Tulisan berikut ini dimuat di inflight magazine XpressAir edisi Nopember 2016. Foto-foto dalam tulisan saya ambil saat mengunjungi Palembang pada bulan Mei 2016. Saat itu saya dan rekan-rekan blogger diundang ke Palembang oleh disbudpar Palembang untuk menyaksikan Musi Triboatton 2016, sekaligus berwisata menjelajah Sungai Musi.
====================================
Menyisir Sungai Musi, Menelisik Sejarah Kota Palembang
Kami menyisihkan waktu sehari untuk melayari Sungai Musi. Menghayati legenda cinta Pulo Kemaro. Mengenal sejarah Kampung Arab al-Munawar. Mencicipi kuliner lokal di warung terapung. Dan, menatap lanskap jelita Kota Palembang dari Jembatan Ampera.
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan beragam kebudayaan dan karakter. Tak hanya mewariskan peninggalan berupa benda-benda bersejarah, tetapi juga karya budaya yang tak kalah bernilai.
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan beragam kebudayaan dan karakter. Tak hanya mewariskan peninggalan berupa benda-benda bersejarah, tetapi juga karya budaya yang tak kalah bernilai.
Keberadaan Sungai Musi yang menjadi nadi kehidupan warga Palembang menambah kekayaan wilayah ini. Sungai dengan panjang aliran mencapai 750 kilometer menjadi saksi keberadaban dan kebudayaan khas Sumatera selatan.
Jembatan Ampera |
Berperahu di Sungai Musi
Berperahu adalah cara terbaik untuk menikmati wisata sungai yang menjadi jualan utama kota yang pernah dijuluki Venice of The East. Titik keberangkatan bisa dimulai dari dermaga 16 Ilir bawah Ampera atau dermaga Benteng Kuto Besak. Kami menyewa perahu mesin bertarif Rp 200.000,- dengan tujuan Pulau Kemaro dan Kampung Arab al-Munawar.
Jumlah kami sepuluh orang, sesuai batas maksimum kapasitas perahu. Cuaca sedang secerah kaca, kami pun duduk tenang di atas perahu, ditemani awan berarak dari utara yang melaju penuh.
Saya, duduk di depan agar puas menikmati angin segar.
Dermaga 16 Ilir |
Beberapa kali perahu terayun-ayun terkena terjangan ombak saat berpapasan dengan speedboat lain yang melaju lebih kencang. Tak jarang cipratan air mengenai wajah dan badan. Sedikit cemas, tapi tetap banyak senangnya berlayar di sungai yang lebar.
Dari dalam perahu, saya dapat melihat kehidupan sehari-hari warga bumi Sriwijaya, deretan rumah tradisional, kapal-kapal besar milik PT.Pusri, hingga pelabuhan Bom Baru Pelindo yang menjadi pelabuhan sungai terbesar di Sumatera.
Kapal-kapal besar melintas. Perahu-perahu kecil lalu lalang. Warna cokelat air Sungai Musi, rumah-rumah dan pepohonan di tepian menambah keeksotisan sungai yang jadi ikon provinsi. Tak hanya itu, langit biru dan awan seputih kapas menjadi kombinasi warna yang cantik. Sepanjang perjalanan, saya nyaris tak henti menekan tombol shutter kamera.
Kapal-kapal besar melintas. Perahu-perahu kecil lalu lalang. Warna cokelat air Sungai Musi, rumah-rumah dan pepohonan di tepian menambah keeksotisan sungai yang jadi ikon provinsi. Tak hanya itu, langit biru dan awan seputih kapas menjadi kombinasi warna yang cantik. Sepanjang perjalanan, saya nyaris tak henti menekan tombol shutter kamera.
Pelabuhan Bom Baru IPC |
Perahu ketek (getek) ini sempat mati mesin di tengah sungai :D |
Legenda Cinta Pulau Kemaro
Pulau Kemaro terletak pada sebuah delta di tengah-tengah Sungai Musi, sekitar 6 kilometer dari Jembatan Ampera. Kami menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk mencapainya.
Dari perahu yang masih melaju di atas sungai, menara pagoda sudah terlihat, menjulang di antara rimbun pepohonan. Perlahan perahu merapat di dermaga, kami pun berlompatan turun, jalan kaki meniti jembatan merah menuju daratan pulau.
Pintu gerbang Pulo Kemaro |
Jalan menuju pintu gerbang Pulo Kemaro |
Kebudayaan Cina terasa sangat kental ketika memasuki pulau. Terlihat dari arsitektur dan dominasi warna merah pada gerbang Pulo Kemaro, bangunan Klenteng Hok Tjing Rio dan pagoda bertingkat sembilan.
Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im dibangun sejak tahun 1962. Tempat ini biasanya dikunjungi oleh mereka yang ingin melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan masyarakat Cina. Wisatawan seperti kami tidak diijinkan masuk dan naik pagoda, kecuali di lantai dasarnya saja yang memang terbuka.
Di depan Klenteng, difoto oleh Wira Nurmansyah |
Kata “kemaro’ berasal dari bahasa Palembang yang berarti kemarau. Menurut masyarakat setempat, walaupun Sungai Musi sedang meluap, pulau tidak akan tergenangi air. Udara di pulau cenderung sejuk, karena di sini banyak tumbuh pohon besar dan rindang.
Terdapat pula warung jajan yang menyediakan banyak kursi. Cocok untuk beristirahat sambil menyeruput air kelapa muda segar yang disediakan penjual.
Tempat jajan di Pulo Kemaro |
Pulau Kemaro juga dikenal sebagai pulau cinta. Konon, pulau ini timbul setelah terjadinya kisah tragis yang menimpa putri raja Palembang -Siti Fatimah dan saudagar kaya raya Tionghoa- Tan Bun An. Nah, makam kedua orang inilah yang kami jumpai di Pulau Kemaro.
Kisah putri dan pangeran tersebut tertulis pada prasasti yang diletakkan dekat bangunan klenteng. Dibuat oleh Disparbud Kota Palembang pada tahun 2009.
Terbaca nggak tulisannya? |
Kini Pulau Kemaro sedang dikembangkan menjadi Eco-Park dan Eco-Tourism. Telah dibangun bungalow yang nantinya dikelilingi oleh sawah dan rawa yang asli sehingga suasana lingkungan bungalow akan asri bagaikan di pedesaan. Akan dibangun juga Historical Park, taman burung, plaza, jalur pedestrian, dan sebuah jembatan yang menghubungkan antara daratan dan Pulau Kemaro.
Dengan pengembangan tersebut, bukan tak mungkin nantinya berwisata ke Pulau Kemaro akan menjadi pengalaman menarik yang tidak biasa bagi wisatawan lokal, nasional, maupun internasional.
Pagoda bertingkat sembilan |
Kampung Arab al-Munawar
Perahu berlayar ke arah hulu, melaju tertatih melawan arus. Kami menuju Kampung Arab al- Munawar yang terletak di kawasan 13 Ulu, salah satu kampung Arab paling termasyhur di Indonesia. Untuk mencapai lokasi kampung Arab bisa melalui dua jalur. Jalur pertama lewat darat, jalur kedua lewat jalur sungai dengan menggunakan perahu seperti kami.
Sesampainya di daratan, kami melewati jalan tidak lebar menuju sebuah lapangan, pusat Kampung Al Munawar. Orang pertama yang kami jumpai adalah Muhammad al-Munawar, Ketua RT yang juga merupakan generasi keenam keturunan langsung leluhur kampung: Habib Hasan al-Munawar. Darinya kami memperoleh banyak cerita.
Medekati Kampung al-Munawar |
Salah satu rumah dalam foto ini pernah dipakai untuk syuting film "Ada Surga di Rumahmu" |
Sebagai kawasan tua di Palembang, Kampung Arab memiliki delapan rumah tua berusia lebih dari 250 tahun. Ada rumah panggung tradisional bergaya limas, ada pula rumah dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Eropa.
Meski sudah tua, tapi rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri sampai kini. Nuansa vintage dan eksotis dari Kampung Arab ini membuat saya bagai tersedot ke masa lalu.
Rumah tua berusia lebihh dari 250 tahun |
Salah satu Rumah Limas tua berusia ratusan tahun |
Sebagian besar rumah tua telah dihuni secara turun-temurun, sehingga lumrah bila di satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Pak Muhammad al-Munawar mengajak kami melongok ke dalam rumah Ibu Lathifah al-Kaab, yang masih satu garis keturunan dengan Pak Muhammad.
Ibunya Bu Lathifah bermarga al-Munawar. Namun karena menikah dengan pria bermarga al-Kaab, Bu Lathifah dan seluruh saudaranya menyandang nama keluarga al-Kaab.
Muhammad al-Munawar |
Anak-anak tampan Kampung Arab :) |
Rumah Bu Lathifah merupakan salah satu dari delapan rumah asli Kampung al-Munawar yang dibangun di era Habib Hasan. Berusia nyaris 300 tahun. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak Habib Hasan, dan kemudian menjadi cikal-bakal kampung.
Di salah satu dinding rumah terpajang silsilah keluarga. Nuansa Eropa terlihat dari pintu-pintu dan jendela berukuran besar dan tinggi. Bahkan, lantai rumahnya bukan marmer biasa, melainkan granit yang didatangkan langsung dari Italia.
Foto-foto di dinding yang menunjukkan silsilah keluarga |
Rumah lawas bernuansa Eropa dan Timur Tengah. Granitnya didatangkan dari Italia |
Dinamakan Kampung Arab karena awalnya di sinilah para pedagang-pedagang arab bermukim. Di masa lampau Habib Abdurrahman al-Munawar adalah tokoh yang dihormati. Beliau adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam pertama kali di kawasan ini. Namanya kemudian dijadikan nama kawasan di Kampung Arab.
Kampung al-Munawar dihuni oleh sekitar 30 kepala keluarga. Pada umumnya penduduk kampung berprofesi sebagai pedagang. Di pusat kampung terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar, tempat belajar anak-anak Kampung Arab al-Munawar dan sekitarnya. Di sini murid sekolah diliburkan pada hari Jumat, tetapi tetap masuk pada hari Minggu. Sebagaimana kampung tua, bangunan madrasah juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik.
Sekolah MI Al Kautsar |
Palembang adalah kota tua yang bangga. Kampung al-Munawar tak hanya memesona dari segi bangunan lawasnya, tapi juga dari rekam sejarah dan budaya. Komunitas Arab adalah bagian dari kekayaan sejarah, budaya, dan intelektualitas kota Palembang, mereka telah memberi banyak andil dalam perkembangan kota Palembang.
Kami hanya satu jam di Kampung Arab. Tapi pengalaman yang didapat sulit untuk dilepas. Saya nyaris tak henti mengagumi keindahan bangunan-bangunannya, mendengarkan cerita-cerita seru tentang para penduduknya, melihat keceriaan anak-anak kecilnya, juga merasakan kehangatan dan senyum warganya.
Sensasi Kulineran di Warung Terapung
Jelajah Sungai Musi berlanjut jelajah rasa. Kulineran di mana? Tidak ke mana-mana, masih di sekitaran sungai saja. Wisatawan seperti kami patut bersukacita karena pinggiran Sungai Musi kini telah disulap menjadi tempat rekreasi lengkap dengan warung, kafe dan restoran yang menyediakan makanan khas Palembang.
Warung apung dekat dermaga 16 Ilir bawah Jembatan Ampera jadi pilihan. Ada tiga warung apung, semuanya menyajikan menu pindang pegagan, salah satu kuliner andalan Palembang selain empek-empek. Warung apung berbentuk seperti kapal tapi berukuran kecil. Kami masuk ke salah satu warung, namanya Warung Mbok Mar.
Muatan warung sekitar 25 orang saja. Di dalamnya terdapat meja panjang dengan kursi-kursi menghadap ke sungai. Di sinilah letak daya tariknya, sambil makan saya bisa memandangi kemegahan Jembatan Ampera yang membentang di atas sungai.
Saat perahu dihempas ombak, warung bergoyang-goyang. Sensasinya seakan seirama dengan goyangan lidah yang asyik menikmati lezatnya pindang.
Masakan pindang merupakan salah satu kuliner yang wajib dicoba di Palembang. Sebetulnya, masakan pindang juga bisa dijumpai di daerah lainnya. Tetapi, pindang tiap daerah punya cita rasa yang berbeda. Masing-masing punya kekhasan, baik bahan maupun cara pengolahan. Begitu juga dengan pindang Palembang.
Di Warung Mbok Mar, kami bersantap dengan menu pindang patin, baung, dan gabus. Lengkap dengan sambal dan lalapan segar. Bagaimana rasanya? Bukan main sedapnya.
Jelang senja, kami tak ragu mencoba kuliner khas Palembang lainnya. Empek-empek, tekwan, model, ragit, celimpungan, kue kojo, es kacang merah, martabak HAR, dan masih banyak lagi. Semua sajian khas itu seberagam budaya yang mengarungi rute Kerajaan Sriwijaya di masa silam. Sungguh, di Bumi Sriwijaya, kuliner bukanlah konsep semata, melainkan kebahagiaan ala wong kito.
Baca juga : Jelajah Kuliner Palembang
HOW TO GO
Xpress Air melayani rute Bandung-Palembang, waktu tempuh sekitar 1 jam. Dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, ada 3 pilihan transportasi menuju pusat kota, termasuk Jembatan Ampera, yaitu : taksi, bus Trans Musi, dan gojek. Ongkos taksi Rp 80.000 – Rp 100.000. Waktu tempuh 30 menit. Tarif bus Trans Musi Rp 5.000,- Waktu tempuh 1 jam. Ongkos gojek Rp 35.000 – Rp 40.000. Waktu tempuh sekitar 30-40 menit.
WHERE TO SLEEP
Hotel Batiqa Palembang terletak di lokasi strategis. Hanya berjarak 3,5 kilometer dari Jembatan Ampera. Pusat kota dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan motor atau 20 menit dengan mobil. Hotel Batiqa menawarkan kamar yang nyaman mulai dari Rp 475.000 (tanpa breakfast) dan Rp 525.000 (dengan breakfast).
HOW TO GO
Xpress Air melayani rute Bandung-Palembang, waktu tempuh sekitar 1 jam. Dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, ada 3 pilihan transportasi menuju pusat kota, termasuk Jembatan Ampera, yaitu : taksi, bus Trans Musi, dan gojek. Ongkos taksi Rp 80.000 – Rp 100.000. Waktu tempuh 30 menit. Tarif bus Trans Musi Rp 5.000,- Waktu tempuh 1 jam. Ongkos gojek Rp 35.000 – Rp 40.000. Waktu tempuh sekitar 30-40 menit.
WHERE TO SLEEP
Hotel Batiqa Palembang terletak di lokasi strategis. Hanya berjarak 3,5 kilometer dari Jembatan Ampera. Pusat kota dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan motor atau 20 menit dengan mobil. Hotel Batiqa menawarkan kamar yang nyaman mulai dari Rp 475.000 (tanpa breakfast) dan Rp 525.000 (dengan breakfast).
Kamar Batiqa Hotel Palembang yang saya inapi :) |
WHERE TO EAT
Warung Terapung Mbok Mar menyajikan menu pindang dan sensasi makan di atas sungai. Malam hari, nikmati menu seafood dan kuliner Palembang di Restoran River Side dalam suasana bak kapal pesiar sambil memandang kemegahan Jembatan Ampera yang bermandikan cahaya.
Jangan lewatkan kuliner legendaris Martabak HAR di Jalan Sudirman. Mie Celor HM.Syafei di Jalan KH. Ahmad Dahlan bisa jadi sarapan lezat di pagi hari. Empek-empek panggang Saga Sudi Mampir paling enak buat kudapan sore. Pempek Pak Raden di Jalan Sudirman cocok untuk oleh-oleh.
Biar kekinian, singgahlah di Toko Harum. Banyak kue khas dan makanan Palembang tempo dulu, bahkan langka, tersedia di sana.