Tampilkan postingan dengan label Festival Krakatau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Festival Krakatau. Tampilkan semua postingan

Tiada Resah di Pulau Sebesi

Pesona Pulau Sebesi
 
Pulau Sebesi Lampung
Amuk Krakatau di Selat Sunda pada 27 Agustus 1883 turut menghabisi kehidupan di Pulau Sebesi. Sebuah pulau yang berjarak dua jam perjalanan dari Gunung Krakatau. Saat ini, setelah 134 tahun prahara yang mengguncang bumi tersebut, Pulau Sebesi menjelma menjadi pulau yang subur, banyak dikunjungi pelancong, dan menjadi gerbang ke cagar alam Gunung Anak Krakatau.

Hari Kamis (25/8/2017), dua hari jelang peringatan letusan dahsyat Krakatau, tujuh kapal menyeberang ke Pulau Sebesi, melakukan perjalanan selama 2 jam dari Dermaga Bom, membawa sekitar 180 peserta tur Krakatau 2017, salah satunya saya. Tur ini merupakan rangkaian kegiatan Festival Krakatau 2017 yang ke-27, event akbar yang rutin digelar tiap tahunnya. 


Bagaimana saya bisa ikut serta dalam tur ini, ceritanya dapat di baca pada tulisan sebelumnya : Ketika Genpi Banten Mengirimku ke Lampung.
Dermaga Pulau Sebesi

Selamat Datang di Pulau Sebesi

Pukul 11.45 WIB kami tiba di Pulau Sebesi. Siang sedang panas-panasnya. Di dekat gerbang masuk pulau, drum band anak-anak Pulau Sebesi menyambut kedatangan. Melodi riang dan penuh semangat terdengar nyaring, mengiringi ratusan langkah kaki yang berjalan meninggalkan dermaga, menuju Dusun Inpres. Saya tak bergegas menuju home stay seperti yang lain, sengaja memelankan langkah, mengamati suasana. Ada dermaga baru sedang dibangun, anak-anak berenang dekat pantai, dan perahu-perahu nelayan yang menepi. Saya mengikuti kawan-kawan Genpi luar Lampung, belok ke warung, tak melewati barisan drum band dan para penyambut.

Para pemain drum band bubar setelah rombongan terakhir lewat. Yudi (Genpi Jateng) meminta mereka berkumpul untuk difoto. Ide bagus, saya jadi bisa ikut memotret anak-anak itu dalam kondisi tidak sibuk. Setelah itu, kami kembali ke warung, memesan minuman. Secangkir teh panas meluruh pahit di mulut, sisa muntah saat mabok kapal. Lima bulan sebelumnya saya pernah berada di warung ini, bersama suami, membeli minuman. Ah iya, ini kedua kalinya saya menjejak Pulau Sebesi.


Drum band anak-anak menyambut kedatangan peserta tur Krakatau

Terima kasih adik-adik :)

Pulau Sebesi Dulu, Gunung Anak Krakatau Kemudian

Beberapa tahun lalu, pertama kali saya mendengar nama Pulau Sebesi dari Nurul Noe (travel blogger). Ternyata, bersama Nurul pula pertama kali saya melancong ke Pulau Sebesi. Dan itu telah terlaksana pada bulan Maret 2017, lima bulan yang lalu. Sekarang saya kembali dalam acara dan dengan rombongan yang berbeda. Bagaimana dengan rasa? Agak beda, karena saya berangkat bersama orang-orang yang baru saya kenal. Tapi ini menarik, saya mendapat pengalaman baru.

Tur Krakatau di Festival Krakatau tahun ini memang beda dari gelaran tahun-tahun sebelumnya. Peserta diajak menginap di Pulau Sebesi terlebih dahulu, baru mendaki Gunung Anak Krakatau pada keesokan hari.

Pulau Sebesi terletak di wilayah Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Luas pulau ini 2.620 hektare dengan daratan tertinggi 884 meter di atas permukaan laut. Panjang garis pantainya 19,55 kilometer. Di sekitar Pulau Sebesi terdapat pulau-pulau kecil, di antaranya Pulau Sebuku, Serdang, Legundi, dan Laut Gugusan Krakatau. Menurut informasi yang saya baca, penduduk Sebesi berasal dari Jawa (Jawa Tengah dan Banten). 32,2 persen berasal dari Lampung, dan sisanya berasal dari Batak, Betawi, Padang, Palembang, dan Bima. Secara otomatis budaya Jawa Serang (Banten) dan Lampung menjadi budaya yang dipakai di Pulau Sebesi.


Mewakili Genpi Banten bersama Genpi Jateng, Genpi Sumbar, Genpi Sumsel

Villa Pemda di Tepi Pantai

Selama di Pulau Sebesi, peserta tur Krakatau diinapkan di villa milik Pemda dan rumah milik warga yang disulap menjadi homestay. Kami para wanita ditempatkan di villa Pemda. Di sini ada 6 villa. Tiga villa disediakan untuk wanita, 3 villa lain campur (cewek cowok). Masing-masing villa bisa ditempati sekitar 8-10 orang. Berhubung kami (saya, Ayu, Eca) tiba belakangan, masing-masing villa untuk wanita hanya tersisa untuk 1 orang saja. Otomatis kami bertiga tidak bisa bersama dalam 1 villa. Tapi rejeki itu datang ketika seseorang memanggil dari kamar yang menghadap pantai, yang isinya campur. Katanya, kamar mereka masih bisa muat untuk 3 orang lagi. Alhamdulilah akhirnya bisa bertiga dalam 1 villa.

Villa yang kami tempati memang lebih besar. Ada 8 tempat tidur. Kasur-kasurnya tebal dan hangat. Kami satu villa dengan sepasang orang tua (suami istri) yang datang bersama anak bujangnya. Yang lainnya dari media, TV, dan netizen Lampung. Total ada 3 laki-laki dan 6 perempuan. Ayu dan Eca satu kasur, saya sendiri. Ada 6 kipas angin terpasang di dinding, semua berfungsi dengan baik. Jendela dan pintu kaca villa menghadap ke laut, menyuguhkan pemandangan keluar yang menyegarkan. Kamar mandinya hanya satu, menggunakan kloset duduk. Air bersihnya banyak. Halaman villa bersih hingga ke pantai, dilengkapi bangku-bangku untuk duduk. Cukup nyaman.


1 villa 8 tempat tidur

Cottage No. 3

Pantai depan villa

Acara Bebas

Makan siang terhidang, menunya masakan rumahan ala penduduk Pulau Sebesi. Sederhana, tapi nikmat. Soal rasa, ada yang bilang rasanya biasa banget, ada yang bilang cukup, ada yang bilang jumlahnya kurang banyak. Hmm…saya tak bisa komentar banyak, hanya berucap Alhamdulillah disediakan makan. Dalam keadaan lapar dan tak ada pilihan, citarasa tak lagi saya pedulikan. Terima kasih buat warga desa yang sudah masak untuk kami.

Sore tak ada acara dari panitia. Peserta bebas mau lakukan apa. Mau keliling pulau dengan jalan kaki atau pun motoran, menyeberang ke Pulau Umang untuk snorkeling, main-main di pantai atau kebun, bebas saja. Teman satu villa, Bang Jek (akun medsosnya kakak zack) mengajak keluar. Katanya mau lihat-lihat suasana dusun sambil hunting foto. Ikut serta Lia dan Cindar. Saya tertarik, langsung gabung. Ayu dan Eca tidak, mereka istirahat. Jadilah sore itu saya menghabiskan waktu bersama 3 orang itu. Kawan baru, yeay!

Menu makan siang: Sayur asem, ikan goreng, teri pedas, sambal, lalapan, kerupuk

Keliling Dusun Inpres

Lima bulan lalu (Maret 2017) saat berkunjung ke Pulau Sebesi, saya sama sekali tidak menjelajah daratan Sebesi. Kami banyak di laut, snorkeling, dan main di sekitaran pantai saja. Masuk villa langsung istirahat, tidak kelayapan. Dan sekarang, waktunya melihat pedalaman, menyaksikan keindahan hidup masyarakat pulau, untuk sebuah pengalaman yang ternyata tak akan pernah disesali.

Ada empat dusun di pulau ini, yaitu Dusun Inpres, Regahan Lada, Segenom, dan Bangunan. Dusun Inpres adalah dusun yang menjadi tempat kami bermalam. Kami berkeliling di Dusun Inpres, jalan kaki hingga ke areal perkebunan. Di dusun ini penduduknya ramai, banyak rumah yang sebagian besar sudah permanen, berbahan beton, tapi ada pula yang masih berbahan kayu. Tak jarang di depan rumah terhampar jemuran kakao yang sudah mengeriput dan berwarna kecoklatan. Terdapat fasilitas pendidikan, seperti TK Swadipha, SD Negeri Tejang, SMP Swadipha, dan SMA Kelautan Swadipha. Untuk fasilitas kesehatan, saya tidak melihat adanya bangunan rumah sakit. Dengan jumlah penduduknya yang ramai, serta adanya fasilitas tersebut, dusun ini cocok disebut sebagai "kotanya" Sebesi.

Anjing-anjing kerap melintas, berkeliaran dalam jumlah yang tidak sedikit. Hewan tersebut dipelihara untuk menjaga ternak dan warga. Hewan ternak lainnya seperti kerbau, kambing, dan ayam, juga banyak dijumpai. Kondisi alam di pulau ini ternyata sangat subur. Sejauh memandang, mata dijejali perkebunan penduduk. Berbagai tanaman memenuhi area perkebunan, mulai dari petai, pisang, kelapa, kakao, hingga jagung. 


Jalan-jalan keliling dusun, jumpa ibu-ibu sedang kumpul sore di pondok depan rumahnya

Rumah-rumah penduduk Pulau Sebesi kebanyakan seperti ini

Fasilitas pendidikan

Jalan dusun
Kebun kakao

Tempat Pembuatan Gula Kelapa

Kami menjumpai jalan berbatu yang mempunyai pola segilima, dan sedikit aspal. Pada bagian lain ada yang sedang dipasangi conbloc, sebagian lagi belum. Semakin jalan ke ujung, jalan hanya tanah. Kami tak tahu tujuan, ikut saja kemana arah jalan. Hingga sampai pada sebuah rumah, di perkebunan yang sepi. Di depannya terhampar kakao yang sedang dijemur.

Asap yang muncul dari balik susunan kulit kelapa mengundang perhatian. Ternyata tempat pembuatan gula kelapa. Api dari potongan-potongan kayu menyala, memasak air nira dalam 3 wajan raksasa. Seorang pria bernama Thohir, sedang sibuk mengaduk gula yang masih cair. Kami mendekatinya, berbincang, dan melihatnya bekerja. Pak Thohir mungkin hanya salah satu dari pembuat gula kelapa yang ada di Pulau Sebesi. Kami tak bertanya siapa lagi pembuat gula selain dia. Menurut Pak Thohir, gula merah buatannya dijual seharga Rp 10.000 per kg. Harga tersebut berlaku di Sebesi, jika sudah dibawa keluar pulau, tentu beda lagi harganya. Terlalu murah kah? Lia membeli 1 kilo. Kami tidak.

Jemuran Kakao, punya Pak Thohir, pembuat gula kelapa di Pulau Sebesi

Air nira pohon kelapa sedang dibuat menjadi gula
 
Masih berupa cairan kental
Bentuknya setelah jadi gula kelapa

Bekas Tempat Pembuatan Minyak Kelapa

Kami melanjutkan berkeliling, keluar dari jalan besar, memasuki area perkebunan. Sampai beberapa puluh meter kami menemukan pabrik tua, bekas pabrik pembuatan minyak kelapa. Ada sumur tua dan sisa bangunan-bangunan, semua tak lagi digunakan. Ada semacam tempat tinggal, tapi sudah lama tak dihuni. Ada seseorang sedang di sana, bapak tua, mengijinkan kami melihat-lihat. Di kelilingi oleh pohon-pohon, tempat ini seperti tersembunyi. Tapi, saya menyukai keheningan yang ada. Angin yang berhembus, daun-daun kering yang melayang jatuh, dan sinar matahari yang menerobos dedaunan, menciptakan magis. Menyentuh rasa. 

Bang Jek dengan modelnya: Cindar Bumi - Lokasi: Bekas pabrik minyak kelapa

Sumur tua

Semacam tempat tinggal/kantor pegawai bekas pabrik gula kelapa yang sudah tak ditempati

Di Keheningan Petang

Tak jauh dari bekas pabrik minyak, ada sebuah rumah panggung tinggi, terbuat dari kayu, sendirian dikepung pohon-pohon liar. Tampak telah tua, sendiri merenda hari dalam sepi. Saya membayangkan alangkah mudahnya inspirasi menulis muncul jika berada di tempat ini. Sekitar beberapa meter dari rumah kayu, kami menemukan pantai. Gemuruh ombak terdengar seperti melodi indah yang memanggil-manggil untuk mendekat. Lantas, tatkala mata telah teralihkan dari rumah kayu, birunya laut menyambut.

Ombak. Matahari. Angin. Rumah pohon. Semua bersekongkol mengajak bergelut dalam indahnya petang. Sungguh, kami seperti tersesat di secuil surga yang tersembunyi.

Rumah pohon, tersembunyi di antara pohon-pohon

Ada sebuah villa lagi, tak jauh dari pantai. Berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu. Tapi tak ada siapa-siapa di sana. Kami kembali ke pantai. Tampak sebuah pulau kecil di lautan, tak begitu jauh dari Pulau Sebesi. Pulau Umang-Umang namanya. Saya ingat, pulau itu adalah pulau yang pernah saya kunjungi pada bulan Maret lalu, bersama suami. Kami pernah sunset-an di sana. Main air, bergembira. Dan ternyata, sore itu kawan-kawan Genpi (Sumsel, Sumbar, Jateng) ke sana. Mereka berenang dan snorkling. Saya tidak. Tapi saya tidak sedih, karena sudah pernah. Kalau saya ikut mereka, saya justru kehilangan kesempatan berkeliling pulau.

Bang Jek @kakak_zack, Cindar, dan Lia @Nur_lia1 di villa entah milik siapa. Kosong. Dekat pantai.

Buat pelancong yang akan berkunjung ke Pulau Sebesi, cobalah susuri pinggiran pantai mulai dari depan villa Pemda ke arah utara. Pinggiran pantainya sangat indah, masih alami. Hamparan batu karang, pohon tua, dan pasir putihnya menarik untuk dinikmati. Matahari yang terbit dan tenggelam juga menjadi pemandangan yang menawan. Jika punya bujet lebih, bisa minta nelayan setempat untuk mengantar mengelilingi pulau dengan harga sewa perahu Rp 300 ribu.


Dan percayalah, dengan banyaknya hal-hal menarik yang bisa dijumpai di pulau ini, kamu tak akan sibuk dengan hal lain selain menikmati keindahan yang ada. Keindahan hidup masyarakat pulau dan keindahan alam Pulau Sebesi. 

Sebesi terlalu indah untuk dilewatkan dengan mengurusi hal-hal tidak berfaedah.

Tour leader andalan kami nih...Bang Jek.

Di seberang itu Pulau Umang-Umang

Bahagia bisa menikmati keindahan Pulau Sebesi. Kamu juga kan? 😍
Pulau Umang-Umang (Maret 2017)

Malam Banyak Cerita 

 
Sebelum magrib kami sudah kembali ke villa. Ada rasa puas tercipta. Walau tak menjelajah sampai jauh, tetap riang bisa menemukan sebagian kecil ‘isi’ dari pulau ini. Mulai dari penduduknya yang ramah, tempat pembuatan gula kelapa, rumah-rumah kosong di tengah kebun, hingga pantai dengan air lautnya yang jernih dan berwarna biru. Lia memesan buah kelapa, dan kami menikmati kesegaran airnya di teras villa sambil ngobrol santai, menceritakan ulang temuan-temuan selama berkeliling. Petang yang menyenangkan.

Minum air kelapa seusai jalan-jalan jelajah pulau

Waktu berlalu begitu cepat, magrib tiba, malam pun merapat. Esok hari, perjalanan ke Gunung Anak Krakatau akan di mulai. Setelah siang dan sorenya berpencar, malam itu semua kumpul di pendopo villa pemda. Ada acara kecil berupa penampilan seni tari dan pemberitahuan dari panitia dan pihak BKSDA terkait tur GAK keesokan hari. Setelahnya, baru makan malam bersama. Saya senang malam itu, usai makan ada waktu buat kumpul dengan teman-teman dari Lampung. Ada Aries dari Krui, Dwi Rino, dan masih banyak yang lainnya yang selama ini hanya saya kenal di IG, akhirnya bisa jumpa. Ternyata saya sudah lama saling follow2an dengan beberapa dari mereka di IG, pernah berinteraksi juga. Mereka anak-anak muda yang aktif menjelajah keindahan wisata daerahnya, dan rajin mengangkatnya lewat media sosial. Begitulah saya mengenal mereka. Hobi yang sama yang membuat kami bisa saling kenal, dan tur Krakatau membuat kami bisa kopdar. 

Suguhan sebelum makan malam

Tari-tarian

Malam itu, ada dua hal yang saya ingat sebelum naik ranjang untuk istirahat. Pertama, kepastian untuk tidak ikut ke GAK (kembali ke BDL) dari Mas Shafiq (koordinator para Genpi luar Lampung), khusus untuk kami ber-enam. Kedua, “keramaian” terkait ketidakpastian menjejak GAK bagi seluruh peserta tur. Saya fokus pada yang pertama. Yang kedua, hmm… 

Kumpul, makan bareng, ngobrol banyak hal :) (Ki-ka : Bang Jek, Dwi Rino, Lia Aries, dkk)

Sampai Jumpa Lagi Pulau Sebesi

Dusun Inpres Pulau Sebesi kembali sepi. Rombongan tur Krakatau sudah berangkat sejak jam 3 pagi. Mereka mengejar sunrise di Gunung Anak Krakatau. Tak ada kapal yang tersisa, termasuk kapal nomor 2 yang kami tumpangi saat berangkat ke Sebesi. Menurut keterangan, bagi pelancong biasa (bukan tur dalam rangka festival) yang ingin menyeberang ke Gunung Anak Krakatau, harus membayar sewa perahu sebesar Rp 2 juta dan mengeluarkan Rp 2 juta untuk mengurus surat izin masuk ke kawasan Gunung Anak Krakatau. Mahal? Tentu.

Saya berterima kasih pada panitia festival Krakatau pernah mengundang saya jadi peserta tur Krakatau tahun 2015 dan 2016, sehingga bisa mengecap naik GAK tanpa membayar. Baru pada tahun 2017 (bulan Maret) saya membayar sendiri, tapi justru menjadi momen paling berharga, karena saya berhasil menjejak GAK yang ke-3 kalinya bersama suami, orang yang paling ingin saya ajak melihat anak gunung purba yang pernah menggemparkan dunia itu. Bersama suami saya bukan hanya sukses nanjak GAK sampai batas aman, tapi juga snorkeling melihat keindahan bawah laut Pulau Rakata, ‘emak’ Krakatau yang tersisa. Tak terlupakan.

Saat mengikuti Tur Krakatau 2015 - Photo by Yopie Pangkey (In frame: Melly, Encip, Kiki)

Saat mengikuti Tur Krakatau 2016

Trip Krakatau #edukasikonservasi - Maret 2017

Jam 6 kami meninggalkan villa, kumpul di warung dekat dermaga. Warung andalan kami selama di Sebesi. Semangkuk mie goreng dan segelas teh manis, menjadi pengisi perut sebelum perahu membawa kami kembali ke Kalianda. Kami tidak harus menyewa satu kapal karena ada perahu yang berangkat tiap hari membawa penumpang dan barang ke Dermaga Canti di Kalianda. Perahu jam reguler ini biayanya Rp 20 ribu per orang. 

"Sampai jumpa lagi Pulau Sebesi" ^_^

Pagi itu, perahu berkapasitas 35 orang penuh oleh pisang, hasil bumi Pulau Sebesi yang akan dijual ke pemborong di Kalianda.
Pisang-pisang diletakkan dalam perahu, sebagian lagi di atas atap. Ruang untuk duduk di kabin jadi sempit, itu sebabnya teman-teman duduk di atas. Perahu bukan hanya bisa mengangkut penumpang dan hasil bumi, tapi juga sepeda motor. Biasanya ditaruh di atap perahu. Ditegakkan dan diikat dengan tali. 

Saya sendirian, berusaha untuk tidur. Tapi tak bisa tidur, sebab kejadian saat berangkat ke Pulau Sebesi kembali terulang. Saya mabok lagi. Mie goreng dan teh manis keluar semua, perut pun kembali kosong. Dan lagi-lagi, saya melewatkan panorama keindahan laut dan pulau-pulau cantik yang dilewati.

Kabin kapal yang saya naiki saat Tur Krakatau 2016 ini lebih lapang dari kabin kapal yang saya naiki saat Tur Krakatau 2017 (In frame: Omnduut, Riant, Rosanna, Arie, Maman, Yopie Pangkey, Farchan) - Foto by @omnduut
 
Perjalanan 2 jam yang melelahkan. Tapi, 30 menit sebelum sampai di Dermaga Canti saya pulih. Alhamdulillah di waktu yang tersisa saya masih bisa menikmati deburan ombak, angin sepoi-sepoi, dan pemandangan menawan dari jendela kapal yang terbuka. Perjalanan penuh warna ini berakhir. Selanjutnya kami menuju Bandar Lampung, bersiap menyaksikan Parade Budaya Lampung.

Setangkup cerita dari Pulau Sebesi terbawa pulang, tersimpan rapi di hati. Begitu juga sebuah rekaman video dan foto, terangkut dalam hp, jadi "oleh-oleh" penuh kejutan untuk... (bersambung: Parade Budaya Lampung FK 2017).
 
Pesona Pulau Sebesi itu ada.
Resah itu tiada...

Happy traveling 😗 (Gunung Anak Krakatau Maret 2017)



Video di tempat pembuatan gula kelapa:

Jelajah Krakatau - Lampung Festival Krakatau 2016


Seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, jelajah Krakatau pada 27 Agustus 2016, berupa tour menjelajahi Gunung Anak Krakatau menggunakan kapal. Menurut informasi yang saya dengar dan baca, kegiatan ini akan diawali dengan acara Ngumbai Lawok yang dimeriahkan oleh puluhan perahu hias.

Sangat menarik. Unsur culture, nature, dan adventure berpadu dalam satu kegiatan. Ini akan menjadi sesuatu yang lain dari Tour Krakatau tahun sebelumnya yang hanya menyajikan Krakatau Jetski Adventure, keren tapi tanpa muatan budaya lokal.

Ngumbai Lawok adalah sebuah upacara adat yang banyak dilakukan oleh masyarakat Lampung Pesisir. Dalam praktiknya ngumbai lawok adalah berdo’a dan menyembelih kerbau yang kemudian kepalanya diarungkan ke laut. Ngumbai Lawok bermakna sedekah sebagai refleksi rasa syukur para nelayan yang telah diberi kelimpahan rejeki berupa ikan-ikan yang melimpah dan laut yang ramah selama satu tahun berjalan.

Gunung Anak Krakatau
Gunung Krakatau merupakan ikon pariwisata Provinsi Lampung yang telah lama dikenal dunia. Sebagai kawasan cagar alam yang dilindungi negara, setiap orang yang hendak berkunjung ke Gunung Anak Krakatau tidak bisa masuk begitu saja. Harus ada ijin dari petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung. Kunjungan pun hanya diperbolehkan untuk tujuan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan terkait flora dan fauna atau dokumentasi liputan khusus. Cagar alam memang bukan sebuah “surga baru”, melainkan sebuah tempat yang dilindungi baik dari segi tanaman maupun binatang yang hidup secara alami di dalamnya agar kelak dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan di masa kini dan mendatang.

Saya berterima kasih pada disparekraf provinsi Lampung yang kembali mengundang saya pada kegiatan Jelajah Kratakau tahun ini. Meski sudah pernah merasakannya saat Tour Krakatau pada Festival Krakatau 2015 lalu, tapi antusiasme saya masih sama seperti pertama kali diajak. Menjadi pengunjung legal di Gunung Anak Krakatau itu sesuatu yang harus saya syukuri dan mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Peserta Jelajah Krakatau 2016 terdiri dari blogger, fotografer, wartawan.Sangat sedikit dibanding peserta tahun lalu. Biar sedikit tapi diandalkan lho hoho

Peserta Jelajah Krakatau 2016
Saya tidak tahu persis jumlah peserta yang diikutkan dalam kegiatan ini. Tapi yang pasti ada rombongan blogger, fotografer, dan jurnalis. Sisanya adalah sejumlah kru EO dan mungkin juga ada beberapa panitia dari dinas. Dari rombongan blogger, ada 20 orang peserta yang terdiri 10 blogger dari berbagai daerah yang diundang secara resmi oleh Disparekraf Prov. Lampung, dan 10 blogger lainnya yang diundang lewat EO Dyandra Promosindo.

Saya termasuk dalam rombongan blogger yang diundang oleh disparekraf provinsi Lampung. Selain saya (dari Jakarta), ada Lina Sasmita (Batam), Dian Radiata (Batam), Arie Ardiansyah (Jakarta), Rosanna Simanjuntak (Balikpapan), Atanasia Riant (Jogja), Hari JT (Babel), Haryadi Yansyah (Palembang), M. Arif Rahman “Maman” (Palembang), dan Indra Pradya (Lampung).

Baca tulisan saya sebelumnya: Blogger Festival Krakatau 2016
 

10 blogger undangan resmi disparekraf Provinsi Lampung tahun 2016

Jika 200 seat yang disediakan pantia dalam tur Krakatau ini berangkat semua, saya membayangkan jumlah kapal kayu (seperti tur Krakatau tahun 2015 lalu) yang akan digunakan sekitar 8 kapal (dengan perkiraan 1 kapal 25 orang). Tidak sebanyak tahun lalu karena kuota memang dikurangi.

Ada plus minusnya juga kali ya kalau seat dikurangi. Daripada ramai tapi tidak maksimal, lebih baik sedikit tapi handal dalam urusan bantu-bantu promosi kegiatan he he. Bisa hemat biaya juga. Biaya kapal, biaya makan, biaya bus, dll. Setuju sih, asal bukan keselamatan jadi ikut dihemat.

Berangkat dari Pantai Sari Ringgung Pesawaran
Sabtu tgl. 27/8, tepat di hari meletusnya Gunung Krakatau purba pada tahun 1883, adalah hari di mana kami akan melakukan perjalanan Jelajah Krakatau. Rombongan kami yang selama mengikuti kegiatan Festival Krakatau di Lampung berada di bawah tanggung jawab Mas Yopie Pangkey (www.yopiefranz.com), sudah berada di lokasi kumpul yaitu Lapangan Korpri tepat jam 6 pagi sesuai jadwal rundown yang dibuat oleh EO.

Ada 3 bus yang disediakan panitia. Karena menjadi yang pertama tiba, kami naik bus no. 1. Saat naik bus, ada snack box yang dibagikan. Isinya kue-kue dan air mineral. Lumayan buat sarapan meskipun rombongan kami sudah punya sarapan (nasgor enak) yang dibawa dari Hotel Inna Eight (hotel yang disediakan dispar untuk tempat kami bermalam selama di Lampung). Kami merasa perlu makan nasi, biar kuat selama mengarungi lautan. Biar nggak mabok dan masuk angin.

Kumpul di Lapangan Kegubernuran (Korpri)


Tiga bus bagus yang disediakan panitia untuk angkut peserta ke Pantai Sari Ringgung


Rahmi (paling depan) mendata peserta yang akan berangkat Jelajah Krakatau

Sekitar 30 menit kami di bus, sudah sarapan dan ngobrol-ngobrol, tapi peserta lain belum ada yang datang. Akhirnya kami di berangkatkan meskipun lebih dari separuh isi bus kosong. Sayang sekali. Tapi saya salut pada supir bus besar berkapasitas 50 orang itu, disiplin pada jadwal meski harusnya dia membawa banyak peserta. Untuk acara seperti ini, memang harusnya semua sesuai jadwal, sebab menyeberang ke Gunung Anak Krakatau (GAK) itu bukan sekali dayung langsung sampai, melainkan berjam-jam sampai bosan. Bukan melaju di atas kolam renang hotel, tapi di atas samudera dengan segala cuaca yang tidak bisa diprediksi. Jika molor, bakal banyak jadwal terbengkalai. Yang ada, waktu seharian hanya banyak dihabiskan di atas laut. Kapan menikmati naik gunungnya?

Tahun lalu, peserta tur Krakatau diberangkatkan dari Kalianda. Dari sana, perjalanan darat lebih lama, tapi perjalanan lautnya jadi lebih singkat. Tahun ini berangkat dari Sari Ringgung Pesawaran. Perjalanan darat lebih singkat (40 menit), tapi perjalanan lautnya jadi lebih lama. Kalau dihitung waktunya sama saja. Mungkin karena itu keberangkatan dijadwalkan jam 8, sama seperti tahun lalu.

Dermaga di Pantai Sari Ringgung dan perahu-perahu hias yang siap antar peserta ke kapal besar

Warung-warung jajan di Pantai Sari Ringgung, tempat kami duduk-duduk menunggu rombongan bus 2-4 yang belum datang

Kami yang sudah datang lebih awal, cukup lama menunggu rombongan bus lain tiba. Sempat ngopi-ngopi dulu di warung, sempat bolak balik dulu ke toilet, sempat motret banyak objek. Setelah bus 2-4 datang (di lap korpri saya tidak lihat ada bus ke 4 lho), prosesi acara pelepasan peserta tur yang dihadiri ibu kadis parekraf provinsi Lampung dan asisten Gubernur Lampung dimulai. Tidak lupa doa bersama dan foto bersama sebelum kapal-kapal hias membawa kami ke laut untuk kemudian naik kapal besar. Jam 8.30 rombongan tur baru diberangkatkan. Molor 30 menit dari jadwal rundown.
 

Pelepasan Jelajah Krakatau dihadiri ibu kadis parekraf Prov. Lampung dan Asisten Gubernur Lampung

Doa bersama sebelum berangkat, semoga semua selamat. Aamiin.

Panitia mengatur kami dalam barisan sesuai nomor urut bus. Kami bus no 1 tentu di depan dong. Tapi saat akan dinaikkan ke kapal, yang dipanggil lebih dahulu bus no. 4. Kalian tahu siapa saja yang berada dalam bus no 4?

Saat itu saya tidak terlalu peduli siapa di bus no. 4. Toh semua bakal sama-sama berangkat dan naik kapal. Biar saja. Yang saya agak kesal selama di Pantai Pasir Ringgung adalah acara Ngumbai Lawok yang saya nanti-nantikan ternyata tak sedikit pun kelihatan batang hidungnya. Mana acaranya? Yang ada hanya deretan kapal hias di dermaga tanpa atraksi apa-apa kecuali mengantar kami ke tengah laut untuk kemudian dipindahkan ke kapal besar.

Saya kehilangan tontonan acara budaya berisi muatan lokal. 

Antri barisan sih di nomor 1, sesuai nomor bus, tapi masuk perahu bus nomor 4 yang didahulukan :D


Kapal Peserta Jelajah Krakatau
Ada 3 kapal yang disediakan panitia untuk mengangkut rombongan peserta. Terdiri 2 kapal fiber dan 1 kapal kayu. Ketika perahu-perahu hias mengantar kami ke kapal fiber, saya menduga kami semua akan diberangkatkan dengan kapal tersebut. Tapi dugaan itu salah. Saat kapal fiber sudah penuh, perahu berbelok arah, menuju kapal kayu yang sudah menunggu di sisi lain. Kami pun diantar ke kapal tersebut. Yang naik kapal kayu bukan hanya rombongan kami (10 blogger + Mas Yopie), tapi juga rombongan dari bus 4. Mas Farchan, Takdos dan kawan-kawannya, serta beberapa orang dari EO juga naik kapal kayu.

Saat akan turun dari perahu hias, ada dua teman yang berniat membawa jaket pelampung ke kapal kayu, tapi dicegah tukang perahu. Saya turut mencegah teman-teman membawa jaket tersebut karena saya pikir kapal kayu yang akan menyeberangi selat Sunda pasti sudah menyediakannya. Tapi lagi-lagi saya salah duga, di kapal kayu sama sekali tidak ada life jacket.

Perahu hias yang tugasnya cuma antar dari dermaga ke kapal besar dilengkapi jaket pelampung bagus. Tapi kapal besar yang angkut puluhan peserta menyeberangi samudera sama sekali tidak dilengkapi jaket pelampung. Hmm....

Perahu hias ini yang mengantar peserta ke kapal besar yang menunggu di tengah laut


Proses perpindahan penumpang ke kapal besar

Kapal yang disediakan panitia tahun ini bagus, seneng banget!
Tapi ternyata ada kapal kayu untuk angkut peserta ke Gunung Anak Krakatau




Saya tidak mempersoalkan naik kapal kayu. Tidur di atas papan beralas tikar, di dalam kolong kapal yang sempit (tidak bisa berdiri karena atapnya pendek), dekat mesin kapal dengan aroma bahan bakar yang tidak enak untuk dihirup, bisa saya terima. Toh keadaannya masih lebih baik dari kapal kayu yang pernah saya naiki saat Tour Krakatau tahun lalu. 

Dulu, kapal yang saya naiki, ukurannya panjang tapi kecil. Duduk di depan rame-rame, ga bisa berbaring. Kena panas, kena angin, dan kena cipratan ombak. Kalau sekarang lebih besar dan lebar. Bisa masuk rame-rame, tidur-tiduran, ga kepanasan. Sedikit lebih enak.
Sebelum naik kapal besar, kami sempat diajak melihat musola terapung yang ada di pojok kanan gambar

Ini kapal BKSDA, bukan kapal untuk angkut peserta Jelajah Krakatau

Buat saya pribadi, naik kapal kayu lagi tidak apa. Tidak ada rasa iri pada mereka yang naik kapal fiber. Yang ada adalah kengerian mengarungi samudera tanpa ada satu pun alat keselamatan.

Jika terjadi apa-apa di lautan, mau salahkan siapa? Salah saya dan kawan-kawan karena mau saja tetap berangkat padahal sudah tahu keadaan tanpa jaket pelampung itu berbahaya. Salahnya kami merasa aman karena mengira bakal ada kawalan dari polair sepanjang perjalanan. Padahal ternyata selama penyeberangan berjam-jam itu tidak ada kawalan sama sekali.  


Jatah Makan di Kapal
Rasa ngeri tinggal ngeri, kapal tetap melaju membawa kami. Ada yang naik atap, duduk-duduk di atas sepanjang perjalanan. Ada yang tidur dan sekedar baring-baring di dalam kapal. Ada yang duduk di depan ruang kemudi menghalau galau sambil ngobrol ngalor ngidul. 

Adis Takdos duduk di atap kapal bersama kawan-kawan


Mbak Rosanna dan Mas Yopie membunuh bosan di depan ruang kemudi


Pukul 9.43, empat jam sebelum sampai di kepulauan Gunung Krakatau
Rombongan blogger imut-imut santai bareng di dalam kapal kayu, asik yaaa  *Foto: Omnduut*


Selain para blogger imut dari bus nomor 1, ada mas Farchan dkk dari bus nomor 4 dalam satu kapal kayu *Foto: Yopie Pangkey*
Ada satu speedboat panitia datang mengantar makanan ke kapal kami. Konon menurut saksi mata, saat ditanya jumlah orang di dalam kapal, dijawab oleh ABK sekian (saya lupa jumlah tepatnya). Jumlah yang disebut ABK adalah jumlah penumpang, bukan jumlah termasuk ABK. Misal nih ya, rombongan peserta berjumlah 25, si ABK menyebut 25. Tidak termasuk 5 ABK. Nah, panitia sempat memastikan untuk ga salah hitung, sempat menambah kotak nasi, tapi ditolak dan yakin bahwa jumlah yang akan makan ada 25 saja. Kenyataannya? ABK juga turut makan, sehingga 5 peserta tur tidak kebagian! Dan yang tidak kebagian itu adalah blogger rombongan kami: Arie, Maman, Hari, Yayan (karena mereka tidur selama perjalanan). Termasuk Mas Yopie juga tidak kebagian.

Andai dihitung sejak awal, peserta diatur naik kapal, nasi-nasi dimasukkan ke kapal sebelum berlayar, kekurangan jatah makan tentu tidak terjadi.

Saya dapat jatah makan, tapi nasi kotak bertuliskan Puti Minang itu tidak saya makan karena keras (seperti mentah). Buah semangkanya sudah asam. Akhirnya, daripada perut kosong, ayamnya saya suir-suir, saya makan sedikit. Tidak habis, kotak itu saya tutup lagi, saya taruh di dalam kapal. Jika nanti lapar, akan saya makan. Tapi saya tidak merasa lapar sampai saat kapal berlabuh di kepulauan gunung berapi Krakatau (kenyang makan coklat dan biskuit).

Gunung Anak Krakatau akhirnya kelihatan, tak lama lagi kami sampai, oh senangnyaaaaa

Berkunjung ke Laboratorium Alam
Setelah 5 jam perjalanan mengarungi lautan, akhirnya kami melihat daratan. Senyum sumringah mulai teruntai di wajah-wajah yang mengandung lelah, kantuk, dan lapar. Puncak Gunung Anak Krakatau seperti membangunkan semangat para petualang. Selamat datang kembali di gunung berapi yang pernah mengusik dunia.

Apa yang dilakukan teman-teman dari rombongan kami sesampainya di daratan?

Mencari toilet untuk buang air kecil yang ditahan selama 5 jam. Maklum di kapal tidak ada toilet. Toilet di dekat posko ternyata tidak bisa digunakan, akhirnya pada gantian kencing di dekat sumur. Satu-satu, dan itu makan waktu. Orang kebelet pipis tidak mungkin dihalangi.

Teman-teman muslim sholat. Wudhunya gantian. Dan itu lama. Orang beribadah harus diberi waktu.

Mas Yopie menemui panitia/EO, menanyakan jatah makan barangkali masih ada. Saya dengar sendiri Mas EO menjawab akan mencarikannya. Setelah dicari ternyata tidak ada. Habis. Mas EO memberi solusi dengan memasak nasi dan lauk pauknya di pos BKSDA. Ok, kami terima solusinya.
 

Tanpa santai-santai, yang sudah sholat dan buang air kecil langsung disuruh jalan

Teman-teman yang sudah kelar kencing dan shalat langsung disuruh pergi mendaki gunung oleh Mas Yopie. Saya lihat sendiri saat itu Mas Yopie agak keras memberi perintah, termasuk kepada mbak Rosanna yang usianya di atas Mas Yopie (hehe awas kualat mas). Saya tahu Mas Yopie bermaksud tegas, bukan tega. Mungkin biar tidak ada waktu yang terbuang percuma. Ngejar waktu juga karena saat itu sudah jam 2 siang.

Makanan yang dimasak di pos BKSDA ternyata lama baru kelar karena bahan-bahan baru akan diolah. Akhirnya, daripada menunggu lama, 5 orang yang belum makan tetap naik gunung dengan perut kosong.
 

Mulai naik... *mas Yopie dan pendamping dari BKSDA*


Rombongan kami baru naik saat yang lain mulai turun

Saat baru mulai naik gunung, rombongan lain yang sudah lebih dulu sampai, justru sudah mau turun. Jadi, kami naik, mereka turun. Saat baru naik, perintah turun dikumandangkan lewat toak. Alamak. Tapi teman-teman tetap naik, diikuti salah satu personel dari BKSDA. Jika saya, Dian, Riant, dan Mas Yopie cuma sampai seperempat pendakian, maka mbak Rosanna, Yayan, Maman, Arie, Hari, mbak Lina, dan Mas Indra berhasil mendaki sampai puncak pertama. Hore!

Cuaca siang itu sangat terik. Pasir-pasir dan bebatuan yang terhampar di permukaan lereng gunung terasa amat panas. Tetapi di atas sana, pemandangan yang tersuguh amatlah memesona. Pulau Panjang, Pulau Sertung, dan Gunung Krakatau Tua (ibunya Gunung Anak Krakatau) dikelilingi hamparan laut biru. Langka ada tempat seperti ini bukan? Laut dan gunung berapi bisa berada dalam jarak dekat. Turun gunung ketemu laut, sampai di darat langsung ketemu gunung.

Di sini, di gunung berapi yang pernah mengusik dunia


Bersama Adis Takdos, blogger kece baik hati dan tidak sombong

Kawasan ini bukanlah tempat wisata yang bisa dikunjungi sesuka hati, melainkan kawasan cagar alam yang harus dilindungi dan hanya bisa dimasuki dengan ijin khusus.

Satu pesan yang mesti pengunjung ingat adalah: Biarkan apa yang ada di laboratorium alam ini berposes dengan sendirinya, jangan ikut campur….
 

Blogger undangan dispaekraf bertemu dan berbaur dengan blogger undangan EO di Gunung Anak Krakatau


Pukul 15.32 - Arie Goiq turun gunung tetap ceria meski belum makan siang


Hari, blogger babel yang tidak kebagian jatah makan ini pun tetap semangat turun gunung tanpa pingsan :D


Indra Pradya (www.duniaindra.com) - Blogger hits Lampung ini turun gunung pakai lari!


Naik gunung bareng fotografer andalan :D
Jadi rombongan blogger terakhir yang turun gunung

Kembali Naik Kapal Kayu
Kegiatan mendaki berakhir jam 3 sore, semua sudah turun, dan rombongan kami menjadi yang terakhir meninggalkan jejak di GAK hari itu. 30 menit kemudian kami sudah di bawah, di pelataran gunung, dekat pantai. Saat yang lain bergegas menaiki kapal, kami bergerak ke arah posko BKSDA. Menemani 5 teman yang belum makan sejak siang. Sebagian ada yang sholat, yang lainnya kencing.

Tiba-tiba mas EO memanggil, menawarkan kami untuk naik kapal fiber. Kami disuruh bergerak ke pantai agar nahkoda melihat keberadaan kami. Mendengar tawaran baik itu, langsung kami sambut gembira. Saya beritahu yang lain agar memanggil teman-teman yang sedang makan. Syukurnya sudah pada makan, hanya mas Yopie baru tiga suap. Demi ikut naik kapal fiber, makanannya ditinggalkan.

Tapi sayang, ketika kami sudah berlarian menunggu di pantai, kapal itu pergi tanpa pernah kembali. Sekoci yang datang tidak mengantar kami ke kapal tersebut, melainkan ke kapal kayu seperti yang kami naik saat pergi. Gagal deh naik kapal besar dan cepat.

Foto bareng dulu di pelataran Gunung Anak Krakatau, sementara rombongan lain berebut naik kapal besar
Mbak EO yang melihat kami ditinggal, meminta maaf pada kami. Dia bilang, kapal fiber itu sudah penuh. Rombongan yang awalnya satu kapal dengan kami saat pergi, sudah naik kapal fiber itu dan bikin kapal itu kelebihan muatan. Jika kami dipaksakan masuk juga, akan makin kelebihan. Alasan yang masuk akal.

Tapi kalau saya perhatikan, antara mas EO dan Mbak EO ini tidak seiring sejalan. Mas EO meminta kami bergegas masuk kapal fiber, sementara mbak EO tahu itu tidak mungkin. Akibatnya kami terjebak pada dua orang yang saling tidak paham kondisi. Kalau kapal sudah penuh, mestinya nahkoda tidak ijinkan orang lain naik lagi. Kalau sudah tahu kelebihan muatan, mestinya mbak EO larang mas EO suruh kami naik. Kalau akhirnya tetap pulang dengan kapal kayu, mending sedikit santai agar Mas Yopie bisa selesaikan makannya dengan baik. Itu aja sih.

Sesaat setelah ditinggal kapal fiber, tetap ceria kendati kecewa :D *capt. dari video Maman*

Secepat apapun kami berpacu dengan waktu, keadaanlah yang membuat kami tetap tertinggal. Sungguh ingin kami pulang cepat, bergabung dengan yang lain naik kapal bagus dan cepat, tapi jika keadaannya tidak memungkinkan, apa harus dipaksakan?

Pasrah sambil tetap membangkitkan semangat dalam diri, itu yang kami lakukan saat itu. Akhirnya, kebersamaan yang membuat kami kuat. Rasa setia kawan yang membuat kami tetap berani menaiki kapal kayu itu kembali. Tak ada tangis.

Kalian tahu rundown yang dibuat EO?

Jam 10.30 kami dijadwalkan tiba di Krakatau. Kenyataannya kami tiba di Krakatau itu jam 14.00. Jam 14.30 kami dijadwalkan berada di Pulau Sibesi. Padahal jam 14.30 itu kami baru mendaki GAK. Jam 17.30 kami dijadwalkan sudah kembali ke Pantai Sari Ringgung.  Nyatanya, jam 16.00 kami baru berlayar meninggalkan kepulauan Gunung Krakatau. Saya percaya, semua jadwal kegiatan sudah dipikirkan matang-matang dan melalui diskusi panjang, tapi tentu semua akan sesuai jadwal jika pembuat rundown tahu kondisi di lapangan.

Lain rundown, lain kenyataan

Petualangan Sesungguhnya Baru Dimulai
Nahkoda kapal tersenyum, mencoba menghibur kami yang tidak jadi naik kapal fiber. Melihat itu, hilang kesal yang tadi sempat ada. Sore itu saya naik ke atap kapal, mencoba menikmati suasana jelang senja bersama Mas Yopie, Mas Indra, Hari, Maman, dan Mbak Rosanna. Di atas atap kapal, goyangan kapal tidak terlalu terasa. Badan jadi lumayan segar.

Jelang magrib, gelombang terlihat tinggi. Saya perkirakan sekitar 1,5 meter. Nyali saya langsung ciut. Bayangan buruk mulai menghantui. Tiba-tiba teringat film-film badai di laut, Perfect Storm yang diperankan George Clooney. Langsung merinding. Saya berkali-kali bertanya pada mas Yopie tentang keadaan saat itu apakah aman, katanya aman. Dia pernah hadapi yang lebih seram dari itu, air laut sampai masuk kapal. Kapalnya tidak apa-apa.

Naik kapal kayu lagi, nikmati...*Gunung Krakatau tua, Pulau Sertung, dan Gunung Anak Krakatau di latar belakang*
 
Bisa jadi kengerian yang saya lihat karena saya tidak biasa berada dalam kondisi seperti itu. Tapi siapa yang tidak ngeri mengingat kapal ini tidak punya satu pun pelampung. Jika digulung badai, apa yang akan terjadi? Gerimis tiba-tiba turun. Kami bergegas turun masuk kapal. Hujan membuat rasa takut makin menjadi. Saat itu saya teringat pak nahkoda berkata bahwa rute pulang akan beda dengan rute pergi. Katanya dia akan lewat perairan dekat pulau, lebih jauh tapi aman. Ya semoga saja aman.
Lelah, perjalanan pulang masih panjang, tidur saja....

Malam, hujan deras, keadaan jadi kian mencekam. Air menetes ke dalam kabin. Beberapa teman yang sedang tidur langsung pindah tempat. Satu lampu kecil yang tidak cukup untuk menerangi seisi ruang kapal membuat saya tidak bisa melihat dengan jelas. Alangkah lamanya kami sampai. Entah pada jam ke berapa ketika kapal bertanya arah pada kapal lain, rupanya kapal kami kehilangan arah. Ya Tuhan pantas saja kapal tanpa GPS ini tidak sampai-sampai. Mau hubungi siapa jika tersesat? Sinyal tidak ada.

Perut lapar, dingin, terombang-ambing berjam-jam, membuat kekuatan saya untuk bertahan menurun jauh. Kepala mulai pusing, isi perut seperti diaduk-aduk, mual dan bikin muntah berkali-kali. Tapi kantong plastik yang saya tadahkan di mulut tidak terisi muntah. Bagaimana mungkin ada yang bisa dimuntahkan kalau perut kosong? Yang ada asam lambung naik dan bikin mulut terasa pahit ga habis-habis. Saya mulai tidak percaya pada diri sendiri apakah akan kuat menghadapi keadaan saat itu.

Pukul 18.56, suasana remang dalam kapal, di luar hujan, angin kencang, gelombang besar...

Ada yang saya yakini bahwa kami pasti kembali ke daratan dengan selamat meski tidak tahu kapan akan menemukan daratan. 6 jam bukan waktu yang sebentar untuk perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dengan waktu yang lebih pendek dari itu.

Sekitar jam 9.30 malam kapal berhenti di tengah laut. Sebuah perahu datang  menjemput, lalu mengantar kami kembali ke daratan. 1 jam kemudian kami pun tiba di Pantai Sari Ringgung. Orang-orang menanti dengan beragam ekspresi. Sekelebat ucapan terdengar...

Hampir ke Pahawang”
“Alhamdulillah selamat”
“Hampir hilang…”
“Tidak bisa dihubungi...”

 
Saya tak berani menyimpulkan apa-apa selain menduga bahwa telah terjadi kecemasan besar atas keadaan kami.

Di dalam bus, saya mendengar obrolan seorang wartawan perempuan. Kaget saya dibuatnya, ternyata kepanikan atas kapal kami yang tidak muncul-muncul telah membuat seseorang menghubungi bazarnas dan kapolda. Ternyata segawat itu?

Kecemasan-kecemasan itu adalah bentuk perhatian dan keprihatinan. Adakah yang punya rasa dan pikiran sebaliknya?

Jam 12 malam kami baru makan.


Alhamdulillah makan

Malam bergulir, berganti hari. Cerita pun mengalir, tumpah sebagai luapan rasa. Kondisi tak sedap terceritakan, sesuai dengan apa yang terjadi. Bisa jadi sebagai bentuk luapan emosi. Bisa juga sebagai jawaban atas kegelisahan orang-orang yang menanti kepulangan kami.

Malam itu, sebuah perjalanan tak terlupakan memenuhi ruang kenangan. Entah sampai kapan akan membekas dalam ingatan.

Tidak pernah terlintas di pikiran, apalagi ingin mengalami kejadian tak mengenakkan. Tapi kalau sudah terjadi dan tak bisa dihindari lantas harus apa? Kalau ada yang menganggap saya kapok ikut Jelajah Krakatau, itu salah besar. Kejadian yang saya alami justru membuat saya makin kuat, makin berani, dan makin menyayangi sahabat-sahabat yang menjadi teman perjalanan saya.


Memaknai Perjalanan Jelajah Krakatau
Nuansa jelajah pada Jelajah Krakatau kali ini benar-benar terasa. Seperti diajak ‘menjelajah’ segala rasa; rasa takut, rasa cemas, rasa lapar, rasa marah, rasa sayang, rasa kesal, rasa sedih, rasa sakit. Semua rasa itu hadir untuk diambil hikmahnya. Mungkin kami diberi rasa itu agar punya cerita berbeda dari mereka-mereka yang sama-sama pernah pergi ke Gunung Anak Krakatau.

Mungkin kami spesial. Makanya diberi kejadian spesial. 

Berprasangka baik itu indah.

Barangkali juga, lewat kejadian ini, kami diajak untuk merenungi keadaan super parah saat Gunung Krakatau menggelegar membangunkan penduduk planet. Di mana ledakannya setara 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia II. Getarannya terasa sampai Eropa dan letusannya terdengar hingga sejauh 4.653 kilometer sampai Australia dan Afrika. Sebuah bencana besar yang merubah sebagian wajah bumi. Mengakibatkan Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan lenyap, setengah kerucut Gunung Rakata hilang. Terjadi gelombang tsunami setinggi 40 meter yang mengakibatkan puluhan ribuan penduduk tewas. Langit separuh bumi gelap gulita selama dua hari. Debu vulkanisnya menutupi atmosfer bumi, menyebabkan perubahan iklim global sampai setahun berikutnya.

Mengenang. Merenung.

Alam itu kuat, untuk itu jangan pernah menyombongkan diri di hadapannya. Di sisi lain, alam pun sangat mungkin ditaklukkan, asal mampu menyelaraskan diri terhadapnya.


Jelajah Krakatau adalah perjalanan penuh tantangan. Menjaga kesehatan badan dan memperhatikan keselamatan adalah hal penting. Hal ini berlaku untuk semua orang, baik peserta maupun penyelenggara.

Jangan takut Jelajah Krakatau. Apapun kejadian yang dialami, pahit atau manis, memberi warna bagi perjalanan. Manisnya indah untuk dikenang, pahitnya tak ingin terulang.
Sebuah pengalaman tak terlupakan dari perjalanan Jelajah Krakatau.
 Terima kasih sudah membuat kami makin kuat dan solid!