Mengunjungi Objek Wisata Religi Kota Palembang
Palembang adalah kota tua yang layak berbangga diri. Di Kota yang pernah menjadi pusat peradaban Kerajaan Sriwijaya ini terdapat banyak objek wisata bernilai tinggi. Dua di antaranya adalah Museum Alquran Raksasa dan Kampung al-Munawar. Bagi wisatawan muslim seperti saya, kunjungan ini tentu tak hanya memberikan pengalaman yang berkesan, tetapi juga membekaskan nilai spiritual.
Palembang adalah kota tua yang layak berbangga diri. Di Kota yang pernah menjadi pusat peradaban Kerajaan Sriwijaya ini terdapat banyak objek wisata bernilai tinggi. Dua di antaranya adalah Museum Alquran Raksasa dan Kampung al-Munawar. Bagi wisatawan muslim seperti saya, kunjungan ini tentu tak hanya memberikan pengalaman yang berkesan, tetapi juga membekaskan nilai spiritual.
Kampung Arab al-Munawar Palembang |
Museum Alquran Raksasa
Bayt Al Qur’an Al Akbar merupakan mahakarya asli Wong Kito berupa Alquran yang dipahat di permukaan kayu tembesu berukuran panjang 177 centimeter dengan lebar 140 centimeter dan ketebalan 2,5 centimeter.
Museum Alquran raksasa berlokasi di Jalan M. Amin Fauzi, Soak Bujang RT. 03 RW. 01, Kelurahan Gandus, Kecamatan Gandus, Palembang. Tepatnya di Pondok Pesantren Al Ihsaniyah Gandus Palembang. Bagi wisatawan yang berasal dari luar kota, akses menuju lokasi bisa dimulai dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Selanjutnya naik transportasi umum seperti Trans Musi, turun di Halte Jembatan Musi II, kemudian dilanjut naik angkot jurusan Gandus.
Sesi terakhir perjalanan yang saya tempuh melewati jalan desa yang tidak mulus dengan pemandangan rumah-rumah yang berdiri di atas rawa. Setelah menemukan papan nama bertuliskan Pondok Pesantren Al Ihsaniyah, mobil belok ke kanan, lalu lurus. Tak lama setelah itu, kami pun sampai. Di kawasan ponpes yang didirikan oleh DR. H.Marzukie Ali ini terdapat area parkir dan pondok-pondok tempat penjualan cinderamata. Museum berada di seberang ponpes, bersebelahan dengan rumah pemiliknya. Untuk masuk, kami membayar tiket sebesar Rp 5.000 per orang.
Bangunan museum tampak seperti rumah tinggal pada umumnya. Namun, siapa sangka di dalamnya tersimpan karya seni yang mendunia. Setelah melepas alas kaki, saya memasuki museum. Di dalam, mata langsung disambut Alquran raksasa berbentuk lembaran kayu yang dipasang seperti jendela di bangunan bertingkat lima. Rasa takjub langsung memenuhi ruang hati. Terdengar lantunan ayat suci Alquran yang diputar dari MP3, membuat suasana museum kental dengan nuansa religi.
Bangunan museum tampak seperti rumah tinggal pada umumnya. Namun, siapa sangka di dalamnya tersimpan karya seni yang mendunia. Setelah melepas alas kaki, saya memasuki museum. Di dalam, mata langsung disambut Alquran raksasa berbentuk lembaran kayu yang dipasang seperti jendela di bangunan bertingkat lima. Rasa takjub langsung memenuhi ruang hati. Terdengar lantunan ayat suci Alquran yang diputar dari MP3, membuat suasana museum kental dengan nuansa religi.
Museum Alquran Raksasa di Palembang |
Sekilas Sejarah Pembuatan Alquran Raksasa
Menurut sejarahnya, gagasan pembuatan Alquran terbesar tercetus pada tahun 2002 setelah Ustad H.Syowatillah Mohzaib merampungkan pemasangan kaligrafi, pintu dan ornamen Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Sebagai pecinta seni kaligrafi dan ukiran khas Palembang, serta demi kelestarian seni, gagasan tersebut dikerjakan dan akhirnya satu keping lembaran kaligrafi Alquran (Surat Al-Fatihah) berhasil dibuat. Tepat pada tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002, atas inisiatif H. Marzuki Alie dan pengurus Masjid Agung Palembang, satu keping Alquran raksasa yang terbuat dari kayu tembesu berukuran 177cmx140cm dengan ketebalan 2,5cm, dipajang pada acara bazar peringatan tahun baru Islam yang diketuai oleh H. Marzuki Alie sendiri.
Proses pembuatan Alquran ukir dikerjakan di kediaman Ustad H. Syofwatillah, di jalan Pangeran Sido Ing Lautan Lr Budiman, No. 1009 Kelurahan 35 Ilir Tangga Buntung Palembang. Awalnya, pembuatan Alquran raksasa diperkirakan selesai tahun 2004, tapi meleset dari target karena terkendala dana dan bahan kayu tembesu yang sudah mulai langka.
Menurut sejarahnya, gagasan pembuatan Alquran terbesar tercetus pada tahun 2002 setelah Ustad H.Syowatillah Mohzaib merampungkan pemasangan kaligrafi, pintu dan ornamen Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Sebagai pecinta seni kaligrafi dan ukiran khas Palembang, serta demi kelestarian seni, gagasan tersebut dikerjakan dan akhirnya satu keping lembaran kaligrafi Alquran (Surat Al-Fatihah) berhasil dibuat. Tepat pada tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002, atas inisiatif H. Marzuki Alie dan pengurus Masjid Agung Palembang, satu keping Alquran raksasa yang terbuat dari kayu tembesu berukuran 177cmx140cm dengan ketebalan 2,5cm, dipajang pada acara bazar peringatan tahun baru Islam yang diketuai oleh H. Marzuki Alie sendiri.
Proses pembuatan Alquran ukir dikerjakan di kediaman Ustad H. Syofwatillah, di jalan Pangeran Sido Ing Lautan Lr Budiman, No. 1009 Kelurahan 35 Ilir Tangga Buntung Palembang. Awalnya, pembuatan Alquran raksasa diperkirakan selesai tahun 2004, tapi meleset dari target karena terkendala dana dan bahan kayu tembesu yang sudah mulai langka.
Alquran ukir raksasa dibuat dengan tujuan utama untuk memuliakan Alquran dan mensyiarkan Islam. Supaya awet dan tahan lama, maka digunakanlah kayu tembesu. Sedangkan ornamen-ornamen ukiran khas Palembang dibuat untuk menambah keindahannya, sekaligus untuk mempromosikan budaya dan tradisi Kota Palembang dalam karya seni ukir yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Teknik pengukiran yang rumit dan tidak bisa dikerjakan sendirian, menyebabkan lamanya proses pembuatan. Proses pembuatan mendapat pengawasan yang ketat dan melibatkan berbagai keahlian personil dalam tim. Dari sebelum diukir di atas papan, ayat-ayat Alquran terlebih dahulu ditulis di atas kertas karton, lalu tulisannya dijiplak ke kertas minyak. Sebelumnya, tulisan ayat Alquran di atas karton dikoreksi dulu oleh tim pentashih yaitu para ulama ahli Alquran dan para hafidz sehingga jika terjadi kesalahan langsung diperbaiki.
Pembuatan Al Quran Al-Akbar rampung pada tahun 2008. Ayat Alquran dari juz 1 hingga juz ke-30 berhasil diukir dalam 630 halaman atau 315 lembar kayu. Kurang lebih ada 40 meter kubik kayu yang digunakan. Biaya pembuatan keseluruhan menghabiskan dana sekitar 2 miliar. Peluncurannya dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2009 di Masjid Agung Palembang oleh Kepala Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan, H.Najib Haitami. Hadir dalam peluncuran para hafizh dan hafizhah se-Sumatera selatan.
Alquran ukir raksasa dipublikasikan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 30 Januari 2012. Peresmiannya bertepatan dengan momentum Konferensi Persatuan Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kota Palembang yang dihadiri oleh sekitar 51 negara Islam di dunia. Disamping peluncuran, dilakukan juga penandatanganan prasasti Al Quran Al Akbar di hadapan peserta konferensi PUIC. Seluruh peserta yang hadir saat itu sepakat menobatkan Al Quran Al Akbar sebagai satu-satunya Alquran terbesar di dunia dari jenis ukiran kayu.
Untuk melihat lebih banyak lagi lembaran kayu, kami masuk ruang galeri. Di balik lembaran kayu yang paling depan terdapat banyak lembaran kayu lainnya di bagian belakang. Beberapa pengunjung tampak berpindah dari lembar kayu yang satu ke lembar lainnya. Saat itu, pengunjung hanya bisa melihat-lihat galeri di lantai dasar. Tangga menuju lantai 2 dan 3 sedang ditutup, sepertinya terkait faktor keamanan.
Kemegahan dan keindahan Al Quran Al Akbar mengundang decak kagum bagi setiap pengunjung yang melihatnya. Tak heran bila Alquran raksasa ini menjadi terkenal di seluruh penjuru Tanah Air. Tak hanya Museum Rekor MURI saja yang memberi pengakuan, bahkan dunia internasional pun mengakuinya sebagai Alquran Ukir terbesar di dunia yang pernah ada saat ini.
Kampung Arab al-Munawar
Kampung al-Munawar tak hanya memesona dari segi bangunan lawasnya, tapi juga dari rekam sejarah dan budaya. Komunitas Arab yang tinggal di kampung ini adalah bagian dari kekayaan sejarah, budaya, dan intelektualitas kota Palembang. Mereka telah memberi banyak andil dalam perkembangan kota Palembang.
Kampung Arab al- Munawar merupakan salah satu kampung Arab paling termasyhur di Indonesia. Terletak di Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang, atau di sisi bagian Ulu (Selatan) Palembang. Kampung ini tepat berada di pesisir Sungai Musi, tak jauh dari Jembatan Ampera. Untuk mencapai lokasi kampung Arab bisa melalui dua jalur. Jalur pertama lewat darat, jalur kedua lewat sungai dengan menggunakan perahu.
Saya berangkat menggunakan perahu sewa dari Dermaga 16 Ilir Palembang dengan waktu tempuh sekitar 10 menit. Kampung al-Munawar mudah ditemukan karena bagian tepinya yang menghadap ke sungai terpampang tulisan ‘al Munawar’ dan logo ‘Pesona Indonesia’. Ada pijakan kayu untuk mendaratkan kaki, semacam jembatan penghubung menuju daratan. Pagar hitam dan bangku-bangku kayu bercat oranye kecoklatan di jembatan bersanding dengan pot-pot bunga berbentuk kubus, menjadi bagian yang langsung menarik perhatian.
Kampung Arab alMunawar |
Ada rasa nyaman kala melihat bagian tepi sungai al-munawar yang tertata rapi. Nuansa tradisional dibalut dengan sentuhan modern membuat tempat ini menarik untuk dipandangi. Pada sebuah belokan, sebelum kaki menyentuh daratan, ada sebuah Musala yang lokasinya menjorok langsung ke permukaan sungai. Beribadah di sini tentu punya sensasi yang sangat berbeda. Sesampainya di daratan, kami melewati jalan tidak lebar menuju sebuah lapangan, pusat Kampung Al Munawar. Di sini, nuansa tradisional dan kota tua mulai terasa kental.
Di sekitar lapangan yang menjadi pusat kampung Arab terdapat rumah-rumah panggung berusia ratusan tahun yang memiliki keunikan berbeda antara satu dan lainnya. Salah satunya milik Pak Muhammad al-Munawar, Ketua RT yang juga merupakan generasi keenam keturunan langsung leluhur kampung: Habib Hasan al-Munawar. Cicitnya cicit Habib Hasan. Beliau adalah orang pertama yang saya jumpai di sini dan darinya saya memperoleh banyak cerita.
Dinamakan Kampung Arab karena di sinilah awal para pedagang-pedagang arab bermukim. Sedangkan nama Al-Munawar diambil dari seorang tokoh yang dihormati warga setempat yakni Habib Abdurrahman Al Munawar. Ia adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di masa awal masuknya Islam ke Palembang. Bagi orang Palembang, nama al-Munawar sudah sangat familiar sejak dulu, tapi baru belakangan mulai ramai dikunjungi wisatawan. Tak hanya weekend, tapi juga weekdays.
Sebagai sebuah kawasan yang cukup tua di Palembang, Kampung Arab memiliki delapan rumah tua berusia hingga lebih dari 250 tahun. Terdapat rumah panggung tradisional bergaya limas, ada pula rumah dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Eropa. Rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri hingga kini. Rahasianya ada pada kayu yang dipakai sebagai material bangunan yaitu kayu Ulin. Nuansa vintage dan eksotis dari Kampung Arab membuat saya bagai tersedot ke masa lalu.
Sebagian besar rumah-rumah tua telah dihuni secara turun-temurun, sehingga lumrah bila dalam satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Pak Muhammad al-Munawar mengajak kami melongok ke dalam rumah Ibu Lathifah al-Kaab, yang masih satu garis keturunan dengan Pak Muhammad. Ibunya Bu Lathifah bermarga al-Munawar. Namun karena menikah dengan pria bermarga al-Kaab, Bu Lathifah dan seluruh saudaranya menyandang nama keluarga al-Kaab.
Rumah Bu Lathifah merupakan salah satu dari delapan rumah asli Kampung al-Munawar yang dibangun di era Habib Hasan. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak Habib Hasan, dan kemudian menjadi cikal-bakal kampung. Meski berusia nyaris 300 tahun, bangunan lawas dan eksotik ini masih tampak kokoh dan gagah. Nuansa Eropa terlihat dari pintu-pintu dan jendela yang berukuran besar dan tinggi. Bahkan, lantai rumahnya bukan marmer biasa, melainkan granit yang didatangkan langsung dari Italia.
Salah satu rumah tua di Kampung al-Munawar |
Terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar, tempat belajar anak-anak Kampung Arab Al Munawar dan sekitarnya. Sebagaimana kampung tua, bangunan madrasah tersebut juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik. Di Kampung ini, Jumat adalah hari libur, termasuk untuk kegiatan sekolah. Uniknya, di hari Minggu justru sekolah tetap berlangsung. Didekat madrasah juga terdapat sebuah klinik yang dikelola langsung oleh warga setempat.
Ada sekitar 30 kepala keluarga yang mendiami Kampung Al Munawar. Mereka semua mempunyai tali darah persaudaraan karena aturan yang tidak membolehkan mereka untuk menikah dengan orang di luar kampung. Namun aturan itu hanya berlaku untuk para perempuan saja. Para pria tetap boleh menikahi perempuan di luar kampung namun tetap saja darah Arabnya masih kental dari garis keturunan Ayah. Penduduk kampung Arab umumnya berprofesi sebagai pedagang.
Di masa lampau Palembang menjadi salah satu kota tujuan utama para pendatang Arab, selain Aceh dan Pontianak. Mereka adalah pendatang Arab yang benar-benar meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Palembang, bukan hanya mampir di pelabuhan Palembang dan menetap sementara. Para keluarga Arab telah menetap di Palembang sejak tahun 1732. Di antaranya adalah marga Al-Habsyi, Bin Syihab, As-Saqqaf, Al-Jufri dan Al-Munawar. Sebagian besar pendatang Arab di Palembang berasal dari keluarga Sayyid, yang diyakini sebagai keturunan langsung pendiri agama Islam.
Singkat kata, pendatang Arab yang tiba di Palembang adalah orang Arab dengan garis keturunan terhormat, dari kelas ekonomi menengah, dan terdidik dengan baik. Kombinasi ketiga hal ini yang membuat komunitas Arab di Palembang berkembang pesat secara ekonomi dan membuatnya menjadi sangat penting.
Kampung Al-Munawar dapat dikunjungi setiap hari. Untuk kegiatan wisata dapat dilakukan mulai dari jam 7:30 pagi sampai 5 sore. Hari Jumat adalah hari libur di kampung ini sehingga kegiatan wisata juga tidak diizinkan. Jika dulu bebas biaya, kini Kampung Al-Munawar sudah mematok tiket sebesar Rp 2.000 untuk tiap wisatawan yang datang berkunjung.
Nilai-nilai Islam menjadi atmosfer utama di Kampung Arab. Karena itu, para warga menyediakan sarung bagi laki-laki, serta penutup aurat bagi perempuan. Hal tersebut menunjukkan norma dan budaya kesopanan yang selalu dijaga, baik oleh warga setempat maupun wisatawan yang berkunjung. Dalam moment-momen khusus seperti Tahun Baru Islam, Maulid Nabi, dan Ramadhan, warga kampung Arab menggelar berbagai acara budaya seperti kesenian gambus. Inilah yang juga menjadikan Al-Munawar sebagai salah satu lokasi wisata religi terbaik di Palembang.
Baca juga: Jelajah Kuliner Palembang
Kampung Arab Al-Munawar tetap terjaga kelestariannya meskipun sudah berusia ratusan tahun. Sejak tanggal 11 Februari 2017, Kampung Al Munawar resmi sebagai destinasi wisata budaya dan religi di Palembang. Ke depannya, sejumlah rumah tua juga akan diplot sebagai homestay demi menyambut perhelatan Asian Games 2018 dan MotoGP. Kampung bersejarah nan unik ini termasuk luar biasa karena dari hulu dan sepanjang Sungai Musi, bergulir keberagaman budaya. Indonesia tentu bangga memiliki kampung al Munawar.
Wisata Religi Khas Wong Kito dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017 |
**
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017
Semua foto oleh Katerina www.travelerien.com