Tampilkan postingan dengan label kampung arab al munawar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kampung arab al munawar. Tampilkan semua postingan

Menengok Dua Objek Wisata Religi Khas Wong Kito

Mengunjungi Objek Wisata Religi Kota Palembang

Palembang adalah kota tua yang layak berbangga diri. Di Kota yang pernah menjadi pusat peradaban Kerajaan Sriwijaya ini terdapat banyak objek wisata bernilai tinggi. Dua di antaranya adalah Museum Alquran Raksasa dan Kampung al-Munawar. Bagi wisatawan muslim seperti saya, kunjungan ini tentu tak hanya memberikan pengalaman yang berkesan, tetapi juga membekaskan nilai spiritual.

kampung al munawa
Kampung Arab al-Munawar Palembang
Museum Alquran Raksasa 

Bayt Al Qur’an Al Akbar merupakan mahakarya asli Wong Kito berupa Alquran yang dipahat di permukaan kayu tembesu berukuran panjang 177 centimeter dengan lebar 140 centimeter dan ketebalan 2,5 centimeter. 

Museum Alquran raksasa berlokasi di Jalan M. Amin Fauzi, Soak Bujang RT. 03 RW. 01, Kelurahan Gandus, Kecamatan Gandus, Palembang. Tepatnya di Pondok Pesantren Al Ihsaniyah Gandus Palembang. Bagi wisatawan yang berasal dari luar kota, akses menuju lokasi bisa dimulai dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Selanjutnya naik transportasi umum seperti Trans Musi, turun di Halte Jembatan Musi II, kemudian dilanjut naik angkot jurusan Gandus. 

Sesi terakhir perjalanan yang saya tempuh melewati jalan desa yang tidak mulus dengan pemandangan rumah-rumah yang berdiri di atas rawa. Setelah menemukan papan nama bertuliskan Pondok Pesantren Al Ihsaniyah, mobil belok ke kanan, lalu lurus. Tak lama setelah itu, kami pun sampai. Di kawasan ponpes yang didirikan oleh DR. H.Marzukie Ali ini terdapat area parkir dan pondok-pondok tempat penjualan cinderamata. Museum berada di seberang ponpes, bersebelahan dengan rumah pemiliknya. Untuk masuk, kami membayar tiket sebesar Rp 5.000 per orang.

Bangunan museum tampak seperti rumah tinggal pada umumnya. Namun, siapa sangka di dalamnya tersimpan karya seni yang mendunia. Setelah melepas alas kaki, saya memasuki museum. Di dalam, mata langsung disambut Alquran raksasa berbentuk lembaran kayu yang dipasang seperti jendela di bangunan bertingkat lima. Rasa takjub langsung memenuhi ruang hati. Terdengar lantunan ayat suci Alquran yang diputar dari MP3, membuat suasana museum kental dengan nuansa religi. 


alquran raksasa di palembang
Museum Alquran Raksasa di Palembang

Sekilas Sejarah Pembuatan Alquran Raksasa

Menurut sejarahnya, gagasan pembuatan Alquran terbesar tercetus pada tahun 2002 setelah Ustad H.Syowatillah Mohzaib merampungkan pemasangan kaligrafi, pintu dan ornamen Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Sebagai pecinta seni kaligrafi dan ukiran khas Palembang, serta demi kelestarian seni, gagasan tersebut dikerjakan dan akhirnya satu keping lembaran kaligrafi Alquran (Surat Al-Fatihah) berhasil dibuat. Tepat pada tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002, atas inisiatif H. Marzuki Alie dan pengurus Masjid Agung Palembang, satu keping Alquran raksasa yang terbuat dari kayu tembesu berukuran 177cmx140cm dengan ketebalan 2,5cm, dipajang pada acara bazar peringatan tahun baru Islam yang diketuai oleh H. Marzuki Alie sendiri.

Proses pembuatan Alquran ukir dikerjakan di kediaman Ustad H. Syofwatillah, di jalan Pangeran Sido Ing Lautan Lr Budiman, No. 1009 Kelurahan 35 Ilir Tangga Buntung Palembang. Awalnya, pembuatan Alquran raksasa diperkirakan selesai tahun 2004, tapi meleset dari target karena terkendala dana dan bahan kayu tembesu yang sudah mulai langka. 


Alquran ukir raksasa dibuat dengan tujuan utama untuk memuliakan Alquran dan mensyiarkan Islam. Supaya awet dan tahan lama, maka digunakanlah kayu tembesu. Sedangkan ornamen-ornamen ukiran khas Palembang dibuat untuk menambah keindahannya, sekaligus untuk mempromosikan budaya dan tradisi Kota Palembang dalam karya seni ukir yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Teknik pengukiran yang rumit dan tidak bisa dikerjakan sendirian, menyebabkan lamanya proses pembuatan. Proses pembuatan mendapat pengawasan yang ketat dan melibatkan berbagai keahlian personil dalam tim. Dari sebelum diukir di atas papan, ayat-ayat Alquran terlebih dahulu ditulis di atas kertas karton, lalu tulisannya dijiplak ke kertas minyak. Sebelumnya, tulisan ayat Alquran di atas karton dikoreksi dulu oleh tim pentashih yaitu para ulama ahli Alquran dan para hafidz sehingga jika terjadi kesalahan langsung diperbaiki. 


Pembuatan Al Quran Al-Akbar rampung pada tahun 2008. Ayat Alquran dari juz 1 hingga juz ke-30 berhasil diukir dalam 630 halaman atau 315 lembar kayu. Kurang lebih ada 40 meter kubik kayu yang digunakan. Biaya pembuatan keseluruhan menghabiskan dana sekitar 2 miliar. Peluncurannya dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2009 di Masjid Agung Palembang oleh Kepala Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan, H.Najib Haitami. Hadir dalam peluncuran para hafizh dan hafizhah se-Sumatera selatan.

Alquran ukir raksasa dipublikasikan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 30 Januari 2012. Peresmiannya bertepatan dengan momentum Konferensi Persatuan Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kota Palembang yang dihadiri oleh sekitar 51 negara Islam di dunia. Disamping peluncuran, dilakukan juga penandatanganan prasasti Al Quran Al Akbar di hadapan peserta konferensi PUIC. Seluruh peserta yang hadir saat itu sepakat menobatkan Al Quran Al Akbar sebagai satu-satunya Alquran terbesar di dunia dari jenis ukiran kayu.

Untuk melihat lebih banyak lagi lembaran kayu, kami masuk ruang galeri. Di balik lembaran kayu yang paling depan terdapat banyak lembaran kayu lainnya di bagian belakang. Beberapa pengunjung tampak berpindah dari lembar kayu yang satu ke lembar lainnya. Saat itu, pengunjung hanya bisa melihat-lihat galeri di lantai dasar. Tangga menuju lantai 2 dan 3 sedang ditutup, sepertinya terkait faktor keamanan.

Kemegahan dan keindahan Al Quran Al Akbar mengundang decak kagum bagi setiap pengunjung yang melihatnya. Tak heran bila Alquran raksasa ini menjadi terkenal di seluruh penjuru Tanah Air. Tak hanya Museum Rekor MURI saja yang memberi pengakuan, bahkan dunia internasional pun mengakuinya sebagai Alquran Ukir terbesar di dunia yang pernah ada saat ini. 


Kampung Arab al-Munawar

Kampung al-Munawar tak hanya memesona dari segi bangunan lawasnya, tapi juga dari rekam sejarah dan budaya. Komunitas Arab yang tinggal di kampung ini adalah bagian dari kekayaan sejarah, budaya, dan intelektualitas kota Palembang. Mereka telah memberi banyak andil dalam perkembangan kota Palembang.

Kampung Arab al- Munawar merupakan salah satu kampung Arab paling termasyhur di Indonesia. Terletak di Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang, atau di sisi bagian Ulu (Selatan) Palembang. Kampung ini tepat berada di pesisir Sungai Musi, tak jauh dari Jembatan Ampera. Untuk mencapai lokasi kampung Arab bisa melalui dua jalur. Jalur pertama lewat darat, jalur kedua lewat sungai dengan menggunakan perahu.

Saya berangkat menggunakan perahu sewa dari Dermaga 16 Ilir Palembang dengan waktu tempuh sekitar 10 menit. Kampung al-Munawar mudah ditemukan karena bagian tepinya yang menghadap ke sungai terpampang tulisan ‘al Munawar’ dan logo ‘Pesona Indonesia’. Ada pijakan kayu untuk mendaratkan kaki, semacam jembatan penghubung menuju daratan. Pagar hitam dan bangku-bangku kayu bercat oranye kecoklatan di jembatan bersanding dengan pot-pot bunga berbentuk kubus, menjadi bagian yang langsung menarik perhatian. 

Kampung Arab alMunawar

Ada rasa nyaman kala melihat bagian tepi sungai al-munawar yang tertata rapi. Nuansa tradisional dibalut dengan sentuhan modern membuat tempat ini menarik untuk dipandangi. Pada sebuah belokan, sebelum kaki menyentuh daratan, ada sebuah Musala yang lokasinya menjorok langsung ke permukaan sungai. Beribadah di sini tentu punya sensasi yang sangat berbeda. Sesampainya di daratan, kami melewati jalan tidak lebar menuju sebuah lapangan, pusat Kampung Al Munawar. Di sini, nuansa tradisional dan kota tua mulai terasa kental.

Di sekitar lapangan yang menjadi pusat kampung Arab terdapat rumah-rumah panggung berusia ratusan tahun yang memiliki keunikan berbeda antara satu dan lainnya. Salah satunya milik Pak Muhammad al-Munawar, Ketua RT yang juga merupakan generasi keenam keturunan langsung leluhur kampung: Habib Hasan al-Munawar. Cicitnya cicit Habib Hasan. Beliau adalah orang pertama yang saya jumpai di sini dan darinya saya memperoleh banyak cerita. 




Dinamakan Kampung Arab karena di sinilah awal para pedagang-pedagang arab bermukim. Sedangkan nama Al-Munawar diambil dari seorang tokoh yang dihormati warga setempat yakni Habib Abdurrahman Al Munawar. Ia adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di masa awal masuknya Islam ke Palembang. Bagi orang Palembang, nama al-Munawar sudah sangat familiar sejak dulu, tapi baru belakangan mulai ramai dikunjungi wisatawan. Tak hanya weekend, tapi juga weekdays.

Sebagai sebuah kawasan yang cukup tua di Palembang, Kampung Arab memiliki delapan rumah tua berusia hingga lebih dari 250 tahun. Terdapat rumah panggung tradisional bergaya limas, ada pula rumah dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Eropa. Rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri hingga kini. Rahasianya ada pada kayu yang dipakai sebagai material bangunan yaitu kayu Ulin. Nuansa vintage dan eksotis dari Kampung Arab membuat saya bagai tersedot ke masa lalu.



Sebagian besar rumah-rumah tua telah dihuni secara turun-temurun, sehingga lumrah bila dalam satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Pak Muhammad al-Munawar mengajak kami melongok ke dalam rumah Ibu Lathifah al-Kaab, yang masih satu garis keturunan dengan Pak Muhammad. Ibunya Bu Lathifah bermarga al-Munawar. Namun karena menikah dengan pria bermarga al-Kaab, Bu Lathifah dan seluruh saudaranya menyandang nama keluarga al-Kaab.

Rumah Bu Lathifah merupakan salah satu dari delapan rumah asli Kampung al-Munawar yang dibangun di era Habib Hasan. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak Habib Hasan, dan kemudian menjadi cikal-bakal kampung. Meski berusia nyaris 300 tahun, bangunan lawas dan eksotik ini masih tampak kokoh dan gagah. Nuansa Eropa terlihat dari pintu-pintu dan jendela yang berukuran besar dan tinggi. Bahkan, lantai rumahnya bukan marmer biasa, melainkan granit yang didatangkan langsung dari Italia. 

Salah satu rumah tua di Kampung al-Munawar



Terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar, tempat belajar anak-anak Kampung Arab Al Munawar dan sekitarnya. Sebagaimana kampung tua, bangunan madrasah tersebut juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik. Di Kampung ini, Jumat adalah hari libur, termasuk untuk kegiatan sekolah. Uniknya, di hari Minggu justru sekolah tetap berlangsung. Didekat madrasah juga terdapat sebuah klinik yang dikelola langsung oleh warga setempat.

Ada sekitar 30 kepala keluarga yang mendiami Kampung Al Munawar. Mereka semua mempunyai tali darah persaudaraan karena aturan yang tidak membolehkan mereka untuk menikah dengan orang di luar kampung. Namun aturan itu hanya berlaku untuk para perempuan saja. Para pria tetap boleh menikahi perempuan di luar kampung namun tetap saja darah Arabnya masih kental dari garis keturunan Ayah. Penduduk kampung Arab umumnya berprofesi sebagai pedagang.



Di masa lampau Palembang menjadi salah satu kota tujuan utama para pendatang Arab, selain Aceh dan Pontianak. Mereka adalah pendatang Arab yang benar-benar meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Palembang, bukan hanya mampir di pelabuhan Palembang dan menetap sementara. Para keluarga Arab telah menetap di Palembang sejak tahun 1732. Di antaranya adalah marga Al-Habsyi, Bin Syihab, As-Saqqaf, Al-Jufri dan Al-Munawar. Sebagian besar pendatang Arab di Palembang berasal dari keluarga Sayyid, yang diyakini sebagai keturunan langsung pendiri agama Islam.

Singkat kata, pendatang Arab yang tiba di Palembang adalah orang Arab dengan garis keturunan terhormat, dari kelas ekonomi menengah, dan terdidik dengan baik. Kombinasi ketiga hal ini yang membuat komunitas Arab di Palembang berkembang pesat secara ekonomi dan membuatnya menjadi sangat penting.



Kampung Al-Munawar dapat dikunjungi setiap hari. Untuk kegiatan wisata dapat dilakukan mulai dari jam 7:30 pagi sampai 5 sore. Hari Jumat adalah hari libur di kampung ini sehingga kegiatan wisata juga tidak diizinkan. Jika dulu bebas biaya, kini Kampung Al-Munawar sudah mematok tiket sebesar Rp 2.000 untuk tiap wisatawan yang datang berkunjung.

Nilai-nilai Islam menjadi atmosfer utama di Kampung Arab. Karena itu, para warga menyediakan sarung bagi laki-laki, serta penutup aurat bagi perempuan. Hal tersebut menunjukkan norma dan budaya kesopanan yang selalu dijaga, baik oleh warga setempat maupun wisatawan yang berkunjung. Dalam moment-momen khusus seperti Tahun Baru Islam, Maulid Nabi, dan Ramadhan, warga kampung Arab menggelar berbagai acara budaya seperti kesenian gambus. Inilah yang juga menjadikan Al-Munawar sebagai salah satu lokasi wisata religi terbaik di Palembang. 




Kampung Arab Al-Munawar tetap terjaga kelestariannya meskipun sudah berusia ratusan tahun. Sejak tanggal 11 Februari 2017, Kampung Al Munawar resmi sebagai destinasi wisata budaya dan religi di Palembang. Ke depannya, sejumlah rumah tua juga akan diplot sebagai homestay demi menyambut perhelatan Asian Games 2018 dan MotoGP. Kampung bersejarah nan unik ini termasuk luar biasa karena dari hulu dan sepanjang Sungai Musi, bergulir keberagaman budaya. Indonesia tentu bangga memiliki kampung al Munawar. 

Wisata Religi Khas Wong Kito dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017


**

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017
Semua foto oleh Katerina www.travelerien.com

Menyisir Sungai Musi, Menelisik Sejarah Kota Palembang

wisata palembang

Tulisan berikut ini dimuat di inflight magazine XpressAir edisi Nopember 2016. Foto-foto dalam tulisan saya ambil saat mengunjungi Palembang pada bulan Mei 2016. Saat itu saya dan rekan-rekan blogger diundang ke Palembang oleh disbudpar Palembang untuk menyaksikan Musi Triboatton 2016, sekaligus berwisata menjelajah Sungai Musi.

====================================


Menyisir Sungai Musi, Menelisik Sejarah Kota Palembang

Kami menyisihkan waktu sehari untuk melayari Sungai Musi. Menghayati legenda cinta Pulo Kemaro. Mengenal sejarah Kampung Arab al-Munawar. Mencicipi kuliner lokal di warung terapung. Dan, menatap lanskap jelita Kota Palembang dari Jembatan Ampera.

Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan beragam kebudayaan dan karakter. Tak hanya mewariskan peninggalan berupa benda-benda bersejarah, tetapi juga karya budaya yang tak kalah bernilai.

Keberadaan Sungai Musi yang menjadi nadi kehidupan warga Palembang menambah kekayaan wilayah ini. Sungai dengan panjang aliran mencapai 750 kilometer menjadi saksi keberadaban dan kebudayaan khas Sumatera selatan. 

Jembatan Ampera

Berperahu di Sungai Musi
Berperahu adalah cara terbaik untuk menikmati wisata sungai yang menjadi jualan utama kota yang pernah dijuluki Venice of The East. Titik keberangkatan bisa dimulai dari dermaga 16 Ilir bawah Ampera atau dermaga Benteng Kuto Besak. Kami menyewa perahu mesin bertarif Rp 200.000,- dengan tujuan Pulau Kemaro dan Kampung Arab al-Munawar.

Jumlah kami sepuluh orang, sesuai batas maksimum kapasitas perahu. Cuaca sedang secerah kaca, kami pun duduk tenang di atas perahu, ditemani awan berarak dari utara yang melaju penuh. 

Saya, duduk di depan agar puas menikmati angin segar.
 
Dermaga 16 Ilir

Beberapa kali perahu terayun-ayun terkena terjangan ombak saat berpapasan dengan speedboat lain yang melaju lebih kencang. Tak jarang cipratan air mengenai wajah dan badan. Sedikit cemas, tapi tetap banyak senangnya berlayar di sungai yang lebar. 

Dari dalam perahu, saya dapat melihat kehidupan sehari-hari warga bumi Sriwijaya, deretan rumah tradisional, kapal-kapal besar milik PT.Pusri, hingga pelabuhan Bom Baru Pelindo yang menjadi pelabuhan sungai terbesar di Sumatera.

Kapal-kapal besar melintas. Perahu-perahu kecil lalu lalang. Warna cokelat air Sungai Musi, rumah-rumah dan pepohonan di tepian menambah keeksotisan sungai yang jadi ikon provinsi. Tak hanya itu, langit biru dan awan seputih kapas menjadi kombinasi warna yang cantik. Sepanjang perjalanan, saya nyaris tak henti menekan tombol shutter kamera.

Pelabuhan Bom Baru IPC

Perahu ketek (getek) ini sempat mati mesin di tengah sungai :D

Legenda Cinta Pulau Kemaro
Pulau Kemaro terletak pada sebuah delta di tengah-tengah Sungai Musi, sekitar 6 kilometer dari Jembatan Ampera. Kami menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk mencapainya. 

Dari perahu yang masih melaju di atas sungai, menara pagoda sudah terlihat, menjulang di antara rimbun pepohonan. Perlahan perahu merapat di dermaga, kami pun berlompatan turun, jalan kaki meniti jembatan merah menuju daratan pulau. 

Pintu gerbang Pulo Kemaro

Jalan menuju pintu gerbang Pulo Kemaro

Kebudayaan Cina terasa sangat kental ketika memasuki pulau. Terlihat dari arsitektur dan dominasi warna merah pada gerbang Pulo Kemaro, bangunan Klenteng Hok Tjing Rio dan pagoda bertingkat sembilan. 

Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im dibangun sejak tahun 1962. Tempat ini biasanya dikunjungi oleh mereka yang ingin melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan masyarakat Cina. Wisatawan seperti kami tidak diijinkan masuk dan naik pagoda, kecuali di lantai dasarnya saja yang memang terbuka. 

Di depan Klenteng, difoto oleh Wira Nurmansyah

Kata “kemaro’ berasal dari bahasa Palembang yang berarti kemarau. Menurut masyarakat setempat, walaupun Sungai Musi sedang meluap, pulau tidak akan tergenangi air. Udara di pulau cenderung sejuk, karena di sini  banyak tumbuh pohon besar dan rindang. 

Terdapat pula warung jajan yang menyediakan banyak kursi. Cocok untuk beristirahat sambil menyeruput air kelapa muda segar yang disediakan penjual.

Tempat jajan di Pulo Kemaro

Pulau Kemaro juga dikenal sebagai pulau cinta. Konon, pulau ini timbul setelah terjadinya kisah tragis yang menimpa putri raja Palembang -Siti Fatimah dan saudagar kaya raya Tionghoa- Tan Bun An. Nah, makam kedua orang inilah yang kami jumpai di Pulau Kemaro. 

Kisah putri dan pangeran tersebut tertulis pada prasasti yang diletakkan dekat bangunan klenteng. Dibuat oleh Disparbud Kota Palembang pada tahun 2009. 

Terbaca nggak tulisannya?

Kini Pulau Kemaro sedang dikembangkan menjadi Eco-Park dan Eco-Tourism. Telah dibangun bungalow yang nantinya dikelilingi oleh sawah dan rawa yang asli sehingga suasana lingkungan bungalow akan asri bagaikan di pedesaan. Akan dibangun juga Historical Park, taman burung, plaza, jalur pedestrian, dan sebuah jembatan yang menghubungkan antara daratan dan Pulau Kemaro. 

Dengan pengembangan tersebut, bukan tak mungkin nantinya berwisata ke Pulau Kemaro  akan menjadi pengalaman menarik yang tidak biasa bagi wisatawan lokal, nasional, maupun internasional.

Pagoda bertingkat sembilan

Kampung Arab al-Munawar
Perahu berlayar ke arah hulu, melaju tertatih melawan arus. Kami menuju Kampung Arab al- Munawar yang terletak di kawasan 13 Ulu, salah satu kampung Arab paling termasyhur di Indonesia. Untuk mencapai lokasi kampung Arab bisa melalui dua jalur. Jalur pertama lewat darat, jalur kedua lewat jalur sungai dengan menggunakan perahu seperti kami.

Sesampainya di daratan, kami melewati jalan tidak lebar menuju sebuah lapangan, pusat Kampung Al Munawar. Orang pertama yang kami jumpai adalah Muhammad al-Munawar, Ketua RT yang juga merupakan generasi keenam keturunan langsung leluhur kampung: Habib Hasan al-Munawar. Darinya kami memperoleh banyak cerita.

Medekati Kampung al-Munawar
Salah satu rumah dalam foto ini pernah dipakai untuk syuting film "Ada Surga di Rumahmu"

Sebagai kawasan tua di Palembang, Kampung Arab memiliki delapan rumah tua berusia lebih dari 250 tahun. Ada rumah panggung tradisional bergaya limas, ada pula rumah dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Eropa. 

Meski sudah tua, tapi rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri sampai kini. Nuansa vintage dan eksotis dari Kampung Arab ini membuat saya bagai tersedot ke masa lalu.

Rumah tua berusia lebihh dari 250 tahun

Salah satu Rumah Limas tua berusia ratusan tahun

Sebagian besar rumah tua telah dihuni secara turun-temurun, sehingga lumrah bila di satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Pak Muhammad al-Munawar mengajak kami melongok ke dalam rumah Ibu Lathifah al-Kaab, yang masih satu garis keturunan dengan Pak Muhammad. 

Ibunya Bu Lathifah bermarga al-Munawar. Namun karena menikah dengan pria bermarga al-Kaab, Bu Lathifah dan seluruh saudaranya menyandang nama keluarga al-Kaab.

Muhammad al-Munawar

Anak-anak tampan Kampung Arab :)

Rumah Bu Lathifah merupakan salah satu dari delapan rumah asli Kampung al-Munawar yang dibangun di era Habib Hasan. Berusia nyaris 300 tahun. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak Habib Hasan, dan kemudian menjadi cikal-bakal kampung. 

Di salah satu dinding rumah terpajang silsilah keluarga. Nuansa Eropa terlihat dari pintu-pintu dan jendela berukuran besar dan tinggi. Bahkan, lantai rumahnya bukan marmer biasa, melainkan granit yang didatangkan langsung dari Italia. 

Foto-foto di dinding yang menunjukkan silsilah keluarga

Rumah lawas bernuansa Eropa dan Timur Tengah. Granitnya didatangkan dari Italia

Dinamakan Kampung Arab karena awalnya di sinilah para pedagang-pedagang arab bermukim. Di masa lampau Habib Abdurrahman al-Munawar adalah tokoh yang dihormati. Beliau adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam pertama kali di kawasan ini. Namanya kemudian dijadikan nama kawasan di Kampung Arab.

Kampung al-Munawar dihuni oleh sekitar 30 kepala keluarga. Pada umumnya penduduk kampung berprofesi sebagai pedagang. Di pusat kampung terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar, tempat belajar anak-anak Kampung Arab al-Munawar dan sekitarnya. Di sini murid sekolah diliburkan pada hari Jumat, tetapi tetap masuk pada hari Minggu. Sebagaimana kampung tua, bangunan madrasah juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik. 

Sekolah MI Al Kautsar

Palembang adalah kota tua yang bangga. Kampung al-Munawar tak hanya memesona dari segi bangunan lawasnya, tapi juga dari rekam sejarah dan budaya. Komunitas Arab adalah bagian dari kekayaan sejarah, budaya, dan intelektualitas kota Palembang, mereka telah memberi banyak andil dalam perkembangan kota Palembang.

Kami hanya satu jam di Kampung Arab. Tapi pengalaman yang didapat sulit untuk dilepas. Saya nyaris tak henti mengagumi keindahan bangunan-bangunannya, mendengarkan cerita-cerita seru tentang para penduduknya, melihat keceriaan anak-anak kecilnya, juga merasakan kehangatan dan senyum warganya. 



Sensasi Kulineran di Warung Terapung
Jelajah Sungai Musi berlanjut jelajah rasa. Kulineran di mana? Tidak ke mana-mana, masih di sekitaran sungai saja. Wisatawan seperti kami patut bersukacita karena pinggiran Sungai Musi kini telah disulap menjadi tempat rekreasi lengkap dengan warung, kafe dan restoran yang menyediakan makanan khas Palembang. 

Warung apung dekat dermaga 16 Ilir bawah Jembatan Ampera jadi pilihan. Ada tiga warung apung, semuanya menyajikan menu pindang pegagan, salah satu kuliner andalan Palembang selain empek-empek. Warung apung berbentuk seperti kapal tapi berukuran kecil. Kami masuk ke salah satu warung, namanya Warung Mbok Mar. 

 
Muatan warung sekitar 25 orang saja. Di dalamnya terdapat meja panjang dengan kursi-kursi menghadap ke sungai. Di sinilah letak daya tariknya, sambil makan saya bisa memandangi kemegahan Jembatan Ampera yang membentang di atas sungai. 

Saat perahu dihempas ombak, warung bergoyang-goyang. Sensasinya seakan seirama dengan goyangan lidah yang asyik menikmati lezatnya pindang.



Masakan pindang merupakan salah satu kuliner yang wajib dicoba di Palembang. Sebetulnya, masakan pindang juga bisa dijumpai di daerah lainnya. Tetapi, pindang tiap daerah punya cita rasa yang berbeda. Masing-masing punya kekhasan, baik bahan maupun cara pengolahan. Begitu juga dengan pindang Palembang. 

Di Warung Mbok Mar, kami bersantap dengan menu pindang patin, baung, dan gabus. Lengkap dengan sambal dan lalapan segar. Bagaimana rasanya? Bukan main sedapnya.



Jelang senja, kami tak ragu mencoba kuliner khas Palembang lainnya. Empek-empek, tekwan, model, ragit, celimpungan, kue kojo, es kacang merah, martabak HAR, dan masih banyak lagi. Semua sajian khas itu seberagam budaya yang mengarungi rute Kerajaan Sriwijaya di masa silam. Sungguh, di Bumi Sriwijaya, kuliner bukanlah konsep semata, melainkan kebahagiaan ala wong kito.

Baca juga : Jelajah Kuliner Palembang

HOW TO GO
Xpress Air melayani rute Bandung-Palembang, waktu tempuh sekitar 1 jam. Dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, ada 3 pilihan transportasi menuju pusat kota, termasuk Jembatan Ampera, yaitu : taksi, bus Trans Musi, dan gojek. Ongkos taksi Rp 80.000 – Rp 100.000. Waktu tempuh 30 menit. Tarif bus Trans Musi Rp 5.000,- Waktu tempuh 1 jam. Ongkos gojek Rp 35.000 – Rp 40.000. Waktu tempuh sekitar 30-40 menit.

WHERE TO SLEEP
Hotel Batiqa Palembang terletak di lokasi strategis. Hanya berjarak 3,5 kilometer dari Jembatan Ampera. Pusat kota dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan motor atau 20 menit dengan mobil. Hotel Batiqa menawarkan kamar yang nyaman mulai dari Rp 475.000 (tanpa breakfast) dan Rp 525.000 (dengan breakfast). 

Kamar Batiqa Hotel Palembang yang saya inapi :)

WHERE TO EAT
Warung Terapung Mbok Mar menyajikan menu pindang dan sensasi makan di atas sungai. Malam hari, nikmati menu seafood dan kuliner Palembang di Restoran River Side dalam suasana bak kapal pesiar sambil memandang kemegahan Jembatan Ampera yang bermandikan cahaya. 

Jangan lewatkan kuliner legendaris Martabak HAR di Jalan Sudirman. Mie Celor HM.Syafei di Jalan KH. Ahmad Dahlan bisa jadi sarapan lezat di pagi hari. Empek-empek panggang Saga Sudi Mampir paling enak buat kudapan sore. Pempek Pak Raden di Jalan Sudirman cocok untuk oleh-oleh. 

Biar kekinian, singgahlah di Toko Harum. Banyak kue khas dan makanan Palembang tempo dulu, bahkan langka, tersedia di sana.

inflight magazine xpressair