“Aiih wong kito galo, pasti bisa bikin pempek dong ya.”
Kalimat tersebut lumrah terucap setiap kali saya diketahui sebagai orang Palembang. Meskipun agak berlebihan karena terkesan mutlak “gak mungkin gak bisa”.
Alamak! Seolah semua orang Sumatera Selatan itu dijamin pandai bikin pempek.
Padahal, jangankan berhasil bikin pempek enak dengan bentuk yang sempurna, bikin pempek gak karuan rasanya dengan wujud hancur berantakan saja gagal saya buat. Mau malu, tapi itu fakta yang malu-maluin.
Harus diakui kuliner pempek sejak dulu identik dengan Palembang, bukan daerah lain manapun. Meskipun Palembang dan Sumsel pada umumnya juga punya Tekwan, Model, Lenggang, Burgo, Mie Celor, bahkan Pindang Patin, tetap saja pempek yang terucap bila Palembang disebut.
“Aih wong kito galo, pasti bisa masak Pindang Patin dong ya.”
Pernah dengar kata-kata itu? Saya sih enggak. Deretan kata penuh keyakinan itu seperti mimpi yang tak pernah menjadi nyata untuk saya dengar. Karena sejatinya, pindang patin memang tidak mudah untuk menjadi identik sebagai Palembang.
Daerah lain yang menjadi tetangganya Sumsel seperti Lampung, Jambi, Bengkulu, bahkan Bangka dan Belitung yang dulunya menjadi bagian dari Sumsel, juga lumrah memasak pindang patin untuk keseharian atau pun dijadikan menu andalan di restoran.
Saat saya mencicipi pindang patin di daerah lain di luar Sumsel, beberapa orang yang saya jumpai mengklaim pindang Patin sebagai kuliner asli daerah mereka. Mau protes soal klaim itu? Mana bisa. Lagipula literasi saya tentang asal mula pindang patin itu sendiri masih sedikit.
Jadi, memang susah kalau saya berharap ada orang berkata begini di hadapan saya: “Wah kamu Palembang, kamu Pindang Patin!”
Tapi saya tidak pernah berhenti bermimpi. Seperti kata Ikal, mimpi adalah kunci. Kunci untuk dipandang sebagai orang Sumsel yang pacak masak Pindang Patin ala Palembang.
Aiih cak pacak nian ha ha ha.
Ada apa dengan Pindang Patin?
Pindang patin bagi saya adalah kebahagiaan yang senantiasa bersemayam indah dalam batin.
Dalam semangkuk pindang patin ada kenangan manis bersama nenek yang telah lama tiada, ada kehidupan sangat damai di masa lalu kala tiada beban yang menggelayuti, atau pun masalah yang menghampiri, dan ada tempat-tempat yang membuat saya mengalami banyak hal menyenangkan.
Saat menyeruput kuah pindang, saya merasakan ada bahagia yang mengaliri darah. Saat mengunyah daging ikan patin, ada sukacita yang menyeruak masuk ke dalam jiwa.
Pindang Patin Pada Tahun 80-an
Saya kenal pindang patin bukan sebagai masakan keseharian di rumah, melainkan masakan yang saya jumpai dikala liburan sekolah, di rumah nenek. Kala itu saya masih sekolah dasar, pada tahun 80-an.
Dulu saya tinggal di Pendopo, sebuah kota kecil di Sumatera Selatan, tempat para pegawai perusahaan tambang minyak tinggal.
Kota minyak itu punya pemandangan kilang jungkat-jungkit siang malam, tanki-tanki ukuran raksasa yang tingginya melebihi atap rumah, pipa-pipa besar dan panjang seolah gak berujung, para pegawai berseragam biru hitam, mobil-mobil dinas dengan logo perusahaan, jalan mulus beraspal di mana pun, gedung-gedung perkantoran, hingga raungan sirene kerja tiap jam 7 pagi dan 5 sore yang suaranya terdengar seantaro Pendopo.
Kala itu Pendopo adalah kota kecil serba modern dengan fasilitas serba ada, serta selalu sibuk.
Sementara bila ke rumah nenek, beda banget. Pemandangannya adalah hutan, kebun, sungai, jalanan yang minim lalu lalang kendaraan roda empat, serta suasana santai dan tenang saat siang maupun malam.
Maka, pengalaman terbaik yang saya dapat saat liburan sekolah adalah pergi ke rumah nenek, lalu pergi ke kebun. Ngapain aja di kebun?
Kebun Nenek, Taman Bermain Paling Menyenangkan
Saya jemu dengan suasana kota. Saya ingin melihat, merasakan dan mendengar hal berbeda yang tidak saya jumpai di keseharian. Itulah kenapa saya suka bila libur telah tiba, waktunya pergi ke rumah nenek, dan bermain di kebun.
Pada masanya, nenek kakek dari ibu maupun bapak adalah orang-orang yang mewarisi banyak tanah dari orang tuanya. Tanah-tanah di pemukiman nan ramai dijadikan tempat mendirikan rumah tinggal untuk anak-anaknya yang hampir selusin. Sementara tanah-tanah di pinggiran hingga luar desa ditanami aneka pohon buah, padi, hingga sayur mayur dan tanaman bumbu masak yang hasil panennya selalu berlimpah ruah. Nah, kebun-kebun itulah yang menjadi daya tarik untuk saya kunjungi saat libur sekolah.
Ratusan pohon duku berusia seratusan tahun yang masih berdiri tegap di antara puluhan pohon durian, manggis, rambutan, rambai, raman di kebun nenek, selalu membuat saya terpesona. Hamparan padi di ladang, pohon pepaya dan pisang dengan buahnya yang bergelantungan, aneka tanaman bumbu dan sayur mayur, seolah “sorga” nya makanan sehat.
Sementara itu, berhektar-hektar kebun karet menjadi sumber penghasilan yang menghidupi sampai lama.
Kebun nenek bagi saya adalah destinasi wisata paling indah! Jauh lebih memikat daripada taman ria di ibukota negara.
Nenek suka mengajak saya jalan kaki melewati semak-semak, alang-alang, pohon-pohon liar tinggi menjulang, padang rumput, bahkan menyeberangi sungai. Berjalan melewati itu semua membuat saya terbiasa melihat penampakan burung liar, tupai, kadal. Tak jarang berjumpa dengan ular dan biawak yang bikin saya menjerit ketakutan. Jeritan lebay yang acapkali mengagetkan para monyet di pepohonan.
Selain semua itu, masak dan makan di kebun adalah puncak kenikmatan dari kegiatan bersama nenek.
Memasak di Kebun Bersama Nenek
Inilah bagian paling menyenangkan dari pergi ke kebun bersama nenek. Yakni memasak.
Nenek masak di rumah itu hal biasa. Nenek ajak saya masak dan makan di kebun baru luar biasa. Luar biasanya karena saya diajak mengumpulkan bahan masakan langsung dari kebun. Bukan di pasar.
Beberapa menu sederhana yang pernah dimasak bersama nenek antara lain sayur bening katu campur jamur pisang (jamur putih yang tumbuh dekat akar pohon pisang), tumis jamur tikus (namanya aneh, tapi ini adalah jamur terenak yang pernah saya makan), sayur bening bayam, tumis jagung muda, tumis jantung pisang, ikan bakar, ikan pepes, sambal cong kediro, sambal terong ruso (cempokak), kecipir rebus, terong rebus, dan pastinya masak pindang patin.
Semua bahan itu diambil di kebun, kecuali bawang merah dan bawang putih, hasil belanja di pasar. Udara dan tanah di kebun nenek tidak cocok bertanam bawang. Sudah dicoba berkali-kali tetapi selalu gagal. Akhirnya belanja di pasar adalah jalan ninja mendapatkan bawang.
Kebun nenek berada di pinggir sungai. Ikannya diambil di sungai, hasil dari menjaring. Bukan hasil mancing, nembak, apalagi dengan cara diracun. Jaring ikan dibentangkan dalam air. Ikan-ikan yang melewatinya akan tersangkut di jaring. Biasanya jaring dibiarkan semalaman. Pagi hari ikan-ikan yang tersangkut dijaring diambil untuk dijadikan lauk makan.
Nenek sangat jarang masak ikan dengan cara digoreng. Seringkali hanya dipepes dan dipanggang. Nenek juga tidak menggunakan bumbu-bumbu instant. Tidak pula menggunakan micin. Nenek hanya mengandalkan garam sebagai penyedap rasa, ditambah sedikit gula aren untuk menyeimbangkan rasa.
Nenek juga sangat jarang masak menggunakan santan. Masakan bersantan hanya tersaji di hari raya, atau saat ada hajatan besar. Tanpa santan dan minyak, itulah cara sehat untuk hidup ala nenek.
Pondok di kebun nenek punya alat masak lengkap. Lengkap sebatas panci, wajan, spatula, ulekan, pisau, dan wadah-wadah untuk mengolah bahan baku dan bumbu. Bukan lengkap ala dapur restoran hotel gitu.
Kompornya berupa tungku besi dengan ranting mati sebagai bahan bakar. Biasanya diambil dari pohon-pohon yang dahannya patah dan jatuh ke tanah. Ada kompor minyak, tapi nenek tak pakai itu.
Bagian unik sekaligus seru dari masak pakai kayu saat membesarkan nyala api dengan cara ditiup. Saya beberapa kali mencobanya. Awal-awal mencoba bukan nyala api jadi membesar, malah abu di sekitar tungku jadi beterbangan. Akibatnya saya kelilipan. Muka pun sering belepotan kena arang. Nenek bukannya kasihan, malah terbahak. Mungkin karena tidak ada hal yang membahayakan dari hal itu.
Panci dan wajan nenek kebanyakan hitam pekat, gosong karena berkali-kali kena api. Tapi bagian dalamnya cemerlang, karena rajin dibersihkan.
“Luar pancinyo memang itam, tapi dalamnya bersih. Liat dalamnyo bae. Samo cak manusio, meski luarnya dak lemak dijingok, tapi hatinyo biso bae baek, dan sayang sama wong.”
Nenek berpetuah pada anak SD yang baru paham betul maknanya setelah melewati usia anak-anak.
Ikan Patin Bikin Pintar
Semua masakan nenek saya suka. Namun jika harus memilih salah satu, maka pindang patin adalah juaranya.
Mungkin karena pindang patin paling banyak menggunakan bahan dan bumbu, sehingga kuahnya lebih kaya rasa, dan itu membuat lidah saya lebih bergoyang kala menikmatinya.
Selain itu, saya memang sangat suka ikan.
Di lidah saya, daging ikan lebih manis dari pada daging ayam dan sapi. Lebih gurih ketika digoreng. Tak diberi bumbu apapun rasanya sudah enak. Tekstur daging ikan halus dan lunak sehingga mudah dikunyah.
Nah patin tuh aman banget dari tulang-tulang halus, bikin saya gak takut ketulangan.
Nenek saya berkata, “Makanlah ikan, supayo pintar.”
Kata-kata nenek laksana mantra. Sebab di sekolah, cucunya ini jadi siswi dengan ranking 1 melulu sejak SD hingga SMA. Sesekali saja berada di 3 besar, dan sesekali pernah pula menjadi juara umum dengan nilai tertinggi mengalahkan nilai kakak-kakak kelas.
Apakah itu semua bukti dari perkataan nenek? Atau hanya kebetulan?
Setelah saya menelusuri berbagai artikel terkait patin, ternyata patin adalah salah satu ikan yang dapat meningkatkan kecerdasan. Wow gak tuh?
Memasak Pindang Patin
Bumbu dasar pindang patin yang digunakan oleh nenek terdiri dari kunyit, lengkuas, serai, jahe, cabe, cong kediro, asam kandis, nanas, bawang merah, bawang putih, daun kemangi.
Semua bahan bumbu kecuali bawang putih dan bawang merah, tersedia di kebun. Tinggal ambil sesuai kebutuhan. Inilah tugas yang sangat saya nantikan: mengumpulkan bahan dan bumbu pindang dari kebun.
Seolah bermain, saya merasakan gembira ketika menggali kunyit, lengkuas, jahe, mencabut serai, memetik cabe, cong kediro, dan daun kemangi. Walaupun tangan belepotan tanah, badan keringatan, tapi hati senang tak terkira. Yang bikin tak senang itu bila bertemu cacing saat menggali. Bikin saya kejengkang, lalu ngibrit ke pondok mengadu pada nenek, seolah abis dibully oleh cacing.
Urusan memetik nanas dilakukan oleh nenek, karena duri daunnya tajam. Saya takut terluka. Jarang sih metik nanas. Karena kalau sudah ada kandis dan cong kediro, nenek tidak pakai nanas lagi.
Cong kediro itu sejenis tomat, bentuknya bulat, daging buahnya agak tebal dan lebih keras dari tomat cerry. Misalkan jatuh, atau dipencet, gak mudah pecah. Rasa asamnya lebih unik. Biasanya dijadikan sambal pakai terasi, campuran tumisan, dan juga pindang.
Meski sudah pakai cong kediro, asam kandis tetap dipakai. Ajaibnya, pohon kandis pun ada di kebun nenek. Tinggal petik lalu simpan sampai menjadi kering dan kehitaman, awet untuk dipakai hingga beberapa bulan ke depan. Nah yang dipakai masak adalah kandis yang sudah mengkerut hitam itu.
Selain cong kediro, nanas, dan asam kandis, nenek juga suka memasukkan belimbing wuluh dalam pindang. Buah ini pun ada di kebun, tinggal petik kalau dibutuhkan.
Rasa asam yang bervariasi pada pindang yang pedas terasa segar di mulut, mampu menggelorakan selera makan.
Semakin bergelora ketika nenek berulangkali menjelaskan manfaat bahan bumbu pindang.
“Kunyit itu biar dak sakit perut. Cong dan cabe biar dak mudah sariawan. Jahe dan serai biar dak masuk angin. Daun kemangi biar badanmu dak bau.”
Saya takjub dengan perkataan nenek. Penjelasannya sederhana, tapi mampu melahirkan rasa suka yang makin mendalam pada pindang. Setelah membaca buku, saya baru tahu kunyit itu bagus buat mengatasi masalah lambung. Cong dan cabe kaya vitamin C. Jahe dan serai itu bikin hangat perut.
Sebuah pengetahuan tentang kesehatan dari bahan bumbu pindang. Dalam bahasa sederhana seorang nenek, 40-an tahun yang lalu.
Cara Memasak Pindang Patin
Semua bahan diiris, bukan dihaluskan. Boleh saja dihaluskan, tapi nenek mengajari saya cara mudah: diiris saja. Mungkin biar praktis, ya.
Sependek pengalaman saya makan pindang di banyak tempat, jarang sekali melihat pindang dengan bumbu diiris. Kebanyakan dihaluskan. Diiris maupun dihaluskan, saya suka semuanya. Bedanya kalau dihaluskan tingkat kepekatan rasa bumbu jadi lebih nonjok di lidah.
Saya ceritakan versi diiris, sesuai yang biasa saya masak bersama nenek.
1. Panci diisi dengan air. Masukkan semua bahan yang telah diiris. Rebus sambil tambahkan garam dan sedikit gula aren untuk menyeimbangkan rasa. Yak, nenek saya pakai gula aren, bukan gula pasir. Misalkan gula aren habis, nenek menggantinya dengan kecap manis. Dari sanalah rasa sedap pindang makin kuat.
2. Setelah mendapatkan rasa yang pas, ikan dimasukkan dalam air rebusan, dimasak sampai matang. Cong kediro dimasukkan belakangan supaya tidak terlalu lembek. Begitupun dengan daun kemangi, dimasukkan setelah panci diangkat dari tungku, supaya tidak terlalu layu.
3. Pindang patin siap untuk dimakan.
Pindang ala nenek, patinnya tidak digoreng. Beda dengan ibu, biasanya patin digoreng dulu, baru dicemplungin ke pindang. Katanya biar gak terlalu amis.
Bagi saya penggemar ikan, terbiasa makan ikan, maka amis ikan tidak pernah menjadi masalah, tidak pernah mengganggu selera makan.
Memasak pindang ala nenek, terbawa terus sampai sekarang. Dan ternyata, resepnya sama dengan yang saya baca di situs-situs resep ternama. Bedanya pada cara mengolah bumbu dengan diiris atau dihaluskan.
Satu hal penting yang saya ketahui dari bahan dan bumbu pindang ala nenek, baik diiris atau dihaluskan, ternyata bisa digunakan sebagai bumbu pepes ikan. Keren sekali, satu bumbu bisa untuk dua jenis masakan.
|
Pelengkap makan Pindang Patin: Sambal Cong Kediro, Sambal Mangga Mentah, Ikan Seluang Goreng, lalapan |
Pelengkap Pindang Patin
“Makanlah sayur. Biar sehat dan kulitmu awet mudo”
Hellooow awet muda?? Anak SD diajak ngomong tentang awet muda, cuma manggut-manggut sambil membayangkan saat seusia nenek kulit tetap kencang tanpa keriput.
Hasilnya sekarang gimana? Badan saya sih yang awet muda, tetep kayak anak SD ha ha. Kulit? Wah biar orang lain yang menilai.
Neneklah yang membuat saya suka makan dengan aneka lalapan segar. “Pindang dak lengkap kalo dak pakai lalapan dan sambal.”
Saya dan nenek memetik kemangi, terong muda, jantung pisang, temu mentega, daun kencur, daun kunyit muda, bunga kunyit muda, dan kecipir. Semuanya dimakan mentah kecuali jantung pisang dan kecipir, direbus dulu.
Bertahun-tahun kemudian setelah saya dewasa dan hobi wisata kuliner ke berbagai kota dan daerah luar Sumsel, hanya restoran tertentu yang menyajikan pindang patin lengkap dengan lalapan seperti yang saya makan bersama nenek.
Di rumah makan tertentu di Palembang, Prabumulih, Muaraenim, Lahat, hingga Tanjungenim, lalapan itu masih mudah saya jumpai. Senang pastinya liat lalapan “langka” ada di rumah makan di kota-kota.
Kemangi di kebun nenek beda dengan kemangi yang saya beli di pasar-pasar di Jabodetabek. Kemangi nenek lebih pedas, lebih harum, lebih kuat rasa kemanginya.
Tak lengkap bila masak pindang patin tanpa sambal bukan? Nah sambal andalan nenek terbuat dari cong kediro matang yang sudah berwarna merah, dicampur cabe, terasi, dan sedikit garam. Itu saja bahannya. Sambalnya mentah, tidak dimasak/digoreng. Nikmatnya makan sambal cong kediro mentah itu luar biasa, tiada dua.
|
Sambal Cong Kediro |
Selain sambal cong kediro, nenek juga kadang menggantinya dengan sambal mangga muda. Dulu ada yang namanya buah kueni, sejenis mangga. Nah kueni ini yang dijadikan sambal.
Tentunya, yang membuat makan pindang patin di kebun menjadi luar biasa adalah tempat makannya. Yakni di kebun, dalam pondok yang dikelilingi aneka tanaman sejauh mata memandang. Kadang saat makan itu ada tetangga di kebun sebelah datang numpang pinjam korek api. Trus sama nenek ditawari makan, eh orangnya ikutan makan wkwk.
Kadang ada tetangga kebun sebelahnya lagi tiba-tiba melintas numpang lewat sambil bawa jerigen. Biasanya mau ambil air di sumur nenek. Sumur nenek memang terkenal bersih airnya. Jadi ada aja yang minta.
Pernah juga pas lagi makan ada babi grasak-grusuk di bawah pohon nangka di samping pondok, yang otomatis bikin nenek melesat sambil membawa kayu mengusir si babi sampai keluar kandang kebun. Saya bukannya membantu malah bersembunyi ke dalam pondok sambil mengintip nenek yang larinya sekencang atlit lari.
Pernah juga ketika sedang makan ada monyet menyerbu buah pisang di belakang pondok. Nenek pun heboh mengusir monyet itu pakai ketapel wkwk. Nenek saya laksana pendekar. Serba bisa mengatasi masalah tanpa masalah.
|
Lalapan: Jantung Pisang Rebus, Kemangi, Kacang Panjang, Kecipir, Petai |
Serba luar biasa memang makan pindang di kebun nenek. Termasuk nasi yang dimakan bersama pindang patin. Berasnya itu hasil kebun nenek sendiri. Yakni padi ladang. Sungguh petani berdikari, nggak perlu banyak belanja di pasar untuk kebutuhan makan sehari-hari.
MasyaAllah, ya.
Zaman itu rasanya serba ada dan sehat. Sayur dan buah yang ditanam dibesarkan tanpa pestisida. Hidup tenang jauh dari kecemasan, gak was-was dengan bahan pengawet makanan, karena memang gak ada yang perlu diawetkan. Apa yang hendak dimasak dan dimakan, langsung diambil dari kebun. Masih serba segar.
Pindang Patin di Batin
Perjalanan mencintai pindang patin bermula dari kebun. Sebuah hubungan sangat erat untuk kecintaan yang mendalam pada masakan pindang patin.
Nenek adalah inspirasi saya. Beliau sangat mencintai tanahnya. Dijadikannya kebun yang menghasilkan. Tempat ia merasa hidup dan bahagia. Dulu saya bercita-cita menjadi kaya punya banyak tanah seperti kakek nenek, lalu dijadikan kebun sayur dan buah, serta peternakan ikan maupun unggas.
Nenek dan kakek dari bapak juga sumber inspirasi saya. Mereka juga suka berkebun, meskipun tinggal di ibukota negara. Kakek yang di Ciputat menanami seluruh halaman rumahnya dengan tanaman buah, serta membuat kolam ikan besar berisi patin, mujair, nila, dan gurame. Nenek di Pasar Minggu punya tanah di Batu Layang Puncak Bogor, beliau bikin kebun sayur di sana, sembari memelihara ikan. Begitulah, di desa maupun di kota, nenek-nenek dan kakek-kakek saya memang jiwanya berkebun. Begitu pun saya.
Pindang patin tidak akan pernah menjadi istimewa jika nenek hanya memasaknya di dapur rumah, menghidangkannya di atas meja makan, dan saya tinggal menyantapnya di ruang makan tertutup.
Pindang patin menjadi istimewa karena di dalamnya tersimpan pengalaman berharga bersama nenek. Itu adalah bagian indah dari hidup saya, sebuah pengalaman yang sangat berharga.
Saat merasa sedih, kecewa, atau sakit, menyantap pindang patin mengingatkan saya pada masa kanak-kanak yang menyenangkan. Rasanya membawa kembali perasaan bahagia, tenang, dan memberikan dorongan untuk sembuh.
Pindang patin memiliki makna istimewa dalam batin saya. Ia mengubah cara pandang saya terhadap makna hidup dan membuat saya lebih menghargai segala yang Allah berikan."
“Aih wong kito galo, pacak masak pindang patin dong!”
=======================
Seluruh foto: Dokumentasi pribadi Katerina. S
Tulisan ini telah dimuat di buku Comfort Food Memoirs yang mendapatkan perhargaan bergengsi di ajang Gourmand World Cookbook Awards dalam acara megah Saudi Feast Food Festival di Riyadh pada 27-29 November 2023.