Tampilkan postingan dengan label cerita katerina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita katerina. Tampilkan semua postingan

Operasi Batu Empedu Ditunda Melulu, Ini Penyebabnya

Saya mau lanjut cerita tentang sakit batu empedu yang dialami oleh suami. Bukan untuk berbagi penderitaan agar mengundang simpati atau semacamnya, tapi untuk berbagi pengalaman atas apa yang terjadi supaya siapa saja bisa mengambil hikmah tentang bagaimana menjaga pola makan yang baik agar bisa tetap sehat di berapa pun usia.

Saya selalu mendampingi suami selama ia sakit dan dirawat. Karena itu saya tahu apa yang terjadi selama ia mendapatkan perawatan dan berbagai tindakan medis dari para dokter spesialis di Eka Hospital, rumah sakit tempat suami berobat. Di sini saya juga akan berbagi info biaya selama perawatan pra operasi. Silakan simak, semoga bermanfaat.

Topik ini saya tulis dalam beberapa bagian. Silakan klik link berikut jika ingin mengetahui lebih banyak:
- Salah Duga Maag Ternyata Batu Empedu

Cholelithiasis & Dyspepsia

09 Mei 2020 suami masuk UGD Eka Hospital karena nyeri hebat di perut. Serangkaian pemeriksaan lab dan USG abdomen atas dan bawah hasilnya menunjukan adanya batu empedu berukuran 0,9cm. Dari sini didapat diagnosa awal untuk suami adalah Cholelithiasis (batu empedu) dan Dyspepsia (gangguan pencernaan).

Pada saat itu bilirubin, amilase, dan lipase suami sangat tinggi. Dokter spesialis penyakit dalam yang menangani suami Dr. Ratna J. Soewardi, Sp. PD KGH mulai melakukan pengobatan dan diet makan yaitu dengan berpuasa penuh selama 24 jam selama 3 hari. Semua makanan dan minuman masuk lewat infus. Infus apa saja? Ada futrolit, Asering, Nacl, Smof Kabiven dll saya nggak hafal. Dari cairan bening, hingga putih pekat seperti susu, yang kata perawatnya adalah cairan nutrisi, semua masuk lewat infus. Obat  mah jangan ditanya, bejibun. Ada yang ditelan, dimasukkan lewat infus, hingga disuntik langsung ke pembuluh darah di lengan.

Sudah tahu apa penyebab batu empedu?
Silakan klik di sini --> Penyebab Batu Empedu dan di sini --> Gejala Batu Empedu


Pantangan Makan

Setelah 3 hari puasa penuh suami di-lab lagi dan hasilnya membaik. Bilirubin, amilase, dan lipase turun. Dokter bedah yang menangani suami yaitu Dr. dr. Heber Bombang Sapan, SpB (K) BD selanjutnya melakukan challenge dengan membiarkan suami makan makanan seperti yang dimakan orang sehat kecuali yang mengandung santan, lemak, dan goreng-gorengan. Suami saya girang bukan main boleh makan lagi setelah 3 hari puasa tanpa jeda 😂

Beberapa makanan yang saat itu "diharamkan" buat suami:
- Santan

- Kulit ayam, jeroan, semua daging berlemak, ikan darat seperti patin, keju, susu, coklat
- Makanan / minuman kaleng (berpengawet)
Salah satu menu diet suami, serba sayur/buah, tanpa protein hewani dan nabati. Tentunya dilarang makan makanan berlemak dan mengandung santan serta pengawet

Cholelithiasis & Pancreatitis

Hari ke-3 (11/5), kelar puasa 24 jam selama 3 hari itu, dokter bedah minta agar dilakukan MRCP untuk mengetahui lebih detail semua kondisi pencernaan. MRCP Kontras berbiaya Rp 6 juta ini memberikan hasil sebagai berikut:
"Batu multiple kecil di CBD dan kandung empedu disertai cholecystitis akut. Saat ini saluran bilier tampak tidak melebar. Ductus pancreticus tidak melebar, pancreas dalam batas normal, belum tampak gambaran pancretitis pada MRI. Tidak tampak massa di hepar. Organ Abdomen atas lainnya dalam batas normal."


Hasil lab pada hari ke-3 membaik. Selanjutnya dokter bedah melakukan challenge. Jika dengan puasa keadaan hati dan pankreas membaik, lantas bagaimana jika dengan makan?  Apakah "mengamuk" atau tidak. Alhamdulillah hasilnya tetap bagus. Namanya manusia, normalnya makan, masa harus puasa seumur hidup demi menjaga pankreas? Saya rasa itu alasan challenge makan dari dokter bedah. 

Berikut hasil 3 kali lab, khusus untuk 3 item berikut:
1. Tgl. 9/5 Amilase 159 (nilai normal 13-53), Lipase 686 (nilai normal <60), Bilirubin total 2.26 (nilai normal <1.0)

2. Tgl. 11/5 Amilase 42 (nilai normal 13-53), Lipase 92 (nilai normal <60), Bilirubin total 4.71 (nilai normal <1.0)

3. Tgl. 13/5 Amilase 36 (nilai normal 13-53), Lipase 78 (nilai normal <60), Bilirubin total 3.25 (nilai normal <1.0)

Dari hasil lab terbaru tersebut didapat diagnosa baru yaitu Cholelithiasis dan Pancreatitis.

Dokter bedah menjelaskan seperti ini kepada saya dan suami:
"Batu empedu kecil (0,9cm), tetapi keluar kantong (jatoh), masuk saluran, dan ini mengganggu saluran bersama (antara hati dan pankreas), itu sebabnya terjadi sakit di hati dan pankreas yang ditandai dengan nyeri ulu hati, bilirubin tinggi, nyeri perut, kembung, mual, dan muntah. Perlu tindakan operasi yang disebut dengan Laparatomi dan by pass."

Operasi Laparatomi dan By Pass

Terkait dua tindakan operasi yang akan dilakukan terhadap suami, kami mendapat penjelasan lanjutan bahwa operasi yang akan dilakukan adalah operasi konvensional yaitu bedah besar. Selama pandemi ini, laparaskopi sementara dihentikan. Kalau saya tak salah dengar hal ini terkait penggunaan aerosol pada saat laparaskopi, dan ini tidak aman. Aerosol biasanya digunakan dalam pelayanan kedokteran gigi. Mungkin karena itu banyak klinik dan poli gigi stop beroperasi selama pandemi. 

Lanjut lagi soal metode laparaskopi, kata dokter bedah terakhir ia lakukan pada bulan Maret 2020, setelah itu stop dulu sampai nanti keadaan aman. 

Noted: Belakangan saya diinfo bahwa Juni ini laparaskopi sudah bisa dilakukan lagi.

Nah, selain untuk alasan itu, operasi by pass membutuhkan bedah besar, itu kenapa harus bedah metode konvensional. Operasi by pass adalah tindakan membuat saluran baru dalam sistem pencernaan. Saya kurang paham detailnya seperti apa, intinya ketika kantong empedu diangkat, batu empedu dalam saluran dibuang, maka perlu saluran baru supaya hati dan pankreas tetap saling terhubung.

Tindakan pertama meliputi operasi Laparatomi Choledochotomy + Eksplorasi CBD + IOC Open. Tindakan kedua berupa By Pass Choledocoduodenostomy.

Estimasi biaya untuk kedua operasi tersebut Rp 71.540.000


Tunda Operasi demi Lebaran

Hasil lab ke-3 pada hari ke-5 di bulan Mei menunjukan hasil yang positif. Itu artinya dengan berpuasa dan makan seperti biasa kondisi perut membaik. Lipase dan Amilase turun jauh, sedangkan Bilirubin diharapkan bisa kembali normal dengan terapi obat dari dokter internis.

Pada saat kondisi sudah membaik, suami dinyatakan aman untuk tindakan operasi. Dokter bedah tinggal menunggu keputusan kami, apakah siap operasi atau belum. Tapi yang pasti, batu empedu itu memang harus dioperasi agar nyeri hebat di perut tak terulang lagi. Jika belum dioperasi, sakitnya akan terulang kapan saja. Apalagi bila tak jaga makan.

Setelah pikir-pikir, kami pilih menunda operasi. Suami ingin berlebaran dulu di rumah, ia ingin menjadi imam kami salat Ied di rumah dalam keadaan normal meski di situasi tak normal. Maksudnya begini, jika operasi sebelum lebaran, maka keadaan setelah operasi tentu belum pulih betul. Otomatis saat jadi imam salat tidak bisa dalam keadaan seperti saat sehat. Keceriaan lebaran pun akan tertahan.

Pilihan pulang dan menunda operasi kami konsultasikan ke dokter yang menangani. Keduanya mengijinkan untuk rawat jalan dan minta suami untuk taat kontrol. Kami setuju untuk minum obat dan melakukan cek lab sesuai jadwal yang ditentukan.

Biaya Rawat Pra Operasi Bagian Pertama

Biaya yang akan saya sebutkan berikut bukan biaya patokan untuk semua orang di semua rumah sakit. Beda rumah sakit bisa jadi beda pula kebijakan dan biaya yang dikenakan. Saya menerangkan dalam rangka berbagi informasi, siapa tahu ada yang punya masalah kesehatan yang sama, lalu ingin berobat dan melakukan perawatan di Eka Hospital, bisa jadi pertimbangan.

Biaya rawat inap sejak tgl. 9 Mei hingga 13 Mei 2020 untuk kasus yang saya ceritakan di atas, terdiri dari:
1. Accomodation Service (ruang IGD dan tarif kamar standar) Rp 3.105.000
2. Adm fee Rp 2.382.855
3. Konsultasi dokter (umum, jaga, spesialis) Rp 2.880.000
4. Drugs (obat-obatan) Rp 13.006.800
5. Laboratory Rp 4.633.580
6. Medical Supplies Rp 1.235.250

7. Radiology Rp 10.551.185

Total Rp 38.244.185

Selanjutnya rawat jalan untuk cek lab, obat, dan konsul ke dokter spesialis bedah dan spesialis penyakit dalam sebanyak 3 kali dengan total Rp 5.600.150

Total keseluruhan sejak rawat inap sampai rawat jalan paska rawat inap Rp 43.844.335

Alhamdulillah sebagian besar biaya tersebut dicover asuransi, segelintir item lainnya tidak, seperti biaya tes covid untuk keperluan prosedur rawat inap.

Bagaimana selanjutnya? Jadi operasi? Keluar biaya berapa lagi? Yuk simak terus ya.
Jamu dan Salad, Biar Kuat dan Sehat selama Jaga Suami di Eka Hospital

Nyeri Hebat Lagi, Masuk UGD lagi

Dua hari sebelum lebaran suami melakukan cek lab lagi dan kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam. Hasil lab sangat baik, semua sudah kembali normal, baik hati maupun pankreas. Dokter juga mengatakan suami berada pada kondisi sangat aman jika hendak melakukan operasi. Kami merasa lega dengan pernyataan itu. 

Namun tak disangka tengah malam di malam takbiran terjadi nyeri hebat lagi sehingga suami harus saya bawa lagi ke UGD. Minggu pagi (24/5) keadaan suami membaik dan bisa pulang untuk berlebaran di rumah. Tapi malamnya nyeri hebat lagi dan kembali saya bawa ke UGD Eka Hospital.

Hari-hari selanjutnya suami kembali rawat jalan dengan minum obat, istirahat, jaga makan, dan menunggu waktu yang tepat untuk operasi. Tgl. 31 Mei mulai masuk RS lagi dengan rencana operasi pada tanggal 1 Juni 2020. Namun, hasil cek lab sangat buruk. Amilase dan Lipase berada pada nilai tertinggi dari yang pernah terjadi sebelumnya yaitu:

Amilase 332 (nilai normal 13-53), Lipase 1390 (nilai normal <60).

Saking tingginya, hasil Lipase tersebut diberi kode HH (high high), yang artinya tinggi banget!

Amilase & Lipase Tak Kunjung Normal

Rencana akan adanya operasi sudah diberitahukan sejak pertama kali dinyatakan punya gangguan Batu Empedu. Namun jadwal operasi terus berubah karena kondisi Amilase dan Lipase tidak normal (tinggi). Sebagai informasi, Nilai Normal Amilase 13-53, Nilai Normal Lipase <60.

Berikut jadwal operasi yang ditetapkan namun akhirnya ditunda terus karena nilai lipase dan amilase tidak normal:

1. Cek 24/5:  Amilase 61, Lipase 154. Jadwal operasi tunda ke 27/5

2. Cek 1/6: Amilase 332, Lipase 1390. Jadwal operasi tunda ke 3/6
3. Cek 3/6: Amilase 224, Lipase 880Jadwal operasi tunda ke 5/6
4. Cek 5/6: Amilase 245, Lipase 835Jadwal operasi tunda ke 7/6
5. Cek 7/6: Amilase 209, Lipase 826Jadwal operasi tunda ke 9/6
6. Cek 7/6: Amilase 179, Lipase 683Jadwal operasi tunda ke 11/6
7. Cek 11/6: Amilase 165, Lipase 568Jadwal operasi kami hentikan 😂

Operasi Ditunda Berulangkali

Bukan mau kami menunda operasi. Yang ada malah mau secepatnya operasi supaya suami tidak lagi mengalami nyeri hebat. Tetapi, ada kronologi yang membuat operasi tak kunjung terjadi. Seperti yang saya tulis di atas, 7 kali cek lab, nilai amilase dan lipase tak juga normal. Kondisi ini tidak aman bagi pasien, itu yang dikatakan oleh dokter.

Bila dipaksakan, kondisi paska operasi tidak ada yang tahu akan seperti apa. Yang jelas, dalam keadaan pankreas meradang, bisa saja terjadi perdarahan hebat. 

Sejak dirawat sampai tgl 12 Juni, semua rasa sakit yang dialami suami sudah tidak ada lagi. Secara fisik luar ia terlihat sehat dan normal. Bisa duduk, berjalan, dan pergi ke kamar mandi. Untuk salat sementara hanya bisa duduk karena infus tidak pernah lepas dari tangannya. Kalau berdiri, gerakannya terbatas. Makan pun normal. 3 kali sehari makan makanan yang disajikan oleh RS, sesuai menu yang disarankan oleh dokter penyakit dalam dan dokter gastro.

Simple-nya begini: Pankreas sakit, tapi tidak menimbulkan gejala pada pasien, sehingga pasien tak terlihat seperti orang sedang sakit. Nah, dengan kondisi seperti ini, tingkat urgensi untuk operasi menurun, sehingga dokter bedah menyatakan TIDAK PERLU BURU-BURU OPERASI.

OK SETUJU! 
Kamar Standard ini tidak terlalu luas tapi tenang karena hanya sendirian tanpa pasien lain

Pendapat dari 3 Dokter Spesialis

Obat nyeri saat pankreas sakit itu ada, tetapi obat untuk menurunkan lipase dan amilase itu tidak ada. Satu cara yang sudah dilalui dengan puasa 24 jam selama 3 hari, cukup drastis bisa turun 500 dari 1300 ke 800-an. Tapi saat kembali makan, tidak mengalami banyak penurunan, malah stag di 800 selama beberapa hari. Lipase dan Amilase suami  harus dalam normal lagi, terlebih untuk operasi.

Untuk mendapatkan tambahan opini, dokter bedah meminta agar Dokter spesialis Gastroenterologi-Hepatologi yaitu Dr.dr Nella Suhuyanly, Sp.PD-KGEH turut memeriksa suami untuk keperluan tindakan operasi dalam kondisi amilase dan lipase tinggi. Ternyata, pendapat beliau sama, suami belum aman dioperasi. 

Tiga dokter spesialis sudah memberikan pendapat yang seragam: Belum aman untuk operasi, tetapi aman bila ditunda

OK. Kami fix memilih pulang dan lanjut rawat jalan. 

Biaya Rawat Inap Bagian Kedua

Kali ini biaya rumah sakit lebih besar dari yang pertama karena durasi rawat inap lebih panjang. Totalnya mencapai Rp 47.970.637 

Lumayan berkeringat melihat angkanya. Memang ada asuransi, tapi beberapa item tidak tercover dan akhirnya harus dibayar sendiri. Biaya pribadi selama mendampingi suami juga tidak sedikit. Tapi sungguh, berapapun biaya yang keluar jadi tidak penting ketimbang kesembuhannya. Insha Allah saya ikhlas.

Biaya rawat inap sejak tgl. 1 Juni hingga 12 Juni 2020 untuk kasus Pankreatitis Akut yang diderita suami terdiri dari:
1. Accomodation Service (tarif kamar standard) Rp 6.900.000
2. Adm fee Rp 3.553.290
3. Konsultasi dokter (umum dan spesialis) Rp 6.400.000
4. Drugs (obat-obatan) Rp 16.192.960
5. Laboratory Rp 8.761.965
6. Medical Supplies Rp 1.653.720

7. Radiology Rp 6.698.002

Total Rp 47.970.637 

Pankreatitis Akut & Kolelitiasis

Sejak masuk rumah sakit, dirawat selama 12 hari dan akhirnya keluar, diagnosa awal dan akhir sama-sama menyebutkan Pankreatitis Akut dan Kolelitiasis. 

Ya, karena batu empedu, terbitlah pankreatitis.

Batu empedu masih dalam kriteria kecil ternyata berdampak tidak kecil pada organ pencernaan. Karena ukurannya yang kecil, ia keluar kantong, jatuh masuk saluran, menyebabkan sumbatan. Meski ringan tapi pankreas jadi ngamuk. Hati pun kena gangguan fungsi. Maka jangan heran bila nyeri datang, rasa sakitnya luar biasa, mirip orang mau sakaratul maut. 

Alhamdulillah suami kini masih baik-baik saja. 
Momen langka, berulang tahun di Rumah Sakit di saat pandemi 

Pengobatan Herbal, Sebuah Ikhtiar Untuk Sembuh

Masa tunggu operasi tidak tentu karena ada lipase dan amilase yang harus kami upayakan sembuh. Tak ada obat dari dokter untuk itu. Karena itu, saya terus berjuang mencari jalan agar suami bisa sembuh. Upaya saya saat ini adalah membawa suami berobat herbal ke herbalis yang sudah saya kenal lama. Beliau seorang herbalis lulusan S2 Parmasi UI. Siapa beliau? Sabar, saya akan ceritakan segera.

Ada alasan kuat kenapa saya menempuh pengobatan herbal, karena hasil baiknya sudah terbukti pada anak saya Alief saat menderita cerebral atrofi di usia 7 bulan dan saat itu dokter bedah bilang pada usia 3 tahun nanti Alief harus dioperasi kepala untuk pemasangan selang dalam kepala hingga badan. Saya juga pernah punya kista besar di rahim yang menyebabkan haid selalu sakit. Dokter kandungan sudah bilang kista itu akan dioperasi jika sudah mencapai 5-7 cm. Tetapi, berkat pertolongan Allah SWT melalui kegigihan saya berobat herbal secara rutin dan taat pada saran kesehatan yang diberikan, alhamdulillah  saya dan Alief sembuh tanpa operasi.

Saya sudah melakukan pengobatan kedokteran, dan kini pengobatan herbal. Saya hanya berusaha, tidak tahu jalan mana yang akan membawa suami saya pada kesembuhan. Semoga saja salah satunya, atau keduanya. Sebisa mungkin bisa sembuh tanpa operasi. Insha Allah bisa....bisa...bisa.

Saya suka menjadi seseorang yang tetap optimis, semangat, dan tidak pernah putus asa.

Setiap orang, seharusnya demikian bukan?

Silakan baca tulisan lainnya tentang upaya kami mencari kesembuhan lewat pengobatan Herbal. Info tempat pembelian obat herbal juga saya tuliskan pada link berikut:

Silakan KLIK:

Salah Duga Sakit Maag Ternyata Batu Empedu, Periksa dengan Teliti Biar Cepat Tertangani


Rawat Inap di Eka Hospital karena Batu Empedu

Bulan Ramadan lalu suami saya mengeluh nyeri ulu hati hebat disertai perut kembung, mual, muntah, dan tidak bisa buang angin maupun buang air. Dugaan pertama kami adalah maag. Kemudian saya beri promag tapi tidak mempan. Saya ganti dengan sirup Propepsa, kebetulan ada stock di rumah, sama saja tidak ampuh. Gejala lainnya adalah merasa makin sakit bila berbaring telentang dan berdiri tegak. Hanya bisa duduk dengan agak menyender. Saya merasa keadaannya gawat, lalu saya bawa ke UGD Eka Hospital.

Selama perjalanan bermobil ke rumah sakit yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari rumah, suami saya mengeluh sakit setiap kali mobil melewati speed bump (polisi tidur). Jadi, saya mesti memelankan laju sepelan-pelannya. Ucapan istighfar dan kata "Ya Allah" dari mulut suami saya terus terdengar sepanjang perjalanan, menambah kecemasan.

Rasa sakit di perut yang dialami oleh suami selalu datang di malam hari. Pernah dini hari. Kondisi jalan selama pandemi sering sepi, apalagi malam hari, lebih sepi. Jadi perjalanan saya membawa suami sangat lancar, tidak ada kendala hingga akhirnya bisa masuk ruang rawat UGD dengan selamat.

Yang tidak lancar adalah tindakan di ruang UGD. Dalam artian begini, pasien datang dalam kondisi nyeri hebat, disambut security di depan UGD membawakan kursi roda, diantar ke dalam, langsung dinaikkan ke ranjang pasien dibantu perawat sambil ditanya-tanya keluhannya apa, namun belum langsung ditangani misal langsung buru-buru diberi obat atau apa lah. Ok sampai sini saya mengerti, mungkin menunggu dokter dulu, baru lanjut tindakan. Tapi pernah sampai 1 jam nunggu nggak dipegang-pegang juga itu suamiku huhu. Padahal pasien di UGD saat itu cuma 1. Petugas di UGD banyak, ada 5-6 perawat dan 1-2 orang dokter jaga. 

Sementara itu saya ke bagian administrasi UGD, dijelaskan oleh staff (di situ standby 2-3 orang) nanti bakal ada biaya APD Rp 600.000, dan bila pakai asuransi nanti perlu informasi tambahan untuk pengajuan klaim, dan bila nanti dirawat bakal dikenakan biaya tes covid. Selesai bagian itu, tanda tangan ini dan itu, baru saya bisa mendekati suami dan menemaninya menunggu tindakan dari dokter di UGD.

Menurut saya pribadi nih ya, ruang gawat darurat itu nggak selalu penanganannya ala gawat darurat di mana saat kita masuk pasien langsung cus dapat penanganan secepat kilat. Meski suami saya sudah tulung-tulungan kesakitan, ya nggak usah ngarep ada yang buru-buru menenangkan langsung suntik ini itu. Perlu waktu buat urus administrasi dulu, nunggu dokter free dulu. Ya siapa tahu pas kita datang itu dia lagi sibuk ama pasien lain. Jadi kudu antri ya kan. 

Cek LAB dan USG

Singkat cerita, setelah mendapat pertolongan pertama berupa obat pereda nyeri, obat lambung, dan dipasang infus, suami saya dilab dan USG. 

Pemeriksaan lab meliputi Hematologi Lengkap sebanyak 29 item. Hasilnya 14 item tidak baik yaitu:
Leukosit tinggi, eosinofil rendah, neutrofil tinggi, limfosit rendah, neutrofil limfosit ratio tinggi, MCH rendah, MCHC rendah, SGOT tinggi, SGPT tinggi, Amilase tinggi, Lipase tinggi, bilirubin total tinggi, bilirubin direk tinggi, bilirubin indirek tinggi.

Dari hasil tersebut yang paling diperhatikan adalah bilirubin tinggi (terkait dengan hati), lipase dan amilase tinggi (pankreas). Hasilnya mengarah ke batu empedu, makanya kemudian dilanjut dengan USG Abdomen Atas dan Bawah. 

Kesan dari USG:
Sludge dan multiple cholelithhiasis disertai hidrops ringan kandung empedu, kemungkinan ada batu impacted belum dapat disingkirkan. Saat itu tidak tampak tanda-tanda cholecystitis/bendungan bilier USG hepar, lien, pancreas, ginjal, vesica urinaria dan prostat normal. Tidak tampak ascites/pemesaran kelenjar.

Dari dua pemeriksaan tersebut paling kuat memang karena batu empedu. Nah, sebetulnya ini cocok dengan hasil MCU (medical check up) yang dilakukan oleh suami saya pada bulan September 2019, batu empedu terdeteksi berukuran 0,9 cm. Namun, karena tergolong kecil, saat itu suami dan saya masih cuek. Tidak pantang makan, tidak pula terpikir untuk operasi. Kenapa? Dari hasil baca sana sini tanya ke sana kemari, batu empedu mulai dianggap besar di atas 1 cm. 

Bukan Maag

Sampai pada dua pemeriksaan terakhir, saya dan suami kini paham, gejala yang dialami seperti yang biasa terjadi saat sakit maag belum tentu maag, buktinya setelah diperiksa ternyata batu empedu.

Tadinya yakin banget itu maag karena 5 tahun lalu suami pernah maag hebat sampai dirawat selama 1 minggu dan harus endoskopi.

Selain itu...

Saya tadinya sempat berujar ke teman-teman, jangan ke rumah sakit kalau gak penting-penting banget. Misal tiba-tiba muncul gejala maag, obati sendiri di rumah, atasi dengan obat yang ada. Jika nyeri tahan saja, sembuhkan sebisa mungkin. Daripada ke RS, musim pandemi gini ribet, banyak tes ini itu dan bakal bikin biaya bengkak, kamu pun nggak aman siapa tahu ketemu pasien covid di RS.

Sekarang.....

Saya menganjurkan jangan anggap sepele sakit yang dianggap sepele, pergi ke rumah sakit, tentunya dengan mengikuti protokol kesehatan ya, lalu periksa dengan teliti apa yang terjadi pada diri.

Saya, kalau tidak bawa suami saya periksa ke dokter penyakit dalam, tidak tahu kalau sakit mirip maag itu, yang ternyata batu empedu, membawa derita hebat pada tubuh suami saya. Ukuran batu empedu suami memang kecil, sekecil beras, tapi batunya keluar dari kantong empedu (dokter bedah menyebutnya jatoh) dan masuk ke saluran sehingga menyebabkan sumbatan.

Sumbatan inilah yang menyebabkan terganggunya fungsi hati dan pankreas, dan itu terbaca dari hasil lab di mana bilirubin tinggi, amilase tinggi, lipase tinggi.

Biar sembuh gimana? Operasi.

Tetapi tindakan operasi hanya aman dilakukan bila lipase dan amilase dalam keadaan normal. Disebut tak normal karena sedang radang, alias ngamuk. Nah, bila dioperasi, bisa jadi terjadi perdarahan. Ini kondisi bahaya yang dikhawatirkan.

Operasi Batu Empedu

Begini, nilai normal amilase 13-53, suami saya ada di angka 159. Nilai normal Lipase <60, suami saya 686. Selama 5 hari dirawat akhirnya lipase turun ke angka 92 dan amilasi 42. 

Sudah aman untuk operasi? Sudah. Tapi saat itu kami menunda operasi. Kami minta ke dokter bedah agar dilakukan setelah lebaran saja. Suami ingin lebaran di rumah bersama kami dalam keadaan masih segar bugar. Mungkin biar bisa salat Ied di rumah dalam keadaan normal, tidak berbaring sakit karena habis operasi, kira-kira begitu.

Tapi apa yang terjadi teman-teman?

Malam takbiran dan di hari lebaran, suami saya nyeri hebat lagi, masuk UGD lagi dengan kondisi lipase mencapai 1390 (normalnya <60) dan amilase 332 (normalnya 13-53) Sangaaaat sangat tinggi...

Otomatis tidak bisa operasi. Yang ada adalah rawat inap lagi menurunkan lipase dan amilase tersebut.

Untuk operasi batu empedu, pemeriksaan tidak hanya sebatas LAB dan USG, tapi juga MRCP Kontras yang biayanya mencapai 6 juta per sekali periksa. Pemeriksaan MRCP ini untuk melihat secara detail seluruh organ di perut meliputi kandung empedu, pankreas, dan hati. 

Jika Nyeri Perut Hebat

Saya sudah terbiasa menganggap mual muntah mulas dan nyeri di ulu hati yang saya alami sebagai maag. Tapi kini, belum tentu maag. Bisa jadi pankreas dan hati yang sakit akibat batu empedu. Periksa lebih lanjut dan mendalam memang perlu biaya, tapi bila dikenali lebih cepat bisa ditangani dengan tepat.

Selain itu, tidak selamanya batu empedu kecil tidak bahaya dan tidak butuh buru-buru operasi. Karena ukurannya yang kecil, bisa jadi keluar kantong, masuk saluran, malah bisa menyebabkan sumbatan. Sumbatan ini yang bisa menyebabkan masalah pada hati dan pankreas. Jika pankreas sakit, maka nyeri yang timbul persis seperti maag ketika kambuh. Dalam istilah kedokteran disebut Pankreatitis.

Bagaimana mencegah timbulnya batu empedu?
Diet apa yang harus dilakukan untuk menormalkan lipase dan amilase?
Pemeriksaan apa saja pra operasi batu empedu?


Tunggu tulisan saya pada postingan selanjutnya ya.

Saya bukan ahli kesehatan. Apa yang saya tulis di sini hanya berdasarkan pengalaman pribadi suami saya. Saya selalu mendampinginya selama pengobatan dan perawatan sehingga tahu banyak soal kondisi yang terjadi. Saya merekam semuanya dalam ingatan dan menuliskannya berdasarkan rekam medis yang saya pegang sejak awal sampai saat ini.

Semoga bermanfaat.

Btw, ada yang bertanya-tanya, kenapa blog travel ini kini isinya tulisan tentang informasi kesehatan bukan perjalanan? Hmmm.....ini juga tulisan perjalanan lho...perjalanan hidup di saat pandemi 😛 

Baca juga:


Masuk UGD Bayar Biaya APD Rp 600 ribu

Masuk UGD Bayar APD (Pict. UGD Eka Hospital BSD)

Sejak Ramadan sampai lebaran suami saya beberapa kali mengalami sakit akibat batu empedu. Rasa sakit ada di perut, mengenai hati dan pankreas. Rasa sakit datang tak tentu. Bisa kapan saja. Kadang pagi, siang, atau malam. Saat nyeri hebat, saya larikan ke Eka Hospital BSD, rumah sakit swasta yang lokasinya paling dekat dari rumah.

Dalam keadaan gawat, otomatis saya menuju UGD. Pernah tengah malam saat takbiran, pernah juga malam hari saat lebaran. Jam segitu, poli tutup, dokter spesialis pun nggak ada. Petugas medis di UGD jadi andalan. 

Selama pandemi, semua petugas medis di UGD pakai hazmat. Masuk ruang UGD buat saya horor. Meskipun pasien sedikit hanya satu atau dua tapi saya jadi ngeri sendiri takut ada covid. Tahu sendiri kan mereka yang masuk UGD itu bisa siapa saja, covid dan non covid. Kalau sudah masuk ruang rawat sih enak, sudah disortir pakai rapid test, PCR, SWAB dan pemeriksaan lainnya seperti CT scan low Dose dan thorax.

Rasa takut saya masih berlanjut saat suami mulai melakukan tes Covid. Takut positif, lalu auto dikirim ke RS rujukan covid. Saya otomatis nggak bisa menemani dan menunggui selama sakit, aturannya begitu. Huffttt ngeri, sedih!

Syukur Alhamdulillah suamiku sudah menjalani semua tes itu dan negatif Covid-19. Makanya bisa masuk ruang rawat.


Di Eka Hospital, semua pasien yang akan rawat inap wajib tes Covid. Prosedur ini wajib dan harus dipatuhi.

Nah, selama beberapa kali suami saya masuk UGD nih ya, kami kena biaya APD. APD siapa? APD petugas medis, bukan APD buat suami saya sebagai pasien.

Biaya APD yang dikenakan oleh Eka Hospital sebesar Rp 600.000. Tagihan ini disebutkan diawal sebelum pasien mendapat tindakan. Jika setuju, perawatan dilanjutkan. Jika tidak? Ya silakan mundur cari UGD lain 😆

Tapi kayaknya nggak mungkin sih pada mundur kalau masuk sudah dalam keadaan gawat. Buang waktu pindah ke RS lain, keburu menderita yang sedang kesakitan.


Rincian tagihan di UGD lembar ke-1 dari 2 : Biaya APD Rp 600.000 ada pada kategori Equipment Service

Selanjutnya, jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata pasien harus dirawat, maka harus segera tes Covid. Petugas di Eka Hospital langsung menginformasikan kepada saya bahwa semua tes Covid di Eka tidak ditanggung asuransi, biasanya seperti itu, katanya. Dan benar saja, asuransi saya (bukan BPJS ya) tidak mengcover biaya tersebut.

Berapa biaya tes Covid yang dijalani suami saya di Eka?

Pertama screening bulan puasa (09 Mei), paket tes rapid Rp 1,1 jutaan (di kwitansi tercatat 402.500)
Lalu CT Scan Low Dose sekitar Rp 3,4 jutaan.

Screening kedua tgl 1 Juni, paket tes dengan biaya yang sama. Plus Thorax sekitar Rp 350 ribuan. 

Intinya, kalau sakit dan masuk UGD, bakal kena biaya-biaya tersebut, di luar pemeriksaan pokok terhadap penyakit yang sedang dialami.

Pengalaman saya bawa suami ke RS, baru di UGD sekitar 4 jam saja sudah kena biaya 4-6 juta. Itu tidak termasuk tes Covid! Dan suami ada 3-4 kali masuk UGD sejak Ramadan sampai Syawal 1441H ini.

Bagaimana dengan kalian di rumah sakit lain? Apa ada kena biaya APD jika masuk UGD?







Pengalaman Dirawat di Rumah Sakit di Saat Pandemi

Sakit dan dirawat di Rumah Sakit di saat pandemi, bukan hal yang enak untuk dialami. Dalam situasi normal saja tak nyaman, apalagi saat wabah. Rasa cemas berlipat-lipat, ketakutan menggunung. Jika bisa meminta, tolong jangan sakit dulu, apalagi sampai dirawat. Namun, bila sudah jadi kehendak Tuhan, tak mungkin menghindar, mau tak mau dihadapi dan berjuang untuk meraih kesembuhan. Lantas, pengalaman seperti apa yang saya dapat ketika berada di pusatnya orang-orang sakit? 

Minggu lalu, suami saya mengeluh nyeri di ulu hati. Tanda-tanda yang tampak persis seperti menderita sakit maag. Perut kembung, susah buang angin, ulu hati sakit, dan berbagai rasa tidak nyaman di perut. Saya dan suami sama-sama mengira maag, lalu minum obat maag yang memang selalu sedia di rumah, namun tak jua sembuh meski 1 jam berlalu. Karena kondisi tak kunjung baik, saya bawa ke UGD di Eka Hospital BSD. 

Pemeriksaan pertama: LAB dan USG

Sampai di UGD seluruh petugas medis yang saya temui mengenakan APD lengkap. Saya senang melihatnya namun di sisi lain membuat saya diselimuti cemas. Kecemasan pertama, ini adalah tempat pertama di mana orang-orang sakit datang dalam kondisi darurat, bisa saja di antara yang pernah datang adalah pasien pengidap Covid-19. Berarti saya memasuki area berbahaya bukan? Kedua, jawaban dokter K atas pertanyaan apakah di RS ada pasien Covid, membuat saya seperti sedang terjebak di sarang penyakit yang sedang mendunia itu!

Di ruang UGD hari itu, sekitar pukul 10 pagi, masih sepi. Hanya ada 1 pasien lain selain suami, deretan ranjang tampak kosong. Meski demikian, saya tak berani menyentuh apapun, kalau pun menyentuh dokumen yang harus ditanda tangan saat masuk, saya langsung cuci tangan, berkali-kali. 

Suami langsung mendapat penanganan dari dokter dan perawat. Pertanyaan berkaitan Covid-19 sudah tentu ada, dan untuk gejala yang dialami, suami langsung diperiksa lab dan mesti USG.


Pemeriksaan kedua: Rapid Test dan CT Scan Low Dose

Perlu waktu sekitar 2 jam bagi saya untuk menunggu hasil pemeriksaan Lab dan USG. Hasil lab menjelaskan beberapa item pemeriksaan terhadap suami saya dikategorikan parah. Begitu juga dengan hasil USG, ternyata ada batu di kantong empedu. Dari dua hasil pemeriksaan inilah suami dinyatakan harus dirawat.

Nah, di sinilah kemelut itu terjadi.

Sudah jadi aturan pemerintah agar diterapkan oleh seluruh Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta bila ada pasien dirawat wajib Rapid test dan Swab. Penjelasan ini saya terima dari dokter yang saat itu bertugas di UGD. Saya diberi rincian tertulis mengenai pemeriksaan apa saja yang harus dilakukan;

- Lab
- USG
- Rapid Test
- CT Scan Low Dose

Sesuai prosedur rawat inap sudah tentu suami wajib menjalani pemeriksaan Rapid Test dan CT Scan Low Dose. Kedua pemeriksaan tersebut terkait Covid-19. Penting bagi RS tahu pasien negatif atau positif karena akan menentukan di mana nanti pasien dirawat dan bagaimana cara perawatan. 
Jangan sampai sakit, jangan sampai dirawat saat pandemi

Ketakutan yang Membuncah

Sembari menunggu hasil Rapid Test dan CT Scan Low Dose, pikiran saya tidak tenang, bahkan dilanda kesedihan mendalam. Kami merasa selama ini sudah sangat taat terhadap langkah-langkah pencegahan Covid-19, tapi bagaimana bila nanti hasil tes suami positif? Apakah di UGD ini akan jadi momen terakhir saya membersamainya? Bukankah bila positif, pasien tak boleh dijaga dan dikunjungi oleh siapapun? Memikirkan itu, mata saya memanas, dan akhirnya basah. Perasaan sedih itu tak terkendali, saya sungguh tidak mau berpisah dari suami dengan cara seperti ini. 

Seorang teman dokter melalui Whatsapp menenangkan saya. Katanya, Insha Allah suami saya negatif, dan nanti bisa fokus menjalani pengobatan pada perutnya. Lagipula, kalau misal Rapid Test positif, jangan langsung panik dan stres, bisa jadi tidak akurat, dan masih bisa dibuktikan dengan Swab. Karena, bisa saja saat Swab malah negatif. Membaca pesan itu, kecemasan saya mulai berkurang. Saya lanjut berdoa semoga pemeriksaan covid-19 suami saya negatif.

Saat hasil Rapid Test keluar, dokter di UGD sudah berganti, tadinya Dr K (laki-laki), sekarang dokter S (perempuan). Alhamdulillah Rapid Test hasilnya Non Reaktif. Bagaimana dengan CT Scan Low Dose? Pemeriksaan satu ini biayanya lebih mahal dari SWAB. Kenapa lebih mahal? Mungkin saja hasilnya lebih akurat. Ya, hasil panorama menunjukkan Mas Arif bebas corona. Paru-parunya bersih dan aman. ALHAMDULILLAH.

Biaya Pemeriksaan Covid-19 Tidak Ditanggung Asuransi dan Pemerintah!

Segala biaya perawatan suami selama di RS ditanggung oleh pihak asuransi (swasta), namun untuk biaya pemeriksaan terkait Covid-19 ditanggung pribadi. Hal tersebut berlaku untuk pasien manapun dengan asuransi apapun, baik asuransi swasta maupun pemerintah (BPJS). Nah, bila positif Covid-19, maka seluruh biaya perawatan ditanggung oleh pemerintah. 

Jadi, buat yang ingin Rapid Test maupun swab, bisa saja dilakukan tapi bayar sendiri. Biaya Rapid Test masih termasuk murah, hanya 400ribuan saja. Yang mahal Swab. Lebih mahal lagi jika dengan CT Scan Low Dose. Kemarin suami hanya menggunakan cara Rapid Test dan CT Scan Low Dose. Total keduanya 4,3 jutaan.

Dengan biaya tidak murah itu, apa iya masyarakat yang secara ekonomi lemah mau tes dan periksa? Dalam kondisi seperti sekarang, urusan makan saja sedang banyak yang susah, bagaimana mau mengurus tes covid-19 segala?

Suami pun, jika bukan karena sakit (batu empedu) dan harus dirawat, mungkin tidak akan menjalani pemeriksaan macam ini. Selama ini, saya dan suami hanya berpikir positif bahwa kami bebas dari Covid-19, jadi belum pernah merasa perlu untuk tes covid-19. Jika pun ingin, yang ada malah takut jika harus periksa, nanti malah kepikiran. Lagian, takut juga mendatangi RS buat periksa, seakan kalau datang ke RS malah menjemput penyakit.

Saya jadi berpikir begini, mungkinkah jika di suatu wilayah no case karena no test? Hmm...
Lift ini lebih sering kosong saat saya turun dan naik. Sesekali saja berpapasan dengan petugas medis atau pun pekerja dan pengunjung lainnya di RS. Kamu tahu? Lift adalah bagian yang paling saya takuti selama di RS, meskipun tiap 1 jam lift ini dibersihkan dengan desinfektan

SUPER HATI-HATI

Berada di rumah saja saya sangat hati-hati, apalagi berada di luar rumah misal saat ke tukang sayur, atau ke minimarket depan komplek, sudah pasti saya pakai masker, cuci tangan di manapun air dan sabun tersedia, pakai hand sanitizer bila tak ada sabun dan air, dan selalu menjaga jarak bila bertemu siapa pun.

Bagaimana bila di rumah sakit? Sudah pasti melakukan hal yang sama namun dengan kehati-hatian yang ekstra. Sebagai pasien, suami saya sudah pasti wajib pakai masker selama berada di kamar perawatan, terutama bila dokter dan perawat visit. Dokter dan perawat jangan ditanya, mereka selalu pakai seragam APD lengkap, berjam-jam. Kebayang panasnya.

Sebelum masuk kamar perawatan, kamar disteril ulang, setelah siap, suami baru masuk. Oh ya, kami masuk UGD sekitar jam 10 pagi, setelah melewati berbagai pemeriksaan yang panjang, pendaftaran rawat inap, dan lain-lain, jam 8 malam baru masuk kamar perawatan. Lama ya :))

Saya mondar mandir dari UGD, ruang tunggu radiology, ruang admin rawat inap mengurus dokumen, hingga ke lantai 7 kamar perawatan, bertemu beberapa orang, dan pastinya berkali-kali memegang gagang setiap pintu yang dimasuki, tombol lift, pulpen buat tanda tangan. 

Apa yang saya rasakan?? Seakan diserbu Covid-19 dimana-mana. Berada di RS bikin saya jadi sangat parnoan. Tiap bebeberapa belas menit saya cuci tangan, kulit tangan sampai kering dan terasa panas. Belum 24 jam di RS, kulit tangan sudah mengeriput :))
Tanda bulat warna orange yang ditempel di baju adalah tanda sudah discreening oleh petugas RS sebelum masuk RS. Tiap hari diperiksa dan warnanya tiap hari ganti. 

Prosedur Pencegahan Covid-19 Untuk Pasien Rawat Inap

Di saat pandemi, Rumah Sakit menerapkan aturan ketat demi pencegahan penularan Covid-19. Ini yang terjadi di EKA Hospital tempat suami saya dirawat:

- Pasien hanya dijaga/ditemani oleh satu orang saja
- Tidak diperbolehkan dikunjungi oleh siapa pun
- Tidak ada jam besuk
- Setiap keluar kamar harus pakai masker
- Tetap pakai masker di kamar bila dokter/perawat visit
- Semua aturan tersebut disampaikan beberapa kali dalam sehari lewat pengumuman ke seluruh area RS

Saya sebagai satu-satunya orang yang menemani suami selama dirawat, tidak bisa bebas keluar masuk, selalu harus melalui pemeriksaan ketat. Pintu keluar dan masuk kini hanya dibuat satu pintu. Masuk dari pintu utama di depan, keluar hanya melalui pintu belakang. Akses lainnya ditutup guna pengetatan aturan masuk. 

Tiap petang anak saya Alief mengantar makanan untuk saya berbuka. Saya tidak perkenankan dia masuk kawasan RS. Saya hanya minta dia mengantar di depan gerbang, dan saya menemuinya di luar. Setelah itu saya suruh dia cepat pulang ke rumah. Hal ini terjadi setiap hari selama saya menemani suami dirawat. 

Saya tidak berani memesan makanan dari luar lewat aplikasi online, atau ke restoran yang ada di area lobi RS. Selain khawatir pada pembuatnya, juga pada pengantarnya. Maafkan saya ya para resto dan pengemudi layanan pesan antar. Di kondisi saya harus sehat demi menjaga yang sakit, saya harus hati-hati terhadap apa yang saya makan dan siapa yang saya temui. Semoga rejeki kalian tetap hadir dari arah manapun meski tidak lewat saya.

Alief tiap hari terpaksa harus keluar rumah pakai motor ke RS, mengantar makanan dan pakaian buat saya. Saya perintahkan hanya di luar saja, tidak perlu masuk dan parkir di dalam. Biar dia aman dan tidak ketemu orang-orang di RS.

Pagi hari mengambil pakaian kotor dan mengantar pakaian bersih, sore jelang buka mengantar makanan buat saya berbuka. Saya foto dia buat kenang-kenangan, bahwa selama pandemi, pernah terjadi hal seperti ini 😃 

Jaga Kesehatan, Jaga Keuangan

Hampir satu minggu suami dirawat, alhamdulillah dari hari ke hari kondisinya membaik. Rangkaian pemeriksaan tidak hanya sebatas 1 kali lab, USG, Rapid Test, dan CT Scan Low Dose. Namun, dilanjut dengan MRCP dan 2 kali lab lagi.

Pemeriksaan dan pengobatan batu empedu memang tidak simple. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dan itu tidak selesai hanya dalam hitungan 1 atau 2 hari. Bukan hanya badan yang harus sabar, kantong juga harus sabar karena pengobatan dan rangkaian pemeriksaan memakan biaya tidak sedikit. 

Di masa-masa sulit di mana semua sektor terdampak, oang-orang mencemaskan kondisi keuangan. Saat ini, bila dalam keadaan berpunya, duit harus dijaga baik-baik supaya bisa bertahan untuk waktu yang lama, karena kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Masuk RS tidak murah, apalagi bila sakit parah. Memang masih bisa lega bila ada asuransi seperti kami, tidak pusing memikirkan biaya karena ada yang menanggung. Bagaimana bila tak punya asuransi? Atau bagaimana bila ada asuransi tapi limitnya kecil, biaya-biaya tak bisa ditanggung penuh oleh asuransi, otomatis keluar biaya pribadi.

Ada BPJS kan? Iya, itu bisa dipakai di rumah sakit rujukan sesuai ketentuan per wilayah. Tapi biaya Rapid Test dan Swab, tetap harus ditanggung pribadi. Masuk RS pun ada tahapannya, mesti ke faskes 1 dulu, dirujuk ke RS tipe berikutnya, baru ke RS yang dinyatakan bisa melakukan tindakan dalam rangka penanganan penyakit, misal untuk operasi. Kalau asuransi swasta mah bebas, bisa masuk RS mana saja asal bekerja sama dengan asuransi yang dipegang.

Jangankan orang susah, orang kaya pun saat ini sudah ada beberapa yang mulai kelimpungan dengan keuangan. Pernah baca kan ada artis yang cicilan rumahnya 250 juta perbulan mulai mengeluh ga bisa mencicil? Duh! Ada pula pengusaha yang harus jual mobil-mobil mewahnya demi membayar gaji dan THR karyawannya. 

Jadi, penting sekali jaga baik-baik kesehatan dan keuangan supaya bisa selamat di masa-masa sulit seperti sekarang.
Yakinlah, setelah gelap pasti ada terang

Alhamdulillah

Alhamdulillah kini suami sudah pulang ke rumah, kondisinya sudah sangat baik. Tak ada keluhan nyeri seperti yang terjadi saat masuk UGD. Minggu depan masih balik ke RS lagi buat kontrol, semoga sudah benar-benar baik.

Ohya terkait batu empedu suami, berdasarkan hasil MRCP dan penjelasan dokter internis, ukuran batu kecil-kecil seperti beras. Memang sempat ada gangguan sedikit karena sempat menyumbat, dan itu sudah diatasi. 

Saya suka dengan dokter internis yang menangani suami, penjelasannya selalu positif dan membuat kami optimis. Karena itu pula saya bisa membawa suami pulang dengan perasaan lega.

Selanjutnya, suami wajib jaga makan. Menghindari makanan berlemak dan hanya makan-makanan yang sehat buat tubuh, termasuk yang aman buat lambung. Saat ini suami sedang menjalani terapi jus apel hijau. Selama di RS, menu jus apel hijau selalu hadir di tiap jam makan suami. Dan ini saya teruskan setelah di rumah.

Dari pengalaman teman-teman suami maupun teman saya yang pernah punya batu empedu, jus apel hijau sering berhasil menghilangkan batu empedu yang masih bisa ditolerir, dalam artian untuk ukuran batu masih kecil dan belum membahayakan, masih bisa disembuhkan. Saya baca dan dengar, terapi apel hijau plus minyak zaitun dan garam inggris, dapat membantu mengeluarkan batu empedu lewat kotoran. Beberapa teman saya yang berprofesi sebagai dokter pun menganjurkan hal yang sama.

Kami sedang berusaha, semoga saja cara itu berhasil. 
Menuliskan pengalaman merawat suami di RS selama pandemi

Kita memang tidak bisa mengendalikan apa yang akan terjadi dalam hidup ini, namun kita bisa memilih bagaimana cara kita meresponnya ketika hal itu terjadi. Dengan menerima bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa kita kendalikan, kita bisa tetap positif dan tenang, serta mengandalkan kekuatan doa untuk perlindungan dan kedamaian hati.

Allah SWT akan bersama orang² yang berdoa, berusaha, dan tak putus asa. Tetap semangat dan optimis 💪

Terima kasih untuk semua sahabat, saudara, dan kenalan yang telah memberikan dukungan dalam bentuk doa dan support tiada henti, semoga semua yang mendoakan diberikan balasan yang baik, berupa kesehatan dan keuangan yang baik, serta hidup sehat sepanjang usia.

Aamiin YRA 🙏


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Semua foto dokumentasi pribadi.

Untuk teman-teman yang ingin mendokumentasikan aktivitas di RS, harap hati-hati ya. Ada yang boleh dan tidak boleh difoto/video. Umumnya aktivitas yang terjadi di rumah sakit seperti dokter atau perawat yang sedang bekerja, baik sedang menangani pasien atau pun tidak. Pasien lain baik yang rawat inap atau rawat jalan.

Terima kasih.