Menikmati Pulau Pari di Tengah Oktober yang Hujan
Oktober memang penuh kejutan, salah satunya cuaca. Hujan di
bulan ini cukup intens, meskipun biasanya hanya sore hingga malam hari. Pagi
hari, matahari bersinar terang, bahkan cukup menyengat. Namun, ketika sore
menjelang, langit berubah mendung, lalu hujan pun turun dengan durasi yang
tidak bisa dibilang singkat. Jadi, kalau ada niat berburu sunset di tengah
musim seperti ini, ya, relakan saja deh. Hampir setiap petang hujan mengguyur.
Tapi, bagaimana kalau hasrat liburan ke pulau sudah tak tertahankan? Tentu harus ada solusi, dong! Setelah diskusi panjang lebar dengan suami dan anak-anak, akhirnya Pulau Pari menjadi pilihan. Lokasinya masih di Jakarta, tepatnya di Kepulauan Seribu.
Kenapa Pari? Ini adalah strategi utama saya untuk: liburan murah, dekat, tapi tetap seru. Cocok banget untuk pelarian akhir pekan, baik dengan menginap atau sekadar one day trip.
Trip mandiri ke Pulau Pari bersama keluarga |
Perjalanan ke Kepulauan Seribu
Bagi saya, ini adalah perjalanan ketiga ke Kepulauan Seribu.
Dulu, pertama kali ke Pulau Tidung hanya berdua dengan suami. Perjalanan kedua ke Pulau Harapan bareng
teman-teman traveler, dan yang ketiga ini ke Pulau Pari akhirnya lengkap, bersama suami dan
kedua anak saya. Rasanya luar biasa senang! Anak-anak sangat antusias karena
ini adalah pengalaman pertama mereka menyeberang ke Kepulauan Seribu.
Kami memulai perjalanan dari Dermaga Marina Ancol
menggunakan kapal cepat. Ini juga pengalaman pertama buat saya, karena
sebelumnya selalu memilih kapal feri dari Muara Angke yang murah tapi dengan kenyamanan yang,
yaaa... beda jauh. Kali ini, saya ingin mencoba sesuatu yang lebih praktis dan
nyaman.
Naik kapal kayu dari Muara Angke dulu rasanya cukup melelahkan. Tidak ada jaminan tempat duduk, dan jika penuh, penumpang harus duduk di lantai atau di area yang tidak aman seperti dekat mesin. Jaket pelampung pun sering kali kurang, ada yang dapat, ada yang tidak. Hal ini membuat perjalanan terasa kurang nyaman, apalagi dengan bau solar yang menyengat dan ventilasi yang minim.
Perbedaan ini membuat saya menyadari betapa pentingnya memilih moda transportasi yang sesuai, terutama jika bepergian dengan anak-anak. Biaya yang lebih mahal terasa sepadan dengan kenyamanan dan keamanan yang diberikan. Kepulauan Seribu memang selalu menarik untuk dijelajahi, dan perjalanan yang nyaman semakin melengkapi pengalaman wisata ke sana.
Dermaga 17 Marina Ancol |
Biaya Kapal ke Pulau Pari
Tiket kapal cepat ke Pulau Pari bisa dibeli langsung di loket dermaga atau melalui kontak Mas Alimsyah di 0813-8834-6712. Harganya Rp 190.000 per orang untuk perjalanan weekend. Harga ini berlaku untuk perjalanan dari Ancol ke Pari dan sebaliknya. Jadi PP ke Pulau Pari ga sampai 400ribu perorang ya kan? Kapal dijadwalkan berangkat pukul 08.00, jadi kami diminta sudah standby di dermaga sebelum pukul 07.00.
Berangkat dari BSD, kami memulai perjalanan sekitar pukul
05.00 pagi, langsung setelah salat Subuh. Syukurlah, jalanan masih sepi, jadi
perjalanan lancar. Setibanya di kawasan Dermaga Marina Ancol, kami membayar
tiket masuk seharga Rp 155.000 untuk satu mobil. Biaya ini berlaku untuk
seharian. Kalau bawa motor lebih murah, sekitar Rp 75.000 untuk parkir seharian.
Parkir di dermaga ternyata tidak begitu luas. Area parkir
berada di pinggir dermaga dan siapa cepat dia dapat. Untungnya ada petugas
(yang tampak seperti petugas, meskipun tanpa seragam) yang mengarahkan kami ke
tempat yang tersedia. Parkirnya tidak jauh dari dermaga, jadi cukup nyaman.
Sedikit Drama di Dermaga
Setelah parkir, kami menuju dermaga dan tinggal menunggu
nama kami dipanggil. Tiket kami atas nama saya, jadi nanti yang dipanggil
adalah: "Katerina, 4 orang." Prosesnya manual, dipanggil pakai toa,
jadi pastikan tetap fokus mendengarkan. Jangan sampai kelewatan panggilan
karena asyik ngobrol, jajan, atau menjauh dari titik panggil.
Awalnya, kami diminta menunggu di Dermaga 16. Namun,
menjelang keberangkatan, ada pengumuman: penumpang tujuan Pulau Pari
dipindahkan ke Dermaga 17. Untung jaraknya hanya sebelahan, jadi tidak repot
pindah.
Waktu menunjukkan pukul 07.30, tapi nama saya belum juga
dipanggil. Saya mulai mendekati petugas untuk memastikan. "Mas, nama saya
kapan dipanggil?" Dengan tenang, dia menjawab, "Tunggu sebentar lagi,
Bu." Oke, sabar. Tapi saat pukul 08.00 kapal belum juga berangkat, saya
kembali bertanya. Kali ini, dengan sedikit usaha ekstra (alias bolak-balik
tanya), akhirnya nama saya dipanggil sekitar pukul 08.30. Kami pun naik ke
kapal cepat bernama Tidung Express.
Pengalaman di Kapal Cepat
Kapal Tidung Express yang kami naiki berkapasitas sekitar 100 penumpang (saya kurang
tahu jumlah pastinya) dengan dua area duduk: bagian bawah yang ber-AC dan
bagian atas yang semi terbuka tanpa AC. Saya sebenarnya lebih suka duduk di
atas karena bisa merasakan angin laut langsung. Tapi, apa daya, tempat duduk di
atas sudah penuh. Kami akhirnya duduk di bagian bawah dengan posisi menyamping.
Hmm, kurang nyaman, tapi ya sudahlah.
Anak-anak, untungnya, tetap tenang. Aisyah sibuk dengan
HP-nya sambil sesekali melirik ke luar jendela, terutama saat mendengar suara
ombak. Alief? Dia malah langsung tidur pulas begitu kapal mulai melaju. Saya
sendiri, yang awalnya agak mengeluh karena mencemaskan anak-anak tidak nyaman
soal posisi duduk, akhirnya malah ditenangkan oleh mereka. "Nggak apa-apa,
Ma. Aman kok," kata mereka. Aduh, rasanya terharu!
Jaket pelampung lengkap dan baik. Kursi menghadap ke depan dan beberapa menyamping seperti ini. |
Ketika Grup Besar Mendominasi Dermaga
Hari itu, berdasarkan panggilan yang saya dengar, kebanyakan
penumpang adalah rombongan tur. Terlihat dari nama-nama yang disebut, seperti
“Grup Tur Pari Bahagia 25 orang”, “PT Arum 75 orang”, dan lainnya. Itu
contohnya saja, ya, saya lupa nama persisnya. Yang jelas, kebanyakan memang
nama grup besar. Rombongan yang satu kapal dengan kami pun terlihat berseragam—mereka
memakai kaos bertema yang sama.
Di antara banyak penumpang, terdapat beberapa turis asing mancanegara yang berangkat bersama rombongan keluarga. Mereka tampak mandiri tanpa tour guide, berangkat sendiri.
Sementara itu, hanya sedikit penumpang yang bepergian dalam
kelompok kecil seperti keluarga kami atau pasangan dengan 2-4 orang. Tidak
heran kapal cepat penuh. Mungkin karena itu pula nama kami lama dipanggil,
mendahulukan grup besar dulu. Saya sempat berpikir, mestinya grup kecil
didahulukan biar cepat masuk, tapi ya sudahlah, mungkin ada pertimbangannya
sendiri.
Sesampainya di dermaga Pulau Pari 09.36WIB |
Tips untuk Perjalanan ke Pulau Pari
- Pilih
transportasi yang sesuai kebutuhan: Kapal cepat nyaman, tapi kalau mau
lebih hemat, bisa pilih kapal feri.
- Siapkan
uang pas untuk tiket masuk dermaga dan parkir. Kalau membawa
kendaraan, hitung juga biaya tambahan untuk parkir menginap.
- Datang
lebih awal: Meski jadwal kapal jam 08.00, lebih baik sudah standby
pukul 07.00 agar tidak terburu-buru.
- Bawa
camilan dan minuman: Perjalanan di kapal bisa bikin lapar, apalagi
kalau ada delay.
Perjalanan ini mungkin bukan yang paling mulus, tapi tetap
jadi pengalaman yang seru dan berkesan. Pulau Pari menanti dengan segala
pesonanya, dan saya tidak sabar untuk berbagi cerita tentang apa saja yang kami
lakukan di sana. Simak terus cerita selanjutnya, ya!
Perjalanan Laut 1 Jam Menuju Pulau Pari
Berangkat menuju Pulau Pari, kami menempuh perjalanan laut
selama satu jam. Kapal cepat yang kami tumpangi berangkat pukul 8.35 dari
Dermaga Kaliadem, dan tepat pukul 9.35 kami tiba di dermaga Pulau Pari.
Dermaga di Pulau Pari cukup sederhana, hanya mampu menampung
satu kapal cepat untuk bersandar. Meski begitu, terasa sekali keramahan para
petugas berseragam polisi yang membantu kami turun dari kapal. Karena kami
datang tanpa pemandu wisata, saya pun meluangkan waktu sejenak untuk mengamati
sekitar sebelum melanjutkan perjalanan ke Pantai Pasir Perawan. Kata
teman, pantai ini bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi kalau enggan berjalan, ada bentor
(becak motor) yang siap mengantar.
Anak-anak dan suami langsung memilih jalan kaki santai.
Alasannya? Biar bisa lihat-lihat suasana kampung dan... jajan di warung! Hmm,
modus banget, ya. Hehe.
Di dermaga, seorang abang bentor mendekat. Namun, berbeda dari kebiasaan pengojek atau kernet angkot, ia tidak langsung menawarkan jasanya. Justru saya yang bertanya, “Kalau mau ke Pantai Pasir Perawan dekat ya, Bang? Atau mesti naik ini?”
Dengan ramah, abangnya menjawab, “Dekat, Bu, jalan kaki juga bisa. Kalau mau cepat, naik bentor juga boleh.” Wah, sopan sekali. Abangnya lebih memandu daripada sekadar menjual jasa.
Setelah mengucapkan terima kasih, kami memutuskan tetap jalan kaki. Beberapa langkah kemudian, saya melihat abang bentor itu mendapat penumpang lain yang menuju arah berbeda.
Sebagai informasi, tarif naik bentor dari dermaga ke Pantai Pasir Perawan Rp 5000 per orang.
Jalan kaki melihat-lihat suasana pemukiman penduduk Pulau Pari |
Jalan Kaki ke Pantai
Jalan setapak menuju pantai tidak terlalu lebar, pas-pasan
dengan ukuran bentor. Jadi, kalau ada motor, sepeda, atau bentor lewat, kami
harus minggir—sangat minggir!
Sepanjang jalan, kami melewati banyak warung yang menjual minuman, makanan, hingga kebutuhan sehari-hari. Rumah-rumah penduduk bertuliskan homestay juga banyak terlihat, lengkap dengan sepeda dan motor yang disewakan untuk turis. Suasana kampung cukup padat. Beberapa titik terlihat bersih, sementara yang lain agak kotor. Ada rumah-rumah yang modern dan bersih, tapi ada juga yang sederhana.
Saya mencatat beberapa nomor HP yang terpajang di depan homestay. Siapa tahu suatu saat kembali dan menginap, bisa tinggal hubungi nomor yang sudah saya simpan. Bisa juga buat informasi bagi teman-teman yang mungkin saja nanti nanya-nanya ke saya minta info penginapan di Pulau Pari. Jadi, ini semacam oleh-oleh juga yang bisa dibawa pulang. Oleh-oleh gak melulu berupa barang dan makanan kan?
Homestay, penyewaan sepeda, dan penyewaan motor yang kami jumpai dalam perjalanan kaki menuju Pantai Pasir Perawan |
Matahari pagi itu cukup terik. Topi yang kami pakai tidak cukup menghalangi keringat dan debu jalan. Namun, setelah berjalan santai sekitar 15 menit, akhirnya kami sampai di gerbang Pantai Pasir Perawan.
Dari kejauhan, pantai dengan pasir putih bersih dan air hijau kebiruan langsung
menyambut pandangan. Alhamdulillah, sampai juga!
Di gerbang pantai, saya melihat fasilitas seperti musala, toilet, kamar mandi, dan penyewaan sepeda. Tiket masuk pantai hanya Rp 5.000 per orang—murah banget untuk menikmati pantai bersih ini seharian.
Bagian depan dan belakang pintu masuk Pantai Pasir Perawan |
Kegiatan di Pantai Pasir Perawan
Di kawasan pantai ini, ada banyak hal seru yang bisa dinikmati. Selain kafe dan warung makan yang berjejer, ada juga penjual makanan dan minuman yang menjajakan dagangannya dengan gerobak, serta penyewaan perahu untuk berkeliling. Menariknya, biaya untuk naik perahu keliling mangrove hanya Rp 15.000 per orang, tanpa batasan waktu. Kami bahkan boleh mampir ke pantai-pantai lain yang tak bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
Saya pun memutuskan untuk mencoba naik perahu dan langsung meminta bantuan petugas pantai. Tak lama, seorang bapak tua mendekat dengan perahu dayungnya. Ternyata, meski awalnya saya pikir perahunya bermesin, bapak ini mendayung manual dengan tenang. Rasanya begitu santai dan menyenangkan, apalagi saat berkeliling mangrove, beliau bercerita banyak tentang kehidupan masyarakat Pulau Pari. Salah satu cerita yang mengesankan adalah tentang kekhawatiran mereka terhadap rencana pembangunan vila di kawasan mangrove, yang bisa mengancam kelestarian alam. Pesan-pesan penting tentang menjaga keberadaan mangrove pun terpampang di sepanjang perjalanan, membuat pengalaman berperahu di mangrove ini semakin mendalam dan penuh makna.
Perahu dan pemiliknya yang membawa kami keliling mangrove. Biaya sewa Rp 15.000 / orang. Kapasitas bisa sampai 10 orang. |
Video naik perahu keliling mangrove ini dapat dilihat pada video berikut:
Pantai yang Memikat
Setelah puas menjelajah hutan mangrove, kami berlayar menuju sebuah pantai kecil yang cukup unik, seperti gusung pasir terapung! Sebenarnya ini masih bagian dari pantai Pasir Perawan, hanya saja bentuknya menjorok ke laut. Ketika air pasang, pantai ini terlihat terputus karena sebagian tenggelam. Kalau air surut, gampang deh dijangkau dengan berjalan kaki. Tapi saat pasang, siap-siap basah kuyup, atau kalau kedalaman maksimal, ya harus berenang dulu.
Pantai ini ditumbuhi pohon mangrove serta beberapa jenis tumbuhan khas pantai, ada taman kecil, dan sebuah pondok kayu yang imut-imut. Tempat ini jadi favorit turis buat berenang, bermain pasir, atau sekadar leyeh-leyeh menikmati angin laut. Ketika kami mendekati pantai, sepasang turis bule tampak asyik berenang di area yang cukup dalam. Dan benar saja, ketika saya mencoba turun dari perahu, kepala saya dipastikan tenggelam—definisi "dalam" yang tidak main-main! Tapi karena itu juga, perahu bisa merapat tanpa khawatir tersangkut pasir.
Kami memilih singgah di sebuah pondok kecil yang posisinya gak jauh dari pantai tersebut, pas banget buat istirahat setelah berperahu keliling mangrove. Pondok ini dirancang cukup tinggi dari dasar laut, jadi aman dari genangan saat pasang. Tapi, jangan terlalu berharap bisa menginjak pasir kering untuk berlarian, ya. Selain pondoknya, sisanya air semua, dan bukan air dangkal. Ini bikin pondok terasa seperti pulau kecil yang terapung, bikin suasananya tambah asyik!
Pondok singgah |
Singgah untuk beristirahat sambil menikmati makanan dan minuman ringan yang dibawa |
Di ujung sana itu pondok yang akan kami tuju berikutnya, jaraknya cukup dekat dari pondok yang sedang kami singgahi ini. Bisa sih dicapai dengan berenang, kalau sudah siap basah-basahan. |
Tak jauh dari pondok tempat kami singgah, ada pantai utama Pasir Perawan yang ikonik banget. Di situ ada tulisan besar “Pasir Perawan” yang bikin siapa pun pasti ingin foto di depannya. Suasananya mengingatkan saya pada taman bermain, tapi versi pantai. Dikelilingi pondok-pondok kecil yang asyik buat duduk-duduk santai, sambil menikmati angin laut. Dan yang tak kalah menarik, ada ayunan!
Saat itu tamannya sedang terendam karena pasang. Tapi kami tetap mampir ke sana, tentunya dengan misi mencoba ayunan yang berbeda dari biasanya. Main ayunan di taman darat, sih, sudah sering, kan? Tapi kalau ayunan di pantai dan di atas air laut? Ini level keseruan yang berbeda!
Nah, jangan bayangkan ini sekadar duduk di ayunan sambil melamun, ya. Main ayunan di atas air laut itu sedikit tricky, apalagi kalau ombak sedang genit-genitnya. Udah gitu, saya sedang tidak ingin terendam seluruh badan. Cuma kasih ijin air boleh kena kaki sampai lutut saja. Maka di situlah letak serunya! Ayunan bergerak seirama dengan deburan ombak, bikin rasanya seperti sedang bermain di atas panggung alam yang dinamis.
Video main ayunan yang bikin gemes sekaligus gregetan itu bisa ditonton di sini:
Ini pengalaman yang nggak bisa didapatkan setiap hari, jadi tentu kami tidak melewatkannya. Ditambah latar belakang pemandangan pantai yang cantik, sesi main ayunan yang tampaknya sederhana ini jadi momen yang wajib diabadikan!
Di pantai lainnya, kami kembali mampir dan berlama-lama. Main air, main pasir, berfoto, dan berjalan kaki menyusuri tepian pantai.
Aisyah tampak paling bahagia di sini. Ia sibuk memperhatikan
kepiting-kepiting kecil yang berlarian dan menemukan kerang-kerang unik yang
sudah kosong.
Makan Siang di Warung Ibu Munah
Setelah puas bermain air dan pasir di pantai, kami kembali
ke Pantai Pasir Perawan. Saya memilih warung untuk beristirahat, dan akhirnya
jatuh hati pada Warung Ibu Munah. Warung ini tampak lebih lengkap menunya
dibanding warung lainnya. Tempatnya pun nyaman, meski hanya berupa meja dan
bangku kayu beralas pasir.
Di sini, tersedia perlengkapan pantai seperti baju dan
celana pantai, kacamata, topi, alat bermain pasir anak, minuman, makanan
kemasan, penyewaan sepeda, kapal keliling pulau, hingga homestay ber-AC dan
non-AC.
Menu Makanan yang Menggoda Selera
Untuk hidangan makan, Warung Ibu Munah menawarkan banyak
pilihan seperti nasi goreng, mie goreng, ayam bakar/goreng, ikan bakar/goreng,
udang goreng/bakar/saus tiram, cumi saus tiram, cumi goreng tepung/bakar, cah
kangkung, kentang goreng, hingga mie tek-tek. Pilihan yang pas untuk memuaskan
rasa lapar setelah bermain di pantai!
Untuk harga makanan yang kami pesan, saya cantumkan pada foto berikut. Barangkali bisa buat gambaran untuk biaya makan saat berkegiatan di Pantai Pasir Perawan.
Pilihan Kamar dan Fasilitas Homestay
Bagi yang ingin menginap, tersedia kamar dengan kapasitas
mulai dari 2 orang, 4 orang, hingga 10 orang. Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi nomor WA: 081906382964. Fasilitasnya cukup memadai untuk
melepas lelah setelah seharian berkeliling Pulau Pari.
Kami cukup lama bersantai di sini. Makan siang yang mengenyangkan ditemani kelapa muda segar, kopi hangat, dan pisang goreng yang renyah. Setelah makan, Aisyah melanjutkan bermain air di pantai ditemani papanya, sementara saya duduk-duduk menikmati suasana.
Setelah puas bermain, kami membersihkan diri, ganti pakaian, sholat, dan beristirahat sejenak sebelum kembali ke dermaga. Sesuai informasi tiket, kami harus siap di dermaga pukul 2 siang karena kapal menuju Marina Ancol berangkat pukul 3. Karena tidak menginap, perjalanan kami menjadi one-day trip saja.
Perjalanan Kembali dengan Bentor yang Santai
Kali ini, kami memilih naik bentor karena sudah cukup lelah
berjalan kaki. Biaya per orang Rp 5.000 dengan rute Pantai Pasir Perawan –
Dermaga Pulau Pari. Sampai di dermaga, kami diminta untuk mendaftar ulang keberangkatan dengan membayar retribusi sebesar Rp2.000 per orang. Setelah itu, kami menunggu
kapal sembari nongkrong di warung.
Di warung, Aisyah dan Alief memesan mie hangat serta minuman
dingin. Sambil menikmati cemilan, kami menghabiskan waktu hingga kapal tiba.
Namun, pukul 2.30 kapal belum juga datang. Jadi, kami memutuskan berjalan ke
area water sport yang terletak sekitar 100 meter dari dermaga.
Toilet dan Kamar Mandi yang kami gunakan di Pantai Pasir Perawan |
Akhirnya naik bentor. Buat simpan tenaga untuk perjalanan pulang kembali ke Marina Ancol |
Water Sport, Buat Seru-Seruan di Laut
Di area water sport, pengunjung bisa bermain banana boat
seharga Rp35 ribu per orang dengan kapasitas 6-10 orang per banana. Ada juga
sofa boat yang bisa dinaiki hingga 6 orang dengan tarif Rp40 ribu per orang.
Sayangnya, di sini tidak ada penyewaan jet ski. Siang itu, ada yang bermain jet
ski, tapi ternyata mereka membawanya sendiri dari Jakarta menggunakan kapal
sewaan pribadi.
Tempat bermain ini memang masih sederhana, tanpa jalan
setapak atau loket tiket yang rapi. Antrian pun harus diatur sendiri, tetapi
suasana tetap menyenangkan.
Akhir Perjalanan: Sunset yang Menawan
Kapal yang seharusnya membawa kami kembali ke Marina Ancol
pukul 3 sore baru tiba sekitar pukul 4. Kalau tahu bakal molor begini, mungkin
kami tadi masih sempat mencoba banana boat atau sofa boat dulu. Tapi, sudahlah,
yang penting kapal akhirnya datang.
Saat menunggu kapal, saya teringat cerita @hardhi__ tentang insiden beberapa hari sebelumnya. Sebuah kapal kecil yang membawa penumpang terkena hempasan ombak besar hingga terbalik. Untungnya, semua penumpang mengenakan jaket pelampung, sehingga tidak ada korban jiwa. Tim penyelamat juga datang dengan cepat.
Daftar ulang penumpang pulang naik kapal cepat Sea Leader Marine, nunggu kapal datang di warung, karcis naik kapal cepat buat balik ke Dermaga 16 Marina Ancol |
Perjalanan pulang kami sendiri berjalan lancar tanpa hambatan. Meski sedikit terlambat, suasana di kapal tetap menyenangkan. Kali ini, kami memilih duduk di dek atas, menikmati angin laut yang segar dan pemandangan langit senja yang perlahan berubah warna. Matahari terbenam di ufuk barat benar-benar memukau, memberikan momen sempurna untuk mengakhiri perjalanan kami hari itu.
Sebelum tiba di Dermaga 16 Marina Ancol, kapal sempat mampir
sebentar ke Baywalk Mall untuk mengantar beberapa penumpang. Ini memberi kami
sedikit waktu tambahan menikmati suasana laut.
Pemandangan gedung-gedung pinggir laut dalam perjalanan pulang |
Sore itu saya nggak nyangka cuaca tetap cerah sampai kami kembali ke Jakarta. Payung dan jas hujan yang sudah disiapkan dari rumah, malah jadi barang bawaan yang nggak kepake sama sekali selama di Pulau Pari. Dugaannya sih, karena saya sempat cek dulu di situs BMKG yang bilang cuaca bakal cerah sampai siang dan mulai berawan di sore hari. Ternyata memang bener, cuaca berpihak kepada kami!
Rencana awalnya sih mau nginep di Pulau Pari, tapi karena Minggu-nya ada urusan di Bandung, akhirnya kami memutuskan untuk one day trip saja. Meski cuma sehari, semuanya tetap menyenangkan, apalagi pergi bareng anak-anak dan suami. Semua pada senang, nggak ada yang merasa kekurangan waktu atau liburan, malah jadi makin berkesan karena bisa menikmati suasana pulau yang tenang dan pemandangan yang indah bareng keluarga.
Liburan nggak selalu harus lama kok, yang penting kebersamaan dan momen yang bikin hati senang. Kalau kamu lagi cari tempat liburan yang nggak jauh tapi tetap asyik, Pulau Pari bisa jadi pilihan tepat. Siapa tahu, kamu juga bisa ketemu kami di sana suatu saat nanti!