nama-nama makanan dan nama-nama tempat sudah kami catat. Terealisasi semua atau tidak, itu urusan nanti. Tidak semua harus sesuai list, kan? Mana yang mudah ketemu saja. Santai pokoknya. Karena di Palembang cuma buat makan-makan, kami tidak perlu lama-lama. Dua hari cukup. Pergi Sabtu pagi, pulang Minggu malam. 



Humayra dengan latar belakang Menara Jembatan Ampera

Ditraktir Kompasianer Palembang di Pempek Beringin

Sampai di Palembang, niat Mas Arif mau traktir-traktir, malah dia yang ditraktir orang. Kok bisa?

Hari pertama tiba di Palembang (Sabtu 29/4/) kami tidak langsung meluncur ke tempat-tempat kuliner, melainkan ke Kampus Stisipol Candradimuka dulu. Di sana saya hadir sebagai salah satu pembicara dalam acara sharing tentang blogging. Acaranya berlangsung dari jam 1 siang sampai 5 sore. Setelah makan siang sekedarnya di rumah makan masakan Padang depan kampus, Mas Arif dan anak-anak meluncur ke hotel. Sedangkan saya masuk kampus, bersiap mengisi acara.

Sorenya, setelah acara di Stisipol kelar, yuk Elly Suryani (Kompasianer Palembang) mengajak saya dan beberapa kawan blogger lainnya makan di Pempek Beringin dekat PTC Mall. Bukan sekedar diajak, tapi ditraktir. 


Baca juga : Diskusi "Ngeblog itu Asyik" Bersama Kompasianer Palembang
 

"Ngeblog itu Asyik" bersama Kompasianer Palembang

Mas Arif dan anak-anak saat itu sedang otw ke Stisipol, mau jemput saya. Saya bilang ke Mas Arif agar menyusul ke Pempek Beringin saja, biar sekalian makan bareng. Anggap saja RM Pempek Beringin itu sebagai tempat pertama untuk memulai kulineran di Palembang. Kebetulan
di Pempek Beringin tersedia beberapa makanan yang memang sudah jadi incaran kami sejak dari Jakarta.  Cocok deh. Mas Arif setuju. Kami pun kulineran. Ai makan tekwan, Al makan pempek, dan Mas Arif makan Lenggang kesukaannya. Es Kacang merah idaman pun tak lewat dari pesanan. 

Saya bisa lihat Mas Arif dan anak-anak begitu menikmati makanan yang mereka pesan. Tampak senang dan puas. Mungkin memang beda kali ya rasanya kalau makan makanan Palembang di tempat asalnya. Lebih enak. Lebih terasa taste-nya. Lebih dapat feel-nya. 

Kecil-kecil makannya banyak ya :D

Makanan terenak di dunia!

Di RM Pempek Beringin Mas Arif berjumpa kedua kalinya dengan Yayan dan Dedi. Terakhir ketemu waktu jalan bareng ke Krui, Pesisir Barat Lampung. Pertama kali pula bagi Mas Arif ketemu dengan Maman, teman jalanku saat trip Festival Krakatau 2016 lalu. Mereka sudah saling follow di IG sejak sebelum bertemu. Bersama kami ada mbak Ira Hairida (blogger Palembang). Nah, mbak Ira ini ternyata adik tingkatnya Mas Arif waktu di Unsri.

Setelah makan-makan, ngobrol-ngobrol, dan satu persatu mulai pulang, saatnya bayar. Tapi kasirnya bilang, semua sudah dibayar oleh Yuk Elly, termasuk pesanan anak-anak dan Mas Arif. Padahal tadinya bagian suami dan anak-anak mau saya bayar sendiri, karena mereka kan bukan dari bagian acara Kompasiana :D 

Alhamdulillah kalau begitu. Rejeki. Terima kasih buat Yuk Elly dan Kompasiana Palembang. Lain kali gantian kami yang traktir ya :)

Mas Arif ketemu kakak-kakaknya :D

Kompal yang Kompak!

Menginap di Airy PIM Letkol Iskandar 1

Dari Pempek Beringin PTC Mall, kami sekeluarga meluncur ke Benteng Kuto Besak (BKB).  Suasana malam minggu di sana ternyata ramai. Sayangnya, belum ada 5 menit jalan-jalan di sekitar BKB, Ai minta pulang. Katanya ngantuk. Seharian sejak berangkat pagi dari Jakarta dia memang belum tidur. Tidak lama setelah bilang ngantuk, matanya beneran terpejam. Tampaknya benar-benar sudah tidak tahan lagi. Ai digendong oleh Mas Arif, dibawa ke mobil. Kami pun pulang, tidak jadi menikmati suasana di pelataran depan BKB lebih lama lagi.

Malam itu kami menginap di Airy PIM Letkol Iskandar 1 yang terletak di Komplek Ilir Barat Permai. Dengan menggunakan mobil pinjaman dari Kak Andi (teman akrab mas Arif), kami meluncur ke hotel. Mudah bagi Mas Arif untuk mencapai Airy PIM, karena lokasinya masih di kota. Cukup dekat dari kawasan Benteng Kuto Besak. 

Airy PIM Letkol Iskandar 1 Palembang

Kamar Airy saya pesan sekitar 3 minggu sebelum keberangkatan. Sengaja jauh-jauh hari agar pilihan kamarnya masih banyak. Ada 2 tipe kamar di Airy PIM yaitu Superior Twin dan Superior Double. Saya pilih yang double. Harga yang saya dapat Rp 290.700,- nett, tidak termasuk sarapan.

Ini bukan pertama kali saya memesan kamar Airy Rooms. Sebelumnya juga pernah memilih kamar Airy saat traveling ke Lampung. Alhamdulillah selalu cocok dengan kamarnya. Makanya di Palembang pun saya pesan Airy lagi sebagai tempat menginap. 


Baca juga: Menginap di Hotel Airy Tugu Adipura Lampung

Tipe Superior Double

Cara pesan kamar di Airy Rooms bisa lewat situs resminya di www.airyrooms.com, bisa juga lewat aplikasi ponsel.

Saya pesan Airy PIM Letkol Iskandar 1 lewat aplikasi Airy Rooms di Android. Saat ini pun sudah ada juga aplikasinya di App Store. Tak sampai 5 menit, pesanan diterima dan dikonfirmasi. Setelah melakukan pembayaran melalui ATM, Kode Pemesanan saya terima lewat email. Sangat mudah, bukan? Mengenai cara pembayaran, selain transfer bank (ATM), bisa juga dengan credit card.  

Airy Sunrise Meal

*Photo by Airy Rooms*

Airy PIM Letkol Iskandar 1 punya banyak kamar. Hotelnya besar. Dekat dengan pusat perbelanjaan Ramayana. Kedai makan juga banyak di sekitarnya. Tinggal jalan kaki sebentar kita bisa sampai di toko, rumah makan, bahkan mall. Jembatan Ampera, Masjid Agung, Monpera, Benteng Kuto Besak, semuanya dekat dari hotel. Jalan di depan hotel dilalui oleh angkutan umum seperti angkot dan bus. Ojek dan becak juga banyak lalu lalang.

Kami bermalam di Airy tanpa keluhan. Staff ramah dan layanan pun prima. Fasilitas di kamar seperti TV dan AC, kamar mandi dengan shower air panas, semua berfungsi dengan baik. Colokan listriknya juga banyak. Internet WIFI lancar. Tersedia pemanas air untuk membuat minuman. Yang tidak ketinggalan dari Airy adalah Airy Sunrise Meal berupa snack yang disukai oleh anak-anak.

Meski berada di Kota, suasana di dalam maupun di luar hotel tenang. Kami bisa beristirahat dengan nyaman dan tidur dengan nyenyak. Untuk akomodasi murah yang nyaman di Palembang, hotel Airy adalah pilihan yang tepat.

Airy Rooms - FO

Airy Rooms - Lobby

Airy Rooms - Lobby

Sarapan Burgo di Rumah Yayan

Minggu pagi (30/4) saya mulai berkemas. Anak-anak bergantian mandi. Setelah itu kami langsung check-out. Rencana ketemu Yayan dan Mbak Tati di Jaka Baring tidak jadi karena urusan berkemas ternyata tidak bisa sebentar :D

Kami keluar hotel jam 8, belum sarapan. Teringat Sabtu malam Yayan bilang mau ajak sarapan bareng dekat rumahnya, makanya kami sengaja pagi itu belum makan apapun. Perut dibiarkan kosong biar bisa banyak menikmati makanan yang akan kami beli di tempat yang Yayan maksud.

Saya janjian dengan Deddy ketemu dekat Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Setelah itu baru pergi sama-sama ke rumah Yayan di daerah Plaju. Meski dulu waktu kuliah mas Arif pernah kos di Plaju, tidak berarti Mas Arif masih hafal dengan seluk beluk jalan di Plaju. Jadi kami memang perlu Deddy untuk jadi penunjuk arah. 

Suasana pagi dekat Jembatan Ampera

Sebelum ke Palembang, Yayan sudah minta agar kami mampir ke rumahnya. Tentu dengan senang hati kami penuhi permintaan tersebut. Setulus hati Yayan yang meminta, setulus itu pula kami kami melangkah ke rumahnya.

Ah iya, pagi itu rencana untuk jajan sarapan dekat rumah Yayan tidak jadi. Yang ada malah diajak sarapan di rumahnya (rumahnya Yayan). Berarti kami bakal numpang sarapan :D

Ketika sampai, Yayan sudah berdiri di teras samping rumahnya, menyambut kami. Sesaat sebelum masuk, saya memandangi rumahnya yang besar, juga halamannya yang tak kalah besar. Penghuni rumah Yayan pasti banyak, itu yang terlintas dalam pikiran saat itu. Prasangka yang keliru, sebab setelah masuk saya mendapati rumahnya sepi. Hanya Yayan dan ibunya, serta ayahnya yang masih di lantai atas.

Di rumah Yayan, bareng Deddy Huang dan Mbak Tati

Yayan punya 1 orang kakak perempuan dan 2 orang adik. Tapi kakaknya tinggal di rumah lain. Makanya rumahnya sepi. Padahal kamarnya banyak. Mungkin karena itu Yayan memilih bergabung di couchsurfing (mungkin lho ya), menyediakan kamar-kamar di rumahnya sebagai tempat bermalam untuk teman-temannya sesama anggota couchsurfing. Tidak hanya tamu-tamu dari luar negeri, teman-teman Yayan dalam negeri pun saya lihat (di medsos Yayan) pernah bermalam di rumahnya. Dan itu GRATIS! Hmm…gratis tapi dengan syarat dan ketentuan kali ya.

Yayan mengajak masuk, mengenalkan ibunya pada kami. Ibunya Yayan cantik. Masih kelihatan muda. Wajahnya Yayan mirip ibunya. Bedanya, ibunya putihan, anaknya...(ga tega nulisnya) :))

Ibu Yayan meminta kami untuk langsung ke meja makan. Mungkin tahu kami sudah menahan lapar belum sarapan sejak pagi. Saya malu sebenarnya. Baru datang langsung makan. Tapi apa daya, perut memang sudah minta diisi. Terpaksa rasa malu ditanggalkan dulu, ntar pas pulang dipasang lagi malunya *lol. Lalu jadi ingat kalau saya datang ke rumah Yayan dengan tangan kosong. Lupa bawa buah tangan! Iiiih…..*trus aku dijitak Mas Arif :p

Silaturahmi dengan Ayah dan ibunya Yayan

Melihat isi meja makan Yayan, saya merasa surprise! Menunya makanan khas Palembang semua. Ada burgo, kue srikaya, pempek, engkok, kemplang tunu dan satu lagi saya lupa apa namanya. Kenapa surprise? Karena saya tahu banget burgo itu makanan kesukaan Mas Arif. Setelah sekian lama tidak makan burgo, tiba-tiba di rumah Yayan sarapan burgo, senangnya pasti pake banget.

Bagi saya, burgo itu makanan istimewa. Dulu, kalau makan burgo mesti nunggu moment tertentu. Misalnya saat ada acara kawinan, lebaran, puasa, acara sunatan, ataupun moment spesial lainnya. Sekarang burgo sudah jadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Palembang. Tidak harus menunggu acara tertentu untuk membuatnya. Meski begitu, belum tentu juga ada yang jual. Kalau mau, biasanya mesti pesan dulu. Nah, pagi itu, burgo yang dihidangkan ibunya Yayan memang beli, tapi pesan dulu. Bukan yang dijual begitu saja. 


Menu sarapan yang menggiurkan

Burgo dipotong-potong dulu sebelum dimakan

Hanya satu yang fokus ke burgo :D

Burgo merupakan salah satu makanan yang kami masukkan dalam daftar kuliner yang harus kami cicipi di Palembang. Tak disangka ternyata kami malah mendapatkannya di rumah Yayan. Alhamdulillah. Makanan yang mestinya buat jadi traktiran Mas Arif, ini malah dia yang ditraktir oleh Yayan :D

Akhir Pekan yang Berkesan

Berkunjung ke rumah Yayan, bertemu ibu dan ayahnya, merupakan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Ditambah sarapan bareng menikmati lezatnya cita rasa makanan Palembang bersama Deddy, Mbak Tati, Mas Arif, Al, dan Ai,  membuat silaturahmi di hari Minggu pagi itu jadi sempurna. 

“Keluarga Yayan mengingatkanku pada keluarga angkatku semasa kuliah, Ma,” ucap Mas Arif saat kami dalam pesawat dari Palembang menuju Jakarta.

Silaturahmi selalu mengindahkan rasa. Mendekatkan yang jauh, mengakrabkan yang dekat. Semoga kebaikan keluarga Yayan dalam menjamu kami, mendapat balasan yang berlebih dariNya. 

Indahnya silaturahmi

Kami tidak berlama-lama di rumah Yayan karena hari itu kami akan jalan  ke beberapa tempat, mengunjungi Al Quran Ukir Terbesar di Dunia di Gandus, Museum Balaputera Dewa, dan Rumah Limas. 

Meski hanya 2 hari di Palembang, tapi sangat berkesan. Alhamdulillah anak-anak dan suami pun senang. Saya juga senang bisa menutup bulan April dengan jalan-jalan bahagia bersama keluarga. Semoga diberikan rejeki lagi agar bisa jalan-jalan ke kota lainnya juga. Aamiin

Cerita jalan-jalan di Palembang, serta pengalaman jadi pembicara di acara Kompasiana “Ngeblog itu asyik” akan saya tulis pada postingan lainnya. Masih mau baca, kan? :)


Palembang nyaman di hati. Yuk ke Palembang ^_^

Menyisir Sungai Musi, Menelisik Sejarah Kota Palembang

wisata palembang

Tulisan berikut ini dimuat di inflight magazine XpressAir edisi Nopember 2016. Foto-foto dalam tulisan saya ambil saat mengunjungi Palembang pada bulan Mei 2016. Saat itu saya dan rekan-rekan blogger diundang ke Palembang oleh disbudpar Palembang untuk menyaksikan Musi Triboatton 2016, sekaligus berwisata menjelajah Sungai Musi.

====================================


Menyisir Sungai Musi, Menelisik Sejarah Kota Palembang

Kami menyisihkan waktu sehari untuk melayari Sungai Musi. Menghayati legenda cinta Pulo Kemaro. Mengenal sejarah Kampung Arab al-Munawar. Mencicipi kuliner lokal di warung terapung. Dan, menatap lanskap jelita Kota Palembang dari Jembatan Ampera.

Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan beragam kebudayaan dan karakter. Tak hanya mewariskan peninggalan berupa benda-benda bersejarah, tetapi juga karya budaya yang tak kalah bernilai.

Keberadaan Sungai Musi yang menjadi nadi kehidupan warga Palembang menambah kekayaan wilayah ini. Sungai dengan panjang aliran mencapai 750 kilometer menjadi saksi keberadaban dan kebudayaan khas Sumatera selatan. 

Jembatan Ampera

Berperahu di Sungai Musi
Berperahu adalah cara terbaik untuk menikmati wisata sungai yang menjadi jualan utama kota yang pernah dijuluki Venice of The East. Titik keberangkatan bisa dimulai dari dermaga 16 Ilir bawah Ampera atau dermaga Benteng Kuto Besak. Kami menyewa perahu mesin bertarif Rp 200.000,- dengan tujuan Pulau Kemaro dan Kampung Arab al-Munawar.

Jumlah kami sepuluh orang, sesuai batas maksimum kapasitas perahu. Cuaca sedang secerah kaca, kami pun duduk tenang di atas perahu, ditemani awan berarak dari utara yang melaju penuh. 

Saya, duduk di depan agar puas menikmati angin segar.
 
Dermaga 16 Ilir

Beberapa kali perahu terayun-ayun terkena terjangan ombak saat berpapasan dengan speedboat lain yang melaju lebih kencang. Tak jarang cipratan air mengenai wajah dan badan. Sedikit cemas, tapi tetap banyak senangnya berlayar di sungai yang lebar. 

Dari dalam perahu, saya dapat melihat kehidupan sehari-hari warga bumi Sriwijaya, deretan rumah tradisional, kapal-kapal besar milik PT.Pusri, hingga pelabuhan Bom Baru Pelindo yang menjadi pelabuhan sungai terbesar di Sumatera.

Kapal-kapal besar melintas. Perahu-perahu kecil lalu lalang. Warna cokelat air Sungai Musi, rumah-rumah dan pepohonan di tepian menambah keeksotisan sungai yang jadi ikon provinsi. Tak hanya itu, langit biru dan awan seputih kapas menjadi kombinasi warna yang cantik. Sepanjang perjalanan, saya nyaris tak henti menekan tombol shutter kamera.

Pelabuhan Bom Baru IPC

Perahu ketek (getek) ini sempat mati mesin di tengah sungai :D

Legenda Cinta Pulau Kemaro
Pulau Kemaro terletak pada sebuah delta di tengah-tengah Sungai Musi, sekitar 6 kilometer dari Jembatan Ampera. Kami menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk mencapainya. 

Dari perahu yang masih melaju di atas sungai, menara pagoda sudah terlihat, menjulang di antara rimbun pepohonan. Perlahan perahu merapat di dermaga, kami pun berlompatan turun, jalan kaki meniti jembatan merah menuju daratan pulau. 

Pintu gerbang Pulo Kemaro

Jalan menuju pintu gerbang Pulo Kemaro

Kebudayaan Cina terasa sangat kental ketika memasuki pulau. Terlihat dari arsitektur dan dominasi warna merah pada gerbang Pulo Kemaro, bangunan Klenteng Hok Tjing Rio dan pagoda bertingkat sembilan. 

Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im dibangun sejak tahun 1962. Tempat ini biasanya dikunjungi oleh mereka yang ingin melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan masyarakat Cina. Wisatawan seperti kami tidak diijinkan masuk dan naik pagoda, kecuali di lantai dasarnya saja yang memang terbuka. 

Di depan Klenteng, difoto oleh Wira Nurmansyah

Kata “kemaro’ berasal dari bahasa Palembang yang berarti kemarau. Menurut masyarakat setempat, walaupun Sungai Musi sedang meluap, pulau tidak akan tergenangi air. Udara di pulau cenderung sejuk, karena di sini  banyak tumbuh pohon besar dan rindang. 

Terdapat pula warung jajan yang menyediakan banyak kursi. Cocok untuk beristirahat sambil menyeruput air kelapa muda segar yang disediakan penjual.

Tempat jajan di Pulo Kemaro

Pulau Kemaro juga dikenal sebagai pulau cinta. Konon, pulau ini timbul setelah terjadinya kisah tragis yang menimpa putri raja Palembang -Siti Fatimah dan saudagar kaya raya Tionghoa- Tan Bun An. Nah, makam kedua orang inilah yang kami jumpai di Pulau Kemaro. 

Kisah putri dan pangeran tersebut tertulis pada prasasti yang diletakkan dekat bangunan klenteng. Dibuat oleh Disparbud Kota Palembang pada tahun 2009. 

Terbaca nggak tulisannya?

Kini Pulau Kemaro sedang dikembangkan menjadi Eco-Park dan Eco-Tourism. Telah dibangun bungalow yang nantinya dikelilingi oleh sawah dan rawa yang asli sehingga suasana lingkungan bungalow akan asri bagaikan di pedesaan. Akan dibangun juga Historical Park, taman burung, plaza, jalur pedestrian, dan sebuah jembatan yang menghubungkan antara daratan dan Pulau Kemaro. 

Dengan pengembangan tersebut, bukan tak mungkin nantinya berwisata ke Pulau Kemaro  akan menjadi pengalaman menarik yang tidak biasa bagi wisatawan lokal, nasional, maupun internasional.

Pagoda bertingkat sembilan

Kampung Arab al-Munawar
Perahu berlayar ke arah hulu, melaju tertatih melawan arus. Kami menuju Kampung Arab al- Munawar yang terletak di kawasan 13 Ulu, salah satu kampung Arab paling termasyhur di Indonesia. Untuk mencapai lokasi kampung Arab bisa melalui dua jalur. Jalur pertama lewat darat, jalur kedua lewat jalur sungai dengan menggunakan perahu seperti kami.

Sesampainya di daratan, kami melewati jalan tidak lebar menuju sebuah lapangan, pusat Kampung Al Munawar. Orang pertama yang kami jumpai adalah Muhammad al-Munawar, Ketua RT yang juga merupakan generasi keenam keturunan langsung leluhur kampung: Habib Hasan al-Munawar. Darinya kami memperoleh banyak cerita.

Medekati Kampung al-Munawar
Salah satu rumah dalam foto ini pernah dipakai untuk syuting film "Ada Surga di Rumahmu"

Sebagai kawasan tua di Palembang, Kampung Arab memiliki delapan rumah tua berusia lebih dari 250 tahun. Ada rumah panggung tradisional bergaya limas, ada pula rumah dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Eropa. 

Meski sudah tua, tapi rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri sampai kini. Nuansa vintage dan eksotis dari Kampung Arab ini membuat saya bagai tersedot ke masa lalu.

Rumah tua berusia lebihh dari 250 tahun

Salah satu Rumah Limas tua berusia ratusan tahun

Sebagian besar rumah tua telah dihuni secara turun-temurun, sehingga lumrah bila di satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Pak Muhammad al-Munawar mengajak kami melongok ke dalam rumah Ibu Lathifah al-Kaab, yang masih satu garis keturunan dengan Pak Muhammad. 

Ibunya Bu Lathifah bermarga al-Munawar. Namun karena menikah dengan pria bermarga al-Kaab, Bu Lathifah dan seluruh saudaranya menyandang nama keluarga al-Kaab.

Muhammad al-Munawar

Anak-anak tampan Kampung Arab :)

Rumah Bu Lathifah merupakan salah satu dari delapan rumah asli Kampung al-Munawar yang dibangun di era Habib Hasan. Berusia nyaris 300 tahun. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak Habib Hasan, dan kemudian menjadi cikal-bakal kampung. 

Di salah satu dinding rumah terpajang silsilah keluarga. Nuansa Eropa terlihat dari pintu-pintu dan jendela berukuran besar dan tinggi. Bahkan, lantai rumahnya bukan marmer biasa, melainkan granit yang didatangkan langsung dari Italia. 

Foto-foto di dinding yang menunjukkan silsilah keluarga

Rumah lawas bernuansa Eropa dan Timur Tengah. Granitnya didatangkan dari Italia

Dinamakan Kampung Arab karena awalnya di sinilah para pedagang-pedagang arab bermukim. Di masa lampau Habib Abdurrahman al-Munawar adalah tokoh yang dihormati. Beliau adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam pertama kali di kawasan ini. Namanya kemudian dijadikan nama kawasan di Kampung Arab.

Kampung al-Munawar dihuni oleh sekitar 30 kepala keluarga. Pada umumnya penduduk kampung berprofesi sebagai pedagang. Di pusat kampung terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar, tempat belajar anak-anak Kampung Arab al-Munawar dan sekitarnya. Di sini murid sekolah diliburkan pada hari Jumat, tetapi tetap masuk pada hari Minggu. Sebagaimana kampung tua, bangunan madrasah juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik. 

Sekolah MI Al Kautsar

Palembang adalah kota tua yang bangga. Kampung al-Munawar tak hanya memesona dari segi bangunan lawasnya, tapi juga dari rekam sejarah dan budaya. Komunitas Arab adalah bagian dari kekayaan sejarah, budaya, dan intelektualitas kota Palembang, mereka telah memberi banyak andil dalam perkembangan kota Palembang.

Kami hanya satu jam di Kampung Arab. Tapi pengalaman yang didapat sulit untuk dilepas. Saya nyaris tak henti mengagumi keindahan bangunan-bangunannya, mendengarkan cerita-cerita seru tentang para penduduknya, melihat keceriaan anak-anak kecilnya, juga merasakan kehangatan dan senyum warganya. 



Sensasi Kulineran di Warung Terapung
Jelajah Sungai Musi berlanjut jelajah rasa. Kulineran di mana? Tidak ke mana-mana, masih di sekitaran sungai saja. Wisatawan seperti kami patut bersukacita karena pinggiran Sungai Musi kini telah disulap menjadi tempat rekreasi lengkap dengan warung, kafe dan restoran yang menyediakan makanan khas Palembang. 

Warung apung dekat dermaga 16 Ilir bawah Jembatan Ampera jadi pilihan. Ada tiga warung apung, semuanya menyajikan menu pindang pegagan, salah satu kuliner andalan Palembang selain empek-empek. Warung apung berbentuk seperti kapal tapi berukuran kecil. Kami masuk ke salah satu warung, namanya Warung Mbok Mar. 

 
Muatan warung sekitar 25 orang saja. Di dalamnya terdapat meja panjang dengan kursi-kursi menghadap ke sungai. Di sinilah letak daya tariknya, sambil makan saya bisa memandangi kemegahan Jembatan Ampera yang membentang di atas sungai. 

Saat perahu dihempas ombak, warung bergoyang-goyang. Sensasinya seakan seirama dengan goyangan lidah yang asyik menikmati lezatnya pindang.



Masakan pindang merupakan salah satu kuliner yang wajib dicoba di Palembang. Sebetulnya, masakan pindang juga bisa dijumpai di daerah lainnya. Tetapi, pindang tiap daerah punya cita rasa yang berbeda. Masing-masing punya kekhasan, baik bahan maupun cara pengolahan. Begitu juga dengan pindang Palembang. 

Di Warung Mbok Mar, kami bersantap dengan menu pindang patin, baung, dan gabus. Lengkap dengan sambal dan lalapan segar. Bagaimana rasanya? Bukan main sedapnya.



Jelang senja, kami tak ragu mencoba kuliner khas Palembang lainnya. Empek-empek, tekwan, model, ragit, celimpungan, kue kojo, es kacang merah, martabak HAR, dan masih banyak lagi. Semua sajian khas itu seberagam budaya yang mengarungi rute Kerajaan Sriwijaya di masa silam. Sungguh, di Bumi Sriwijaya, kuliner bukanlah konsep semata, melainkan kebahagiaan ala wong kito.

Baca juga : Jelajah Kuliner Palembang

HOW TO GO
Xpress Air melayani rute Bandung-Palembang, waktu tempuh sekitar 1 jam. Dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, ada 3 pilihan transportasi menuju pusat kota, termasuk Jembatan Ampera, yaitu : taksi, bus Trans Musi, dan gojek. Ongkos taksi Rp 80.000 – Rp 100.000. Waktu tempuh 30 menit. Tarif bus Trans Musi Rp 5.000,- Waktu tempuh 1 jam. Ongkos gojek Rp 35.000 – Rp 40.000. Waktu tempuh sekitar 30-40 menit.

WHERE TO SLEEP
Hotel Batiqa Palembang terletak di lokasi strategis. Hanya berjarak 3,5 kilometer dari Jembatan Ampera. Pusat kota dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan motor atau 20 menit dengan mobil. Hotel Batiqa menawarkan kamar yang nyaman mulai dari Rp 475.000 (tanpa breakfast) dan Rp 525.000 (dengan breakfast). 

Kamar Batiqa Hotel Palembang yang saya inapi :)

WHERE TO EAT
Warung Terapung Mbok Mar menyajikan menu pindang dan sensasi makan di atas sungai. Malam hari, nikmati menu seafood dan kuliner Palembang di Restoran River Side dalam suasana bak kapal pesiar sambil memandang kemegahan Jembatan Ampera yang bermandikan cahaya. 

Jangan lewatkan kuliner legendaris Martabak HAR di Jalan Sudirman. Mie Celor HM.Syafei di Jalan KH. Ahmad Dahlan bisa jadi sarapan lezat di pagi hari. Empek-empek panggang Saga Sudi Mampir paling enak buat kudapan sore. Pempek Pak Raden di Jalan Sudirman cocok untuk oleh-oleh. 

Biar kekinian, singgahlah di Toko Harum. Banyak kue khas dan makanan Palembang tempo dulu, bahkan langka, tersedia di sana.

inflight magazine xpressair