Tampilkan postingan dengan label Dieng Wonosobo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dieng Wonosobo. Tampilkan semua postingan

Memburu Golden Sunrise Bukit Sikunir


Perjalanan menjelajah Dieng pada hari Minggu (19/10/2014) dimulai pukul tiga pagi. Tempat pertama yang ingin kami (saya dan rombongan trip Mbak Yayah) datangi adalah puncak Bukit Sikunir, bukit terkenal yang menjadi andalan wisata Dieng. Apa yang ingin diburu di puncak Sikunir? Apa lagi kalau bukan eksotisme golden sunrise.

Kami berangkat menggunakan bis kecil dari Desa Sendang Sari di Wonosobo dengan jarak tempuh sekitar 25 km. Ayam belum berkokok, alam raya masih gelap. Langit ditutupi awan kelabu, tak ada bintang gemintang, apalagi terang bulan. Sehingga tak ada apapun yang bisa dipandangi selama perjalanan.

Supir bis mengemudi perlahan di kegelapan, hanya mengandalkan lampu bis untuk menerangi jalan. Saya tidak bisa melihat apakah ada jurang di kiri dan kanan jalan, hanya bisa merasakan bis berulangkali melewati turunan dan tanjakan. Jalan yang dilalui pun tidak selalu mulus. Berkat doa dan kesabaran, alhamdulillah 1,5 jam kemudian kami selamat mencapai gerbang Desa Sembungan, tempat Bukit Sikunir berada.
 
Singgah di masjid untuk salat Subuh
Di Desa Sembungan, mestinya bis yang membawa kami berhenti di area parkir di dekat kawasan Telaga Cebong. Namun, karena parkiran sudah penuh, kami diturunkan di gerbang desa. Sebelum keluar dari pintu bis, ada yang berkata bahwa kami harus jalan kaki sekitar 2 km lagi untuk mencapai kaki bukit. Dalam ruang pikiran saya yang terkungkung oleh gelap dan dinginnya udara pegunungan, jarak 2 km itu terasa seperti belasan kilo.  

Ketika keluar dari pintu bis, udara dingin menyambut, angin berhembus, saya menggigil. Kulit wajah saya yang terbuka terasa seperti ditampar dan ditusuk-tusuk jarum. Musim kemarau membuat udara menjadi lebih dingin. Tak peduli pada jaket, kaos kaki, celana panjang 2 lapis, dan sarung tangan tebal yang saya pakai, udara dingin tetap ganas menerjang.

Kami mulai berjalan namun tak bisa cepat, sebab kondisi jalan tidak rata, pun suasana saat itu minim cahaya. Kendati demikian, jalan yang kami lalui tidak terlalu gelap, sebab ada cahaya dari senter yang digunakan oleh para wisatawan lainnya. Ada yang menggunakan senter tangan kecil dengan cahaya seadanya, ada yang menggunakan senter tangan besar dengan cahaya yang menyorot terang, ada juga yang menggunakan senter kepala yang simple dan tidak merepotkan untuk di pegang-pegang. Sesekali, cahaya datang dari motor ojek yang melintas.
   



Puncak Bukit Sikunir ramai wisatawan

Pagi itu memang bukan hanya rombongan kami yang bergerak menuju bukit Sikunir, ada ratusan orang lainnya yang punya tujuan sama. Saya sendiri sebetulnya membawa dua senter, yakni senter kepala dan senter tangan. Namun, keduanya tidak jadi saya pakai karena sudah terbantu oleh cahaya dari senter orang lain yang berjalan di antara kami.

Ojek mendekat, menawarkan jasa. Kami menolak sebab ingin ke masjid untuk salat Subuh terlebih dahulu. Sekitar 100 meter dari gerbang desa kami berjumpa masjid. Karena waktu Subuh telah tiba, kami pun singgah untuk menunaikan kewajiban salat. Bukan main senangnya bertemu masjid, selain bisa mendapatkan tempat yang nyaman untuk beribadah, juga bisa menumpang ke kamar kecil. Air di masjid melimpah, tapi dingin bukan main. Badan saya jadi gemetar.

Seusai salat kami melanjutkan perjalanan. Baru dua ratus meter berjalan, saya terseok, akhirnya memutuskan naik ojek. Dari pada menguras energi sebelum mendaki, lebih baik tenaga saya simpan. Teman saya setuju, akhirnya ikut naik ojek juga. Saya kira jarak ke titik awal pendakian masih jauh, ternyata kurang dari 100 meter saja. 


Pukul 04.35 kami mulai mendaki. Orang-orang makin ramai. Ada ratusan bahkan ribuan orang lain yang turut bergerak naik. Jalur pendakian padat. Pendakian tersendat. Hal ini biasa terjadi di tiap akhir pekan. Wisatawan membludak. Area parkir penuh. Itu sebabnya bis kami tidak kebagian tempat. 

Untuk mencapai puncak Bukit Sikunir tidaklah mudah, diperlukan perjuangan dan stamina yang kuat selama pendakian. Menahan udara dingin yang membuat badan gemetar, serta meniti jalan setapak berbatu dan berkelok selama 25 menit, menjadi bagian dari perjuangan itu. Namun, semua itu terbayar dengan eksotisme alam yang begitu memukau. Apalagi saat cuaca mulai cerah, warna jingga hingga proses kuning keemasan pun muncul, dan matahari pun mulai menyinari alam semesta.

Wisatawan yang berada di puncak Sikunir seolah serentak berdecak, bahkan ada yang bertepuk tangan. Betapa menakjubkan. Pengalaman mendaki Bukit Sikunir ini menjadi salah satu pengalaman berharga yang saya dapat dari Dieng.

Teman-temanku berfoto di gerbang Desa Sembungan seusai memuncaki Bukit Sikunir

Buspacker, Bingkai Momen Trip Dieng


Assalamu'alaikum Wr Wb,

Salah satu pengalaman tak terlupakan dalam Trip Dieng Wonosobo bulan Oktober kemarin adalah saat naik bis dari Wonosobo menuju Semarang. Ga nyangka bakal naik bis sambil berdiri selama hampir 1 jam. Kernetnya galak. Bisnya pun hampir mogok akibat overheat mesin. Keluar asap. Malam-malam, semua penumpang diturunkan dan hendak dipindahkan. Tapi ternyata bis buat pindah tidak mau menerima. Ga muat katanya. Lha iyalah ga muat, wong isinya saja sudah penuh penumpang, mau ditambah penumpang 1 bis dari bis lain. Maksa banget. Mau ditaruh di mana kami? Di atap bis? :D

 Terminal Mendolo Wonosobo

Saya baru pertama kali ikut trip Dieng. Jadi trip ini membuat saya sangat bersemangat.
Ada banyak teman berangkat bareng-bareng dari Jakarta. Awalnya saya ingin gabung ikut naik bis. Ada yang berangkat dari terminal Rawa Mangun, ada juga dari terminal Kp. Rambutan. Katanya waktu tempuh sekitar 12 jam. Wah, lama juga. Itu belum termasuk jika kena macet di Pantura. Saya sempat ragu. Tapi pikir-pikir kalau rame kayaknya seru. Ga bakal merasa jenuh. Lagi pula bisnya berangkat malam, jadi selama perjalanan bisa tidur. Esok paginya sudah sampai Wonosobo.

Akan tetapi, saya batal naik bis. Saya memilih naik pesawat ke Semarang. Dari Semarang lanjut ke Wonosobo naik travel. Kebetulan di Semarang ada 4 teman yang akan berangkat barengan. 

Ada alasan tersendiri kenapa saya batal naik bis dari Jakarta. Begini, saya ini kan orangnya ga terlalu tangguh. Capek dikit mudah sakit. Nah, karena trip Dieng ini bakal ada acara naik-naik bukit segala, saya butuh tenaga lebih. Saya ingin jaga kondisi badan. Jika naik bis semalaman saya tidak yakin paginya akan tetap fit. Dari pada beresiko, nanti jadi ga bisa maksimal ikut menjelajah Dieng, merepotkan orang lain pula, mendingan saya pilih naik pesawat saja biar kondisi badan saya tetap prima.

Bus tangguh naik turun bukit jelajah alam Dieng

Sabtu 18 Okt 2014. 
Dari Semarang rencananya kami berlima (Lestari, Dely, Mbak Riyadh dan ponakannya, serta saya), akan berangkat pukul 5 pagi. Sebab pukul 8 pagi semua peserta trip harus sudah kumpul di Terminal Mendolo Wonosobo. Saya, Lestari, dan Dely sudah stand by di depan PLN Jatingaleh sejak pukul setengah 5. Supir travelnya ditelpon supaya datang jam 5 malah datang hampir jam 7. Akibatnya, demi mengejar jam 8 sampe Wonosobo, supirnya menyetir seperti kesetanan. Ngebut ga kira-kira. Nyalip kanan kiri oke.

Rasa cemas, tegang, dan jantung yang berdegup kencang, berakhir ketika mobil akhirnya sampai di terminal Wonosobo. Waktu menunjukkan pukul 8 lewat (lupa lewat berapa hehe). Fyuuuuh....rasanya lega bisa selamat. Apalagi saat berjumpa rombongan Jakarta yang sudah tiba lebih dulu. Makin seneng. Hilang sudah rasa takut yang menyelimuti sepanjang perjalanan Semarang-Wonosobo.

Ohya, terminal Mendolo Wonosobo itu kecil tapi rapi. Suasananya tenang. Tempatnya bersih. Suara kernet tidak berisik berteriak-teriak memanggil calon penumpang. Pedagang tidak ribut menjajakan jualan. Deru mesin bis tidak bising mengganggu kenyamanan. Pokoknya suasananya enak banget.

Bis sewaan yang disediakan Mbak Yayah (ketua trip) ada dua. Bisnya kecil tapi bagus. Warnanya ngejreng, merah dan orange. Bisnya bersih, bangkunya nyaman, dan supirnya juga ramah. Nah, dengan dua bis inilah kami keliling menjelajah Wonosobo selama dua hari.

Bis nyaman sentosa

Penjelajahan dengan bis selama di Wonosobo lancar tanpa kendala. Alhamdulillah. Saat hendak kembali ke Semarang, perjalanan dengan bis baru menuai cerita berbeda. Dibilang sengsara sih iya, tapi karena dinikmati malah jadi seru. Kapan lagi merasakan sengsara ya kan? hehe

Jadi, trip Dieng kan usai hari Minggu tgl 19 Oktober. Jam 4 sore kami sudah kumpul di Terminal Mendolo. Siap untuk kembali ke daerah asal masing-masing. Ada yang ke Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Untuk teman-teman yang kembali ke Jakarta, mereka sudah tidak perlu lagi sibuk mengurus pembelian tiket bis sebab sudah diurus oleh mbak Yayah.

Saya berlima dengan Lestari, Dely, Mbak Riyadh dan ponakan gadisnya, mesti menyetop bis di luar terminal. Mulanya dibantu oleh 2 guide lokal, tapi karena bis yang ditunggu tak kunjung datang, 2 guide itu meminta pamit duluan. Katanya kami ga usah khawatir, bis tujuan Semarang pasti ada.

"Semarang! Semarang!"
Teriakan aneh! haha Setiap ada bis lewat, mbak Riyadh meneriakkan kata Semarang dengan intonasi serupa kernet menawarkan bis. Lha, seharusnya kan dengan nada bertanya: "Semarang?" Mana mau stop bisnya jika seperti itu :D

Nunggu bis jurusan Semarang.

Setelah menunggu lebih dari 1 jam, bis pun datang. Petugas terminal yang sedari awal mengetahui kami  butuh bis, menyarankan untuk naik bis yang baru saja keluar dari terminal. Kami pun naik. Eh ternyata bisnya bukan ke Semarang melainkan ke Secang. Lha ya gimana itu? Oh ternyata nanti dari Secang bisa lanjut ke Semarang. Di Secang banyak bis jurusan Semarang. Ok, kami pun naik. Tapi itu bis ga langsung jalan, masih pake ngetem (nunggu penumpang lain) dulu. 

Di dalam bis yang ga nyaman itu (bangkunya keras dan berdebu), entah siapa yang duluan nyeletuk, "Eh, supirnya bule apa, ya?"

Waduh, apa iya? Hebat bener ada bule kerja jadi supir bus di Indonesia? :D Saya ngintip lewat kaca di  depan supir. Setelah saya amati, ternyata beneran mirip bule. Tari heboh. Mbak Riyad heboh. Saya biasa saja. *halah :p

Saya dan mbak Riyadh mendadak cekikikan menggoda Lestari. Trus saya iseng nanya kernet yang sedang meminta uang bayaran, "Supirnya bule"? Kernet menjawab ketus: "Bukan!". Glodak....

Sebenarnya kami bukan heran ketemu bulenya, tapi heran ada bis di Jawa yang disupiri oleh bule. Bukan lagi jarang, tapi memang ga ada. Saya belum pernah nemu ada bule jadi supir bis di Indonesia :D

Mengintip supir bis bule :D

Nah, sampai di Secang hari sudah gelap. Kami turun, lanjut naik bis tujuan Semarang. Setelah menunggu beberapa waktu baru ada bisnya. Kernet teriak kenceng: "Semarang...Semarang. Bis terakhir." Mendengar kata 'terakhir', kami pun naik. Gubraks, pas masuk bisnya ternyata udah penuh. Ga ada bangku kosong.

"Gimana ini mbak? Masa kita berdiri sampe Semarang?" Mbak Riyadh bertanya cemas. Lha, saya juga ingin bertanya hal yang sama. 

Tapi kemudian kami tertawa. Mentertawakan diri kami sendiri. Penumpang lain menoleh pada kami. Haha. Aneh kali pikirnya. Berdiri kok malah tertawa. Ya sudahlah, nikmati saja. Ini seru banget. Kalau kesel bakal jadi capek. Mendingan tertawa saja. Asal berkesudahan :D

Ransel kami taruh di lantai bis. Kami duduki. Eh, kernetnya marah. Ga boleh duduk katanya. Lha, kami kan bayar, masa ga boleh duduk di lantai. Kalau ga boleh ya sediakan bangku atuh. Lagian kenapa pula tadi kami disuruh naik kalau bangku sudah penuh.

Backpacker tulen ya mba Riyadh :))

Nah, petaka mulai datang saat separuh perjalanan. Mesin bis terdengar aneh. Laju bis mulai melambat. Sesekali terdengar dreekk...dreee...dreeeek (ga tahu yang lain menyadari itu atau tidak). Trus dari mesin keluar asap. Eh..bisnya tetap saja jalan. Hadeuh.

Akhirnya bis berhenti. Mungkin mulai sadar akan resikonya. Kamipun diturunkan, hendak dipindahkan ke bis lainnya. Nah, seperti yang saya ceritakan di awal, kami ga jadi pindah. Kami masuk bis lagi, lanjut jalan lagi, tapi pelan-pelan. Dengan kondisi bis dan laju kendaraan yang pelan, kebayang kan jam berapa kami sampe Semarang? :D

Tiba di Semarang sudah lewat dari waktu yang diharapkan. Niat untuk jalan-jalan ke Lawang Sewu gagal total. Saya sudah capek. Rasa lapar sudah tak lagi saya hiraukan. Saya memilih nyari kasur. Pingin tidur. Zzzz......

====

Selalu ada kebahagiaan tersendiri setelah bertualang bersama sahabat, lalu kembali ke rumah dengan selamat.


Wonosobo-Semarang
17-20 Oktober 2014



Hadiah Dari Bukit Sikunir


Assalamu'alaikum Wr Wb,

Ini cerita dari trip Dieng Wonosobo tgl. 18-19 Oktober lalu.

====

"Mbak Ida, ini Rien. Mbak Rien, ini mbak Faidah."

Sesaat setelah Delyanti mengenalkan kami, kami pun saling pandang. Ooooh...ternyataaaa. Blar! Tawa pun pecah. Ya, siapa yang mengira di Puncak Bukit Sikunir kami bertemu. Beda rombongan, beda asal kedatangan, beda rencana, tapi ternyata sama-sama diberi nikmat bernama Perjumpaan. ~Pertemuan kadang memang tak perlu diatur-atur, biarlah takdir yang mengantarkannya. Itu akan terasa jauh lebih indah

Perjumpaan tak terduga dengan mba Faidah

Golden sunrise tak berhasil saya jumpai. Si bulat merah menyala tak muncul dari balik gunung. Awan menutupinya. Padahal tubuh ringkih ini telah bertarung dengan udara sangat dingin, jalan berbatu yang kasar, tanjakan panjang dan melelahkan, serta padatnya pengunjung yang membuat saya sempat terjepit, semua dilalui demi menyaksikannya.

Ketika kerumunan orang mulai lerai, sampah berserakan menyapa dengan manisnya, "Halloooo....senang melihatmu!" Dan seketika rusaklah citra indah bukit Sikunir dari mata saya. Sungguh kotor. Saat turun dari Sikunir, saya melihat ada laki-laki membawa karung besar bergerak naik sambil memunguti setiap sampah yang ia temui. Hebat sekali laki-laki itu mau jadi sukarelawan sampah. Mestinya pengunjung Sikunir semua seperti dia. Namun saya salah mengira, sebab ia bukanlah bagian dari pengunjung. 

Di salah satu undakan tangga, sebuah dus tergeletak. Ada tulisan kecil di atasnya: "Sumbangan untuk pembersih sampah". Saya melongok isi dus yang berisi lembaran-lembaran uang kertas. Hmm...bukan tidak bagus sih, tapi bukankah dengan cara begini, oknum-oknum pembuang sampah itu justru jadi mengandalkan pemungut sampah itu? Buang sampah jadi dianggap tidak masalah karena sudah ada yang bertugas membersihkannya. Moga saja tidak ada yang begitu. Kalau ada, saya harap itu orang janga pernah pergi kemana-mana. Mendekam saja dalam rumah daripada mengotori alam. Bukannya jadi pecinta alam, yang ada malah jadi perusak alam.

Sampah berserakan di Bukit Sikunir

Saat kerumunan orang mulai berkurang, tampak seorang bapak pedagang makanan berada tak jauh dari tempat saya berdiri gesit melayani pembeli. Minyak panas mendesis dalam wajan berisi kentang, siap menggoreng di tengah dinginnya udara Sikunir. Terpikat kentang goreng tapi saya justru memesan mie instant. Air panas mestinya mampu membuat mie jadi melar, tapi udara dingin angkuh mengalahkannya. Mie setengah matang pun masuk perut. Saya sempat was-was maag kambuh. Biasanya mie instant membuat perut ini jadi mulas dan mual. Tapi hingga 24 jam setelah mie itu dimakan, perut saya tetap aman sentosa. Alhamdulillah.

Delyanti, my lovely travelmate

Katanya dari Puncak Sikunir bisa menyaksikan 8 gunung, tapi mata dan kamera saya hanya mengakrabi pemandangan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Ya salah sendiri sih ga mau menoleh ke sisi lain hehe. Nun jauh di kaki-kaki gunung, atap rumah penduduk menyembul kecil-kecil. Menarik.

Makin siang, keindahan alam makin terbentang. Hamparan bukit, gunung, ladang, dan lembah-lembah nan dalam. Orang-orang berselfie ria di pinggir tebing, ngeri saya melihatnya. Biar deh ga punya foto spektakuler, asal saya selamat. Belum mau mati dulu, masih banyak dosa :D

Yang ditunggu akhirnya datang, walaupun telat, ya Del :D

Berjumpa teman, tak bersua sunrise, melihat sampah, bertemu bapak penjual sarapan, diberi nikmat panorama alam Dieng, semuanya itu adalah hadiah. Bagus atau jelek, semua sama-sama hadiah. Selanjutnya tinggal pilih mau dijadikan apa itu hadiah-hadiah? Disyukuri, dijaga, dimaknai, diperbaiki, atau apa? *bertanya pada pohon kering yang bergoyang*

Memburu Keajaiban Telaga Warna

 Telaga Warna - Dieng Wonosobo
[taken with Canon EOS 7D FL: 15.0mm 1/800s f/10.0 ISO 500]

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Sekali lagi, saya melarikan diri dari rombongan *hobi bener lari-larian*. Kali ini saya bersama Lestari. Jika sebelumnya di Telaga Menjer saya ditemani oleh Mbak Musya Rofah, kali ini di Telaga Warna ditemani oleh suaminya, Mas Ari.

Untuk naik kami butuh ojek.
Lalu, laki-laki bercambang dan berjenggot lebat hingga menutup leher, gegas menghampiri dengan motornya. Saya menyipitkan mata menatapnya, meneliti turban dikepalanya, juga bentuk matanya yang besar dan melotot. Wow, bapak ojeknya orang India? :))

Belum tuntas rasa penasaran saya, tiba-tiba bapak ojek menjelaskan bahwa jalur menuju tempat yang hendak kami tuju sedang ditutup. Lestari saat itu sudah duduk manis di belakang motor. Ia nyengir tralala sambil turun dari motor. Ga jadi jek naik ojek :))

Katanya, ada jalan lain yang bisa ditempuh. Dan ternyata, mesti jalan kaki hampir 2 km. Tanjakan pula! Jika bukan hendak mencari spot terbaik untuk memotret, tak kan saya daki tanjakan nestapa itu :)) Saya dan Lestari ngos-ngosan. Sebentar jalan, sebentar singgah. Setiap menoleh ke sisi kanan, jurang terjal menganga. Di bawahnya, genangan air raksasa berwarna hijau toska seperti memanggil-manggil menyuruh turun. Eiiiit...sorry ya, kami ga mau turun. Kami maunya naik. Mau lihat dari atas. Bukan dari bawah:D

Makin ke atas, angin makin kencang dan tak henti-henti berhembus. Badan mungil ini seakan hendak melayang dibawa angin. Untung kamera (termasuk 2 lensa yang dibawa) beratnya mungkin mencapai 3 kilo haha. Lumayan buat menahan angin. Ga jadi deh terbang. Selamat...selamat :))

Sayang matahari tak menghadiahi kami dengan sinarnya yang cemerlang, sehingga air telaga yang mestinya bisa berganti-ganti warna menjadi biru, hijau, atau kuning, tak dapat saya saksikan. Meskipun demikian, satu warna yang tampak saja sudah sedemikian indah. Takjub saya dibuatnya. 

Tempat ini terasa istimewa. Sebab dari sini tampak Gunung Sindoro, Gunung Pakuwojo, dan Gunung Kendil. Sementara di garis terdepan, Telaga Warna memimpin panorama alam Dieng.

Di balik cerita tentang indahnya Telaga Warna, hadir cerita lainnya. Kami bertemu seorang pemuda bernama Pi'i. Mas Ari mengenalnya. Katanya, dia penguasa Gunung Prau haha. Kami ditawari untuk naik Prau. 2 jam saja katanya. Oh tidaaaak! Terima kasih ya mas pecinta alam dari kemenhut yang terkenal se-Dieng :))

Terima kasih buat Mas Ari yang sudah rela bergelantungan di pohon demi membantu memotret kami.

 Numpang foto bareng Mas Pi'i, penguasa Gunung Prau :D

Kabut Menari Di Telaga Menjer

Telaga Menjer - Wonosobo
[taken with Canon EOS 7D FL.10 1/200s f/10.0 ISO 2000]

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Mbak Opah istri Mas Ari, menemani saya mencari spot terbaik untuk memotret Telaga Menjer dari ketinggian. Mendaki bukit, melewati kebun sayur sawi, kubis dan labu siam yang lebat berbuah. Di sebuah saung, kami berpapasan dengan ibu petani yang menyapa dalam bahasa Jawa yang tidak sepenuhnya saya mengerti. Seperti koneksi internet yang sedang mengalami masalah kecepatan, saya mengalami loading sekian menit untuk paham bahwa si ibu ternyata menanyakan asal dan tujuan kami.

Sekitar 2 km berjalan kaki, hampir separuh telaga telah dikelilingi. Namun tak juga ada tempat yang bebas dari penghalang pandangan. Meski tak tercapai apa yang saya inginkan, tapi saya puas. Puas menjadi satu-satunya dari 35 peserta trip yang berhasil kabur dari rombongan :))

Dalam rasa puas itu, terurai secuil cerita tentang Gunung Kembang (disebut-sebut sebagai anak Gunung Sindoro) yang muncul di hadapan saya. Cerita mistik dan klenik. Tempat pesugihan! 

Cuaca cerah namun suhu udara tidak panas. Sementara kabut tebal menyelimuti puncak-puncak bukit di sekeliling danau. Menyisakan pemandangan separuh bukit. 


Ketika angin berhembus kencang dan terus berulang, kabut pun bergerak terbawa angin, turun membelah pohon-pohon pinus. Gerakannya seperti tarian. Tarian bidadari yang turun ke bumi. Dan kabut mungkin hendak menyapa (sambil memeletkan lidah) pada saya yang tidak sempat menyaksikan pemandangan sekitar danau dari atas perahu! :))

Tapi saya bersyukur, andai saya berperahu, mungkin tak bisa menikmati indahnya view Telaga Menjer dari atas bukit.


Kebun sayur ini di atas bukit, di sisi Telaga Menjer

Makan siang di saung Telaga Menjer

Masakan mbak Musyarofah enak :D


Kabut menutupi puncak-puncak bukit di seberang telaga

 seusai naik perahu keliling danau

Travel Writing Bersama Gol A Gong - Tur Literasi Jawa

Gol A Gong (baju merah)

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Salah satu bagian paling menarik dari trip Dieng-Wonosobo tgl.18-19 Oktober 2014 yang saya ikuti kemarin adalah pelatihan travel writing. Heri Hendrayana Harris atau lebih dikenal dengan nama pena Gol A Gong, hadir di tengah-tengah kami. Beliau adalah penulis yang sudah lama saya dengar nama dan karya-karyanya, namun belum pernah berjumpa, apalagi mengikuti pelatihan travel writing-nya. Alhamdulillah kali ini berkesempatan.

Kehadiran Gol A Gong di Wonosobo merupakan bagian dari Tur Literasi Jawa (dari Anyer hingga Panarukan) yang dilaksanakan sejak tanggal 09 Oktober hingga 23 Nopember 2014. Malam itu beliau datang bersama 4 orang rekannya dengan menggunakan kendaraan Grand Max yang sudah dipenuhi oleh gambar dan tulisan terkait tur literasi. 

Informasi mengenai Tur Literasi Gol A Gong bisa disimak pada akun Facebook Gong Smash. Kehadiran beliau di tengah kami sempat diabadikan dalam bentuk foto dan dipost di akun FB beliau. Dalam foto tersebut, terlihat mbak Halida (salah satu peserta trip yang saya ikuti) sedang menerima doorprize dari Gol A Gong.

duduk menyimak

Buat saya pribadi, sesi travel writing ini sangat bermanfaat. Kesempatan traveling dan belajar travel writing dari ahlinya dalam waktu yang bersamaan itu sangat menyenangkan. Bahagia iya, ilmu pun bertambah. Antusiasme tinggi tak hanya milik saya, tapi juga milik para peserta lainnya. Padahal siangnya kami seharian bepergian menikmati keindahan Wonosobo, menyisakan lelah dan badan yang beraroma kurang sedap.

Ketika kembali ke penginapan, Gol A Gong ternyata sudah lebih dulu tiba. Beliau sudah duduk di ruang depan penginapan bersama para pemain karawitan. Keinginan untuk bersih-bersih tentu saja ada, tetapi udara dingin mengalahkan keinginan itu. Hanya cuci muka, kaki, tangan, dan gosok gigi. Selesai. Lalu saya bergabung dengan yang lain.

Di ruang tamu rumah Ibu Toto (pemilik homestay yang kami inapi), semua duduk sama rendah. Mendengar, didengar, bertanya, ditanya, dan mendapat doorprize. Gol A Gong berbagi pengalaman dengan santai (sarungan hihihi), namun isinya sangat mencerahkan dan menginspirasi!
"Buku membuat saya benar-benar lupa bahwa saya bertangan satu." [Gol A Gong]
Saya menundukkan kepala. Melihat diri sendiri. Apa yang sudah saya lakukan dengan dua tangan yang lengkap ini? Di mana karya saya? Apa yang sudah saya tulis dari perjalanan saya selama ini? Oh, belum ada apa-apanya. 1 buku solo pun belum ada (baru punya 2 buku antologi doang hehe). Sedang Gol A Gong kini sudah menulis 125 buku. 125. Catat itu! *mudah-mudahan saya tidak salah dengar* :D

Tokoh masyarakat juga hadir

Aneka hidangan khas pedesaan, menjadi cemilan lezat di malam yang dingin dan berangin. Ada ketela rebus, kacang tanah rebus, dan pisang rebus. Ada juga minuman teh Tambi produksi Wonosobo. Saya tak sempat menghabisi satu piring mencicipi kacang tanah rebus, sebab sibuk pindah-pindah tempat duduk. Entah itu untuk motret, bolak-balik ke kamar, ataupun mengecek batre hape dan kamera yang belum diisi. Khawatir 'senjata' andalan tak bisa dipakai. Sebab esok pagi jam 2 sudah mesti berangkat ke Dieng untuk menikmati sunrise dari puncak Sikunir, juga jalan-jalan melihat Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa.

Di sela-sela pelatihan travel writing, sajian musik tradisional persembahan Karawitan Pusporini yang dibentuk sejak tahun 1994 menjadi hiburan yang menghangatkan. Suara alat musik yang dimainkan dengan penuh semangat, menciptakan rasa kagum yang terus menyeruak dalam hati saya. Alunannya melenakan. Saya mendengarkannya dari dalam kamar. Ya, saya memang kembali ke kamar untuk mengenakan jacket, kaos kaki, dan kemudian sejenak berbaring. Niatnya sebentar, tetapi saya justru tertidur. Padahal sesi travel writing belum usai. Uuuh! 

Mobil Kepedulian Gol A Gong

Lestari menyimak dan mencatat dengan baik apa-apa yang disampaikan Gol A Gong. Saya senang, jadi tak perlu repot. Tinggal nyontek saja hehe. Berikut ini yang sempat terekam oleh Lestari dalam akun twitter-nya *terima kasih banyak, Tari!
  • Anak-anak sekarang jalan sekadar jalan saja. Beda sama jaman dulu. Ada ilmu jurnalistiknya jg loh dulu itu #TurLiterasiJawa @Gol_A_Gong
  • Menulis adalah pekerjaan intelektual. Bukan mengkhayal. Sama kerennya kaya dokter dkk. Semua butuh riset dan kerangka #TurLiterasiJawa
  • Tidak ada satu karyapun yang mulus tanpa proses revisi #TurLiterasiJawa @Gol_A_Gong
  • Carilah ide dan inspirasi dari tempat2 indah. Maka pergilah ke tempat2 tersebut #TurLiterasiJawa @Gol_A_Gong 
  • Setiap orang yg ingin pekerjaan menulis, lakukan riset, wawancara, jgn rugikan orang, jgn paksakan kehendak. #TurLiterasiJawa @Gol_A_Gong
  • Bagi Kang menulis adalah sebuah pengabdian #TurLiterasiJawa 
  • Tipe orang2 traveling : ingin buang stress/ sekadar liburan atau memang ingin tau tempat itu #TurLiterasiJawa
  • Plesiran, riset, menghabiskan masa pensiun adalah tipe2 para traveler #TurLiterasiJawa
  • Cari sesuatu yg baru, disebarkan, dituliskan dan dapat uang untuk perjalanan berikutnya #TurLiterasiJawa 
  • Tujuan masing2 orang berbeda, tdk bs dipaksakan. Begitu juga menulis #TurLiterasiJawa
  • Draft : ditulis di fb, blog. Selanjutnya disempurnakan #TurLiterasiJawa 
  • Perjalanan tdk sekadar melihat tp jg menemukan #TurLiterasjJawa 
  • Ketertarikan adalah sebuah angle #TurLiterasiJawa 
  • Suatu tempat bisa mjd macem2 angle. Tergantung bagaimana mencari hal menarik #TurLiterasiJawa 
  • Masa lalu, masa kini, solusi (masa depan). Data sekunder : google, orang2 sekitar. Dua hal masa kini dan masa dpn dibahas detil
  •  Esai perjalanan : masa lalu (judul), masa kini, masa depan (solusi) #TurLiterasiJawa 
  •  Inventarisir suatu tempat sehingga dpt angle2 yg menarik #TurLiterasiJawa
  •  Tentukan outline di suatu titik #TurLiterasiJawa
  •  Tematik bisa diolah setelah tulisan masuk #TurLiterasiJawa 
  •  Tentukan angle yg variatif shg jd referensi yg menarik bagi semua orang #TurLiterasiJawa
  •  Jangan sia-siakan perjalananmu. Tak semua orang bs melakukan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Kita sering tak menyadari bahwa sebuah perjalanan itu luar biasa. Ngga semua orang bs melakukan hal yg sama #TurLiterasiJawa 
  •  Tips ekstrim nulis : datang lg ke tempat itu, data sekunder (google, wawancara) #TurLiterasiJawa
  •  Buat outline sebelum melakukan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Unsur travel writing : keringat, debu, transportasi. Point of view. #TurLiterasiJawa 
  • Where atau who bisa jadi pembukaan pertama #TurLiterasiJawa 
  •  Bersikaplah seperti orang bodoh jika ingin jadi travel writer #TurLiterasiJawa 
  •  Jangan merasa paling tahu. Cari informasi sebanyak mungkin. Lebih banyak lebih baik #TurLiterasiJawa 
  •  Jika hny buka peta, gps, kita ngga akan mampu menerjemahkan gesture orang #TurLiterasiJawa
  •  Beri dampak positif dari sebuah tulisan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Lakukan pembuktian dari sebuah tulisan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Cari banyak referensi dari sebuah tulisan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Sisipkan informasi di sebuah tulisan perjalanan #TurLiterasiJawa 

Alhamdulillah. Sangat bermanfaat. Jadi banyak nambah ilmu tentang travel writing. Mencerahkan!

Terima kasih Gol A Gong.
Terima kasih Mbak Yayah (dan rekan-rekan) yang sudah menghadirkan beliau di hadapan para peserta trip Dieng.

"Bukan pada seberapa banyak tempat yang kamu kunjungi, tapi pada seberapa banyak buku yang kamu tulis." (Gol A Gong)