Penglipuran Bali - Berkunjung ke Desa Adat Penglipuran adalah menyaksikan kemolekan lain yang tersimpan di Pulau Dewata. Desa tradisional yang sejuk ini memiliki cerita sejarah yang menarik. Dikenal sebagai wajah kehidupan masyarakat Bali pada zaman dahulu. Tak hanya menerbitkan rasa kagum atas keteguhan masyarakatnya dalam memegang tradisi, tapi juga rasa bangga karena dinobatkan sebagai desa terbersih ketiga di dunia selain Desa Giethoorn di Belanda dan Desa Mawlynnong di India.
Pesona Desa Adat Penglipuran Bali |
Bali di Bulan November 2017
Minggu (26/11/2017) hari terakhir kami (saya dan suami) liburan di Bali. Saat itu, erupsi Gunung Agung sedang menghantui suasana berlibur. Kondisi pariwisata di Bali memang masih aman, masih banjir wisatawan. Hanya saja jadwal penerbangan masuk dan keluar Bali beberapa kali sempat ditunda bahkan ditutup. Rasa khawatir tentu ada, karena malam itu kami mesti kembali ke Jakarta sebab Senin pagi suami ada meeting di kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Untuk menenangkan suasana hati, kami fokus pada kegiatan hari itu yakni jalan-jalan ke beberapa tempat di Bali.
Kami tak berdua saja. Ada Celly, Bayu dan Ci Verren juga. Sengaja hari itu jalan sama mereka, biar seru main ayunan ekstrem bareng di Bali Swing. Kami dijemput di Villa Selasar / Mayaloka Villa (tempat saya dan suami menginap). Kemudian langsung meluncur bersama mereka ke Kab. Badung. Dimulai dengan seru-seruan bermain ayunan di Bali Swing, baru lanjut ke Desa Adat Penglipuran. Sorenya akan sunsetan di Tanah Lot. Sayangnya rencana ke Tanah Lot gagal karena perjalanan menuju ke sana dihadang macet panjang dan kami akhirnya sibuk mengejar waktu ke bandara.
Cerita tentang berayun di ketinggian Bali Swing dapat di baca di: Uji Nyali Berayun di Ketinggian di Bali Swing
Desa Tradisional Penglipuran Bali |
Hujan Sepanjang Jalan Menuju Bangli
Usai makan siang di restoran Bali Swing, kami menempuh perjalanan berkendara mobil sekitar 2 jam dari Bongkasa Pertiwi, Kabupaten Badung, menuju Bangli. Hujan deras sejak separuh perjalanan hingga sampai di Bangli membuat perjalanan jadi lama. Kami pun terkantuk-kantuk.
Waktu Zhuhur nyaris terlewat jika suami tak segera minta diantar ke masjid. Karena sudah di Bangli, Mas Sastra (driver) langsung membawa kami ke Masjid Agung Bangli. Hujan masih deras, tak ada tanda-tanda akan berhenti. Dengan satu payung dan satu mantel hujan, kami berlari-lari menuju pintu masuk masjid, segera salat. Hati jadi tenang setelah tunai segala kewajiban. Baru setelah itu mobil kembali melaju menuju Desa Penglipuran.
Desa Penglipuran berada di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Sekitar 45 kilometer dari Kota Denpasar. Menurut Mas Sastra, desa ini sudah dekat dengan perbatasan desa-desa yang berada di sekitar Gunung Agung. Jarak dengan perbatasannya saja yang dekat. Kalau dengan gunungnya masih jauh. Jadi tak ada kondisi mengkhawatirkan. Semua masih kondusif.
Baca juga : Nusa Penida, Kilau Indah Permata Bali
Masjid Agung Bangli yang kami singgahi sebelum sampai di Desa Penglipuran |
Tiket Masuk Penglipuran dan Sewa Payung
Jarak dari Masjid Agung Bangli ke Desa Penglipuran kami tempuh dalam waktu 15 menit. Pukul 15.14 WITA kami sampai di Balai Banjar yang berjarak sekitar 20 meter dari mulut desa.
Di depan Balai Banjar terpancang papan nama bertuliskan Sapta Pesona, lengkap dengan rinciannya: Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramahan, dan Kenangan. Nanti setelah berkeliling Desa Penglipuran, Sapta Pesona ini memang gambaran paling cocok buat dilekatkan pada Penglipuran.
Balai Banjar Desa Penglipuran |
Area parkir kendaraan berada di sebelah balai. Tidak terlalu luas. Berkapasitas kurang lebih 10-15 mobil saja. Kalau tak salah ingat, ada 5 mobil yang sedang parkir saat itu. Hujan masih deras, kami ragu untuk turun, apalagi masing-masing pada bawa kamera. Khawatir basah dan jadi rusak.
Mas Sastra keluar mobil lebih dulu, ia berlari ke loket untuk membayar tiket masuk. Untuk masuk Desa Penglipuran ini wisatawan dikenakan biaya Rp15.000,-/orang dan Rp8.000,- untuk parkir kendaraan.
Sewa payung di desa Penglipuran |
Sesaat kemudian seorang wanita (sudah nenek-nenek) mendekati mobil kami. Dia datang dari arah tenda tunggu dekat jalan masuk desa. Di tangannya tergenggam beberapa payung. Diacungkannya payung-payung itu untuk kami sewa. Kebetulan sekali. Meski punya mantel hujan sendiri, payung itu tetap saya sewa. Suami, Bayu, dan Ci Verren juga ikut menyewa. Motif payungnya seragam dan warnanya cantik-cantik. Sepertinya bagus saat dipakai berfoto di desa.
Kalau ke sini sedang hujan, jadi tak khawatir. Tinggal sewa payung buat keliling desa. Biaya sewa hanya Rp10.000,-/payung. Bisa pakai sepuasnya sampai kelar keliling desa. Asal dijaga jangan sampai rusak. Pembayarannya kalau sudah kelar, saat mau pulang.
Jalan masuk Desa Penglipuran |
Keindahan Tanah Leluhur
Terletak di 700 meter di atas permukaan laut membuat Desa Penglipuran senantiasa dilingkupi udara sejuk dan segar. Kesejukan dan kesegarannya langsung terasa ketika menapaki desa. Desa ini bahkan sering basah karena hujan. Selama di sini, hujan tak jua reda sampai kami meninggalkannya.
Ada sebuah angkul (gerbang) yang berada tepat di pusat jalan desa. Sirapnya (atap) terbuat dari bambu. Sangat tradisional. Di dekat angkul saya berhenti, memandang sekeliling. Saya menjumpai kontur tanah desa yang miring sehingga jalan desa ada yang menurun dan menanjak.
Penunjuk arah buat wisatawan yang ingin mengeksplore potensi yang ada di Desa Penglipuran |
Tak jauh dari angkul terdapat petunjuk arah yang membuat saya jadi tahu kalau desa ini memiliki tempat-tempat wisata potensial yang bisa dikunjungi seperti candi, Bamboo Forest (250 m), Monument, dan Karang Memadu (150m). Jarak ke tempat-tempat tersebut tak sampai 1 kilometer. Saya jadi penasaran untuk melihatnya.
Namun, keterbatasan waktu membuat kami tidak banyak ke mana-mana. Hanya di desa, melihat-lihat suasana. Itu pun tidak mengelilingi seluruh desa. Sekitaran angkul saja. Lagipula sedang hujan. Meski hujan, saya tetap bisa maksimal mengamati salah satu rumah adat, menyapa penduduk yang lewat, dan berbincang hangat dengan salah satu penghuni rumah.
Di samping itu tentu saja saya mengambil foto. Terlalu sayang tidak mengabadikan keindahan desa lewat lensa. Karena sedang hujan, saya dan suami bekerja sama. Saya memotret, suami memegang payung. Kalau suami yang motret, gantian saya yang memayunginya. Memang jadi agak repot. Tapi itu menyenangkan 😊
Namun, keterbatasan waktu membuat kami tidak banyak ke mana-mana. Hanya di desa, melihat-lihat suasana. Itu pun tidak mengelilingi seluruh desa. Sekitaran angkul saja. Lagipula sedang hujan. Meski hujan, saya tetap bisa maksimal mengamati salah satu rumah adat, menyapa penduduk yang lewat, dan berbincang hangat dengan salah satu penghuni rumah.
Di samping itu tentu saja saya mengambil foto. Terlalu sayang tidak mengabadikan keindahan desa lewat lensa. Karena sedang hujan, saya dan suami bekerja sama. Saya memotret, suami memegang payung. Kalau suami yang motret, gantian saya yang memayunginya. Memang jadi agak repot. Tapi itu menyenangkan 😊
Angkul di pusat jalan desa (gerbang tinggi disebelah kanan) |
Di bawah gerimis, dari tempat yang agak tinggi, pemandangan desa terlihat jelita. Rumah-rumah adat berjajar dalam pagar yang rapi. Di luar pagar maupun di dalam pagar, aneka tanaman bunga warna-warni tumbuh cantik menambah keasrian. Jalannya yang sedang basah oleh air hujan, berukuran cukup lebar (+/- 3 meter), terlihat sangat bersih.
Suasana jalan terasa sangat tenang tanpa gangguan hilir mudik kendaraan jenis apapun. Tanpa bising suara klakson yang memekakkan telinga. Tanpa asap knalpot yang mengotori pernafasan. Hanya ada orang-orang, baik penduduk asli maupun wisatawan yang sedang berkunjung. Saya pun tak melihat ada hewan peliharaan lalu laang di jalan.
Jalan desa Penglipuran. Lebar, bersih, rapi. Tak dilewati oleh kendaraan apa pun. |
Permukaan jalan desa bukanlah aspal hitam mulus yang licin mengkilat, melainkan aspal berbatu. Tekstur batunya menutupi seluruh permukaan jalan. Seperti paving stone di taman-taman, tapi rapat dan padat tanpa celah. Di sisi kiri dan kanan jalan ada got. Di antara badan jalan dan got ada space kosong (semacam trotoar) dibalut rumput hijau yang tebal.
Oh ya, di sini tentunya tidak perlu trotoar. Seluruh badan jalan bisa dilalui dengan aman oleh orang-orang. Tidak perlu minggir-minggir karena tidak ada kendaraan apapun yang lewat. Nah, penataan ini seragam, terlihat sepanjang jalan. Sangat rapi, enak dilihat, nyaman dirasa.
Warga menanam bunga di depan rumah dan di pekarangan |
Desa Penglipuran Bali |
Rumah Adat dan Keunikan Desa
Nuansa tradisional Desa Penglipuran sangat kuat. Memiliki keunikan baik dari segi fisik maupun non fisik. Salah satu keunikan fisik yang langsung terlihat adalah bentuk arsitektur rumah warga yang kental bergaya tradisional Bali seperti gerbang yang disebut angkul-angkul, atap dari bambu, dan dinding penyeker.
Empat tahun lalu saya pernah menyambangi Kintamani bersama suami. Saya masih ingat bentuk rumah-rumah di sana. Nah, jika dicermati arsitektur rumah di Penglipuran ini memiliki kemiripan dengan rumah-rumah di Kintamani.
Mengenai arsitektur rumah ternyata ada kaitannya dengan kisah di masa lalu, saat masih zaman kerajaan. Dulu, yang tinggal di desa ini adalah Raja Bangli dan para penghuni kerajaan lainnya. Namun, Raja Bangli menginginkan rakyatnya juga tinggal bersama-sama dengan raja. Salah satu alasannya adalah untuk berperang. Sebelum dipindahkan ke Penglipuran, dulu masyarakatnya tinggal di desa Bayung Gede Kintamani. Dari sinilah cerita arsitektur rumah itu bermula.
Baca juga: Menyesap Damai di Danau Beratan Bedugul
Kebersihan desa selalu terjaga |
Masing-masing rumah memiliki gapura kecil (gerbang) dengan bentuk, ukuran dan atap dari bambu yang seragam. Ukuran gapuranya hanya bisa dilalui oleh satu orang. Harus bergantian ketika melewatinya. Ada makna filosofis yang terkandung dari ukuran tersebut.
Halaman rumah dihiasi bale sakenam, sementara tempat ibadah keluarga diletakan di sudut timur.
Gerbang kecil di tiap rumah, bentuknya seragam |
Setiap rumah memiliki pekarangan. Di masing-masing pekarangan terdapat dua rumah adat. Rumah bagian depan merupakan rumah utama, berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur. Sesuai adat dan tradisi desa, hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi rumah utama.
Sedangkan dapur ada di bagian belakang, bangunannya terpisah. Di dalam dapur terdapat tungku (tempat memasak) dan juga tempat tidur. Di langit-langit dapur ada lumbung kecil tempat menyimpan hasil panen. Dari yang pernah saya baca, berdasarkan penelitian para ahli, meski musim berubah-ubah (panas/kemarau, dingin/hujan), suhu dapur di rumah-rumah adat ini tetap konstan.
Dapur tradisional di bagian belakang, terpisah dari rumah utama |
Mata pencarian masyarakat Penglipuran adalah bertani, buruh pertanian, perajin, dan peternak. Seperti diketahui, desa ini memiliki potensi hutan bambu. Bambu inilah yang dijadikan beragam kerajinan tangan yang kemudian disajikan sebagai souvenir dengan harga yang super menarik.
Beberapa warga juga ada yang berdagang di rumah. Kebanyakan mereka menjual keperluan sehari-hari. Ada pula yang berjualan souvenir yang bisa dijadikan buah tangan oleh wisatawan seperti kain bali, aneka snack Bali, baju kaos Bali, kerajinan bambu, dan lain-lain.
Di salah satu penjual, Celly membeli kain Bali seharga Rp 50.000,-. Sedangkan Bayu membeli ikat kepala dengan harga Rp10.000,- Kain dan ikat kepala itu kami anyari untuk berfoto dengan latar desa.
Warga desa menjual barang kerajinan di rumah |
Di sini, beberapa warga menjadikan rumahnya sebagai homestay. Bisa jadi tempat bermalam bagi wisatawan yang ingin merasakan langsung suasana kehidupan sehari-hari masyarakat Bali di Penglipuran.
Berinteraksi dengan warga, bersantap dengan masakan desa, tentu akan menjadi pengalaman unik yang sangat berbeda dari kebiasaan sehari-hari di daerah tempat kita tinggal.
Jika terbiasa liburan di Bali menikmati suasana pantai yang berlimpah cahaya matahari, jalan-jalan dan belanja di kawasanan Kuta yang padat, makan-makan di gemerlap kafe-kafe dan resto di tengah Kota Denpasar, maka di sini bisa menikmati sisi lain Bali yang penuh ketenangan, kedamaian, serta kesederhanaan.
Jika terbiasa liburan di Bali menikmati suasana pantai yang berlimpah cahaya matahari, jalan-jalan dan belanja di kawasanan Kuta yang padat, makan-makan di gemerlap kafe-kafe dan resto di tengah Kota Denpasar, maka di sini bisa menikmati sisi lain Bali yang penuh ketenangan, kedamaian, serta kesederhanaan.
Antar rumah warga tanpa pagar pembatas. Pagar hanya ada di bagian depan rumah. |
Teguh Memegang Tradisi
Desa Penglipuran sudah ada sejak abad 13 dengan luasan desa 112 hektar. Desa tua ini disebut sebagai desa tradisional karena masih memegang kuat tradisi dan ritual-ritual adat istiadat yang dipercaya, seperti tradisi atau ritual upacara keagamaan, pernikahan, kelahiran, bahkan kematian. Dalam ritual atau upacara yang diadakan masyarakat setempat, setiap pengunjung bisa masuk dan melihat langsung setiap hal yang berlangsung dalam upacara tersebut.
Desa Penglipuran memiliki sistem kekeluargaan yang cukup kuat. Tradisi yang kuat tersebut dapat dilihat dari kebiasaan masyarakatnya yang saling peduli, saling perhatian dalam segala hal, termasuk dalam mengadakan upacara pernikahan, adat, dan keagamaan. Sistem kekeluargaan yang kuat ini selanjutnya diperkuat dengan tidak adanya pintu penghalang atau gerbang antara pekarangan yang satu dengan yang lain. Jadi, kalau ada persoalan yang cukup penting dan genting, setiap masyarakat dapat dengan mudah serta bebas hambatan.
Ukuran gerbang di rumah adat Desa Penglipuran seragam |
Biasanya penduduk setempat melakukan upacara adat di pura, seperti upacara Piodalan. Upacara ini dihitung berdasarkan kalender Bali. Upacara ini digelar setahun sekali. Dalam upacara tersebut dapat dijumpai semacam musabe bantal atau sesajen yang berupa buah-buahan, jajanan, hasil bumi, dan berbagai jenis sesajen lainnya.
Di Desa Penglipuran juga dikenal adanya musim kawin. Pada saat yang bersamaan, dihelat banyak upacara pernikahan. Biasanya setiap bulan Oktober, di desa ini banyak dijumpai upacara pernikahan. Hal itu dilakukan karena masyarakat setempat mengakui bahwa bulan tersebut adalah bulan yang baik atau waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan.
Bale di rumah adat Bali |
Keindahan Klasik Bali Tempo Dulu
Saya dan suami senang sekali dapat berkunjung ke Penglipuran. Kami menikmati eksotisnya panorama dan lingkungan desa, serta mengagumi keteguhan masyarakat Penglipuran dalam memegang adat budayanya. Orang-orangnya yang ramah, memiliki nilai spiritual yang sangat kental. Mereka menghormati sesama manusia, alam, dan Tuhan.
Datang ke sini seakan diajak flash back menikmati kehidupan masyarakat Bali zaman dulu. Jadi, bila ingin lihat wajah Bali tempo dulu maka datanglah ke Desa Penglipuran. Suasana desanya tenang, begitu damai dalam kesederhanaan. Kesejukan, kebersihan, dan keasrian yang dimilikinya menjadi penyempurna keindahan desa. Tak heran jika Penglipuran jadi salah satu desa terbersih di dunia bersama Desa Giethoorn (Belanda) dan Mawlynnong (India).
Desa Penglipuran, desa pengeling pura. |
Mengenai nama desa, Penglipuran diambil dari kata pengeling pura yang berarti “ingat pada leluhur”. Selanjutnya desa ini berubah nama menjadi Penglipuran. Sesuai dengan namanya, desa ini dapat menjadi tempat pelipur atau penghibur dikala duka.
Saya percaya, ketenangan dan kedamaian itu letaknya di hati sendiri, bukan pada tempat atau orang lain. Saya juga percaya, ketenangan yang terdapat pada suatu tempat atau pada seseorang yang lain juga dapat menular ke dalam diri. Ia menjalar ke dalam hati dan perasaan, masuk ke dalam batin, menghalau perasaan lain yang bertentangan, sehingga terciptalah kekompakan. Kompak dengan ketenangan dan kedamaian yang melingkupi dari luar.
Karena itu, sedang berduka atau tidak, ketenangan dan kedamaian yang murni dari desa ini bila benar-benar dihayati dengan hati akan memberi pengaruh pada suasana hati. Jadi senang dan kian bahagia.
🌷 Indahnya Pesona Penglipuran 🌷 |
Penglipuran itu buat saya seperti ketika berada di sisi seorang kekasih yang memiliki ketenangan, kesabaran, ketulusan, dan kebersihan hati tanpa batas. Jiwa merasa damai dan tentram bersamanya. Merasa selalu dicintai, dihormati, tak pernah dikhianati sehingga selalu mendambanya jadi tempat menua menghabiskan sisa usia. Rasa bahagia yang terasa ketika bersamanya bagai dicurahi penghiburan dan penglipuran sepanjang waktu. Itulah Penglipuran. 💕
Bali, November 2017
Catatan:
Semua foto oleh Katerina dan Arif.
Jalan-jalan Bali bersama Picniq Tour & Travel.
Paket tour Bali dan lainnya www.yourpicniq.com Jeffry HP: 081949555588
Memang Desa Penglipuran ngangenin.. Beberapa bulan yg lalu sya jg sudah ksana :)
BalasHapusSuasana desanya bikin kangen ya. Keramahan orang-orangnya juga.
HapusDesa yang buat saya ingin kembali lagi 😊
BalasHapusIya, Maya. Kapan mau kembali lagi?
HapusBali memang selalu penuh pesona ya mba. Kangen juga main main ke Bali, apalagi desa Penglipuran ini niiih
BalasHapusIya, selalu memesona. Beberapa kali ke Bali, aku belum pernah wisata ke desa adat seperti ini. Biasanya ke pulau, pantai2, atau wisata ke pegunungan yang ada danaunya. Ternyata ada Penglipuran yang mendunia.
HapusWah asyiknya... Pengen balik ke Bali lagi deh dan melihat yang berbeda
BalasHapusSebuah desa yang bersih, adem ayem dan asri. Membaca ulasannya saja sudah bikin hati damai tentram, terlebih menginjakkan kaki secara langsung di sana. Hemm ...
BalasHapusbagus banget desanya.
BalasHapusmasih dilestarikan. semoga slalu dijaga.
DEsa Ini mah sangat bagus dan bersih..
BalasHapusBali banget !
Keren desanya,kak ...
BalasHapusJalannya udah dipoles sedikit jadi tambah terlihat rapi.
Lansekap desanya bagus buat lokasi foto-foto ☺
Aku ngebayangin ya mba, seandainya semua desa di Indonesia bisa sebagus dan secantik ini :o. Aku bakal betah banget sih tinggal di tempat kayak gini. Adem, hijau, bersiiih! :D. Sukaaak lah ngeliatnya
BalasHapus