Tampilkan postingan dengan label West Sumatra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label West Sumatra. Tampilkan semua postingan

Ada Cinta di Setiap Helai Kain Tradisional Indonesia


Negeri ini, Indonesia, memiliki keragaman kain-kain yang indah dan diakui oleh negara-negara lainnya. Bukan hanya setiap motif kain mempunyai filosofi, tapi tekniknya pun unggul. Songket, tenun, batik, ikat, jumputan, dan pewarnaannya pun tak cukup diceritakan dalam semalam. Inilah yang mendorong saya untuk menyambangi Pandai Sikek, sebuah nagari (desa) penghasil kain tradisional yang terletak di kaki Gunung Singgalang, Sumatra Barat.  

*****

“Aku titip uang Rp 250.000 sama kamu, nanti tolong belikan kain songket Pandai Sikek sutera benang emas. Bisa?” tanya seorang teman melalui pesan SMS. Pagi itu saya baru saja mengabarkan padanya bahwa saya akan mengunjungi Desa Pandai Sikek.

“Apa cukup?” tanya saya tak yakin.

“Pasti cukup. Masa harga songket sampai jutaan?” dia balik bertanya. Saya tak menjawab. Hanya berucap dalam hati, “Baiklah, kita lihat nanti.” 

Hi...saya di desa Pandai Sikek


Pandai Sikek terletak tak jauh setelah Kota Padang Panjang menuju Bukittinggi, tepatnya berada di Kabupaten Tanah Datar. Nama desa ini tertera pada lembar uang kertas Rp 5.000,-. Pandai Sikek berasal dari kata pandai, sedangkan Sikek artinya sisir. Sisir yang dimaksud bukan sisir biasa yang digunakan untuk rambut, melainkan sisir halus yang berukuran besar dan digunakan pada alat tenun. Pande Sikek berarti pandai menggunakan sisir (alat tenun).

Dari Kota Bukittinggi, waktu yang saya tempuh untuk mencapai Pandai Sikek sekitar 25 menit. Sepanjang perjalanan dari Bukittinggi menuju Pandai Sikek, benak saya dipenuhi tanya, apa benar kain tradisional karya pengrajin tenun Pandai Sikek bisa dihargai Rp 250.000,- saja? Entahlah, teman saya seperti yakin sekali dengan apa yang dipikirkannya. Apa dia tak pernah membeli kain songket sebelumnya?

Bayangan kain songket Palembang dalam lemari pakaian di rumah, melintas dalam benak. Teringat sebuah harga yang pernah dibayarkan untuk songket tersebut, membuat saya makin tak yakin sehelai kain kaya motif yang dibuat pengrajin Pandai Sikek tak jauh berbeda dengan harga makan seafood di rumah makan pinggir pantai. 

Salah satu rumah tenun di desa Pandai Sikek.

Pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Singgalang tersaji sepanjang perjalanan. Di kaki-kaki gunung terhampar sawah, kebun, lembah, serta hutan alam yang masih perawan. Kabut tampak menggantung di pucuk-pucuk bukit, menemani perjalanan yang senantiasa diselimuti udara sejuk khas pegunungan. Pemandangan elok dengan suasana menetramkan itu dapat saya nikmati hingga mencapai Desa Pandai Sikek.

Saat mulai memasuki desa, terlihat Gunung Singgalang menjulang di latar belakang. Atap-atap rumah menyembul di lereng-lerengnya. Bangunan rumah terbuat dari beton permanen, namun tetap dengan atap gaya khas rumah adat Minangkabau. Tak sedikit pula kendaraan roda empat keluaran terbaru terparkir di halaman rumah. Bayangan desa tradisional penghasil tenun tradisional seperti Sade di Lombok, atau Baduy di Lebak Banten, seketika lenyap dalam benak saya. Desa ini tampak modern! Kain tradisional seperti apa yang dibuat oleh pengrajin di desa maju ini? Saya penasaran. 

Rumah Tenun Satu Karya
Tempat produksi songket rumah tenun Satu Karya berlatar Gunung Singgalang
Musola di belakang rumah tenun dan gunung bertudung awan

Supir sekaligus guide yang menemani, mempersilakan kami memilih sendiri rumah tenun yang hendak didatangi. Ada puluhan rumah tenun dengan ratusan pengrajin, yang mana hendak saya masuki? Rumah tenun Satu Karya! Ya, rumah itu saya pilih karena saat itu saya memang sedang berdiri di depannya.

Seorang perempuan muda menyapa ramah. Hangat sambutannya membuat saya senang mengajukan banyak tanya. Ini ukiran apa? Itu baju apa? Ini songket benang apa? Itu sarung songket buatan kapan? Sederet tanya diantara tatap takjub pada aneka produk yang terpajang memenuhi isi rumah. Nafsu belanja seketika bangkit. Namun, sebelum semua itu terjadi, langkah kaki saya terhenti di hadapan sebuah alat tenun tradisional.

Seperti mengerti dengan wajah saya yang diselimuti rasa penasaran, seorang ibu mendekati, dan mengatakan pada saya bahwa saya boleh mencoba alat tenun itu jika saya mau. Pucuk di songket, alat tenun pun tiba! Siapa yang tak mau menjajal alat pembuat kain tradisional itu, bukan? 

Aneka busana bordir dan sulam tangan

menjual beragam produk
alat tenun

Di Pandai Sikek, selain bisa melihat-lihat dan membeli hasil produksi tenun, wisatawan juga dapat menyaksikan para wanita membuat dan mengikat kain tenun dengan peralatan tradisional. Para perempuan pembuat kain tenun biasanya berdemo membuat kain tenun sambil mengajari wisatawan yang ingin mencoba membuatnya.

Demo menenun oleh ibu pemilik Rumah Tenun Satu Karya

Siang itu, saya pun kebagian diajarkan cara menenun. Bahkan, yang mengajari adalah ibu pemilik rumah tenun itu sendiri. Saya tak menyebut namanya di sini, karena saya lupa menanyakan namanya. Saya panggil saja dia ibu Satu Karya. Jadi, dihadapan saya, Ibu Satu Karya memperagakan cara menenun. Sambil berbicara, kedua tangannya lincah menggerakan alat tenun. Bunyi cletak cletok dari kayu yang digunakannya untuk merapatkan benang, berkali-kali memecah hening. 

Bukan pekerjaan mudah
  
“Bahan baku kain songket adalah sutra, benang mas dan katun. Untuk katun dan sutra bisa didapat di Sumatra, sedangkan benang mas diimport dari India. Pemasangan benang untuk satu kain songket memerlukan waktu 1 minggu. Jumlah benang harus 880 helai, dibagi dua untuk atas dan bawah. Untuk menghasilkan 1 buah kain (sarung) songket, diperlukan waktu 3 bulan. Untuk 1 selendang songket diperlukan waktu 1 bulan,” terang ibu Satu Karya.

1 bulan? 3 bulan?
Selama itu hanya untuk 1 kain?

Jangan tanya bagaimana hal tersebut bisa terjadi sampai kamu mengerjakannya sendiri! 

Tidak akan pernah tahu seperti apa prosesnya kalau tidak pernah mencoba

Saya punya kesempatan itu. Lihat apa yang saya lakukan. Saya berusaha mencoba memasukkan benang, bambu, serta menghitung benang demi benang. Namun apa yang terjadi? Saya melakukannya sampai beberapa kali dan mengulang beberapa kali. Apabila salah, harus diulang. Maka tak boleh salah. Harus jeli, harus tepat hitungan, harus rata. Saya tak menyerah. Coba lagi. Lakukan lagi. Berhasil?

Dalam waktu 20 menit saya tidak menghasilkan apapun.

Saya mulai berkeringat. Rasa kesal mulai terbit. Benang-benang itu membuat saya gemas. Alat itu seperti mentertawakan saya. Saya menyerah. Saya tak sabar. Saya gagal! 



Memasukkan benang saja saya tak mampu. Lantas, perlu berapa lama buat saya menjadikannya sebuah kain indah yang bila dikenakan membuat pemakainya bak seorang ratu? Saya takut menyebut jumlah waktu.

Sungguh sebuah pengalaman berharga yang mengajarkan saya betapa sulitnya membuat kain songket. Keterampilan kaki dan tangan, diiringi dengan kejelian, serta sebuah "alat" yang paling penting selain benang, kayu, bambu, adalah sesuatu yang bernama kesabaran.  



Menghargai sebuah harga

Membuat kain adalah salah satu teknik pertama yang dikembangkan manusia. Dari awal proses ini terkait dengan kepercayaan, upacara agama dan peradaban masyarakat setempat. Dari kain-kain inilah tercermin kondisi geografi dan iklim yang menentukan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan. Tenunan menunjukkan tingkatan kecanggihan tekniknya. Dengan memahami motif yang ditampilkan pada suatu kain dapat diketahui kepercayaan yang dianut penenunnya, juga dapat dilihat sejarah kebudayaan masyarakat yang bersangkutan dan pengaruh-pengaruh apa yang bermakna dalam perkembangan kebudayaan masyarakat setempat.

Songket mempunyai teknik yang khas, dimana benang emas ditenun di atas dasar sutera.

Bagaimana cara menenun? Saya tidak dapat menjelaskannya dengan kata-kata, tetapi saya bisa sarankan jika ingin tahu lebih baik melihat langsung sambil praktek. Rumitnya proses pembuatan itulah yang menyebabkan harga kain songket mahal di pasaran. Tak dibuat sembarangan, maka harganya pun tak sembarangan.

Ada cinta di setiap helai benang dalam kain tradisional

Mahal adalah sebutan yang saya anggap pantas untuk memberi nilai tambah pada suatu karya, sehingga jangan hanya para tengkulak dan pedagang tangan kedua dan ketigalah yang mendapat untung. Betapa sedihnya melihat para pengrajin tenun atau songket, yang dengan tekun dan teliti menciptakan suatu kriya selama berbulan-bulan, tapi tidak mendapat imbalan yang sesuai. 


Jika melihat harga Songket Pandai Sikek dibanderol satu juta, dua juta, atau 3 juta, maka itu adalah wajar!

Di sini, para penenun biasa hidup dalam lingkungan alam yang indah, cuaca menyenangkan, dan tanah yang subur. Saat membuat sesuatu, penuh dengan kreativitas dan inspirasi yang tiada akhir. Dalam kehidupan sehari-hari harmoni merupakan unsur yang penting dan alam dijadikan contoh yang memberi warna tersendiri. Tak terbayang oleh mereka untuk memasang harga atau menuntut imbalan tinggi saat berkarya. Mereka menenun, namun tanpa mengurangi aktivitasnya sebagai istri.

Tidak hanya tenun Pandai Sikek saja, tetapi kain-kain tradisional dari setiap daerah seperti tenun ikat, ulos, kain gringsing, songket, sasirangan, tapis, kain besurek, tenun dayak, sutra bugis, dan lainnya punya tingkat kesabaran, kesulitan, dan cerita tradisi masing-masing. 

Kaya motif & warna, bernilai tinggi, dan sangat indah

Bangsa ini bangsa berseni dan seniman yang terbiasa mengerjakan sesuatu dengan hati.  Seni yang dibuat sepenuh hati tak ternilai harganya dan tak dapat diukur bobotnya. Saat menenun ibarat melukis di atas suatu kanvas, tidak ada dua yang sama, tidak akan berhenti sebelum keindahan yang dicipta mencapai keselarasan.

Betapa kesabaran perempuan-perempuan Indonesia telah berhasil menciptakan kain tradisional sebagai mahakarya Indonesia yang keindahannya sudah diakui dunia.


Saat berbusana tradisional di Rumah Gadang Padang Panjang, Sumatra Barat.

Ada perasaan bangga bercampur haru saat mengenakan sehelai kain indah yang mengundang decak kagum. Apalagi ketika mengetahui bagaimana kain itu dibuat dengan penuh kesabaran dalam hitungan bulan, juga filosofi di balik motifnya.

Kurang dari 2 jam saja saya berada di Pandai Sikek, bukan sekedar melihat hasil karya, tetapi juga melihat proses karya itu diciptakan. Pelajaran berharga tentang semangat berkreatifitas, serta cara menghargai sebuah harga saya dapatkan di sini, dan menjadi oleh-oleh manis yang saya bawa pulang ke Jakarta. [KS]




*Semua foto dokumentasi pribadi kecuali 1 foto kain songket yang sudah diwatermark sesuai sumber.

[KulinerDaihatsu] Nasi Kapau Khas Bukittinggi, Lezatnya Hingga Ke Hati



Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Teman, apa yang langsung terlintas di pikiranmu jika menyebut kuliner Padang? Rendang! Ya, tak salah lagi. Siapa yang tak kenal  kuliner lezat dan melegenda yang telah lama masuk dalam jajaran kuliner dunia itu? Jangan mengaku sebagai orang Indonesia jika tak kenal rendang. He he. Nah, Sumatera Barat bukan hanya tentang Padang, tapi juga  tentang Bukittinggi. Maka, kuliner di Ranah Minang juga bukan hanya tentang Rendang, tapi juga tentang Nasi Kapau. Sudah pernah mendengar tentang Nasi Kapau sebelumnya? Belum? Duh! Mau saya beri tahu? Oke, kebetulan ada kontes blog jelajah kuliner unik Nusantara dari Daihatsu nih. Yuk mari simak…

Nasi Kapau itu apa sih?
Nasi Ramas! Lho, kok mirip nasi rames ya namanya? Ya, kedengarannya memang hampir sama, beda pada vocal ‘a’ dan ‘e’ saja. Lantas, apakah nasi rames ala Jawa (karena saya biasa dengarnya di Jawa) sama dengan nasi ramas ala Kapau? Wah, tentunya beda. Yuk ketahui ciri khasnya.

Nasi Kapau adalah nasi ramas khas Nagari Kapau, Sumatera Barat, terdiri dari : nasi, sambal, dan lauk pauk khas Kapau. Nasi Kapau sangat khas dengan masakan gulainya, mulai dari gulai  usus (tambunsu) yang terbuat dari campuran telur ayam dan tahu yang dimasukkan ke usus sapi (karena usus kerbau lebih keras), gulai ikan, gulai tunjang (urat kaki kerbau atau sapi), gulai cangcang (tulang dan daging kerbau), gulai babek (paruik kabau), hingga gulai nangka (cubadak). Lauk pauk Nasi Kapau biasanya berupa rendang ayam, rendang daging, ayam panggang, ayam goreng, teri balado, tongkol balado, dendeng balado, goreng belut, dendeng basah cabai hijau, sup tulang iga, telur ikan, dan sambal lado hijau.

Dan satu hal lagi, beras Nasi Kapau itu khas karena menggunakan  beras bermutu tinggi yang umumnya dikirim dari Bukittinggi dan Agam. Wow, ternyata bukan sembarang beras.

 Warung Nasi Kapau

Dari Mana Asal Muasal Nasi Kapau?
Begini, kenapa disebut Nasi Kapau? Karena berasal dari Kapau. Seperti halnya Padang, Kapau adalah nama tempat. Nama sebuah nagari, Nagari Kapau, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Letaknya sekitar lima kilometer dari Bukittinggi, atau sekitar 15 menit perjalanan berkendara.  

Sejak kapan Nasi Kapau mulai dikomersilkan? Nah saya tidak tahu, soalnya sewaktu di Bukittinggi saya memang tidak bertemu dengan sumber yang dapat memastikan kapan Nasi Kapau mulai dijual. Namun dari cerita orang-orang yang pernah bertanya langsung ke para tetua kampung, konon Nasi Kapau itu katanya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dulu, dari Nagari Kapau yang berudara sejuk dan segar, para ibu naik kereta api (pastinya itu kereta kini tak aktif lagi dong ya) sambil menggendong Nasi Kapau dalam bakul. Nasi Kapau itu mereka jual dari ke kampung-kampung dan juga dibawa ke pusat keramaian di Bukittinggi. Di masa sekarang  pusat keramaian itu adalah pasar tradisional yang buka hanya setiap pekan, antara lain: Pasar Lasi, Pasar Baso, Pasar Biaro, atau Pasar Padang Luar.

Jadi, dari mana asal Nasi Kapau? Ya, dari Nagari Kapau. Kapau itu adanya di mana? Di Sumatera Barat. Wes, itu aja. He he.

Nasi Kapau + Kerupuk + Segelas air minum dalam mangkuk berisi air

Apa Bedanya Nasi Kapau Dengan Nasi Padang?
Mau tahu perbedaannya? Yuk kita gunakan indra penglihatan dan indra pengecap kita. Pertama, secara visual kita akan langsung menemukan perbedaan pada warna bumbu kuah gulai, dimana masakan Padang kuahnya berwarna kecoklatan, sedangkan Nasi Kapau kuahnya berwarna kekuningan. Warna kuning itu merupakan ciri khas Nasi Kapau, berasal dari warna alami rempah kunyit yang dipadu kemiri sebagai pengental kuah.

Dari mata turun ke lidah. Lewat lidah, kita akan menemukan perbedaan berikutnya. Apa itu? Cita rasa! Ya, citarasa yang terdapat pada masakan Nasi Kapau lebih ‘nendang’ dan lebih ‘nonjok’. Kenapa bisa begitu? Ada sebabnya lho. Begini, Nasi Kapau itu kan nasi pedalaman. Bukan sembarang pedalaman, melainkan pedalaman yang terletak di dataran tinggi dan dingin. Nah biasanya nih, udara dingin kerap memicu orang untuk bisa merasakan yang hangat-hangat. Kamu saja jika sedang dingin-dingin disodori makanan, pastinya milih yang pedas-pedas, hangat dan bikin lidah jingkrak-jingkrak, kan? Begitu pula yang terjadi dengan Nasi Kapau, biar ‘nendang’ maka ditambah beberapa bumbu yang ‘berani’ dan dominan sehingga bikin mulut jadi seperti ketonjok. He he. Tenang, bumbunya bukan bogem kok, tapi rempah-rempah.

Nasi Kapau tak hanya khas dengan bumbunya yang bervariasi, tapi juga karena pengolahannya yang lebih rumit dari pada Nasi Padang. Selain itu bumbu-bumbu yang dipergunakan adalah bumbu-bumbu segar yang serba alami. Bumbu dan cara pengolahan inilah yang mempengaruhi kualitas rasa, sehingga Nasi Kapau bisa tampil beda. Yuk catat tentang satu hal ini: Meskipun Nasi Kapau dan Nasi Padang memiliki perbedaan, namun image pedas dan mengandung santan tak bisa lepas dari masakan Minang. Jadi, diantara perbedaan itu, tetap ada persamaan.

 Sepiring Nasi Kapau

Apa Keunikan Nasi Kapau?
Banyak! Mulai dari segi nama, tampilan rasa, jumlah menu lauk-pauk yang disajikan, bahan, bumbu, cara memasak, hingga cara penyajian.

Bagi yang baru pertama makan Nasi Kapau, mungkin akan terbelalak dengan jumlah menu lauk pauknya yang sungguh banyak dan beragam! Paling sedikit jumlah menunya ada 15 lho. Saya masih ingat betul ketika masuk ke warung Nasi Kapau Tek Sam di los Lambung pasar bawah Bukittinggi, panci-panci besar dan piring-piring lebar berbaris rapi di meja yang bertingkat-tingkat. Saya mesti berdiri untuk melihat menu yang ada di tingkat paling atas. Juga perlu berjalan dari satu sisi meja ke sisi lainnya agar bisa melihat seluruh menu.  Dimana ibu penjualnya melayani pembeli?  Di tengah-tengah meja saji. Di situ ada semacam ruang kecil tempat ibu penjualnya berdiri. Saat kita memilih menu, ibu penjualnya akan menyendokkan lauk yang kita pilih dengan menggunakan sendok gulai bertangkai panjang dari tempurung kelapa.

Sajian unik Nasi Kapau

Yang khas dari Nasi Kapau ada pada gulainya, dimana bahan sayur yang digunakan berupa campuran kacang panjang, kol, pucuk ubi, rebung, pakis, dan jengkol. Wow, jengkol bo! Nah, uniknya nih, racikan bumbu gulai itu ditumbuk dalam tempat penghancur bumbu tradisional yang disebut lasuang. Kemudian bumbu-bumbu itu disangrai dalam kuali besi, di atas tungku berbahan bakar kayu api. Untuk mendapatkan bumbu yang enak, bumbu mesti  disangrai dalam waktu lama. “Wah, ga gosong tuh kalo lama?” Ya enggaklah, kan apinya diatur kecil-kecil saja. Kok sepertinya sulit ya? Memang mesti begitu syarat utamanya jika ingin agar rasa dan aroma alami dari bahan dapat keluar dengan sempurna. He he.

Hal unik lainnya ada pada cita rasa. Ternyata nih, cita rasa Nasi Kapau yang dimiliki antara keluarga yang satu dengan keluarga lainnya kerap berbeda meskipun mereka satu kampung. Ya, tangan tiap orang beda-beda sih ya, masing-masing dengan ‘kekuatannya’. Yang menarik, dalam menakar resep biasanya cukup dengan lidah yang sekaligus berfungsi sebagai pengontrol rasa, aroma dan tampilan fisik. Tidak menggunakan alat takar baku untuk menentukan banyaknya bahan yang dibutuhkan. Hanya mengandalkan alat takar alami yang Tuhan ciptakan, termasuk dengan hati dan perasaan sebagai alat utama dalam melakukan pekerjaan memasak. Ya, hati dan perasaan adalah yang paling penting bagi siapapun yang memasak. Yang terakhir, keunikan Nasi Kapau terletak pada gulai nangkanya yang tidak menggunakan banyak santan, sehingga tidak terlalu kental seperti gulai nangka umumnya.
 Los Pasar Bawah Bukittinggi

Pusat warung-warung Nasi Kapau

Yuk Makan Nasi Kapau Di Bukittinggi
Ke Padang tak makan Rendang, maka tak nendang. Ke Bukittinggi tak makan Nasi Kapau, maka tak hilang galau. Yeah, itulah jargon saya ketika datang ke Bukittinggi tahun lalu. Saya betul-betul memastikan diri untuk mendatangi warung Nasi Kapau yang terpusat di Pasar Lambung (Los Lambung), di Pasar Bawah Bukittinggi yang terletak tak jauh dari Jam Gadang.

Teman, tahu bagaimana rasanya ketika pertama kali makan Nasi Kapau? Tahu bagaimana lezatnya Nasi Kapau yang saya cicip pertama kali itu? Uuuh...terlalu nikmat untuk diceritakan, dan terlalu lezat untuk dilupakan. Kamu tak kan tahu rasa dan sensasinya, jika tak datang sendiri dan mencicipi kuliner ajib ini langsung di Bukittingi. Yang jelas, Nasi Kapau membuat saya ingin kembali menikmatinya jika suatu hari datang lagi ke Bukittinggi. Ayo teman, temukan keunikan Nasi Kapau di Bukittinggi.

 Tempatku menikmati Nasi Kapau di Bukittinggi


--Selesai—

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Jelajah Kuliner Unik Nusantara, yang diselenggarakan oleh VIVA.Co.id. dan Daihatsu. Untuk mendukung lomba tersebut, saya sudah memfollow Twitter @Daihatsu dan @VIVA_log, dan like Fanpage Daihatsu Indonesia di Facebook. Berikut saya sertakan bukti follow, like dan tweet, sbb:






Terima kasih ^__^

Upacara Hoyak Tabuik Masyarakat Padang Pariaman

September 2012 lalu, ketika saya dalam perjalanan menuju Bukittinggi Sumatera Barat, saya berkesempatan lewat dan mampir di pantai-pantai Padang Pariaman. Beberapa pantai yang saya lalui seperti Pantai Tiram, Pantai Kata, Pantai Arta dan Pantai Cermin. Saat itu supir kami yang merupakan orang asli Padang, mengajak mampir ke Pantai Cermin. Diceritakannya bahwa keberadaan Pantai Cermin cukup istimewa karena merupakan tempat pelaksanaan upacara Tabuik masyarakat Padang Pariaman.


Tugu Tabuik di Pantai Cermin Padang Pariaman, Sept 2012

Tak begitu banyak keterangan yang saya dapatkan dari supir tersebut kecuali bahwa Tabuik itu adalah  semacam upacara tolak bala. Pantai Cermin terpilih sebagai tempat pelaksanaan upacara karena memiliki lebar pantai yang cukup untuk menampung banyak orang saat upacara Tabuik berlangsung.

Saya tertarik untuk mencari tahu tentang tradisi Tabuik. Penjelasan yang saya rasa cukup untuk menjawab keingintahuan saya, akhirnya saya dapatkan dari internet, salah satunya Wikipedia. Memang tak panjang lebar, tapi setidaknya bisa tahu sejarah asal mula perayaan Tabuik.

Saya salinkan ulang dari Wikipedia, sbb:

Tabuik (Indonesia: Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot.
Tabuik diturunkan ke laut di Pantai Pariaman, Sumatera Barat, Indonesia

Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak 1831.[1] Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat.[1]. 

 
Festival Tabuik di Padang Pariaman
Sumber Foto : DI SINI

Dalam sebuah artikel, saya dapatkan penjelasan lebih panjang tentang Tabuik. Saya salin dari Blog Niadilova, sbb:

PESTA TABUIK boleh dibilang identik dengan masyarakat Pariaman. Hoyak tabuik adalah pesta memperingati kematian Husein, cucu Nabi Muhammad S.A.W yang tewas dalam peperangan melawan tentara Yazid dan Bani Umayyah di Karbala, Irak pada tahun 61 Hijriyah. Upacara ini diselenggarkan setiap tanggal 1-10 Muharram. Di hari pesta hoyak tabuik, Pariaman selalu ramai oleh orang yang datang berhondoh-pondoh dari berbagai tempat.


Menurut Cameron Malik dalam http://ank-kau.blogspot.com (dikunjungi, 3-10-2010), adalah Resimen Tamil, yaitu tentara pribumi Inggris di Bengkulu, yang pertama kali memperkenalkan ritual tabuik pada abad ke-17. Anggota Resimen Tamil yang mayoritas beragama Islam itu menggelar pesta tabuik yang di Bengkulu bernama tabot. Perjanjian London 17 Maret 1824 mengharuskan Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda dan menerima pulau Tumasik (Singapura) yang semula dijajah Belanda. Anggota pasukan Tamil Inggris enggan pindah ke pulau Singapura yang berawa-rawa penuh nyamuk dan buaya itu. Mereka melakukan desersi dan lari ke daerah Pariaman. Karena pasukan Tamil beragama Islam, mereka dengan mudah diterima oleh masyarakat Pariaman yang pada saat itu juga tengah dimasuki ajaran Islam. Kemudian terjadilah pembauran budaya dengan masyarakat Pariaman seperti antara lain terefleksi dari pesta tabuik, yang hingga kini menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Pariaman.

Upacara tabuik terdiri dari serangkaian upacara yaitu: 1) upacara mengambil tanah; 2) upacara mengambil dan menebas batang pisang; 3) upacara mengarak jari-jari; 4) upacara mengarak sorban; 5) upacara tabuik naik pangkat; dan diakhiri dengan 6) upacara mengarak tabuik. Beberapa dari rangkaian upacara itu diiringi dengan gandang tambua, seperti pada upacara mengambil tanah, mengambil dan menebas batang pisang, mengarak sorban, mengarak jari-jari, dan prosesi menghoyak tabuik. (Cameron, ibid.).

Foto-foto upacara Tabuik yang di upload di Blog Niadilova,  memperlihatkan upacara tabuik pada dekade-dekade awal abad ke-20 di Pariaman, dalam foto itu jumlah tabuik yang diarak mencapai tujuh buah. Tabuik diarak orang sebelum dibuang ke laut menjelang malam. Ribuan orang, besar-kecil, tua-muda, tumpah-ruah ke jalan seperti samuik tapangkua (semut tercangkul). Namun, sepertinya peserta perarakan tabuik didominasi oleh kaum lelaki. Barangkali kaum perempuan juga ikut, tapi hanya sekedar menyaksikan saja sambil menepi-nepi dari keramaian yang hiruk-pikuk itu. Sampai pertengahan abad ini boleh dikatakan ritual tabuik adalah pesta kaum lelaki. Ini masuk akal karena dimensi historis dan makna simbolisnya yang berhubungan dengan peperangan di zaman Bani Umayyah yang memang lebih banyak melibatkan kaum lelaki.

Sekarang ritual tabuik masih tetap diadakan setiap tahun di Pariaman, tapi tidak lagi semeriah dulu. Kadang-kadang masyarakat kekurangan dana untuk membuat tabuik. Ada pula terdengar kritik dari golongan Islam puritan: bahwa ritual tabuik harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Islam. Sejak dulu orang-orang yang menganut agama secara puritan dan memakai paham kacamata kuda selalu ingkin pentang kamari bedo dan mengalami masalah dengan kebudayaan nenek moyangnya sendiri dan modernisme yang dibawa oleh kemajuan sains dan teknologi.


* * * *
Semoga catatan ini menjadi pengetahuan baru buat saya pribadi, dan informasi budaya bagi pembaca.
  

Gerimis Di Lembah Anai


Kami menuruni bebukitan di Sepuloh Kuto, meliuk diantara hutan tropis yang lebat dan hijau. Perlahan mencapai Lembah Anai, tuk melihat tumpahan air terjun setinggi 40m yang berada tepat di sisi jalan raya. Pun, mendekati aliran sungai Batang Anai, tuk menyaksikan kejernihan airnya yang dingin lagi menyegarkan.

Semenjak gerimis datang, kabut pun pergi, keelokan lembah pun nampak memukau. Ada sensasi yang begitu kuat, yang membuatku ingin menghirup udara sedalam-dalamnya. Merasakan segar yang jarang-jarang bisa dinikmati seistimewa ini.
Jembatan Kereta nampak di kejauhan

Nun jauh di bawah sana, aliran sungai Batang Anai menyembul di balik rimbun pohon. Warna orange bata pada jembatan kereta yang melegenda, juga nampak melintasi lembah-lembah. Sedang tak ada kereta yang melintas, tapi ada sejarah yang tiba-tiba melintas, bahwa jembatan kereta itu telah ada sejak tahun 1895. Tua sekali. Siapakah yang menciptanya? Tentu bukan para Belanda itu, tapi nenek moyang orang Minang.

Sementara, gerimis berubah menjadi hujan deras. Lebatnya air yang turun, membuat lembah bagai ditumpahi air dari drum maha besar. Gemuruh air terjun yang berpadu dengan suara hujan, menciptakan 'horor'. Terlebih ketika supir memaksa kami untuk segera masuk mobil. Sekelebat kecemasan nampak di wajah dan kata-katanya. Bahaya longsor! Begitu alasannya. Oh!

Pak Edi, supir, menunjuk pada tebing-tebing yang mengelupas. Kemerahan tiada satupun tanaman. Bukan hujan penyebabnya, tapi gempa besar beberapa tahun lalu yang membuat dinding tebing penuh lekuk itu berubah. Ya, kawasan ini memang rawan gempa. Hujan, seakan menjadi pertanda seolah akan terulang bencana serupa. Barangkali seperti trauma. Ah, pantas saja kami disuruh lekas meninggalkan lembah.

Kupandang lagi tebing-tebing yang mengelupas itu. Nampak seperti relief bebatuan bercampur tanah. Di empat titik, relief batu-batu mineral menghias dengan sempurna. Hmm...jika suatu hari koyakan itu dilapisi lelumutan, niscaya lembah ini akan menjadi lembah berkelas dunia.

Kendaraan melaju perlahan. Aku menggerutui bateray kamera yang kian sekarat. Tak dapat kuabadikan gambar relif batu Siliang nan mempesona itu. Hanya tersimpan di sini. Di pikiran. Aaargggh!
Sungai Batang Anai


Air terjun Lembah Anai letaknya di Lembah Anai. Persis di tepi jalan tempat melintas mobil-mobil antar kota dan provinsi. Hanya berpagar beton yang rendah, air terjun dan jalan lebar beraspal saling membatasi. Keadaannya sepi. Namun begitu, dekat air terjun, ada rumah makan dengan aneka hidangan khas Padang, toilet, dan juga kamar mandi. Terdapat warung-warung yang juga menjual aneka oleh-oleh khas Sumatera Barat seperti keripik sanjai, galamai, beras rending, dan aneka oleh-oleh lainnya.

Siang itu air terjun Lembah Anai sepi pengunjung. Hanya terlihat 4-5 orang saja berada di dekat kolam air terjun. Kamipun merasa nyaman dan leluasa menikmati pemandangan sekitar. Namun kami tak berlama-lama, sebab gerimis tak bergegas ingin reda. Khawatir kebasahan, kami lekas kembali ke mobil.

Air terjun Lembah Anai setinggi 40meter

Dalam bahasa Minang, aia mancua  artinya air mancur atau air terjun. Sumber air terjun Lembah Anai berasal dari Gunung Singgalang. Merupakan bagian dari aliran sungai Batang Lurah Dalam yang menuju daerah patahan Anai. Karena itulah oleh pemerintah daerah setempat Lembah Anai dijadikan kawasan cagar alam yang berfungsi sebagai penyedia air, pengaturan tata air, kestabilan iklim mikro, produsen oksigen dan penyerap CO2. Wuiiiih...! Dan sekarang lihatlah, airnya yang begitu jernih mengalir menyusuri perbukitan menuju lereng dan mengalir terus melewati jalan yang berkelok-kelok dengan pemandangan yang indah.

Lembah Anai yang cantik, pernah dijadikan  Buya Hamka sebagai salah satu setting romannya dalam “Dibawah Lindungan Ka’bah”.  Hmm....seakan beliau hendak  memastikan bahwa Lembah Anai dan Padang Panjang adalah sorga romantisme  yang tiada pudarnya.

Semakin petang, hujan semakin deras. Kecemasan tak hanya menggelayuti perasaan supir, tapi juga kami. Ingin meninggalkan Lembah Anai dengan kebut, tapi tak demikian adanya bila dalam cuaca dan medan yang 'berat' begini. Sedang bila melambat, bukan sesuatu yang menyenangkan sebab kecemasan akan longsor, terus mengintai.

Kami terus melaju, menembus hujan, berusaha keluar dari lembah Anai. Lembah yang tak bisa tinggal sekejab dari ingatan.

Padang SUMBAR 5 September 2012
Katerina


Jembatan Kereta yang diresmikan pertama kali pada tahun 1895
Sumber Foto (klik)



Jembatan Kereta yang diresmikan pertama kali pada tahun 1895
Sumber Foto (klik)

KETERANGAN:

Air Terjun Lembah Anai berlokasi di pinggir jalan yang menghubungkan Kota Padang dan Kota Bukittinggi. Tepatnya berada di Lembah Anai, Kecamatan Sepuluh Kuto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. 


Lembah Anai merupakan jalur utama yang menghubungkan kota kawasan ‘atas’ (darek) seperti Payakumbuh, Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang dan Solok dengan kota di kawasan ‘bawah’ (pasisia) seperti Pariaman, Lubukbasung, Padang dan Painan. Jalur ini juga merupakan jalur awal perekonomian di Sumatera Barat untuk mengangkut hasil pertanian dari kawasan ‘atas’ ke ‘bawah’ dan hasil laut dari kawasan ‘bawah’ ke ’atas’. Akan pentingnya jalur ini, maka Pemerintah Belanda membangun jalur kereta api sebagai sarana transportasi. Setelah didirikannya PT Semen Padang pada tahun 1910, kereta api juga digunakan untuk mengangkut batubara dari Ombilin ke Padang. Ada juga dua jalur besar lainnya yang menghubungkan ‘atas’ ke ‘bawah’ seperti Sitinjau Laut dari arah Solok dan Kelok 44 dari arah Bukittinggi, tapi dengan jarak dan waktu tempuh yang berbeda.

Sejarah Lembah Anai bisa dibaca dan dilihat gambar-gambar jadulnya pada LINK INI (klik).

Ket Foto:  
Semua foto jepretan kamera saya kecuali dua gambar jembatan kereta. Waktu itu kamera saya kehabisan batre. Sumber foto ada pada lifelink yang saya cantumkan. Atau, bisa klik INI sebagai sumbernya.

Menyibak Seni & Budaya Minangkabau di Rumah Gadang Padang Panjang


Cuaca mendung menyelimuti ranah minang sedari pagi. Udara terasa dingin. Rintik hujan pun terus menerus turun semenjak kami meninggalkan Bukittinggi. Petang nanti, pesawat Garuda akan membawa kami kembali ke Jakarta. Sembari menanti petang, pergi mengisi waktu dengan berwisata ke tempat-tempat yang belum didatangi dalam 3 hari sebelumnya, yaitu Desa Wisata Pande Sikek, Danau Singkarak, Lembah Anai, dan Rumah Gadang di Padang Panjang, tentu menjadi pilihan yang lebih menyenangkan.

Pertimbangan waktu dan jarak menjadi alasan yang bagus karena tempat-tempat itu memang akan kami lewati dalam perjalanan menuju Bandara International Minangkabau (BIM). Pun, tersedia waktu yang cukup.

Pada tulisan terdahulu, sudah kuceritakan kunjunganku ke Desa Wisata Pande Sikek dan Danau Singkarak. Setelah mendatangi kedua tempat itu, perjalanan berlanjut ke Padang Panjang, tempat dimana Rumah Gadang berada. Rumah Gadang di Padang Panjang ini sebenarnya adalah pilihan alternatif setelah aku membatalkan niat untuk melihat Istana Pagaruyung. Menurut supir mobil yang kusewa, saat itu istana Pagaruyung sedang dalam proses renovasi sehingga dipastikan pengunjung terkendala untuk masuk dan melihat-lihat. Daripada sudah datang dan kemudian kecewa, maka Rumah Gadang di Padang Panjang ku pilih sebagai penggantinya.

Tiba di Padang Panjang
Waktu salat Dzuhur baru saja tiba ketika kami tiba di lokasi Rumah Gadang, yakni rumah yang juga dijadikan situs sejarah atau Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM). Bersamaan dengan kedatangan kami, tiba juga rombongan dari sebuah bank yang hendak mengadakan acara gathering di tempat ini. Suasana langsung ramai, namun rombongan tersebut terlihat menuju bangunan lainnya yang serupa pendopo. Mereka berkumpul di sana. Entah kenapa aku jadi merasa lega melihat itu. Mungkin karena rumah gadang incaranku bakal tak dipenuhi pengunjung. Dengan sepi, bisa lebih tenang mencari tahu.

Masih di parkiran, sebelum melangkahkan kaki kemana-mana, kulayangkan pandang ke seluruh bagian kompleks rumah gadang. Yang kulihat, di kawasan ini terdapat rumah gadang dengan ciri khas atap melengkung dan runcing di puncaknya, 4 Rangkiang (lumbung padi), taman baca (perpustakaan), Musala, Toilet, dan sebuah bangunan di bagian belakang yang fungsinya tak sempat kutanyakan sebagai apa. Melihat musala, teringat akan waktu dzuhur yang telah tiba. Kami lekas ke sana. Memulakan ibadah sebelum memuaskan dahaga akan budaya dan sejarah yang kaya.

Rumah Gadang tampak samping & belakang + Parkiran Pengunjung + Musala

Mengenal lebih dekat
Dari musala aku berjalan di setapak yang menanjak. Menatap lekat ke arah rumah besar nan menjulang. Separuh badan rumah kulewati, berhenti di tangga yang dinaungi atap menjulang ke depan. Menaikinya hingga anak tangga teratas. Melepaskan sandal di serambi lalu melangkah memasuki pintu lebar yang terbuka. Persis di hadapan pintu, empat ibu-ibu berbaju seragam dinas tersenyum ramah. Menyambut dengan sapaan yang hangat. Bahasanya santun, dibalut logat Minang yang kental.

“Assalamu’alaikum, bu. Saya Katerina, ingin melihat rumah ini beserta seluruh isinya.”
“Wa’alaikumussalam. Oh silahkan. Karcisnya Rp 4000,-/pengunjung. Boleh di bayar nanti setelah berkeliling”

Salah satu dari dua wanita itu lalu berdiri, mendekati, menyalami, lalu berkata dengan senyum yang terus terkembang.

“Kalau ada yang ingin ditanyakan, saya akan bantu. Mau mulai dari mana? Atau mau melihat-lihat dulu juga silahkan.”
Tawaran yang hangat. Keramahannya membuat beragam keingintahuanku lekas kusampaikan lewat tanya. Sebaris tanya, berderet-deret kata menjadi jawaban. Aku menyimak. Mengetik hal-hal penting ke memo ponsel. Merekam beberapa bagian yang tak bisa kuhafal dengan baik. Kami menghampiri tiap sudut ruang. Aku mengikuti langkahnya, mengikuti gerak jari tangannya yang menunjuk-nunjuk gambar-gambar yang terpajang rapi di dinding, memegang beberapa benda, memandangi semua yang ada di dalam rumah gadang, membaca keterangan-keterangan, menyentuh koleksi barang-barang kuno, atau sekedar melihat aneka miniatur dari balik kaca tebal yang menghalangi sentuhan.


Ada banyak cerita, kisah, dan penjelasan yang kudapat, namun tak semua terekam dengan baik. Jadi, apa yang aku tuliskan setelah alenia ini sebagian besar adalah hasil pencarianku di berbagai sumber artikel dan bacaan, sembari mencocokannya dengan keterangan-keterangan yang kudapat secara langsung sewaktu berada di sana.


Rumah Gadang
Gadang artinya besar. Rumah gadang berarti rumah besar. Rumah gadang adalah rumah adat Minangkabau. Hanya sebatas itu yang kutahu selama ini. Maka, sungguh baru bagiku, kala mengetahui bahwa rumah gadang terbagi menjadi 3 type yaitu Rumah Gadang Gajah Maharam, Rumah Gadang Rajo Babandiang, dan Rumah Gadang Bapaserek. Pembagian mengenai type rumah gadang ini disebutkan dalam naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan staf BPSK.

Dalam penjelasannya, rumah Gadang Gajah Maharam memiliki bentuk seperti gajah yang sedang mendekam (Maharam=mendekam). Memiliki anjuang (anjungan), yakni bagian yang lebih tinggi dari lantai rumah. Letaknya di sebelah ujung kanan dan kiri pintu masuk. Dengan bentuknya yang seperti itu, terkadang type ini disebut dengan sebutan Rumah Baanjuang. Nah, sewaktu di Bukittingi, aku sudah melihat dan masuk ke dalam rumah adat Baanjuang. Pernah di tulis di sini.

Untuk Rumah Gadang type Rajo Babandiang, tidak memiliki anjuang dan atapnya lebih tinggi dari Rumah Gadang tipe Gajah Maharam. Sedangkan Rumah Gadang Bapaserek, hanya memiliki satu anjuang di sebelah kiri. Bagian yang ditinggikan tersebut dinamakan Tingkah atau Tindieh. Rumah Gadang ini bisa ditemukan di Kenagarian Koto Nan Ampek Payakumbuh, bangunannya memiliki bagian yang diseret sehingga ada bagian yang menonjol di belakang atau disamping. Bagian belakang yang diseret digunakan sebagai kamar, sedangkan yang disamping digunakan sebagai dapur.

Sebagian dari koleksi Foto Jadul dan Terkini yang menggambarkan 
Budaya, Masyarakat, dan Rumah Tinggal etnis Minangkabau dari waktu ke waktu

Banyak filosofi di Rumah Gadang Gajah Maharram
Rumah gadang yang ku masuki adalah rumah gadang bagonjoang tujuah. Tiang-tiang kayu (tonggak) tegak kuat di ruang dalamnya. Satu tonggak utama dinamakan limpapeh. Lantai kayu rapat mengkilap. Jendela-jendela yang lebar, dihias ukiran-ukiran indah dan berwarna. Udara dari luar masuk dengan sangat leluasa melalui 10 jendela yang menghadap ke depan rumah. Sejuk terasa. Terang bercahaya. Membingkai sejarah dan budaya yang kaya. Mengasyikan untuk berlama-lama. Melenakan untuk mengisi ruang-ruang pengetahuan yang masih sedikit.

Rumah gadang bagonjong tujuah berarti memiliki gonjong tujuh. Gonjong itu bagian  atap yang melengkung dan berujung runcing. Tujuah atau tujuh adalah jumlah gonjong. Terdapat dua anjungan di ujung kiri dan kanan. Dikarenakan adanya anjungan inilah maka dapat diketahui bahwa rumah gadang ini berasal dari Lareh Koto Piliang yang sistem pemerintahannya bersifat otokratis.

 Koleksi foto jadul yang menggambarkan kondisi Jam Gadang, 
masyarakat dan budaya Minangkabau di jaman Jepang dan Belanda


Biasanya jumlah ruang di rumah gadang berjumlah ganjil seperti 5, 7 dan 9. Ruang terbagi menjadi ruang pribadi (kamar) dan ruang umum. Ruang pribadi mengambil 1/3 bagian ruangan sedang ruang umum mengambil 2/3 bagian ruangan. Perbandingan yang merupakan makna kepentingan umum lebih utama dari pada kepentingan pribadi.

Di bagian belakang rumah gadang terdapat kamar-kamar yang diperuntukan bagi anak-anak, wanita yang sudah berkeluarga, ibu dan nenek. Bagi etnis Minangkabau, hal ini menjadi bukti bahwa rumah gadang berfungsi untuk mempertahankan sistem matrilineal-sistem kekerabatan dari garis ibu. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah gadang juga berfungsi tempat melaksanakan seremonial adat seperti kematian, kelahiran, perkawinan, mendirikan kebesaran adat, tempat mufakat dan lain sebagainya.
Bagian dalam Rumah Gadang sebagai ruang pamer
Terdapat anjungan di kiri dan kanan pintu masuk + tiang-tiang (tonggak) penyangga
Beragam koleksi barang dan foto yang memberikan beragam informasi

Ada hal istimewa yang disampaikan si ibu yang menemaniku berkeliling di dalam rumah gadang, yakni perihal kamar yang semuanya diperuntukan bagi kaum perempuan. Lantas di mana kamar anak laki-laki? Rupanya, bagi anak laki-laki yang belum menikah, mereka diharuskan tidur di surau (mesjid). Katanya supaya anak laki-laki giat belajar mengaji. Kelak bila sudah menikah, anak laki-laki tidur di rumah istrinya. Di sini, saya jadi paham alasan mengapa setelah menikah, justru pihak laki-lakilah yang ikut ke rumah istrinya, bukan sebaliknya.

Bentuk dasar dari bangunan Rumah Gadang sendiri adalah empat persegi panjang. Polanya berbentuk kapal yaitu kecil kebawah dan besar ke atas. Bentuk atapnya punya bubungan yang lengkung ke atas yaitu lebih kurang setengah lingkaran. Keunikan rumah adat ini tentu saja pada atapnya yang lancip dengan lengkungan yang menyerupai tanduk kerbau. Badan rumahnya juga melengkung, landai seperti badan kapal. Tangga untuk menaiki terletak di muka rumah, tepat di tengah-tengah.

4 Rangkiang di halaman depan rumah gadang
2 Rangkiang bertiang 4, 1 rangkiang bertiang 6, 1 rangkiang bertiang 9


Filosofi Rangkiang (Lumbung Padi) penanda kepedulian sosial
Di halaman depan rumah Gadang PDIKM, terdapat empat buah rangkiang yang memiliki nama dan makna masing-masing. Mulanya aku hanya membedakannya dari jumlah tiang rangkiang, namun setelah membaca lebih banyak informasi dari berbagai sumber, ada tambahan lainnya yaitu berupa nama.

  • Rangkiang Sibayau-bayau, adalah tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk pangan sehari-hari.
  • Rangkiang Sitinjau Lauik, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk persediaan makan musafir dan tamu, juga acara adat.
  • Rangkiang Sitangguang Lapa, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk membantu fakir miskin dan masa paceklik.
  • Rangkiang Kaciak, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk benih pada saat masa bertanam tiba.

Nah, menurut penjelasan si ibu (beneran aku lupa namanya) yang menjadi sumber informasiku selama di sana, pembagiannya seperti ini:
  • 2 buah Rangkiang bertiang 4, masing-masing untuk menyimpan padi yang digunakan untuk acara adat dan untuk membantu fakir miskin.
  • 1 Rangkiang bertiang 6, untuk menyimpan padi yang digunakan untuk pangan sehari-hari.
  • 1 Rangkiang bertiang 9, untuk menyimpan padi yang digunakan untuk pembangunan kampung.

Demikianlah Rangkiang. Melalui filosofinya itu, rangkiang tak semata berfungsi sebagai tempat menyimpan padi dan tempat menyimpan bahan pangan lainnya, tetapi juga menggambarkan rasa kepedulian sosial terhadap sesama. Perlambang kebersamaan, kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

Perpustakaan di halaman Rumah Gadang. Bangunannya model rumah gadang Bodi Chaniago
Berlatar belakang gunung dan hutan alam

Pemandangan Indah dan Perpustakaan di Halaman
Turun ke halaman. Berjalan agak jauh ke depan. Berdiri di setapaknya, atau boleh juga di atas rumputnya yang hijau sambil membelakangi rumah gadang. Berfoto. Klik. Wahai, rancak bana. Apalagi jika sembari mengenakan baju adat Minang, beserta mahkota dan segala perhiasan ala anak daro, bagai menyatu dalam budaya yang agung.

Di halamannya yang asri, pemandangan hijau berlatar belakang gunung sungguh melenakan mata. Sebuah perpustakaan berdiri di tengahnya. Berbagai koleksi buku dan foto-foto tertata apik di dalamnya. Udara sekitar yang sejuk, suasana yang tenang, system   pencahayaan ruang dengan lampu-lampu yang menempel pada tiang, sungguh membuat betah siapapun yang berada di dalamnya. Perpustakan ini memiliki sembilan ruang yang digunakan untuk menyimpan dan memajang koleksi-koleksi perpustakaan.

Meja-meja baca dari kayu yang bertekstur halus, di tata melingkari sembilan tiang. Apik. Terasa begitu nyaman untuk. Membaca. Tak mesti membaca di meja, di lantaipun tak apa jika ingin lebih santai. Tak ada larangan. Tak pula perlu merasa takut kotor, sebab tak satupun pengunjung diperbolehkan beralas kaki selama dalam ruang perpustakaan sehingga kebersihan selalu terjaga. Dan sesungguhnya, keseluruhan ruangan memang terjaga kebersihannya, rapi, tiada berdebu. Mengkilap.

Tak hanya membaca, di perpustakaan ini juga bisa berpuas diri mengamati dengan seksama setiap foto hasil repro maupun orisinil yang terpampang di dinding dinding ruangan. 9 ruangan yang ada memang tak luas namun bisa digunakan untuk memamerkan koleksi yang dimiliki. Beberapa diantaranya adalah foto mengenai rumah gadang dari dua kelarasan, yaitu laras Budi Chaniago dan laras Koto Piliang yang merupakan foto repro yang dilakukan pada tahun 2008.
Ruang dalam perpustakaan
Sumber foto (klik)

USAI
Sungguh, banyak hal penting dan bermanfaat yang bisa kupetik dari kunjungan wisata budaya ke tempat ini. Kamar-kamar yang diperuntukan bagi nenek, ibu, anak perempuan, kemenakan perempuan, bagiku adalah wujud penghormatan kepada kaum wanita. Bentuk penjagaan dan perlindungan yang begitu agung. Keharusan mengkaji ilmu agama di surau bagi anak laki-laki sedari kecil. Filosofi rangkiangnya yang menunjukkan kepedulian sosial kepada tetangga, dan fakir miskin. Penghormatan kepada tamu. Juga kedermawanan untuk pembangunan kampung bagi yang mampu.

Rumah gadang (besar), bukan hanya besar dalam pengertian fisik tetapi juga dalam pengertian fungsi dan peranannya yang berkaitan dengan adat. Tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai tempat melastarikan adat budaya masyarakat Minangkabau. Rumah Gadang sebagai simbol budaya yang harus dipertahankan.  Semoga, keberadaannya tak terkikis oleh kemajuan zaman dan tak lapuk sejarah dimakan waktu.
Model pelaminan pengantin adat Minangkabau

Tepat pukul 4 sore, kunjunganku berakhir. Satu persatu ibu-ibu yang bertugas di Rumah Gadang ku pamiti. Tangan mereka ku jabat erat. Ucapan terima kasih rasanya terlalu kecil sebagai balasan atas apa yang telah berikan. Sebelum aku benar-benar pergi, seorang ibu mengajakku berfoto berdua. Aku setuju. Ketiga rekannya ternyata juga ingin ikut. Jadilah kami berlima berfoto bersama. Satu jam empat puluh menit total waktu yang kuhabiskan di tempat ini. Semoga tiada kesia-siaan didalamnya. Bila suatu hari kembali lagi ke ranah Minang, maka aku akan datang lagi ke tempat ini.

Langit masih mendung. Gerimis masih rintik-rintik jatuh ke bumi. Kami melanjutkan perjalanan, ke Lembah Anai nan damai. Terima kasih Allah, telah Engkau gerakkan kakiku untuk melangkah ke tempat ini. Alhamdulillah.


Padang Panjang, 05 September 2012
Katerina
 Foto bersama
Terima kasih ibu-ibu yang baik ^_^




Catatan:
Semua foto dengan watermark Katerina adalah jepretan dari kamera saya pribadi. Dua foto lainnya saya copas dari sumber lain, dimana linknya saya tuliskan dalam gambar. Hal tersebut dikarenakan kamera saya kehabisan batre sehingga tidak dapat lagi mengambil gambar tampak luar rumah gadang secara utuh dan gambar perpustakaan.