Membongkar kenangan dalam album lama |
Cerita Rumah Besar Bermula Dari Sini
Bulan depan anak pertama saya akan berulang tahun ke-18. Tiap menjelang ultahnya, saya selalu terkenang masa-masa mengandung, melahirkan, dan masa kecilnya yang menggemaskan. Salah satu kebiasaan saya adalah membongkar album lama, kali ini untuk melihat ulang tahun pertamanya. Saat bongkar-bongkar album inilah sering tak sengaja menjumpai banyak foto lama. Di antaranya, foto-foto kala muda masih "zaman jahiliyah" 😅 Foto-foto yang seringkali bikin malu sendiri karena terlihat berbusana selalu terbuka. Itu sebabnya saya sangat jarang bercerita masa lalu pakai foto, karena banyak yang tak layak tampil di dunia maya. Selain itu, karena suami saya melarangnya.
Alhamdulillah di album foto ultah pertama Alief sudah berada di zaman tobatiyah (sudah berhijab), jadi tak perlu ditutupi dan ditahan-tahan 😁
Bongkar-bongkar album membuat saya terkenang pada banyak hal, salah satunya tentang Rumah Besar dari masa ke masa.
Kumpulan foto di hari ultah Alief ke-1 Alief di rumah kakek |
Alief di usia 1 tahun. Foto ini masih di acara ultah, abis makan-makan, lanjut renang-renang. |
Zaman belum ada kamera digital, setiap foto begitu berharga, dicetak dan disimpan rapi dalam album. (foto dari album ultah Alief ke-1) |
Foto-foto ini belum rusak, awet juga padahal sudah 17 tahun berlalu. Cetak di FUJIFILM memang sebagus itu hasilnya. (foto dari album ultah Alief ke-1) |
Ketemu foto saat muda dan masih berbusana terbuka 😅Ini foto di curup dekat villa kakek di Batu Layang. |
JAKARTA Tahun 1997 Atas: Foto di Taman Ria Senayan saat baru-baru buka. Bawah: Foto-foto di Dufan Ancol. Hobi banget foto dan difoto, dari dulu 😅 |
Ternyata ada gunanya juga rajin menyimpan foto dan menulis di tiap foto sedang dimana dan ngapain, biar sejarah diri tidak hilang oleh ingatan yang kelak akan memudar. Dulu saya serajin itu. |
Rumah Besar Dalam Kenangan
Pernahkah dalam doa sekali saja meminta agar Tuhan memberi kemampuan memiliki sebuah rumah yang besar?
Saya tidak tahu persis apa pernah berdoa meminta hal seperti itu. Jujur saya ragu apa pernah benar-benar menginginkan sebuah tempat tinggal yang luas, megah, bertingkat-tingkat, dan berlimpah barang mewah di dalamnya? Mungkinkah langit akan berguncang bila saya katakan tidak pernah? Hmm...
Saya hanya pernah tahu, ada pewajaran meminta hal-hal yang sifatnya material demi kebutuhan papan yang mapan, karenanya saya pernah mengutuki diri sendiri, "Munafik sekali kamu tidak ingin punya rumah besar!"
Namun, kutukan itu saya tarik lagi, bak penyihir yang menghentikan mantra jahatnya, karena ternyata hal yang dikutuki sungguh gak guna, malah menyerang diri sendiri dalam kesakitan dan penderitaan pikiran.
Berkelana dari rumah ke rumah Keluarga Besar
Terlahir tunggal dan yatim sejak usia 15 bulan (bapak saya meninggal karena sakit saat dirawat di sebuah RS di Palembang tahun 1980), saya pernah tinggal berpindah-pindah rumah dari keluarga yang satu ke keluarga yang lain.
Bukan karena ibu tidak sayang, lalu melepas saya kemana adik, kakak, om, tante, bapak/ibunya ibu mengajak saya tinggal, tapi karena Ibu ingin saya menjadi kuat dan mandiri. Ibu ingin saya melalui waktu demi waktu tanpa kesepian. Ibu ingin saya memiliki cerita hidup yang lebih berwarna dari banyak tempat dan orang-orang yang saya temui. Ibu ingin saya tidak menyesali keadaan, tapi bersyukur, bahwa saya bisa melanjutkan hidup dengan baik-baik saja walau tanpa bapak.
Maka, berkelanalah saya sejak kecil dari rumah ke rumah keluarga besar.
Rumah-Rumah Besar Keluarga Besar
Zaman nenek kakek dulu, mereka memiliki banyak anak. Rata-rata 8 sampai 10 anak. Mungkin itu salah satu alasan kenapa mereka membangun rumah besar berukuran luas. Bukan itu saja, bahkan mereka juga membangun rumah sesuai jumlah anak.
Saya sering kagum, betapa sejahtera orang zaman dulu, hidup mapan dan cukup meski punya banyak anak.
Bapak saya kebagian salah satu rumah milik kakek (sesuai wasiat yang diceritakan). Rumahnya berbentuk panggung, berbahan material full kayu yang telah berusia tua, tapi masih kokoh dan awet. Rumah besar yang bila kita teriak dari depan, nggak akan kedengaran oleh orang di dapur (letak dapur paling belakang) meski pakai toak, saking panjangnya. Bila ngepel manual dengan cara ngesot, perlu 2-3 hari dicicil baru selesai. Dapurnya saja seluas rumah yang saya tempati saat ini.
Jujur saya takut tinggal di rumah itu. Terlalu besar untuk segelintir penghuni. Warna kayunya kelam, sangat seram buat penakut seperti saya. Tapi, rumah itu penuh sejarah. Di sanalah bapak saya pernah ada, lahir, dibesarkan, dan dicintai keluarganya. Di sanalah saya menjadi pewaris yang berpuluh tahun kemudian abai pada rumah itu. Abai atau diabaikan, entah.
Rumah Besar Serba Ada di Kota Minyak
Semasa SD saya tinggal di rumah tante (adik ibu) di sebuah kota migas (minyak & gas) di Sumsel. Suami tante pegawai di perusahaan tambang milik pemerintah. Zaman itu Pak Soeharto sedang berkuasa, perusahaan itu pun berjaya. Pegawainya kala itu sungguh kaya dan dimanja. Mereka bergaji besar dan diberi tempat tinggal di lingkungan modern serba ada yang dibangun mewah.
Ada 2 bioskop yang film-filmnya bisa ditonton gratis kapan saja, namanya Bioskop P dan Bioskop A (alumni kota minyak tahun 80'an pasti tahu ini). Ada 2 kolam renang yang bisa digunakan gratis kapan saja. Ada sekolah gratis dengan gedung-gedung megah berfasilitas super lengkap. Namanya Sekolah YKPP, khusus anak pegawai perusahaan. Guru-gurunya didatangkan dari universitas-universitas ternama di Jawa. Pendidikan terbaik tersedia dari SD sampai SMA. Jangan tanya kegiatannya apa saja, lengkap! Dari pramuka, marching band, klub olahraga pelajar, sanggar tari, bahasa, dan lainnya. Asal siswanya pun beragam, dari Sabang sampai Bali. Yak, karena pegawai di sana juga berasal dari berbagai daerah.
Rumah tante besar. Semua fasilitas dalam rumah seperti gas untuk masak, air untuk keperluan apa saja, listrik, hingga sambungan telpon semuanya gratis. Anak-anaknya termasuk saya (yang diangkat anak, dimasukkan dalam daftar keluarga) bisa sekolah gratis. Layanan rumah sakit pun gratis. Gimana gak kaya coba pegawai zaman itu? Uang gaji cuma dipakai buat keperluan pribadi saja, yang lainnya gak perlu dibayar.
Saya tinggal dan menikmati semua kemewahan itu dengan tidak ada kurangnya.
Rumah Besar nan Mewah di Jakarta Selatan
Beberapa saudara kakek (dari bapak) sejak tahun 1950'an sudah banyak yang hijrah ke Jakarta. Mereka studi, bekerja, hingga berkeluarga dan menjadi warga DKI seutuhnya hingga cucu-cucunya. Saya kemudian pernah tinggal dengan salah duanya, tepatnya di Ciputat dan di Kalibata. Dulu Ciputat bagian dari Jaksel, bukan Tangsel seperti sekarang. Kala itu, jadi anak Jaksel ya biasa saja. Sekarang aja anak Jaksel disebut-sebut anak-anak yang wow.
Rumah kakek di Ciputat (beliau sudah almarhum) berhadapan dengan Asrama Putra IAIN. Pada masanya, kakek pernah memiliki jabatan tinggi di kepolisian. Rumahnya sangat besar, halamannya pun luas. Ada lapangan mini golf di bagian depan yang menyatu dengan taman. Ada area parkir yang bisa menampung 11 mobil. Ada kolam renang hampir berukuran olimpic. Ada kolam ikan seluas kolam renang. Rumahnya bertingkat dengan total 9 kamar tidur, 2 ruang tamu, 1 ruang keluarga, 1 ruang nonton, 1 ruang makan, kamar pembantu, 2 dapur (kering dan basah). Di rumah inilah saya pernah tinggal.
Selama tinggal di rumah itu, saya akui saya bermewah-mewah. Pergaulan pun tak hanya luas, tapi juga high class, dan agak bebas. Di masa kini, jauh setelah kakek tiada, rumah itu banyak direnovasi untuk usaha kos. Total ada 20 kamar. Taman dan lapangan golf, separuhnya sudah disulap jadi food court.
Saya juga sempat merasakan tinggal di rumah kakek Daniel (beliau juga sudah almarhum) di Kalibata. Rumahnya tak kalah besar dan megah. Punya banyak sekali kamar yang kala itu disewakan (kos). Dulu kebanyakan penghuni kosnya karyawan kantor pajak. Kamar-kamar di bawah khusus pria, dan kamar di atas khusus wanita. Alm kakek juga punya villa di Batu Layang, Bogor. Villa mewah berbentuk rumah panggung dengan kolam renang dari sumber mata air pegunungan, ada kebun sayur, dan ada kolam ikan yang ikannya boleh ditangkap untuk dijadikan lauk makan kapan pun bila ingin. Saya beberapa kali ke sana, liburan sama keluarga.
Banyak tinggal di Ciputat, sesekali di Kalibata. Begitulah saya kala itu, di usia remaja.
Rumah Besar Mertua
Perjalanan waktu kembali mengantar saya pada pengalaman tinggal di rumah besar berikutnya, yakni di rumah suami.
Keluarga suami tinggal di Depok, di komplek TNI AD. Meski sebutannya komplek tentara tapi perumahan di sana bukan seperti perumahan dinas yang diberikan gratis untuk ditempati sementara, melainkan rumah pribadi yang dimiliki permanen (beli sendiri bangun sendiri).
Rumah itu dibangun bertahap oleh bapak dan ibu, sampai akhirnya besar dan bertingkat dengan total kamar tidur ada 6. Saya menjadi istri dari anak pertama dan laki-laki satunya di rumah itu. Otomatis saya menjadi bagian dari isi rumah itu. Meskipun kemudian saya dan suami akhirnya tidak tinggal di sana karena suami mengajak tinggal di rumah yang ia beli sendiri.
Hal-hal di belakang, seringkali melatari cara pandang di depan
Kembali ke pertanyaan di awal, "Pernahkah dalam doa sekali saja meminta agar Tuhan memberi kemampuan memiliki sebuah rumah yang besar?"
Lama hidup serba enak dari rumah besar yang satu ke rumah besar lainnya, kebanyakan membuat orang jadi menginginkan hal yang sama, ingin punya rumah besar yang bisa dimiliki sendiri. Tapi saya justru sebaliknya, keinginan itu telah samar, perlahan menghilang dengan sendirinya.
Inikah yang dinamakan mati rasa?
Padahal yang berpunya itu om, tante, dan kakek-kakek saya. Saya ini apalah, tak punya apa-apa. Cuma numpang mereka, kala itu. Cuma menumpang? Apa yang salah dengan menumpang?
Meski menumpang, saya telah puas, saya telah kenyang dengan apa yang membuat orang lain tergiur dan menginginkannya.
TELAH, sebuah kata yang secara psikologis membuat diri saya tak lagi bernafsu terhadap hal serupa. "Buat apa lagi, saya sudah coba dan rasakan semua itu." Secara jumawa, kira-kira seperti itu. Jumawa? Oh, cobalah lihat dari sudut pandang lain, bukan serta merta melabeli jumawa. Karena kisah tiap orang berbeda, maka beda pula cara pandang terhadap sesuatu.
Baca juga: 5 Tips Memilih Rumah Murah di Jakarta Pusat
Dalam kaitannya dengan pengalaman tinggal di rumah besar, kata telah memang pada akhirnya mengantar saya pada cara pandang berbeda tentang apa yang dimaksud rumah besar sesungguhnya.
Sebuah rumah yang dibeli oleh suami sejak awal menikah, ukurannya kecil saja, tetapi ada jutaan hal-hal besar di dalamnya yang tak pernah membuat saya berpindah-pindah lagi. Di situ saya menetap dan mengalami berbagai peristiwa dalam hidup.
Dari waktu ke waktu, seiring usia, setelah ditempa berbagai pelajaran hidup, ada hal yang kian hari kian saya sadari:
Hal-hal besar bisa dijumpai dari rumah kecil yang tenang dan dipenuhi oleh jiwa-jiwa yang bersyukur, yang selalu dekat dengan Tuhan.
Wuih cerita rumah-rumah besarnya luar biasa....ngebayangin rumah yang punya lapangan golf pribadi dan kolam renang ukuran olimpic kebayang mewahnya deh hehe....
BalasHapusHaha hanya mini golf kok mbak, bukan seluas lapangan golf yang di luar sana. Entahlah kenapa kakek saya bikin lap golf di rumah, padahal mainnya di lap golf Pondok Indah yang cukup dekat dari Ciputat. Ga jauh2 amat kalau lagi pingin main ya kan. Mungkin sayang liat halaman depan kosong cuma jadi taman doang 😁 Tapi sejak kakek meninggal udah ga ada lagi lap golf nya. Ga dirawat. Udah jadi food court buat anak kos
HapusPengalaman mbak mirip deh dengan saya. Pengalaman tinggal di rumah nenek dan rumah orang tua yang besar justru membuat saya ingin tinggal di rumah yang lebih kecil. Alasan saya sih, saat anak-anak dewasa, kemungkinan besar mereka akan keluar dari rumah. Kini di rumah orang tua saya banyak kamar kosong yang enggak digunakan, rasanya mubazir dan jadi agak horor juga,hehe.
BalasHapusIya ya mbak, akhirnya rumah sepi karena semua sudah berkeluarga dan pindah. Rumah besar jadi terasa kosong dan dingin.
HapusKalau dari cerita keluarga kami yang tua-tua, dulu mereka memang suka mengumpulkan sanak saudara, kumpul dan makan-makan, makanya suka bikin rumah besar-besar biar muat banyak. Mungkin karena dulu tradisi kumpulnya tinggi ya.
Rumah besar, pada akhirnya akan kembali sepi karena anak-anak telah memiliki keluarga sendiri. Kecuali diantara mereka ada yang bersedia mengisi dan mendampingi.
BalasHapusBetul bang, yang terjadi seringkali seperti itu.
HapusSaya seakan membaca sebuah dongeng seorang putri yang diidam-idamkan setiap pembacanya, Mbak. Karena nggak semua orang bisa merasakan hal serupa. Meski pada akhirnya tetaplah, rumah hasil jerih payah sendiri yang akan menjadi labuhan. Entah itu besar atau kecil, jika penuh dengan "kehangatan" pasti akan terasa nyaman.
BalasHapusMba Rien,
BalasHapusBaca cerita ini kok aku jadi inget Bob Sadino ya?
Beliau tuh kayak udah puas/ngerasa cukup/content dgn hal2 mewah yg ia punya dalam hidup.
trus, beliau ke mana2 kan nyantai gitu, pakai celana pendek/ eksentrik ya.
Kayakk udah selesai dgn urusan duniawi gitu lhooo.
dan yg beliau cari adalah hati yg adem, pengin berbagi, ga tau aku kok ngerasa vibes artikel ini miriiippp bgt ama Bob Sadino :D
Kalau saya lebih suka rumah minimalis, setiap kali liat rumah besar, mental pembokatku malah mikirin, itu susah banget bersihinnya hahaha.
BalasHapusKalau rumah minimalis, semua barang juga minimalis, jadi lebih mudah dirapiin dan dibersihkan :)
Kalau rumah besar, kadang bermanfaat juga sih sebenarnya, kayak rumah mertua saya, kamarnya banyak, karena anaknya banyak, setelah semua nikah, kamar-kamarnya dijadiin kos-kosan, lumayan buat pemasukan :)
Kalau saya pernah bilang beberapa kali ke suami pengen punya rumah besar. Tetapi, dia selalu jawab, "Nanti capek ngepelnya kalau kebesaran." Hahaha.
BalasHapusYa bener juga, sih. Setelah kami tinggal di rumah sendiri yang selalu menyapu dan mengepel tuh suami. Saya ngerjain yang lain :D
ternyata rumah besar yang dimaksud dalam judul ...... ^^
BalasHapussejak lahir hingga lulus SMA saya juga tinggal di rumah besar milik orang Belanda yang meninggal di situ, dijadikan rumah jompo sehingga banyak yang meninggal di situ juga
rumahnya mirip rumah sakit tempo dulu yang banyak lorong (ke dapur, ke kamar mandi) dengan pekarangan di kiri kanan.
Dulu mah takut banget.
Hikmahnya sekarang gak mudah takut karena pernah tinggal di "rumah hantu" :D :D
Rumah peninggalan nenek yang aq tempati ini menurut aq cukup luas kak (biarpun nggak sebesar rumah seperti yang diceritakan kak Rien) rumah aq ini agak lapang, trus halamannya juga lumayan luas tapi yang bikin capek itu pas bersih2 rasanya kayak gak kelar2. Dan jaman sekarang udah agak susah nyari rumah yang besar karena rerata udah dibagi2 ke anak2nya
BalasHapusBanyak hikmah yang bisa di petik
BalasHapusdan di syukuri dari keputusan orang tua yang melepas Kita untuk melakukan hal lain ya mbak
Sebuah perjalanan menyenangkan mengingat memori masa lalu dengan keluarga besar
BalasHapusSaya pernah sih meminta dan terus meminta punya rumah yang besar agar bisa memiliki halaman luas dan banyak ruangan untuk anak-anak yang membutuhkan belajar di dalamnya mengisi rumah yang besar semakin ramai. Berhubung saya pun hanya dua bersaudara sehingga tidak terlalu ramai maka seru jika punya rumah besar. Kayaknya rumah besar dengan keluarga besar pun menyenangkan sekali ya sehingga bisa menciptakan moment menggembirakan bersama-sama.
BalasHapusWajar memang kalau mimpi tinggal dan punya rumah besar. Rumah orang-orang dulu memang kebanyakan besar dan luas-luas. Ya, sama dengan rumah mertua Mba Katerina. Kamarnya ada 6. Itu rumah kakek saya dari mama saya. Ya, gimana gak banyak dan besar. Punya anak 8 orang. Hahaha
BalasHapusDan ya, saya juga bermimpi pengen punya rumah besar. Pembuatannya ya tentu bertahap. Insya Allah mulai dari dua kamar dulu.
Terus impian banget itu dapurnya yang luas. 🤣🤣
Saya berada di rumah besar kadang merasa kesepian misal lagi di rumah mertua karena hanya ada orang dewasa saja. Memang kehadiran anak kecil membuat rumah besar selalu ramai begitu sudah pada besar, kok jadi kesepiaann gitu ya
BalasHapusDulu juga pas kecil, rumah besar yang dipunya itu rumah kakek-nenek dari ibu. Setiap lebaran pasti keluarga besar ngumpul di sana. Atau bahkan saya suka sengaja mampir pas pulang sekolah.
BalasHapusSetelah keduanya meninggal, nyatanya rumah besar itu malah jadi rebutan. Dan sempat merenggangkan silaturahim antar keluarga.
Saya yang kecil waktu itu pernah bermimpi punya rumah besar, sampai sekarang tetap bermimpi. Heheh. Tapi yang terpenting, kehangatan di dalamnya bersama keluarga tersayang yang nggak ternilai.
Kalau aku dulu mimpinya rumah kecil tapi halaman luas kak.. Karena seneng brkebun dn miara binatang.. tapi belum kesampean Dan gk ngoyo... bersyukur dgn yg Ada sekarang.. suka bangt sama kalimat terakhir nya Hal-hal besar bisa dijumpai dari rumah kecil yang tenang dan dipenuhi oleh jiwa-jiwa yang bersyukur, yang selalu dekat dengan Tuhan.
BalasHapusLuar biasa baca cerita rumah besar yang pernah ditempati, walau merasa menumpang tapi insyaallah sudah tau nikmatnya ya mbak. Rumah ayahku dulu juga besar, tapi menjelang pensiun malah kelelahan sendiri ngurusnya, sampe aku pun berdoa dalam hati, pengen rumah yang kecil aja ketika nikah nanti, biar gak capek.
BalasHapusTerkabul, dan sekarang malah kepengen lebih gede, soalnya malah sumpek kebanyakan barang hehe. Ahh begitulah, dinikmati aja, biarin berantakan karena anak masih kecil, nanti juga kalo mereka gede rumah kecil ini pun akan sunyi
Rumahnya mbak Rien yang sekarang selain besar, asri, Dan sangat hangat Karena diisi dengan keluarga yang penuh dengan kasih sayang... ♥️♥️
BalasHapusButuh satu keberanian khusus untuk menulis perjalanan hidup seperti ini. Banyak cerita yang sesungguhnya bisa saja tidak bisa tertuliskan tapi tetap tersimpan dalam sanubari. Dah berderet keinginan untuk membuat dan mengurai sekian banyak kenangan tentang pribadi untuk di blog sendiri, tapi tak pernah terwujudkan. Padahal terkadang perlu juga meninggalkan diary jika ingin blog kita juga berfungsi sebagai legacy.
BalasHapusDi part terakhir pas mami erin bilang sudah bosan tinggal di rumah besar, disitu aku merasa sedih...
BalasHapusJiwa "misquinn" bergejolak..
Bisa2nya ada yg bosen dan mati rasa tinggal di rumah besar 😭
Makin dilanjut baca baru sadar
"Hal-hal besar bisa dijumpai dari rumah kecil yang tenang dan dipenuhi oleh jiwa-jiwa yang bersyukur, yang selalu dekat dengan Tuhan."
Fix rumahku yang sempit dengan banyak umat ini terbaik dan sangat "besar" jasanya buat aku dan adik2ku yg sekarang selesai s2 semua... 👍😭
Apapun rumahnya, dia adalah tempat yang membuat hangat seisinya, dan berkumpulnya kebahagian menjadi satu. Jadi bersyukur memiliki rumah meski mungkin mungil, yang penting happy family ya
BalasHapusaku menikmati setiap cerita rumah besar yang mbak tulis disini
BalasHapuswah apalagi yang ada kolam renang dan lapangan golf, kebayang besarnya
tinggal di rumah besar emang enaknya rame rame ya mbak
klo keluarga kecil , enaknya rumah yang g terlalu besar
tapi berapapun ukurannya, yang penting bisa punya rumah sendiri ya mbak, yang bisa selalu hangat saat pulang
Hal-hal besar bisa dijumpai dari rumah kecil yang tenang dan dipenuhi oleh jiwa-jiwa yang bersyukur, yang selalu dekat dengan Tuhan.
BalasHapusMantaabbb mba Rien!
Quote of the day banget ini mahh
Makasii sharing-nya
Buka buka foto lama tuh bikin banjir kenangan ya mbaaaaa.. rumah besar tuh emang asik bangeeeet.. kaya, nggak akan bosen walaupun cuma dirumah aja. Hihi. Tapi ttp apapun rumahnya, selama semua keluarga berkumpul, ttp bisa disebut rumah yaaa
BalasHapusMengenang rumah2 yg pernah kutinggali, tersebar di 3 kota
BalasHapusAlhamdulillah meski bukan rumah2 besar namun semyanya oenuh kehangatan.. Trmksh sudah berbagi kenangan ini Mba..
Ukuran memang bukan segalanya ya kak.. yang penting isinya...Rumah maksudnya hehe.. Sebesar apa pun kalau kitanya isi dengan hal-hal baik dan pinter ngaturnya insyaallah kerasa nyaman.. dan kenyamanan itu penting banget.. Besar ukuran kalo melompong penghuninya cuek2an di kamar masing2..ya gak asik juga sih..
BalasHapusOiya aku juga masih punya tuh koleksi foto hasil cuci cetak jaman kamera manual.. kalo inget betapa hati-hatinya kita buat berfoto ya.. gak bisa jor2an macam sekarang..haha
luar biasa. Perjalanan hidup yang tak akan dilupakan. Kalau dihitung udah berapa kali coba pindah ke berbagai rumah hahaha. Saya juga alhamdulillah sekarang masih menetap di rumah yang sama, rumah orang tua. Walaupun kecil, tetapi hatilah yang membuatnya besar. Kenapaaa dirimu bisa buat cerita gini mba, aku nyoba susah banget mengingat masa masa dulu
BalasHapusMembacanya dari awal, saya mengenang tahun 80-an dan rumah-rumah besar milik keluarga yang pernah saya lihat. Rumah orang tua saya dulu kecil lalu besar tapi tak sampai ada kolam renang dan bisa 1-2 jam membersihkannya sesuai kemauan ibu saya :D
BalasHapusTapi rasanya kok terlalu besar karena saya malah membayangkan bahwa rumah seharusnya adalh tempat yang bisa menyamankan meski misalnya saya hanya tinggal berdua dengan suami atau hanya tinggal berdua dengan salah satu anak.
Membacanya sampai tuntas membuat saya semakin kenal mba Rien, saya pun sudah difase "Telah" jadi sudah tidak tergiur yang masih dikejar sama banyak orang. Suka banget, kata di foto bahwa rumah yang dibangun dengan syukur dan didalamnya hangat oleh kasih sayang. Semoga selalu berbahagia ya mbakku..
BalasHapusPerjalanan Rumah besarku aku alamin juga sewaktu tinggal dengan mertua. Tapi 1x cukup tau, kalau hal-hal besar bisa ttp dinikmati di rumah yg sederhana, rumah kami sendiri. Thanks for sharing mba, ceritanya ikut membuat saya berkelana mengingat2 keluarga sendiri hehehe
BalasHapusMbak, saya dulu sempat sekolah SD YKPP. Apakah mbak sama dengan saya, tinggal di Pendopo Muara Enim? Nonton, berenang, nonton tenis di PESOS? Saya tinggal di tebing atmojo mbak.
BalasHapusSaya pernah tinggal di rumah besar juga. Ya, meski mungkin tidak sebesar rumah-rumah besar yang diceritakan oleh mbak. Namun cukup besar untuk ukuran orang sekarang lah. Lengkap dengan kendaraan pribadi yang sering berganti-ganti, tak pernah kekurangan sedikit pun. Namun saya merasa kering. Saya kehilangan makna cinta di rumah itu.
BalasHapusHingga suatu hari saya pernah berdoa pada Allah, "Buat apa rumah besar dan mobil jika tidak ada cinta yang saya rasakan. Saya mau kehidupan yang biasa saja, tapi penuh cinta."
Dan sekarang, here I am. Tingggal di sebuah rumah sederhana, yang kalau kata orang baru masuk sudah ke luar lagi. Namun saya bahagia, saya punya keluarga kecil yang menyenangkan. Rumah besar itu bukan rumah yang luas dan banyak ruangan, buat saya rumah besar adalah rumah yang penuh rasa cinta hingga mampu memberikan cinta dan kenyamanan pada semua penghuni di dalamnya.
Ngebayangin rumahnya luasnya kayak istana duuh..jangan-jangan pernah kesasar juga mbak, mau ke dapur nyasar ke ruang keluarga hehehe
BalasHapusKalau lihat rumah orang kaya yang besar-besar gitu pasti merasa kagum dan takjub saya gimana caranya mereka bisa sekaya itu. Hihi. Cuma kalau saya kayaknya lebih memilih rumah yang nggak terlalu besar aja soalnya berasa banget pas tua ntar rumah besar itu bakal kosong karena anggota keluarganya bakalan keluar satu per satu
BalasHapusPas baca "Rumah Besar" jiwa monetizeku bergejolak.
BalasHapus"Pasti CP lagi nih, promo perumahan".
Ternyata eh ternyata, aku salah! Hahaha.
Perjalanan hidupku justru kebalikan dari kisah "rumah besar" Mba Rien.
Iya, sepanjang hidupku, sejak lahir hingga sekarang aku belum pernah tinggal di rumah besar.
Aku terlahir dari keluarga sangat-sangat sederhana.
Mamak, guru SD dan Ayahku tukang beca motor di kota sejuk Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Sejak kecil Mamak selalu menanamkan mantra:
"... mamak tidak punya apa-apa untuk diwariskan, tapi mamak akan menyekolahkan kalian semampu yang mamak bisa, setinggi-tingginya, akan mamak usahakan!"
Alhamdullillah dengan lilitan utang di sana-sini (pinjaman bank menggunakan SK guru) kami berempat buah hati mamak, mampu mencicipi jenjang S-1.
Alhamdullillah.
Terlahir dari keluarga sederhana juga mengajariku sekaligus menempaku menjadi pribadi pekerja keras, fight personality, menghargai "uang" dan emosionil.
Emosionil maksudnya, gampang terenyuh jika berhadapan dengan hal-hal yang erat dengan kemiskinan, kesederhanaan serta perjuangan.
Because, you know, been there alias BT.
Mencapai puncak kegetiran saat becak Ayah dicuri, kami sekeluarga pernah makan hanya dengan garam dan aku bareng adik-adik mencari kayu bakar ke hutan.
Last but not least,
Aku juga setuju pakai banget dengan "closing"nya:
"... hal-hal besar bisa dijumpai dari rumah kecil yang tenang dan dipenuhi oleh jiwa-jiwa yang bersyukur, yang selalu dekat dengan Tuhan".
Bersyukur!
Kata yang sangat dalam maknanya!
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang pandai bersyukur ya.
Aaamiin Ya Robbalalaamiin.
Dulu orang tua saya juga mengeluh ketika melihat kami yang uwel-uwelan sebab rumah gak besar, setelah tumbuh besar, pada keluar rumah, rumah ortu jadi lega, emak saya kadang kesepian, banyak ruangan gak terpakai. jadi saya bilang ke suami, gak mau rumah gede, tapi cukup fungsikan ruangan dengan maksimal saja dan ada area terbuka untuk melakukan banyak aktivitas
BalasHapusSoal rumah besar, rumah mama papaku yang sekarang cukup lah ukurannya sekitar 200 meter berlantai dua dengan luas tanah 1000 m2 dan ada empangnya. Rumahku yang sekarang 150/180 m2 alhamdulillaah. Padahal duluu pertama kali melihat rumah ini dan dibeli, kok rasanya kecil banget ya hehehe. Ada lagi rumah (villa sih lebih cocok sebutannya) mertua alm & almh yang sudah terjual di Cigadog, luas tanahnya 4000 m2 lengkap dengan macam2 plus kolam renang.
BalasHapusKalau dipikir2, memang enak dan nyaman tinggal di rumah besar. Yang penting ada pembantu atau siapa saja yang mau mengurus rumah. Paling pusing saat ART mudik, semua dikerjakan bersama hahaha itung2 olahraga ya. Aku kepengen punya rumah masa depan hingga tua nanti yang ukurannya biasa aja tapi luas tanahnya, bisa muat mobil2 anak2 dan cucu aamiin. Perabotan minimalis, mudah, nyaman, pokoknya ga menyusahkan.
Btw AL Fatihah ya buat alm papa mbak Rien :) Peluk jauh. Jadi tau kisah masa kecil tanpa kehadiran bapak :) Rumah masa depan kita sebenarnya 1x2, bukan? :)
nyadar gak sih, setiap orang pasti punya pengalaman pindah2 rumah? dan itu jadi kenangan manis untuk kita di hari tua nanti.
BalasHapusBeberapa x merasakan tinggal di rumah yg luas tapi punya orangtua tapi aku malah ga kepengen si punya rumah luas. Aku pengen rumah yg ga terlalu luas tapi punya halaman belakang yg luas dan lebar supaya anak2 bisa main2 di luar kami bisa camping di halaman belakang. Belum kesampean si apalagi tanah di semarang juga terbatas dan mahal harganya. Ya semoga aja suatu hari nanti kesampean punya rumah yg luas halamannya mungkin anak2 ga bisa menikmati tapi insyaallah cucu2 bisa hehhehe...
BalasHapusSelain tentang rumah besar, inspirasi lain yang saya dapat dari postingan ini adalah pentingnya menjaga silaturahmi dengan keluarga. Di masa kecil Mbak Katerina pindah dari satu rumah ke rumah lain, tentu karena hubungan kekeluargaannya baik ya, Mbak
BalasHapusPerjalanan tinggal dan merantau Mba Rien sungguh luar biasa, pasti menghasilkan pengalaman hidup yang juga luar biasa. Aku sendiri sama dengan impian Mba Rien sekarang, hanya memimpikan untuk memiliki rumah yang cukup untuk keluarga kecil kami namun penuh dengan kehangatan. Barakallah fiikum Mba.
BalasHapusSering pindah rumah memang menjadi cerita dan pengalaman tersendiri ya, Mbak. Banyak cerita, apalagi rumah yang ditinggali merupakan rumah besar, yang mana impian sebagian besar orang.
BalasHapusAlhamdulillah pernah tinggal di rumah besar. Dan sekarang, yang penting memiliki rumah dengan penuh kehangatan dan harmonis. Bahagianya. 💞💞💞
Btw, masih nyimpen foto-foto jadul yang keren dan penuh makna. Love it.
Masya Alloh. Ini betul2 berkelana dan mendapat banyak pengetahuan ya, Mbak. Dari kecil memang sudah terlatih mandiri. Salut.
BalasHapusSekarang juga hidup bahagia dg keluarga. Sehat2, Mbaak.
sumpah keren sih postingan ini
BalasHapusbetapa bahagianya mencapai impian
dulu ak pengen punya rumah yang besar dan halaman luas, tapi....................
Ya Allah, membaca ini, saya merasa tertohok.
BalasHapusTidak lain karena rasa syukur yang harus kita munculkan, seberapa besar pun rumah yang kita punya.
Ketika ada yang bilang bahwa rumah adalah tempat dimana kita menikmati segalanya, dari artikel ini, saya merasakan bahwa kalimat ini benar adanya.
Kalau aku pengen rumahku direnovasi Mbak Rien biar anak-anak bisa punya kamar tidur sendiri, semoga ada rezekinya aamiin, Alhamdulillah ya pengalaman berharga saat masih kecil bikin Mbak Rien menjadi lebih dewasa dan lebih bijak saat ini..rasa syukur yang dalam itu kunci kebahagiaan hidup ya..
BalasHapusMembayangkan rumah kayu peninggalan almarhum Ayah Mbak Rien, saya jadi teringat rumah kecil almarhum ayah saya yang juga besar, tinggi dan panjang. Dulu sampai bisa main bola di dalam rumah saking luasnya ruang tamu dari rumah yang bergaya joglo itu. Saya dan keluarga sempat tinggal sampai 10 tahun di rumah itu sampai akhirnya pindah di rumah yang sekarang. Tinggal di rumah besar menurut saya ada suka dukanya. Sukanya sih, jelas karena lega. Dukanya kalau bersih-bersih atau renovasi beneran bikin menjerit. Sekarang tinggal di Jakarta dengan rumah kecil dua lantai. Kalau impian memiliki rumah besar kayaknya udah enggak ada, tapi saya masih bermimpi punya taman di depan dan kebun di belakang rumah. Bangunan rumahnya sedengan aja deh, lahannya aja yang digedein, hehe
BalasHapusMbaa..aku langsung nyesek baca ayahanda meninggal sejak 15 bulan :( lalu berkelana ya mba alhamdulilah saudara2 mba mau menerima loh diizinkan tinggal di rumah :) btw rumahnya beneran besar ya mba sampe 20 kamar dan dijadikan lap golf mantul sekali :)
BalasHapusMasya Allah.. aku terharu baca bagian paling akhir, Mbak Rien. Enggak semua orang bisa seperti mbak Rien. Ada orang yang telah menikmati kehidupan yang enak di masa lalu tapi belum milik sendiri, maka ketika menikah seperti balas dendam, pengin memiliki yang lebih dari yang telah dinikmatinya dulu, karena sekarang lebih mampu mewujudkannya.
BalasHapusSemoga selalu bahagia, sakinah mawaddah wa rahmah bersama suami (dan anak-anak) di rumah yang penuh syukur saat ini ya, Mbak. Aamiin.
Kak Rieen..
BalasHapusSuka banget.
"Ada jutaan hal-hal besar di dalamnya yang tak pernah membuat saya berpindah-pindah lagi."
Rumah besar ataupun kecil, yang penting nyaman dan senantiasa menjadi tempat berpulang yang diidamkan oleh masing-masing penghuninya.
kalau diberi besar sama Allah, mashaAllah~
Kalau diberi sederhana, in syaa Allah ada kenikmatan dan kehangatan di dalamnya.
Barakallahu fiikum, kak Rien.
Tertarik banget buat liat rumah yang di Jakarta Selatan kayak gimana Mak. Jujur kalo lapangan golf saya baru mampir ke Hyatt sama Bandara Adisucipto punya ahaha. Tapi ngomongin soal rumah, pengen banget rasanya untuk bisa segera renovasi rumah orang tua yang sekarang. Mungkin setelah menikah, saya akan tinggal 3-5 tahun bersama orang tua dan selanjutnya mencoba merantau. Tapi kalau sudah pensiun, saya tetep pengen balik ke rumah orang tua karena alasan kenyamanan. Lingkungannya masih asri dan tetangga pun minim drama. Semoga suatu hari nanti ada rejeki untuk bisa mewujudkan cita-cita renovasi ini. Amiiin.
BalasHapusSeru yaa pindah2 rumah gt dari kecil. Temennya jg pasti jadi banyak banget ya Mbak.
BalasHapusSaya waktu kecil tinggal di rumah yg sedang, lalu mulai pindah saat remaja. Rumah besar membuat beberapa hal menyenangkan tp ada nggaknya.
Skrg masih di rumah besar, malah capek sendiri kalau beres2. Karena sekarang no art sama sekali, hahaha
Aku sama sekali jadi rindu dengan rumah besar nenek. Aku masih ingat dulu waktu kecil pasti semua muat di rumah besar itu, apalagi nenek anaknya 9. Kalau kumpul sudah ramai dan rumah besar itu selalu jadi kenangan karena semuanya sudah berpencar kemana mana
BalasHapusMasyaAllah mba Rien, membuat saya belajar banyak hal
BalasHapusSaya malah nggak pernah tinggal di rumah besar kecuali milik majikan pas kerja di Hongkong hehehe, tapi saya bahagia. Rumah kontrak dan berpindah terus nih mba, tapi sejak nikah ikut suami tinggal ama mertua ngurus beliau2. Terima kasih atas kenangan dan kehangantannya mba.