Tampilkan postingan dengan label festival tidore 2017. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label festival tidore 2017. Tampilkan semua postingan

Menikmati Keindahan Alam Tidore Dari Desa-desa di Lereng Gunung Marijang


Desa Kalaodi Tidore, Maluku Utara

Berpeluh di Tangga Jahanam Ake Celeng

“Lho, Yuk Annie kok nggak ikut turun?” tanya saya sedikit keheranan.

“Nggak, saya dan Ita mau di sini saja,” jawabnya.

Rasa heran itu muncul bukan tanpa alasan. Sudah jauh berkendara, melintasi jalan terjal, nyaris sampai di tujuan kok malah berhenti? Senyum Yuk Annie mengandung misteri, seperti ada yang sengaja disembunyikan. 

Saya curiga tapi tak ingin menyelidiki lebih lanjut. Bukan saatnya main detektif-detektifan, tapi saatnya menghadapi turunan curam Ake Celeng yang menyambut dengan sejumlah kelok yang menari-nari. 

Untuk mencapai Ake Celeng kami harus turun jauh ke lembah dengan berjalan kaki. Melewati tangga semen yang bisa dilewati dengan aman. Beberapa anak tangga berukuran lebar dan panjang. Beberapa lainnya kecil dan rapat. 

Mudah tanpa beban, semua terasa ringan dan menyenangkan. Apalagi sepanjang jalan menuruni tangga, mata disuguhi keelokan pemandangan laut Maluku Utara dengan pulau-pulau di sekitarnya. Indah memanjakan mata, meluruh peluh, dan menguatkan langkah saya selama 15 menit berjalan kaki bersama Mbak Zulfa, Mas Eko, Yayan, Deddy, Rifky, Kak Gathmir, Opan, Bams, Alex, dan adik Fia. 

Baca juga : Festival Tidore | Mempererat Tradisi | Mempertegas Jati Diri Bangsa Maritim

Jalan menurun menuju Ake Celeng

Ake Celeng dalam bahasa Tidore artinya air dingin. Dinamakan demikian karena suhu airnya yang dingin. Disebut juga air terjun mini karena terdapat aliran air menuju kolam yang terbentuk dari cekungan batu. Debit airnya kecil dan pelan bagai pancuran. 

Lain halnya jika dimusim penghujan, debitnya menjadi lebih besar dan deras. Jika ke sini, jangan berharap akan melihat tumpahan air meluncur deras dari tempat tinggi yang disertai gemuruh. Tak ada. 

Buat saya yang sudah melihat beberapa air terjun spektakuler dengan debit air yang besar, tinggi dan lebar, deras dan bergemuruh, Ake Celeng tampak biasa saja. Tidak menakjubkan. Bagi yang baru pertama ke tempat ini, bisa jadi akan kecewa karena yang dijumpai mungkin tidak sebanding dengan perjuangan untuk datang dan pergi dari lokasi. 

Tapi jangan khawatir, tak ada yang sia-sia. Treking dan menikmati segarnya air gunung di tengah belantara ketinggian Tidore yang masih alami, bisa menjadi pengalaman tersendiri. Kalau saya sih tidak mandi, tidak kuat dengan suhu airnya yang dingin. Hanya Kak Gathmir dan dik Fia yang menceburkan badan di kolam. Nah, selagi keduanya berendam dan berenang, saya dan kawan-kawan sibuk berfoto dengan pose ala-ala.  
Baca juga: Prosesi Tagi Kie dan Rora Ake Dango di Festival Tidore 2017

Kolam pemandian Ake Celeng

Bams!

Ake Celeng terdapat di lokasi yang agak tersembunyi. Tempatnya minim cahaya karena dikepung pepohonan. Saya agak kurang nyaman selama berada di lokasi. Untunglah kegiatan berfoto mengalihkan segalanya. 

Tapi naas, sebuah kecerobohan terjadi saat sedang asyik memotret. Ponsel kesayangan yang layarnya terbuat dari kaca terlepas dari genggaman. Meluncur deras ke bawah, disambut bebatuan keras yang siap meretakkan apapun yang menimpanya. 

Kaget dan panik jadi satu. Saya refleks menjerit, Opan refleks menjadi penyelamat HP yang mungkin terlambat. Tapi sungguh ajaib, ternyata HP masih selamat meski lecet-lecet di beberapa sisi. Tidak pecah itu luar biasa! 

Rasanya ingin teriak gembira saking senangnya. Tapi kegembiraan harus ditahan, karena tangga tinggi sudah menanti untuk dinaiki. Saatnya pulang. 

Baca juga: Drama Gagal Nanjak di Ngosi

Tangga Jahanam 😂

Udah, gitu aja? Belum cuy, keseruan sesungguhnya baru dimulai.

“Tangganya benar-benar jahanam.”

Kata-kata Yuk Annie mendadak memenuhi ruang benak saat perjuangan menaiki tangga dimulai. Jika saat turun wajah sumringah dihiasi oleh senyum dan tawa, maka saat naik jadi hambar dan pucat. Kaki seakan diganduli banyak batu. Keringat mengucur, baju basah, ketiak basah, semua basah. Nafas ngos-ngosan. 

Tak ada lagi aktivitas memotret dan merekam video. Otak hanya memerintahkan anggota tubuh untuk fokus menaiki tangga yang seolah tak berujung. Ketika puncak tangga seakan setinggi langit, indahnya pemandangan alam tak lagi menghibur. 

Begitulah tepar bermula, deritanya seakan tiada akhir. Terjawab sudah keheranan saya kenapa Yuk Annie dan Mbak Anita tidak ikut ke Ake Celeng. Rupanya menghindari penderitaan itu. Bagi mereka yang tak kuat menanjak, keluarlah sebuah nama; tangga jahanam! 

Istirahat bila lelah, jangan paksakan diri


Kalaodi Kampung Ekologi Pelindung Tidore

Kalaodi merupakan salah satu desa tertinggi yang ada di Tidore. Kampung ini terletak di bagian utara Tidore dan berada di ketinggian sekitar 900mdpl. Kalaodi dikenal kaya akan rempah, juga kaya akan keindahan panorama.

Kampung Kalaodi disebut juga sebagai Kampung Ekologi Pelindung Tidore. Kebun-kebun di kampung Kalaodi termasuk dalam kawasan hutan lindung Tagafura yang kaya dengan tanaman-tanaman produktif seperti cengkih dan pala. Kedua komoditi ini adalah penghasilan utama sebagian besar warga Kalaodi. Di sela-sela tanaman rempah itu, warga juga menanam kenari, kayumanis dan pinang.  

Desa Kalaodi

Ada sekolah PAUD di Desa Kalaodi

Beberapa kerajinan dari bambu seperti Saloi dan Tolu juga dihasilkan dari Kalaodi. Saloi itu semacam keranjang untuk dipakai ke kebun. Cara pakainya seperti memakai ransel. 

Sedangkan Tolu  sejenis topi lebar pelindung kepala dari hujan dan panas. Barang kerajinan ini banyak saya lihat di Pasar Goto, satu-satunya pasar tradisional yang ada di Tidore. 

Suasana kampung Kalaodi sangat tenang. Jalanannya kerap lengang. Sesekali saja motor berlalu santai. Di kebun-kebunnya, pohon-pohon rempah tinggi menjulang. 

Ketika melewati jalan desa, pohon rempah ini mudah sekali dijumpai karena tumbuh rapat hampir sepanjang jalan. Buah cengkih dan pala tampak dijemur begitu saja di tepi jalan tanpa khawatir akan hilang. 

Baca juga: Kota Ake Dango dan Ratib Haddad Farraj

Rumah warga desa

Bambu wadah air untuk wudhu

Objek wisata Ake Celeng yang kami kunjungi terletak di kampung ini. Kalaodi memang bukan hanya tentang Ake Celeng yang membuat nafas jadi tersengal, tapi juga tentang panorama alam yang membuat mata tak ingin berkedip. 

Pemandangan menawan kota Tidore dan Pulau Halmahera di timur, juga Pulau Maitara dan Pulau Ternate di sebelah barat, menjadi suguhan yang bisa dinikmati setiap saat.

Saya teringat pada sebuah cita yang sampai kini masih diharapkan tercapai; punya rumah di desa, di daerah pegunungan yang sejuk dan asri, punya pemandangan langsung ke laut dan pulau-pulau, suasananya tenang dan damai. Nah, cita-cita itu seperti menemukan petunjuknya; Kampung Kalaodi! 

Opan Koli

Banyak bunga di pekarangan warga 

Spot Pandang Tak Jenuh Lada Ake

Desa-desa di ketinggian Tidore rata-rata punya pemandangan yang sama. Lembah dengan hutannya dan laut dengan pulau-pulaunya. Suasananya pun hampir sama, sedikit ramai banyak sunyinya.  

Demikian juga dengan Lada Ake, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Gurabunga, memiliki kesamaan dalam segala hal.

Mengagumi desa-desa di ketinggian Tidore adalah mengagumi kebersihannya. Sepanjang berkeliling dari desa ke desa, nyaris tak ada penampakan sampah yang mencemari pemandangan. Sebuah kenyamanan yang membuat betah, dari desa hingga ke kota. Wajar jika Tidore diganjar dengan penghargaan Adipura sebanyak delapan kali. Memang terbukti.  

Rifky dan Yayan / omnduut

Ingatan saya pada Lada Ake banyak dipenuhi oleh deretan pohon-pohon pala yang seakan tak ada habisnya untuk dijumpai selama perjalanan berkendara. 

Masih lekat dalam ingatan bagaimana saya mendadak jadi norak melihat pala, rasanya ingin pegang, ingin foto, dan ingin membawanya pulang. Kenorakan yang timbul akibat baru pertama melihat banyak sekali pohon pala langsung di pusat rempah dunia. 




"Yuk rame-rame kita bikin ucapan selamat Hari Jadi Tidore ke-909 di sini,” ajak Mbak Anita.

Sore itu di sisi tebing Lada Ake yang sunyi, di atas spot pandang sederhana terbuat dari bambu, ajakan itu kami sambut gembira. Dengan sedikit latihan dan arahan, ucapan itu kami buat. Terekam manis dalam sebuah video yang kemudian kami bagikan di sosial media agar saudara-saudara di Tidore mendengarnya. 

Dari ketinggian Lada Ake, sebuah ucapan cinta dari kami yang datang dari luar Tidore; Selamat Hari Jadi Tidore yang ke-909. 

View Pulau Ternate dan Pulau Maitara dari Desa Lada Ake Tidore



*Tulisan ini saya selipkan dalam buku antologi To Ado Re yang terbit pada bulan April 2018.

Prosesi Tagi Kie dan Rora Ake Dango di Festival Tidore 2017

Festival Tidore 2017 - Rora Ake Dango
Festival Tidore 2017 - Rora Ake Dango

Prosesi Tagi Kie

Prosesi Tagi Kie adalah perjalanan ke puncak Gunung Mar'ijang, dilaksanakan oleh Pemuka Adat Soa Romtoha Tomayou untuk mengambil air di puncak Gunung Kie Matubu. Air tersebut kemudian disemayamkan di rumah adat para Sowohi Soa Romtoha Tomayou selama satu malam untuk didoakan sehingga disebut Ake Dango.

Dalam rangka Hari Jadi Tidore ke-909 tahun 2017, ritual Tagi Kie melibatkan elemen organisasi kemasyarakatan dan pemuda dalam ekspedisi Tagi Kie untuk membersihkan di kawasan Puncak Gunung Mar'ijang dalam rangka merawat dan menjaga kelestarian kawasan puncak sebagai situs ritual penting bagi masyarakat adat. 


Rora Ake Dango

Rora Ake Dano dilaksanakan di Sonine Guruabunga ba'da Isya hingga menjelang Subuh. Rora Ake Dango adalah upacara untuk menyatukan air yang telah disemayamkan di masing-masing rumah Sowohi Soa Romtoha Tomayou sebelumnya. 

Dalam ritual Rora Ake Dango, anak keturunan Soa Romtoha Tomayou akan melakukan moro-moro dan kabata yang berisikan pesan-pesan leluhur untuk dijaga oleh seluruh masyarakat adat Tidore. Prosesi Rora Ake Dango juga merupakan upacara Pembukaan Festival Tidore 2017 dalam rangka Hari Jadi Tidore ke-909.

Selepas magrib di Gurabunga, sebelum menyaksikan pembukaan Festival Tidore 2017. Blogger dan rombongan dari Jakarta berkumpul di rumah Alloed (Gogo), menikmati santap malam dengan menu ala masyarakat pegunungan; sayur lilin, ikan tuna goreng, dan sambal merah. Kebersamaan dan kenikmatan yang haqiqi!

Masjid dan musola dekat lapangan Desa Gurabunga, lokasi acara ritual Tagi Kie dan Pembukaan Festival Tidore 2017. Dari dua rumah ibadah inilah panggilan lantang tanpa pengeras suara terdengar "Hai ngofa se dano.." diawali tiupan panjang Tahuri menggema ke seluruh desa hingga puncak Kie Matubu. Tahuri = alat musik tradisional Maluku yang terbuat dari cangkang hewan.

Seluruh lampu listrik dipadamkan, hanya ada temaram lampu minyak di area tenda tamu undangan dan obor di area lapangan tempat ritual dilaksanakan
Iring-iringan para pembawa obor yang datang dari salah satu penjuru desa. Didahului oleh Sowohi, diikuti dengan seorang wanita yang membawa air dalam bambu berpenutup kain putih. Berjalan berbaris diikuti oleh keluarga dari marga Sowohi.

Proses penyerahan air suci yang dibawa dari rumah masing-masing Sowohi. Air suci yang dibawa dituang ke dalam bambu lebih besar (berpenutup kain putih), disaksikan oleh para Babato adat (pemangku adat).
Bambu berukuran lebih besar berpenutup kain putih ini berisi kumpulan air suci yang dibawa dari masing-masing rumah Sowohi. Bambu dipagari dan dihiasi Janur serta obor.

Berselimut aura mistis, ritual ini menjadi pamungkas dimulainya Festival Tidore 2017.
Pertunjukkan tarian Kapita oleh 30 pemuda dan anak anak.

Sambutan dari Sultan Tidore, H. Husain Syah
Para tamu undangan yang hadir di malam Pembukaan Festival Tidore 2017

Blogger Haryadi Yansyah (omnduut.com) dan Deddy Huang (Deddyhuang.com)

Pertunjukkan Seni Kabata, yakni seni berbalas pantun yang dilakukan penduduk sambil menumbuk padi. (tonton videonya pada akhir tulisan ini).

Dengan menggunakan topi besu, para lelaki berdendang saling berbalas pantun dengan disesuaikan irama hentakan Dulu Ma Ngofa (tongkat penumbuk padi).
Blogger dan rombongan dari Jakarta berfoto bersama Pak Abdullah Husain, Lurah Desa Gurabunga. Gurabunga terpilih sebagai lokasi prosesi Tagi Kie karena keberadaannya sebagai nadi kehidupan masyarakat Tidore. Desa tertinggi di Tidore ini mengayomi lima marga berbeda, yakni Mahifa, Toduho, Tosofu, Tosofu Malamo, dan Fola Sowohi.

Berfoto bersama Sultan Tidore dan Permaisuri di depan alat penumbuk padi yang dijadikan alat musik pengiring Seni Kabata

Berfoto bersama 6 Sowohi
Dalam acara adat ini, semua wajib berpakaian (atasan) warna putih. diutamakan model kebaya atau baju kurung. Sedangkan bawahannya kain atau rok bernuansa tradisional seperti batik atau tenun.
Saudara baru di Tidore: Eros, Bams, Alloed (Gogo)

Untuk melihat rangkaian acara ini dalam bentuk video, silakan tonton dalam video yang saya upload di channel Youtube saya pada akhir tulisan ini.

Gurabunga, Tidore, Maluku Utara.  Minggu, 9 April 2017.  

Bersama Annie Nugraha, Haryadi Yansyah, Deddy Huang, Eko Nurhuda, Rifki Faiza Rahman, Attini Zulfayah, Tati Suherman, Ayu, Dwi Setijo Widodo, Ibu Dwi Woro Retno, Anita Gathmir (Ngofa Tidore Tour & Travel), Kak Gathmir (Ngofa Tidore Tour & Travel).


Baca juga:
Mengenal Kuliner Tidore Lewat Festival Gurabunga
Tiada Gundah di Tidore
Nikmati Kuliner Khas Tidore Ini di Safira Beach Restaurant
Tidore di Bulan Februari dan Ingatan Menuju Napak Tilas Magelhans  
Liburan Seru di Pulau Failonga


. . .