Nikmatnya Panen Duku di Kebun Sendiri: Rezeki yang Tak Ternilai

Lebaran tahun 2024 ini membawa sukacita yang mendalam bagi saya dan keluarga. Setelah menantikan dengan sabar, momen mudik kali ini menjadi spesial karena kami akhirnya dapat menikmati buah duku segar langsung dari kebun sendiri.

Bagi saya pribadi, pengalaman ini sungguh berarti, dapat merasakan kelezatan dan kesegaran buah duku yang dipetik dari pohon yang telah dirawat dengan penuh kasih sayang. Hal ini bisa dibilang menjadi kesempatan langka yang jarang terjadi buat keluarga saya, mengingat seringnya ketidaksesuaian antara waktu mudik dan masa panen.

Video kami saat panen buah duku dapat ditonton pada Reels berikut: 

Biasanya, saat duku mulai berbuah, saya hanya bisa memberikan instruksi kepada penjaga kebun untuk langsung menjualnya tanpa menunggu kehadiran saya. 

Ya, mau gimana lagi. Waktu mudik yang terbatas dan tidak selalu bersinggungan dengan masa panen sering menjadi hambatan. Saat saya memiliki kesempatan untuk pulang kampung, pohon duku belum menghasilkan buah. Sebaliknya, saat pohon duku berbuah lebat, saya tidak dapat meluangkan waktu untuk mudik.

Karena itulah, panen buah duku kali ini benar-benar menjadi berkah yang sangat berarti. Kami sekeluarga akhirnya dapat merasakan nikmatnya memanen buah duku langsung dari pohonnya saat momen mudik. 

Baca juga: Perjalanan Kami Mudik Lebaran 2024

Ini pohon duku yang kami panen. Salah satu dari sekian pohon yang berbuah tahun ini. 
 

Puncak masa panen duku di kebun kami berlangsung dari awal Maret hingga pertengahan bulan. Saya meminta penjaga kebun untuk mencari pohon yang berbuah paling belakangan dan menyisakan satu pohon tanpa dipanen buahnya. 

Alhamdulillah, permintaan saya dikabulkan. Ketika saya tiba di kebun, buah duku dari satu pohon yang sengaja disisakan untuk saya sedang matang-matangnya, meskipun banyak yang sudah jatuh karena sudah terlalu matang.

hasil panen

hasil panen

Teknik Panen Duku yang Unik

Kami hanya memanggil satu orang (dengan upah) untuk memanjat pohon dan memanen buah duku. 

Ada dua metode yang digunakan untuk memetik buah. Pertama, buah duku dipetik langsung, kemudian dimasukkan ke dalam ember. Ember tersebut kemudian diturunkan menggunakan tali. 

Metode kedua lebih menarik: dahan pohon duku digoyang-goyang sekuat mungkin. Pemanjat meloncat-loncat di dahan sambil berpegangan, sehingga buahnya rontok dan jatuh ke atas terpal yang sudah digelar di bawah pohon supaya tidak kotor kena tanah.

Pemetik buah duku sedang bekerja

Buah duku bergelantungan di pohon. (Foto ini buram karena SS dari video)

Terpal ini untuk menadah buah duku yang runtuh karena pohonnya digoyang-goyang oleh pemanjat. Supaya buah duku tidak kotor.

Pengalaman Panen Bersama Anak-anak

Alief tidak terlihat saat proses panen berlangsung. Hanya Aisyah, tapi itu pun sebentar. Mereka lebih memilih berdiam di pondok, duduk dekat perapian untuk menghindari gigitan nyamuk kebun yang cukup mengganggu.

Alief bahkan mengalami gatal-gatal karena terkena rumput dan semak – tipikal anak kota yang tidak terbiasa dengan kehidupan pedesaan yang penuh dengan elemen alam liar. 

Alief dan Aisyah tidak terlalu menyukai duku. Maksud saya, mereka mau makan duku, tapi tidak dengan antusiasme tinggi. Paling makan sebiji dua biji, berbeda dengan saya yang bisa menghabiskan sekantong 1 hingga 2 kilo duku hehe. Memang, duku itu bikin nagih karena rasanya yang manis dan segar. Tahu-tahu sudah habis banyak karena memang seenak itu.

Video ASMR kebun duku kami, di dalamnya ada penampakan pondok kayu di tengah kebon. 

Warisan dari Generasi ke Generasi

Saya merasa sangat bersyukur karena tidak perlu lagi menanam pohon duku dan durian, berkat warisan dari orang tua dan kakek kami yang telah menanamnya sejak lama. Umur pohon-pohon duku itu ada yang lebih dari 100 tahun. Tentunya ada banyak yang lebih muda dari itu.

Pohon-pohon yang berumur tua ditanam pada masa orang tua dari kakek saya. Saya menyebutnya puyang. Di masa lampau, puyang saya memiliki banyak tanah yang tersebar di suatu wilayah. Pada masa itu, tanah adalah harta berharga di tingkatan tertinggi. Berbeda dengan masa kini di mana orang berharta dilihat dari jumlah rumah mewah, mobil, perusahaan, dan tabungan emas. Orang tua zaman dulu diukur kekayaannya dari jumlah tanah yang dimiliki. Tanah-tanah itu ada yang dijadikan ladang, sawah, kebun buah, tempat peternakan sapi, ayam, kambing, angsa, bebek, itik, dan domba. Kebun pun dibagi lagi menjadi kebun karet, duku, durian, manggis, kelapa, cengkeh, pisang, pepaya, dan buah-buah lokal khas Sumatera. Hasil dari itu semua yang membuat orang di masa lampau bisa membangun rumah-rumah berukuran besar, bepergian jauh, merantau menempuh pendidikan, dan pergi haji dengan kapal yang berlayar selama berbulan-bulan. 

Puyang saya memiliki sedikit anak, salah satunya adalah kakek saya. Tidak heran kakek mewarisi banyak harta puyang. Namun, kakek saya memiliki banyak anak, sehingga harta yang banyak itu terbagi-bagi di generasi ayah saya. Ayah saya hanya punya saya, satu-satunya keturunan, alias anak tunggal. Jadi, semua milik ayah menjadi milik putrinya ini 😅

Kini, kami hanya perlu menikmati dan merawatnya agar generasi selanjutnya masih bisa mencicipi buah dari pohon-pohon yang sebagian sudah berusia ratusan tahun di bumi Sumatera Selatan ini.

Tiga pohon duku dan 1 pohon durian di latar belakang. Di sisi kanan kami adalah sungai yang permukaannya menghijau diselimuti kapu-kapu air, 

Pandangan Terhadap Pewaris Harta

Mengenai harta warisan, saya pernah membaca dan mendengar komentar miring dari beberapa orang yang ditujukan kepada para pewaris harta: 

  • Pertama, kekayaan dari warisan bukan hasil dari usaha atau kerja keras pribadi. Jadi ada pandangan bahwa pewaris tidak pantas merasa bangga dengan harta yang diterima secara cuma-cuma. 
  • Kedua, warisan sering dianggap sebagai keberuntungan lahir di keluarga kaya, bukan hasil prestasi atau usaha sendiri. Di mata beberapa orang lain, hal ini bisa menimbulkan persepsi ketidakadilan, terutama ketika ada yang harus bekerja keras untuk mendapatkan hal yang sama atau bahkan lebih sedikit. 
  • Masyarakat sering menghargai nilai kerja keras dan usaha pribadi. Orang yang berhasil karena usaha sendiri biasanya lebih dihormati. Jadi di sini, dari sudut pandangnya, orang yang hanya mengandalkan warisan gak perlu dihormati dan dihargai.

Padahal, saat si pewaris lahir, dia tidak tahu apakah dia akan mendapat warisan atau tidak, dan tidak tahu seperti apa warisan yang akan dia terima. Jika memang menjadi pewaris harta itu buruk, tentu ia tidak ingin terlahir sebagai pewaris. 

Lantas, jika kita menerima warisan, apakah seharusnya kita menolak dan mengabaikannya? Tentu tidak. Menurut saya pribadi, memiliki harta warisan bukanlah hal yang salah dan tidak perlu dipandang negatif.

Pewaris harta juga memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan warisan dengan bijak dan berdampak positif bagi masyarakat. Jika harta warisan digunakan dengan baik, misalnya untuk investasi yang menciptakan lapangan kerja atau donasi amal, pewaris tentu saja layak dihormati dan dihargai. Dalam hal ini, yang penting bukan hanya memiliki harta, tapi juga bagaimana harta tersebut digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jadi mari ubah cara pandang negatif terhadap pewaris. Karena semua hal tergantung siapa orangnya. Bukan soal warisannya.

Kebun di tepi sungai. Sungainya diselimuti kapu-kapu air. Ada banyak lintah di sungai tersebut.

Jalan setapak ini dibuat untuk memudahkan berkeliling dengan motor/sepeda. Karena di musim hujan, kebun ini becek, banyak hewat pacet, dan tidak nyaman untuk dilalui

Selain kebun duku dan durian, tanah kami juga ditanami karet, pisang, dan aneka tanaman lainnya
 

Harga Duku di BSD Serpong Bulan Maret-April 2024

Pada bulan Ramadan lalu, harga duku yang saya beli di Serpong bervariasi, mulai dari Rp10.000, Rp15.000, hingga Rp25.000 per kilogram. Harga yang cukup murah, bukan? 

Memang lebih mudah tinggal beli di pasar tanpa perlu pergi ke Sumatera Selatan. Namun, bagi saya, menikmati buah duku langsung dari kebun sendiri memberikan kepuasan yang berbeda.

Selain itu, jujur saja ada beda antara buah duku yang saya beli di Serpong dengan yang saya petik di kebun sendiri. Duku dari kebun saya buahnya lebih besar, manis, dan segar. 

Beli di Serpong dengan harga Rp10.000 gak boleh milih. Harga Rp15.000 buah kecil dicampur buah besar. Harga Rp25.000 boleh milih sendiri. Sedangkan di kebun sendiri, bebassss mau yang mana. 

Perjalanan Duku dari Kebun ke Pasar

Duku dari kebun kami biasanya dikemas dalam kotak kayu dan diangkut oleh beberapa truk ke pasar induk Kramatjati. Jadi, jika kamu pernah membeli duku dari pasar tersebut, mungkin saja duku tersebut berasal dari kebun kami di Sumatera Selatan.

Ukuran buah duku di kebun kami lebih besar dari buah duku yang pernah saya beli. Buah kecil dari pohon memang ada, tapi sebagian besar ukurannya besar-besar

Buah duku membusuk di tanah, rontok karena sudah terlalu matang.

Liburan di kebon sendiri, memperkenalkan anak-anak bahwa kelak mereka yang akan dapat giliran untuk merawat kebun dan seisinya ini

Semoga tahun depan bisa mudik lebaran lagi saat buah duku dan durian berbuah.

Menikmati hasil panen dari kebun sendiri adalah kebahagiaan yang tak ternilai. Meski tantangan dan rintangan sering kali datang, kepuasan yang dirasakan saat bisa merasakan langsung hasil jerih payah kebun sangatlah besar. Semoga keberkahan ini terus mengalir dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang, sebagaimana kami menikmatinya sekarang. 

Satu hal yang selalu saya doakan berulang kali adalah agar generasi saya berikutnya tidak mengikuti jejak orang lain yang menjual tanah-tanah warisan mereka ke perusahaan besar yang akan mengubahnya menjadi kebun tanaman penghasil minyak goreng.

Jika ingin melihat proses panen kami yang unik, silakan tonton video di atas dan rasakan kebahagiaan yang kami alami! Terima kasih telah membaca 💕

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »
Give us your opinion

Leave your message here, I will reply it soon!