Tampilkan postingan dengan label On Media. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label On Media. Tampilkan semua postingan

Menengok Dua Objek Wisata Religi Khas Wong Kito

Mengunjungi Objek Wisata Religi Kota Palembang

Palembang adalah kota tua yang layak berbangga diri. Di Kota yang pernah menjadi pusat peradaban Kerajaan Sriwijaya ini terdapat banyak objek wisata bernilai tinggi. Dua di antaranya adalah Museum Alquran Raksasa dan Kampung al-Munawar. Bagi wisatawan muslim seperti saya, kunjungan ini tentu tak hanya memberikan pengalaman yang berkesan, tetapi juga membekaskan nilai spiritual.

kampung al munawa
Kampung Arab al-Munawar Palembang
Museum Alquran Raksasa 

Bayt Al Qur’an Al Akbar merupakan mahakarya asli Wong Kito berupa Alquran yang dipahat di permukaan kayu tembesu berukuran panjang 177 centimeter dengan lebar 140 centimeter dan ketebalan 2,5 centimeter. 

Museum Alquran raksasa berlokasi di Jalan M. Amin Fauzi, Soak Bujang RT. 03 RW. 01, Kelurahan Gandus, Kecamatan Gandus, Palembang. Tepatnya di Pondok Pesantren Al Ihsaniyah Gandus Palembang. Bagi wisatawan yang berasal dari luar kota, akses menuju lokasi bisa dimulai dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Selanjutnya naik transportasi umum seperti Trans Musi, turun di Halte Jembatan Musi II, kemudian dilanjut naik angkot jurusan Gandus. 

Sesi terakhir perjalanan yang saya tempuh melewati jalan desa yang tidak mulus dengan pemandangan rumah-rumah yang berdiri di atas rawa. Setelah menemukan papan nama bertuliskan Pondok Pesantren Al Ihsaniyah, mobil belok ke kanan, lalu lurus. Tak lama setelah itu, kami pun sampai. Di kawasan ponpes yang didirikan oleh DR. H.Marzukie Ali ini terdapat area parkir dan pondok-pondok tempat penjualan cinderamata. Museum berada di seberang ponpes, bersebelahan dengan rumah pemiliknya. Untuk masuk, kami membayar tiket sebesar Rp 5.000 per orang.

Bangunan museum tampak seperti rumah tinggal pada umumnya. Namun, siapa sangka di dalamnya tersimpan karya seni yang mendunia. Setelah melepas alas kaki, saya memasuki museum. Di dalam, mata langsung disambut Alquran raksasa berbentuk lembaran kayu yang dipasang seperti jendela di bangunan bertingkat lima. Rasa takjub langsung memenuhi ruang hati. Terdengar lantunan ayat suci Alquran yang diputar dari MP3, membuat suasana museum kental dengan nuansa religi. 


alquran raksasa di palembang
Museum Alquran Raksasa di Palembang

Sekilas Sejarah Pembuatan Alquran Raksasa

Menurut sejarahnya, gagasan pembuatan Alquran terbesar tercetus pada tahun 2002 setelah Ustad H.Syowatillah Mohzaib merampungkan pemasangan kaligrafi, pintu dan ornamen Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Sebagai pecinta seni kaligrafi dan ukiran khas Palembang, serta demi kelestarian seni, gagasan tersebut dikerjakan dan akhirnya satu keping lembaran kaligrafi Alquran (Surat Al-Fatihah) berhasil dibuat. Tepat pada tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002, atas inisiatif H. Marzuki Alie dan pengurus Masjid Agung Palembang, satu keping Alquran raksasa yang terbuat dari kayu tembesu berukuran 177cmx140cm dengan ketebalan 2,5cm, dipajang pada acara bazar peringatan tahun baru Islam yang diketuai oleh H. Marzuki Alie sendiri.

Proses pembuatan Alquran ukir dikerjakan di kediaman Ustad H. Syofwatillah, di jalan Pangeran Sido Ing Lautan Lr Budiman, No. 1009 Kelurahan 35 Ilir Tangga Buntung Palembang. Awalnya, pembuatan Alquran raksasa diperkirakan selesai tahun 2004, tapi meleset dari target karena terkendala dana dan bahan kayu tembesu yang sudah mulai langka. 


Alquran ukir raksasa dibuat dengan tujuan utama untuk memuliakan Alquran dan mensyiarkan Islam. Supaya awet dan tahan lama, maka digunakanlah kayu tembesu. Sedangkan ornamen-ornamen ukiran khas Palembang dibuat untuk menambah keindahannya, sekaligus untuk mempromosikan budaya dan tradisi Kota Palembang dalam karya seni ukir yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Teknik pengukiran yang rumit dan tidak bisa dikerjakan sendirian, menyebabkan lamanya proses pembuatan. Proses pembuatan mendapat pengawasan yang ketat dan melibatkan berbagai keahlian personil dalam tim. Dari sebelum diukir di atas papan, ayat-ayat Alquran terlebih dahulu ditulis di atas kertas karton, lalu tulisannya dijiplak ke kertas minyak. Sebelumnya, tulisan ayat Alquran di atas karton dikoreksi dulu oleh tim pentashih yaitu para ulama ahli Alquran dan para hafidz sehingga jika terjadi kesalahan langsung diperbaiki. 


Pembuatan Al Quran Al-Akbar rampung pada tahun 2008. Ayat Alquran dari juz 1 hingga juz ke-30 berhasil diukir dalam 630 halaman atau 315 lembar kayu. Kurang lebih ada 40 meter kubik kayu yang digunakan. Biaya pembuatan keseluruhan menghabiskan dana sekitar 2 miliar. Peluncurannya dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2009 di Masjid Agung Palembang oleh Kepala Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan, H.Najib Haitami. Hadir dalam peluncuran para hafizh dan hafizhah se-Sumatera selatan.

Alquran ukir raksasa dipublikasikan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 30 Januari 2012. Peresmiannya bertepatan dengan momentum Konferensi Persatuan Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kota Palembang yang dihadiri oleh sekitar 51 negara Islam di dunia. Disamping peluncuran, dilakukan juga penandatanganan prasasti Al Quran Al Akbar di hadapan peserta konferensi PUIC. Seluruh peserta yang hadir saat itu sepakat menobatkan Al Quran Al Akbar sebagai satu-satunya Alquran terbesar di dunia dari jenis ukiran kayu.

Untuk melihat lebih banyak lagi lembaran kayu, kami masuk ruang galeri. Di balik lembaran kayu yang paling depan terdapat banyak lembaran kayu lainnya di bagian belakang. Beberapa pengunjung tampak berpindah dari lembar kayu yang satu ke lembar lainnya. Saat itu, pengunjung hanya bisa melihat-lihat galeri di lantai dasar. Tangga menuju lantai 2 dan 3 sedang ditutup, sepertinya terkait faktor keamanan.

Kemegahan dan keindahan Al Quran Al Akbar mengundang decak kagum bagi setiap pengunjung yang melihatnya. Tak heran bila Alquran raksasa ini menjadi terkenal di seluruh penjuru Tanah Air. Tak hanya Museum Rekor MURI saja yang memberi pengakuan, bahkan dunia internasional pun mengakuinya sebagai Alquran Ukir terbesar di dunia yang pernah ada saat ini. 


Kampung Arab al-Munawar

Kampung al-Munawar tak hanya memesona dari segi bangunan lawasnya, tapi juga dari rekam sejarah dan budaya. Komunitas Arab yang tinggal di kampung ini adalah bagian dari kekayaan sejarah, budaya, dan intelektualitas kota Palembang. Mereka telah memberi banyak andil dalam perkembangan kota Palembang.

Kampung Arab al- Munawar merupakan salah satu kampung Arab paling termasyhur di Indonesia. Terletak di Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang, atau di sisi bagian Ulu (Selatan) Palembang. Kampung ini tepat berada di pesisir Sungai Musi, tak jauh dari Jembatan Ampera. Untuk mencapai lokasi kampung Arab bisa melalui dua jalur. Jalur pertama lewat darat, jalur kedua lewat sungai dengan menggunakan perahu.

Saya berangkat menggunakan perahu sewa dari Dermaga 16 Ilir Palembang dengan waktu tempuh sekitar 10 menit. Kampung al-Munawar mudah ditemukan karena bagian tepinya yang menghadap ke sungai terpampang tulisan ‘al Munawar’ dan logo ‘Pesona Indonesia’. Ada pijakan kayu untuk mendaratkan kaki, semacam jembatan penghubung menuju daratan. Pagar hitam dan bangku-bangku kayu bercat oranye kecoklatan di jembatan bersanding dengan pot-pot bunga berbentuk kubus, menjadi bagian yang langsung menarik perhatian. 

Kampung Arab alMunawar

Ada rasa nyaman kala melihat bagian tepi sungai al-munawar yang tertata rapi. Nuansa tradisional dibalut dengan sentuhan modern membuat tempat ini menarik untuk dipandangi. Pada sebuah belokan, sebelum kaki menyentuh daratan, ada sebuah Musala yang lokasinya menjorok langsung ke permukaan sungai. Beribadah di sini tentu punya sensasi yang sangat berbeda. Sesampainya di daratan, kami melewati jalan tidak lebar menuju sebuah lapangan, pusat Kampung Al Munawar. Di sini, nuansa tradisional dan kota tua mulai terasa kental.

Di sekitar lapangan yang menjadi pusat kampung Arab terdapat rumah-rumah panggung berusia ratusan tahun yang memiliki keunikan berbeda antara satu dan lainnya. Salah satunya milik Pak Muhammad al-Munawar, Ketua RT yang juga merupakan generasi keenam keturunan langsung leluhur kampung: Habib Hasan al-Munawar. Cicitnya cicit Habib Hasan. Beliau adalah orang pertama yang saya jumpai di sini dan darinya saya memperoleh banyak cerita. 




Dinamakan Kampung Arab karena di sinilah awal para pedagang-pedagang arab bermukim. Sedangkan nama Al-Munawar diambil dari seorang tokoh yang dihormati warga setempat yakni Habib Abdurrahman Al Munawar. Ia adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di masa awal masuknya Islam ke Palembang. Bagi orang Palembang, nama al-Munawar sudah sangat familiar sejak dulu, tapi baru belakangan mulai ramai dikunjungi wisatawan. Tak hanya weekend, tapi juga weekdays.

Sebagai sebuah kawasan yang cukup tua di Palembang, Kampung Arab memiliki delapan rumah tua berusia hingga lebih dari 250 tahun. Terdapat rumah panggung tradisional bergaya limas, ada pula rumah dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Eropa. Rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri hingga kini. Rahasianya ada pada kayu yang dipakai sebagai material bangunan yaitu kayu Ulin. Nuansa vintage dan eksotis dari Kampung Arab membuat saya bagai tersedot ke masa lalu.



Sebagian besar rumah-rumah tua telah dihuni secara turun-temurun, sehingga lumrah bila dalam satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Pak Muhammad al-Munawar mengajak kami melongok ke dalam rumah Ibu Lathifah al-Kaab, yang masih satu garis keturunan dengan Pak Muhammad. Ibunya Bu Lathifah bermarga al-Munawar. Namun karena menikah dengan pria bermarga al-Kaab, Bu Lathifah dan seluruh saudaranya menyandang nama keluarga al-Kaab.

Rumah Bu Lathifah merupakan salah satu dari delapan rumah asli Kampung al-Munawar yang dibangun di era Habib Hasan. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak Habib Hasan, dan kemudian menjadi cikal-bakal kampung. Meski berusia nyaris 300 tahun, bangunan lawas dan eksotik ini masih tampak kokoh dan gagah. Nuansa Eropa terlihat dari pintu-pintu dan jendela yang berukuran besar dan tinggi. Bahkan, lantai rumahnya bukan marmer biasa, melainkan granit yang didatangkan langsung dari Italia. 

Salah satu rumah tua di Kampung al-Munawar



Terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar, tempat belajar anak-anak Kampung Arab Al Munawar dan sekitarnya. Sebagaimana kampung tua, bangunan madrasah tersebut juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik. Di Kampung ini, Jumat adalah hari libur, termasuk untuk kegiatan sekolah. Uniknya, di hari Minggu justru sekolah tetap berlangsung. Didekat madrasah juga terdapat sebuah klinik yang dikelola langsung oleh warga setempat.

Ada sekitar 30 kepala keluarga yang mendiami Kampung Al Munawar. Mereka semua mempunyai tali darah persaudaraan karena aturan yang tidak membolehkan mereka untuk menikah dengan orang di luar kampung. Namun aturan itu hanya berlaku untuk para perempuan saja. Para pria tetap boleh menikahi perempuan di luar kampung namun tetap saja darah Arabnya masih kental dari garis keturunan Ayah. Penduduk kampung Arab umumnya berprofesi sebagai pedagang.



Di masa lampau Palembang menjadi salah satu kota tujuan utama para pendatang Arab, selain Aceh dan Pontianak. Mereka adalah pendatang Arab yang benar-benar meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Palembang, bukan hanya mampir di pelabuhan Palembang dan menetap sementara. Para keluarga Arab telah menetap di Palembang sejak tahun 1732. Di antaranya adalah marga Al-Habsyi, Bin Syihab, As-Saqqaf, Al-Jufri dan Al-Munawar. Sebagian besar pendatang Arab di Palembang berasal dari keluarga Sayyid, yang diyakini sebagai keturunan langsung pendiri agama Islam.

Singkat kata, pendatang Arab yang tiba di Palembang adalah orang Arab dengan garis keturunan terhormat, dari kelas ekonomi menengah, dan terdidik dengan baik. Kombinasi ketiga hal ini yang membuat komunitas Arab di Palembang berkembang pesat secara ekonomi dan membuatnya menjadi sangat penting.



Kampung Al-Munawar dapat dikunjungi setiap hari. Untuk kegiatan wisata dapat dilakukan mulai dari jam 7:30 pagi sampai 5 sore. Hari Jumat adalah hari libur di kampung ini sehingga kegiatan wisata juga tidak diizinkan. Jika dulu bebas biaya, kini Kampung Al-Munawar sudah mematok tiket sebesar Rp 2.000 untuk tiap wisatawan yang datang berkunjung.

Nilai-nilai Islam menjadi atmosfer utama di Kampung Arab. Karena itu, para warga menyediakan sarung bagi laki-laki, serta penutup aurat bagi perempuan. Hal tersebut menunjukkan norma dan budaya kesopanan yang selalu dijaga, baik oleh warga setempat maupun wisatawan yang berkunjung. Dalam moment-momen khusus seperti Tahun Baru Islam, Maulid Nabi, dan Ramadhan, warga kampung Arab menggelar berbagai acara budaya seperti kesenian gambus. Inilah yang juga menjadikan Al-Munawar sebagai salah satu lokasi wisata religi terbaik di Palembang. 




Kampung Arab Al-Munawar tetap terjaga kelestariannya meskipun sudah berusia ratusan tahun. Sejak tanggal 11 Februari 2017, Kampung Al Munawar resmi sebagai destinasi wisata budaya dan religi di Palembang. Ke depannya, sejumlah rumah tua juga akan diplot sebagai homestay demi menyambut perhelatan Asian Games 2018 dan MotoGP. Kampung bersejarah nan unik ini termasuk luar biasa karena dari hulu dan sepanjang Sungai Musi, bergulir keberagaman budaya. Indonesia tentu bangga memiliki kampung al Munawar. 

Wisata Religi Khas Wong Kito dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017


**

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017
Semua foto oleh Katerina www.travelerien.com

To The Scenic of Pulau Pisang

panorama pulau pisang

To The Scenic of Pulau Pisang

One trip betting for a lot of fun began since driving the car for 6 hours from Bandar Lampung to Krui. It was 8 pm when we arrived at Labuhan Jukung, where we stayed before we continued our journey accros to Pulau Pisang the next day. Labuhan Jukung is known as a tourist area that presents the beauty of the beach and sea with spectacular sunset that can be enjoyed every afternoon. High and long waves with surfers dancing with waves.

The Port of Kuala Stabas Krui becomes the starting point of the crossing to Pulau Pisang. Just beside the harbor there is Bukit Selalau, a favorite place for people to take pictures and sit around enjoying the coastal scenery with rows of hills and Mount Pugung in the distance. 


After wearing a life jacket, installing a backpack cover, and storing the gadget tightly in a waterproof bag, jukung (a kind of traditional boat) hurried leaving the port. Ten people in one jukung, according to maximum capacity. The universe blessed our journey. It gave us clean blue sky, bright sunshine, and wind the caressed the face.

kuala stabas krui
Kuala Stabas
jukung pulau pisang
Jukung (a kind of traditional boat) hurried leaving the port - Photo taken by Arif @arifgwibowo

FOR TOURIST visit Pulau Pisang, the opportunity to see dolphins on the high seas can also be obtained. On the day of departure, we did not plan to hunt the attractions of dolphins. Focusing on the mainland exploration activities of Pulau Pisang made us want to hurry up. Even so, the eyes were still sweeping the ocean, hoping to meet with hordes of dolphins.

At 10.00 am our boat began to dock towards the beach near the pier of the east side of Pulau Pisang which is no longer functional. In this section, Pulau Pisang overlooks the mainland of Sumatra, precisely facing Tembakak Village, Karya Penggawa Subdistrict, West Coast. 


Our boat rested directly on the beach. Not far from the dock there was a large wood that was put to sleep and painted with the words “Welcome Pulau Pisang”. Yes, we had arrived on Pulau Pisang. One rare opportunity to be on a rather hectic island away from Bandar Lampung.

pelabuhan pulau pisang
Floating dock - Photo Katerina @travelerien

Photo Arif @arifgwibowo

The area of Banana Island is about 200 hectares. Located of Tembakak Beach. Currently, it has become one of its own sub-districts and is inhabited by people panorama. Charming old and antique houses to photograph. Old school and Sound Signs Towers, the heritage of Dutch. The house where the fifth Indonesian president’s husband ever lived. The activities of the residents in the morning. Clove gardens are the main commodities of the islanders. Big waves in many spots. Craftsman of gold yarn and tapis (a kind of traditional cloth). To see it all, not enough by just a short visit.

Pulau Pisang - Photo Katerina @Travelerien
Pulau Pisang Culinary - Photo Katerina @travelerien

Much can be seen on Pulau Pisang, especially the beauty of the sea and its beaches. There is a snorkel spot with an unspoiled underwater panorama. Charming old and antique houses to photograph. Old School and Sound Signs Towers, the heritage of Dutch. The house where the fifth Indonesian president’s husband ever lived. The activities of the residents in the morning. Clove gardens are the main commodities of the islanders. Big waves in many spots. Craftsman of gold yarn and tapis (a kind of traditional cloth). To see it all, not enough by just a short visit.

Spending the night here is more complete. More time can be used to see and do things. Swimming, walking around the island, enjoying the typical cuisine. Staying at a community home has added value, making it easier to recognize the culture and habits they have, whether through chatter when interacting directly, from daily activities, or from the food they serve.

Home stay - Photo taken by Katerina @travelerien
Pekon Pasar, Pulau Pisang - Photo by Katerina @travelerien

TO EXPLORE the island to the far, we rented a motorcycle at a price of Rp 60.000, - per day. It can be used to tour the island all day. The motor can be ridden alone. If required, a guide can be hired to accompany the tour.

The first place we visited was the State Elementary School (SDN) of Pasar Pulau Pisang. Based on the existing archives, the school was founded in 1892, built during the Dutch occupation, and still stands today. It has been renovated several times, without changing its original shape. The original building stands on the front, consisting of 5 classrooms. While the additional building is in the back. High and wide door shape, characterizes Europeanstyle building architecture. Without a window but the top wall is made perforated as the air circulation. 

SDN Pasar Pulau Pisang - Photo taken by Arif @arifgwibowo

The village road made of cement, its length to penetrate the clove plantation which became the main commodity of Pulau Pisang. In the clove plantation belonging to the residents there is Menara Rambu Suara (sound sign tower). The five story tower located on top of this hill can be climbed in turns and carefully. There are no guards in the tower, so no ticket has to be paid.

The undeniable charm of the West Coast is presented from the height of the tower. The view of the sea with its beautiful water color gradation. Rows of hills on the mainland of Sumatra Island in Lampung. Coastline, white sand on the beach, waving palms, rooftops, coconut and clove forests, until the endless wave of waves sweeping the beach, all looking stunning. 

Menara Rambu Suara - Photo by Katerina @travelerien


Menara Rambu Suara - Photo taken by Arif @arifgwibowo

We also went to Batu Gukhi, the last destination of the day. The rolling waves I saw in this place, created long and high waves toward the shore. Many times without stopping. But this is the paradise of surfers, as well as photographers. White sand beach to the south is suitable for a relaxing swim or just a soak.

Batu Gukhi - Photo taken by Arif @arifgwibowo
Batu Gukhi Beach -  Photo by Tama @tamaa_11

Pulau Pisang is quite famous for making Tapis Lampung fabric. Many crafters of Tapis fabric and gold embroidery can be found on this island. We came to one of them to see first-hand the making of Tapis fabric with traditional method.

Mrs. Erdalena, one of the Tapis crafters we met, welcomed us kindly. On the porch of her house there was a special table that was used for the process of fabric work. Tapis made by Mrs. Erdalena were in the form of fabric, some in shawls. While the gold embroidery was made in the form of door curtains that were usually used for certain events. The price range of Tapis fabric that Mrs. Erdalena sold was Rp 3 million per sheet, while the door curtain was Rp 1.5-2 million. The crafters of Tapis on Pulau Pisang often received fabric orders from outer island buyers or outside the region. 


Photo by Arif @Arifgwibowo

PULAU PISANG did not only reward us with valuable experience and lessons, but also the natural wonders presented in plain sight. On our way back to Kuala Stabas, we had different stories from the departure trip.

Not until 20 minutes since the boat left Pulau Pisang, a horde of dolphins emerged far more than I’ve ever seen in Kiluan. They came very close from the front, right side and left side of the boat. The camera was ready, but always lost its speed. Maybe it was just time to see with the eyes, not with the camera lens. The appearance of the dolphins did not last long, but I saw the faces of friends so pleased. All shouted joyfully and laughed satisfiedly. Until finally the dolphins did not appear anymore. Disappearing in the vastness of the oceans of the West Coast.

Dolphins - Photo by Aris Pratama @riez-aries

The trip exploring Pulau Pisang provides a rewarding experience, as well as beautiful memories. The sea and its lands offer an exciting adventure that will always be missed in the days to come. No need to spend too deep to fly hundreds to thousands of kilometers leaving the hubbub of the capital. Simply direct yourself to Lampung, to the natural beauty of Pulau Pisang.

Photo taken by Arif @arifgwibowo
Photo taken by Dwi Rino @akunrino
Photo by Katerina @travelerien
To The Scenic of Pulau Pisang - by Katerina - XPRESSAIR Inflight Magazine, August 2017

  

Jelajah Keindahan Pulau Pisang 

Keliling Krui Jelajah Pesona Pesisir Barat

Wisata Kaliber Dunia di Pesisir Barat Lampung

Tiada Gundah di Tidore

Padanan permai antara gunung dan laut menjadi simfoni unik Bumi Marijang, bersanding sejarah yang menghidupkan julukan legendaris The Spice Island.

tidore kepulauan maluku utara
Tidore Kepulauan - Maluku Utara

Nama Tidore berasal dari rangkaian kata "To Ado Re" yang berarti "Aku Telah Sampai". Sebelum itu, Pulau Tidore dikenal dengan sebutan "Limau Duko" atau "Kie Duko" karena di pulau tersebut terdapat gunung berapi. 

Adalah Kie Marijang, gugusan pulau tertinggi kepulauan Maluku, yang berdiri tegak di sana. Kini gunung tersebut sudah tidak aktif lagi. Marijang dalam bahasa Tidore bermakna gunung atau puncak yang indah.

Tidore kerap disandingkan dengan Ternate karena letaknya bersebelahan. Dua pulau ini hanya terpisah selat dan Pulau Maitara. Keindahan pemandangannya diabadikan dalam uang kertas Rp. 1000, di mana tergambar Pulau Maitara yang berada di antara keduanya. Dengan menumpang kapal cepat, pulau kecil yang dijuluki The Spice Island ini dapat dicapai dalam waktu sekitar 15 menit dari Pelabuhan Bastiong, Ternate.


pulau maitara tidore
Pulau Maitara yang tergambar dalam uang Rp 1.000,-

BENTENG TAHULA

Bagi penggemar wisata sejarah dan budaya, ada 3 destinasi yang wajib dikunjungi di Tidore yaitu Benteng Tahula, Benteng Torre dan Kedaton Kesultanan. Ketiganya bukan hanya tercatat dalam kisah Indonesia, tapi mengguncang dunia sebagai titik pembuktian teori Heliosentri-nya Copernicus. Benteng Torre dan Tahula peninggalan Bangsa Portugis, menunjukkan bukti bahwa salah satu bangsa besar Eropa pernah berada di Pulau Tidore.

Benteng Tahula terletak di Jalan Syaifudin, Desa Soa Sio, Kota Tidore Kepulauan. Lokasi benteng berada di atas bukit yang curam di daerah pesisir. Untuk mencapai Benteng Tahula harus mendaki ratusan anak tangga hingga puncaknya. Di atas benteng terlihat jelas seluruh kota Sia Sio juga sebagian lekuk Pulau Tidore. Terdapat makam dan semacam kolam di halaman benteng.

Tonton juga video : Travel Blogger goes to Tidore

benteng tahula di soa sio
Salah satu sisi Benteng Tahula yang menghadap ke Soa Sio

Benteng Tahula dikenal juga dengan nama Benteng Tohula atau Kota Hula. Pembangunannya baru dimulai pada tahun 1610 oleh Chirstobal de Azcqueta Menchacha (1610-1612), gubernur Spanyol saat itu. Pekerjaan pembangunan selesai tahun 1615 pada masa gubernur Spanyol Don Jeronimo de Silva (1612-1617) dan benteng ini diberi nama Santiago de los Caballeros de Tidore atau Sanctiago Caualleros de los de la de ysla Tidore. Spanyol menggunakan benteng ini hingga tahun 1662. Setelah kepergian Spanyol, pada tahun 1707, Belanda yang berkuasa saat itu meminta Sultan Tidore untuk menghancurkan Benteng Tahula. Namun, sebelum Benteng Tahula sepenuhnya dibongkar, Sultan Tidore Hamzah Fahroedin (1659-1700) meminta benteng dipertahankan sebagai tempat tinggal kerajaan.

Benteng Tahula adalah salah satu penanda perdagangan rempah di masa lalu. Benteng ini menjadi saksi ribuan pelayaran setiap harinya keluar masuk Pulau Tidore. Bukan hanya angkutan rempah, tapi juga pelayaran rakyat penghubung antar pulau-pulau di Maluku Utara. 

Tangga menuju puncak benteng


BENTENG TORRE

Benteng Torre dibangun atas perintah Sancho de Vasconcelos yang mendapat ijin dari Sultan Gapi Baguna tanggal 6 Januari 1578. Ijin ini didapat setelah Portugis diusir dari Ternate oleh Sultan Baabullah karena Portugis telah membunuh Sultan Khairun pada tahun 1570. Nama Torre kemungkinan berhubungan dengan nama kapten Portugis pada saat itu yaitu Hernando De La Torre.

Benteng Torre tidak berada di tepian laut, melainkan di atas bukit, tepat di buritan Kedaton Kesultanan Tidore. Secara keseluruhan Benteng Torre telah mengalami kerusakan dan hanya menyisakan kurang lebih 30% dari keseluruhan bangunan. Hanya dinding keliling bagian depan saja yang masih berdiri. Diduga akibat gempa yang seringkali terjadi di masa lalu. Setelah berabad-abad, baru pada tahun 2014 benteng ini dipugar.

Benteng-benteng yang dulu berdiri angkuh, sekarang melamun syahdu menyaksikan angin dan ombak bersabung di lautan. Tumpukan bebatuan muntahan dari gunung masih ada di sekitar benteng. Benteng yang berada di ketinggian ini menghadap ke arah tenggara dan berbentuk persegi empat dengan tambahan bangunan setengah lingkaran di sisi barat daya atau bagian kanan depan. Duduk-duduk sore di sini, mata saya dimanjakan oleh panorama laut Tidore yang biru. Sedangkan pada pagi hari, dari atas benteng yang kian dilanda uzur dan bermetamorfosis menjadi artefak dari masa silam yang hanya dibanggakan warga sekitarnya ini, kita dapat menyaksikan betapa menawannya matahari terbit di Tidore.


cara menuju benteng torre
Benteng Torre di atas bukit


NEGERI ATAS AWAN

Gura Bunga merupakan desa tertinggi di Tidore, berada di lereng Gunung Marijang yang mempunyai ketinggian 1.730mdpl, menjadikannya sebagai gunung tertinggi di Maluku Utara. Gunung berbentuk kerucut hampir sempurna ini, dindingnya digurat banyak sumber air dan dirimbuni dengan tumpukan batu untuk ritual adat.

Untuk mencapai Kie Matubu (puncak Kie Marijang) diperlukan lima jam lagi perjalanan kaki. Dari puncaknya kita dapat menikmati panorama Pulau Ternate dan Maitara, Pulau Mare yang teluknya menjadi persingggahan kahia (lumba-lumba), serta hutan-hutan hijau di lembah sekeliling gunung yang memeluk hangat rimbun pohon pala dan cengkih, muara segala pelayaran akbar bermula.

Salah satu Negeri Atas Awan di Tidore ini seringkali diselimuti oleh kabut yang menimbulkan kesan magis. Dari sudut mana pun, suasana desa ini diselimuti ketenangan. Warganya senantiasa menyapa ramah. Rumah-rumah dengan halaman yang sangat bersih dihiasi bermacam bunga yang beraneka warna, membuat desa ini tampak menawan. 

Tonton juga video : Negeri di Atas Awan Tidore

desa gura bunga tidore
Rumah tradisional Tidore di Desa Gura Bunga

Di Gurabunga masih terdapat rumah asli Tidore. Di sini pula para sowohi,  yang menjadi penghubung Kesultanan Tidore dengan roh para leluhur, menetap. Kelurahan yang berada di ketinggian 900mdpl ini dihuni oleh lima marga dengan rumah adat masing-masing marga, menjadi simbol persatuan keanekaragaman adat budaya. Berbaur dengan masyarakat setempat dan mencoba merasakan sentuhan kehidupan dan kearifan lokalnya, menjadi pengalaman berharga yang saya dapat dari Gura Bunga.

Bulan April lalu, Gura Bunga menjadi lokasi pelaksanaan kegiatan Sonine Gurua, yaitu perayaan masyarakat pegunungan untuk mengekspresikan kegembiraan dan sukacita sebagai ungkapan syukur menyambut datangnya Hari Jadi Tidore ke-909 tahun 2017. Dalam acara tersebut diadakan perjamuan bagi tamu yang datang dengan suguhan kuliner khas pegunungan seperti kofi dabe (kopi rempah) dll, serta atraksi-atraksi seni dan budaya masyarakat pegunungan. Di sini pula diadakan prosesi Tagi Kie, yaitu prosesi pengambilan air oleh masyarakat adat Soa Romtoha Tomayou.

kie matubu gura bunga
Gura Bunga di malam hari, berlatar Kie Matubu

KAMPUNG KALAODI

Tidore mempunyai kampung Kalaodi yang disebut sebagai Kampung Ekologi Pelindung Tidore. Terletak di bagian utara Tidore dan berada di ketinggian sekitar 900mdpl. Kebun-kebun di kampung Kalaodi termasuk dalam kawasan hutan lindung Tagafura yang kaya dengan tanaman-tanaman produktif seperti cengkih dan pala.

Kedua komoditi ini adalah penghasilan utama sebagian besar warga Kalaodi. Di sela-sela tanaman rempah itu, warga juga menanam kenari, kayumanis dan pinang. Beberapa kerajinan dari bambu seperti Saloi dan Tolu yang banyak dijual di Pasar Goto (pasar tradisional Tidore) juga dihasilkan dari sini. Saloi semacam keranjang untuk dipakai ke kebun, sedangkan Tolu  sejenis topi lebar pelindung kepala dari hujan dan panas. 

pesona kalaodi
Dari ketinggian Desa Kalaodi, terlihat Pulau Maitara dan Pulau Ternate

Suasana kampung Kalaodi sangat tenang. Jalanannya kerap lengang. Sesekali saja motor berlalu santai. Di kebun-kebunnya, pohon-pohon rempah tinggi menjulang, tumbuh rapat hampir sepanjang jalan. Buah cengkih dan pala dijemur begitu saja di tepi jalan tanpa khawatir akan hilang. 

Kampung dengan udara sejuk sepanjang waktu ini tak hanya kaya akan rempah, tapi juga kaya akan keindahan panorama. Pemandangan menawan kota Tidore dan Pulau Halmahera di timur, juga Pulau Maitara dan Pulau Ternate di sebelah barat, menjadi suguhan yang bisa dinikmati setiap saat.

desa kalaodi tidore
Sejuk, bersih, dan tenang

EKSOTISME PULAU FAILONGA

Pulau Tidore memiliki 12 pulau besar dan kecil, di antaranya Pulau Failonga, Pulau Mare, Pulau Maitara, Pulau Tamong, Pulau Pasi, Pulau Woda, Pulau Joji, Pulau Guratu, dan Pulau Sibu. Masing-masing pulau menawarkan keanekaragaman hayati laut timur yang pesonanya sulit untuk ditolak. Saya mengunjungi salah satunya yaitu Pulau Failonga. Sebuah pulau dengan air laut bagaikan cermin, membuat awan putih tidak hanya berkeliaran di langit, tetapi juga di air laut.

Failonga terkenal dengan keindahan pasir putih dan bebatuan yang indah. Cocok untuk tempat rekreasi, memancing, diving dan snorkeling.  Dari Pelabuhan Goto, pulau seluas 1,1 km2 ini dapat ditempuh selama 10 menit dengan menggunakan speedboat. Pulau Failonga masuk dalam kategori pulau-pulau kecil, hanya butuh sekitar 20 menit untuk mengitarinya

Sembilan puluh delapan persen Failonga adalah tebing batu yang sebagiannya tergolong curam. Sisanya berupa pantai dan batuan berukuran kecil yang melandai. Pantai pasir putih nan halusnya juga dilindungi batuan berukuran raksasa dari deburan ombak. Airnya yang sangat jernih, hangat, dan dangkal, membuat siapapun betah untuk menikmati panorama bawah lautnya yang menawan. Benar-benar surga tersembunyi di laut Tidore. 


pulau failonga maluku utara
Pantai pasir putih dan air jernih di laut Pulau Failonga yang menawan


KULINER KHAS TIDORE

Mempelajari pengaruh rempah dalam kehidupan masyarakat Tidore makin lengkap jika disertai dengan mencicipi tradisi kulinernya. Masyarakat Tidore yang terkenal gemar mengunyah menawarkan pilihan menu yang beragam. Beberapa diantaranya sudah sering terdengar, namun baru kali ini saya makan langsung di tempatnya.

Sagu Singkong atau biasa disebut Kasbi menjadi makanan pokok pengganti nasi di Tidore. Sagu Singkong dibuat dari parutan singkong kering yang dimasukkan ke dalam sebuah cetakan yang terbuat dari gerabah yang terlebih dahulu dibakar diatas sebuah tungku panjang. Di masa lampau, Kasbi merupakan makanan yang awet sampai satu tahun, sehingga sering dibawa oleh para pejuang dan pelaut Tidore ataupun pelaut kolonial yang singgah di Tidore sejak jaman dahulu sebagai bekal untuk perang ataupun pergi berlayar di lautan. 

kuliner gohu kasbi tidore
Beberapa kuliner khas Tidore: Gohu, Ikan bakar dabu-dabu, kasbi

Kasbi secara umum seperti roti tawar bakar, tapi bentuknya pipih persegi panjang. Kasbi lebih berserat dan lebih cepet mengenyangkan.  Lebih legit dari roti tawar. Kasbi biasanya dikonsumsi bersamaan dengan lauk ikan yang dibakar, panggang, berkuah ataupun goreng.  Bisa juga ditambahkan selai, jadi kudapan teman minum teh. Di Tidore, Kasbi yang dibuat oleh pembuat rumahan dijual seharga 10.000/8pcs. 

Ada pula Gohu, kerap disebut sashimi ala Tidore. Terbuat dari ikan mentah segar yang dicampur beberapa bumbu masak dan dibiarkan matang dengan cara disiram minyak kelapa mendidih. Salah satu kekayaan kuliner khas Nusantara ini tak hanya lezat, tapi juga sehat karena menggunakan ikan dan bahan-bahan alami yang segar. Selain teman yang cocok untuk nasi hangat, Gohu juga pasangan yang tepat untuk Popeda, kuliner khas Tidore lainnya. Olahan ikan lainnya berupa Kakap Goreng yang disiram sambal dabu-dabu, sambal khas Maluku Utara.

 
istana kesultanan tidore
Kedaton Kesultanan Tidore

KEDATON KESULTANAN TIDORE

Istana sepuh yang di sebut Kadato Kie ini berkedip manis menghadap laut. Tempat di mana semua sabda Sultan diampu dan dipatuhi di seantero wilayah kekuasaannya. Di sinilah saksi bisu sepak terjang Kesultanan Tidore, masa saat Sultan Nuku berkuasa sejak 1797, hingga berjaya dengan mempersatukan seluruh kerajaan di perairan Maluku termasuk Papua dan mengusir kompeni Belanda tanpa pertumpahan darah.

Abad berganti, masa berlalu. Kejayaan Kesultanan Tidore menjadi kenangan yang diabadikan dalam catatan sejarah. Kini Kadato Kie hanya dipakai untuk acara seremonial, juga tempat menyimpan, merawat, dan memamerkan benda-benda pusaka milik kesultanan, seperti senjata (pedang dan perisai), mahkota, pisau keris Sultan, Al Quran tinta emas, pedang, pakaian Sultan, pakaian panglima perang/Kapita Lao.

Pada perayaan Hari Jadi Tidore ke-909 bulan April lalu, beberapa rangkaian acara dan adat istiadat Tidore dilaksanakan di Kadato Kie. Melalui kegiatan inilah saya akhirnya punya kesempatan menginjakkan kaki di dalamnya, bertemu Sultan dan Permaisuri, ikut dalam acara makan Saro (makan adat), bahkan duduk lama menyaksikan ritual Rakib Taji Besi.


Baca juga: Menjadi Juri Lomba Menulis Blog Tidore

Sultan Tidore Jou Husain Syah dan Permaisuri di Hari Jadi Tidore ke-909

Festival Tidore, April - Setiap Tahun

Prosesi Tagi Kie, Rora Ake Dango, Parade Juanga Sultan Tidore, Rora Paji, Panji Nyili-Nyili, hingga Kirab Agung Kesultanan, merupakan tradisi dan adat istiadat Tidore yang masih dilestarikan hingga saat ini. Kegiatan budaya ini bisa disaksikan saat memperingati Hari Jadi Tidore yang rutin diadakan tiap tahun pada bulan April.

Parade Juanga adalah ekspedisi hongi Tidore di mana Sultan Tidore dan Bobato melakukan pelayaran mengelilingi teritori Kesultanan Tidore dan singgah di Kadaton Sultan Ternate dalam lawatan silaturahim, juga untuk mengunjungi masyarakat Tidore yang berada di Ternate. Selanjutnya, di Kadato Tidore di Ternate, Sultan akan singgah beberapa waktu untuk bersilaturahim sekaligus mengundang (dawaro se siloloa) masyarakat adat Tidore di Ternate untuk pulang menghadiri perayaan Hari Jadi Tidore (HJT). 

festival tidore
Dua dari puluhan kapal yang mengikuti Parade Juanga
Pasukan pengamanan dari istana ikut serta Parade Juanga

Setelah Parade Juanga, malamnya dilaksanakan perjalanan Paji Nyili-Nyili. Dalam perjalanan ini, duplikat paji diarak melalui soa (kampung) menuju Kadato Kie melalui perjalanan laut dan darat sesuai rute Napak Tilas Perjuangan Sultan Nuku. Para Bobato Kesultanan Tidore ikut dalam acara Perjalanan Paji Nyili-Nyili. Kurang lebih 700 orang dari lima negeri yakni Raja Ampat, Seram, Maba, Patani, Weda dan Nyili-Nyili dalam Kesultanan Tidore. Tepat tanggal 12 April 2017, seluruh pasukan Paji Nyili-Nyili dari 4 penjuru bertemu di depan Kadato Kie, disambut oleh Sultan, Bobato dalam upacara adat.

Moment menggetarkan yang jangan dilewatkan menjelang upacara puncak HJT adalah saat Pasukan Kirab Agung Kesultanan menerima Paji Angkatan Perang, Paji Gimalaha & Famanyira di tempat penyatuan Paji (Limau Soasio), untuk kemudian diarak memasuki lokasi upacara di Sinoni Salaka, Kadato Kie. 

Paji Nyili Nyili

Mari sejenak pulang ke Tidore, tanah di mana tradisi dan kearifan dirawat dalam kebijaksanaan, kesabaran, dan kerendahhatian para sowohi dan Joguru sejak ratusan tahun lampau.  

Syukur dofu-dofu, Joo.


CARA KE TIDORE 
 
Pulau Tidore cukup mudah dicapai dari Ternate, di mana bandara yang menghubungkan Provinsi Maluku Utara dengan daerah-daerah lain di Indonesia berada. Dari Ternate naik speedboat dari pelabuhan Bastiong dengan ongkos Rp. 10.000,- selama 10 menit menuju Pelabuhan Rum di Tidore. Setelah itu baru naik angkot atau sewa bentor (becak motor) untuk membawa kita keliling Tidore. Ongkos bentor Rp 5.000,- – Rp 10.000,-

PENGINAPAN

Seroja adalah satu-satunya penginapan di Tidore yang sudah beroperasi puluhan tahun.  Rumah dengan luas sekitar 500an m2 ini, walaupun tampak sangat sederhana di bagian luar, tapi mampu memberikan kenyamanan bagi yang singgah. Terletak di jalan utama Kelurahan Soasio, penginapan ini berada tak jauh dari beberapa tempat wisata sejarah seperti Benteng Tahula, Masjid Kesultanan (Sigi Kolano), Makam Sultan Nuku, Dermaga Kesultanan (Doro Kolano), dan Kadato Kie (Istana Kesultanan Tidore). Harga sewa kamar Rp 300.000,- – Rp 350.000,-/kamar. Sudah termasuk sarapan kue dengan secangkir teh atau kopi.  Tersedia juga jasa cuci baju.

RESTORAN 
 
Tidore minim restoran. Hanya ada warung-warung makan kecil pinggir jalan atau pinggir pantai yang bisa dijadikan tempat makan. Satu dari sedikit restoran yang saya rekomendasikan sebagai restoran yang menyajikan menu-menu khas Tidore adalah Restoran Safira Beach di Cobodoe.  

Di sini tersedia Kasbi, Gohu, Soup Ikan, Kakap dabu-dabu, dan lain-lain. Restoran Safira terletak di pinggir pantai, mempunyai view ke laut lepas dan pulau-pulau di sekitar Tidore. Safira Beach:  IG @safirabeachresto, Telepon: 0813-2698-4446

inflight magazine xpressair
Xpressair inflight magazine Juy 2017

Tulisan Tidore ini dimuat di Majalah Xpressair edisi Juli 2017. Saya posting di sini dalam versi sedikit berbeda dari yang dimuat di majalah, tetapi dari segi isi tetap sama. Semoga bermanfaat :)
  
Semua foto diambil oleh saya, Katerina, dan menggunakan kamera saya. Saya tidak perkenankan kepada siapapun untuk menggunakan foto yang saya posting di sini kecuali dengan ijin saya terlebih dahulu.

Terima kasih kepada Ngofa Tidore Tour & Travel yang telah membawa saya ke Tidore selama 6 hari (plus 3 hari di Ternate) untuk mengikuti Festival Tidore 2017 dalam rangka Hari Jadi Tidore ke-909. Sebuah pengalaman berharga yang sangat berkesan dan tidak terlupakan 😍💜💕

Cerita tentang Tidore akan saya tulis kembali pada postingan-postingan berikutnya dalam versi berbeda dari tulisan versi majalah. Untuk video-video tentang Tidore, dapat dilihat dalam channel youtube saya di www.youtube.com/katerinas



Contacts: Anita Gathmir – 0815.1433.7014, Gathmir – 0816.829.959, Annie Nugraha – 0811.108582. Emails: anitagathmir99@gmail.com, gathmir@yahoo.com, annie.nugraha@gmail.com, visittidore@gmail.com