Terbang bersama Sriwijaya Air |
Oktober 2016. Hujan, kabut tebal, jarak pandang jadi pendek, jadwal penerbangan Jakarta - Lampung pun ditunda. 130 menit pertama sejak jam 5.30 pagi ditambah 30 menit di ruang tunggu, dan 50 menit di dalam pesawat. Jam 8.20 baru terbang. Mundur 1 jam 20 menit dari jadwal. Sabar.
Sudah 3x jadwal penerbangan saya ubah. Rencana sempat maju mundur. Semangat turun naik. Galau. Risau. Entah kenapa. Saya sendiri gamang menerkanya. Ada rasa enggan bepergian, tapi ada kewajiban. “Seperti apa pun suasana hati, ada kerjasama yang sudah disepakati, kamu mesti profesional,” ucap seseorang.
Baiklah. Biarkan hujan jadi teman.
Sudah 3x jadwal penerbangan saya ubah. Rencana sempat maju mundur. Semangat turun naik. Galau. Risau. Entah kenapa. Saya sendiri gamang menerkanya. Ada rasa enggan bepergian, tapi ada kewajiban. “Seperti apa pun suasana hati, ada kerjasama yang sudah disepakati, kamu mesti profesional,” ucap seseorang.
Baiklah. Biarkan hujan jadi teman.
Menikmati delay 30 menit |
50 menit di dalam pesawat, sebelum take off |
Terbang bersama Sriwijaya Air dengan tiket pesawat yang dibeli dari www.tiket2.com. Boeing 737-900ER. Ah iya, ini pesawat beda dari yang biasa saya naiki saat ke Lampung pada waktu-waktu sebelumnya. Beda jenis pesawat, beda pula yang dilihat dan dirasa. Menikmati kelebihannya, seperti sedang dijamu penghiburan.
“Mbak, kok kita masih di atas pulau Jawa ya?” tanya gadis muda di sebelah saya. Saya lupa namanya. Hanya ingat ia berasal dari Way Kanan, sedang kuliah di Jakarta. Pertanyaannya membuat saya merasa aneh sendiri. Padahal sejak take off mata terarah ke luar jendela. Tapi pikiran ke mana-mana. Melamun. Tak menyadari apapun. Hanya sadar saat merasakan pesawat bergetar 2-3 kali. Seperti getaran rindu, bercampur guncangan amarah. Sensitif dirasa.
“Mungkin karena cuaca sedang buruk, terbangnya lambat,” jawab saya sekenanya. Beberapa detik kemudian terdengar pemberitahuan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Ha? Sudah mau sampai?
Ada foto dan tulisan sendiri di inflight magazine Sriwijaya Air edisi Oktober 2016 |
Jalan tol Sumatera? |
Sudah biasa terbang ke Lampung dalam waktu singkat, tapi sekarang terasa lebih singkat dari biasanya. Pemandangan yang terlihat dari atas pun berbeda. Pulau-pulau kecil berbentuk seperti gunung. Saya tak pernah lihat itu.
Cuaca di Bandara Radin Intan Lampung mendung. Terminal pun tampak amburadul, masih dalam proses renovasi dan perluasan. Bandara ini, bagai wajah duka pria patah hati. Tak sedap dipandang, tapi bikin kasihan.
“Nanti mbak Katrin turun lebih dulu, saya belakangan saja,” ucap Mas Sony, sesaat setelah taksi yang kami naiki melaju meninggalkan bandara.
landing.....disambut mendung |
Mendung perlahan menyingkir, berganti terang. Cuaca telah berubah cerah. Seperti halnya perasaan. Obrolan seru tentang Lampung besama Mas Sony membuat mata saya berbinar. Ia bercerita banyak hal. Saya menyimak dengan rasa penuh ingin tahu.
Cukup seorang teman, sebuah cerita, lalu ceria. Sesederhana itu. Mudah untuk membuat senang, bukan?
Kami bicara tentang gadget, tempat wisata, kuliner, trip, dan kegiatan sehari-hari. Nyambung. Ah iya, Mas Sony bekerja di Lampung. Sudah 7 tahun. Tak heran kalau ia lebih tahu banyak hal ketimbang saya yang datang ke Lampung cuma datang sesekali sebagai pelancong.
“Nanti sama siapa kulinerannya?” tanyanya.
“Sama teman, tapi dia sedang meliput acara, katanya nanti nyusul,” jawab saya.
Dari bandara ke Kota Bandar Lampung kami tempuh satu jam saja dengan taksi. Jam 10 saya sudah di kota. Teringat rencana naik bus Trans Lampung yang batal karena suatu hal. Tapi ada hikmahnya, kalau naik bus mungkin jam 12 baru sampai kota. Taksi bertarif Rp 115.000 bisa berangkat kapan saja, sedangkan bus bertarif Rp 20.000 berangkat sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Pilih mana? Tergantung sikon.
Perjalanan lancar. Berkat arahan Mas Sony, supir menemukan lokasi Encim Gendut dengan mudah. Di depan Encim Gendut kami pun berpisah. Saya kulineran, Mas Sony ke kantor.
Kantin Makan Encim Gendut |
Ada dua pekerjaan yang saya lakukan di Lampung kali ini. Tapi sebetulnya, sebutan “pekerjaan” itu terlalu serius. Apa yang saya kerjakan bagai bukan pekerjaan. Maksud saya begini; saya ke Lampung jalan-jalan. Naik pesawat, makan-makan, dan menginap di hotel. Nah itu pekerjaan saya. Paham?
Kulineran di Encim Gendut
Punya waktu dua hari di Lampung, apa yang bisa dilakukan?
Berwisata tentu saja. Tapi musim hujan begini, mau kemana? Saya ulang, saya sedang malas dan enggan banyak ke mana-mana, kecuali kulineran. Itu saja mau saya. Ke mana? Ke tempat-tempat baru di dalam kota Bandar Lampung.
Encim Gendut sudah saya masukkan dalam daftar tempat makan yang harus saya kunjungi kali ini. Yang lainnya, biar mengalir mengikuti arah jalan, ke mana kaki melangkah, atau ke mana tuan mengajak.
Bareng Willy, owner Encim Gendut |
Hal menarik yang membuat saya begitu ingin ke Encim Gendut adalah menu makanan yang disajikannya. Menu otentik. Sangat lokal. Citra Nusantara. Jangan datang ke sini kalau punya selera kebarat-baratan. Apalagi kalau merasa nggak keren jika makan sayur genjer dan sambal jengkol. Jangan!
Bagian berkesannya, perbincangan hangat bersama Willy pemilik Encim Gendut. Saya kagum dengan kisah inspiratif di balik berdirinya kantin yang mulai dibuka pada tgl 18 April 2016 itu. Juga, terhadap prinsip dan semangat melestarikan menu tradisional dalam diri Willy.
Baca ceritanya : Sepiring Cerita dari Encim Gendut
Menu makanan Encim Gendut banyak, yang makan juga ramai |
Sayur genjer Encim Gendut. Mau? |
Hotel Airy Rooms
Siang hari di hotel. Saya mulai kerja. Ambil gambar sebanyak mungkin. Dari berbagai sudut. Lalu selesai. Istirahat. Tidur. Tapi tak bisa tidur. Malah sibuk mengamati ulang foto-foto kamar hotel yang saya ambil dengan kamera HP Asus Zenfone 3.
Saya tak bawa kamera DLSR. Memang tak ada syarat itu. Yang penting ada foto, dan hasilnya nggak malu-maluin jika dipajang dalam blog. Saya merasa cukup dan percaya diri memakai kamera Zenfone 3. Bukan kali ini saja. Sebelumnya, saat diminta untuk memotret ice cream di Ice on Pan Summerecon Mall Serpong, saya juga pakai kamera HP. Dan itu cukup. Lain halnya kalau saya butuh foto untuk dipakai oleh majalah, mengambil foto pakai kamera DLSR sudah suatu keharusan.
Kamu sudah punya ASUS Zenfone 3 belum? Kalau punya, mungkin akan percaya diri seperti saya, memotret untuk ‘pekerjaan’ blog cukup pakai Zenfone 3 saja. *kalimat ini mengandung iklan. Percayalah :p
Jelang sore hujan kembali turun. Rencana pergi ke pantai buyar. Mau keluar malas. Menunggu petang berlalu, barangkali malam hujan reda. Berharap bisa kelayapan, cari makan. Kulineran malam. Dan itu terkabul. Sebelum magrib hujan berhenti.
Baca ulasan hotel yang saya inapi : Pengalaman menginap di Hotel Airy Tanjung Karang.
Hotel Airy Rooms Tugu Adipura |
Kamar Airy Rooms |
Sate Pikul Lagi
Teringat pesan Willy, cintai makanan lokal. Ah iya, bagaimana jika makan sate pikul? Tanpa ragu kami ke sana, berkendara, angin-anginan. Setengah ngebut. Disaksikan langit tertutup awan tebal. Jam 8 sudah di tempat.
Akhir Agustus 2 bulan lalu pernah ke sini, makan malam. Saat itu saya bilang enak, sebab bumbu satenya memang enak. Mungkin karena itu saya kemari lagi. Ingin menikmatinya ulang. Ternyata masih sama enak seperti sebelumnya. Nggak ada yang berubah, sama seperti rasa cinta pada kekasih pujaan hati: enak lagi, suka lagi, cinta lagi, dia lagi.
Sate Pikul di pinggir jalan |
Malam masih banyak yang beli |
Jika sebelumnya saya tidak mengambil gambar sama sekali, kali ini Zenfone 3 beraksi. Memotret sate di antara kepulan asap, memotret dua porsi sate dalam piring beralas daun pisang, dan memotret mereka yang makan sate malam itu.
Tempat jualan sate pikul tidak berada dalam suatu bangunan. Melainkan menumpang pada teras sebuah bangunan entah apa. Ada dua buah meja dengan bangku-bangku plastik tanpa sandaran. Jumlahnya terbatas, sedangkan pelanggan ramai, belum memadai. Pengunjung bermobil, parkir di pinggir jalan, memesan sate, dan memakannya di dalam mobil. Mungkin sadar tempat duduk kurang.
Ini yang bikin saya ketagihan |
Sukanya pakai lontong, tapi habis |
Warung sate pikul memang ala kadarnya. Tapi saya tak merisaukan itu. Tetap nikmati sate sambil dengar nyanyian pengamen pertama, kedua, atau bahkan pengamen ketiga. Mereka hadir silih berganti. Berkali-kali.
Makan dan membaur bersama suasana pinggir jalan. Bunyi motor, klakson mobil, celotehan orang-orang, asap dari arang pembakar sate, cahaya kekuningan lampu jalan, dan juga gerimis yang perlahan turun. Lengkap.
Saya tidak hanya sedang menikmati sate. Tapi juga merangkai cerita menikmati kisah.
Makan ramai-ramai |
Ada Mas Tri Yuliawan juga (kanan) |
Belok ke Sambel Rumah
Siang keesokan hari, cuaca berubah-ubah. Awalnya panas, kemudian mendung, lalu hujan. Hari kepulangan selalu tergesa-gesa. Tak bisa banyak kunjungi tempat yang diinginkan. Apalagi cuaca tak mendukung. Rasa takut ketinggalan pesawat pun turut menghantui.
Ingin ke sana, ingin ke sini. Tapi akhirnya hanya Omah Bone Café yang akan dituju. Berkendara lagi, tanpa kebut. Langit mendung. Di tengah jalan, disergap hujan. Oh, lagi.
Hujan keburu lebat, bermotor, basah. Bakal basah kuyup jika terus memaksakan ke Omah Bone Café. Keputusannya: belok kiri, masuk ke rumah makan Sambel Rumah. Singgah, berteduh, sekaligus makan. Saat itu memang sudah waktunya makan siang.
“Itu Taman Jajan Pertiwi, tempat kita makan siang bareng mbak Rosanna dan Rian waktu itu.”
“Omah Bone Café itu tempat aku makan bareng kawan-kawan SMA, fotonya yang kamu lihat di FB waktu itu.”
Tentu saya ingat itu semua.
Sekarang kami di Pahoman, di Sambel Rumah. Alamatnya di Jl.Dr.Susilo No.101. Makan siang dengan ayam goreng, lele bakar, cah toge, sambal, lalapan. Minumannya es shanghai.
Total Rp 77.000,- |
Hujan-hujan minum yang dingin |
Di luar masih hujan, bahkan kian deras. Di ruangan belakang tempat kami duduk, hujan menetes dari lubang atap yang bocor. Cipratan air yang jatuh mengenai celana bagian bawah. Kami bergeming, tak mengeluhkan itu. Malah tertawa. Biarkan saja. Toh tidak mengenai makanan di meja. Indahnya hidup bila dibawa asik-asik saja ya.
Udara terasa dingin, minum minuman hangat sepertinya cocok.
“Mau ngopi?”
“Ayo.”
Rumah Makan Sambel Rumah |
Rumah Makan Sambel Rumah |
Ngopi di DeLotuz Kitchen
Kopi dan waktu tanpa ketergesa-gesaan adalah teman akrab.
“Tunggu di dalam, nanti saya kembali.”
DeLotuz Kitchen bukan coffee shop, lebih tepat resto. Tapi di sini tersedia kopi, peminum kopi bisa memesan kopi.
“Tunggu di dalam, nanti saya kembali.”
DeLotuz Kitchen bukan coffee shop, lebih tepat resto. Tapi di sini tersedia kopi, peminum kopi bisa memesan kopi.
“Saya pesan jus kiwi. Pure kiwi. Tanpa gula.”
“Cicongfan Stuffed Cakwe favorit tamu kami, apa ibu mau coba ini?”
“Saya baru saja makan, masih kenyang. Ah….es krim ini saja.”
“Itu juga enak bu.”
“Tapi, sepertinya saya ingin Cicongfan Seafood ini saja.”
Kelihatannya saya sedang plin plan dan lupa pada ucapan “baru saja makan” itu. Tapi sungguh, cicongfan itu memang menggoda. Cocok dengan udara dingin saat itu. Di luar pun hujan. Hangatnya cicongfan jadi penawar. Membuat kebersamaan jadi semanis jus kiwi murni yang saya pesan. Enak di mulut hingga perut.
Cicongfan Seafood |
Jus Kiwi kesukaan *_* |
Chee cheong fun, menu klasik ini berbentuk bulat panjang, lentur dan kenyal ketika digigit. Tidak menggunakan daging babi, hanya udang, dan bahan-bahannya dijamin halal.
Satu gigitan. Dua gigitan. Tiga gigitan. Akhirnya cicongfan habis satu potong. Ketagihan? Tentu.
Satu seruput. Dua seruput. Tiga seruput. Akhirnya isi cangkir kopi mendekati dasar cangkir.
“Jus kiwiku enak. Mau coba?”
Sluuuuurrrp…..!
HP berdering. Taksi sebentar lagi tiba. Mulai tergesa. Hujan masih ada.
“Keburu ya sampai bandara jam 5?”
“Keburu pak.”
Taksi ngebut.
Sejak kemarin, hujan di kota ini sukses menghalangi saya pergi ke pantai-pantai terdekat. Tapi gagal menghalangi saya kulineran menjajal tempat-tempat baru yang belum pernah saya datangi. Begitulah, di satu sisi gagal, di sisi lain berhasil.
Saya bahagia.
Karena pada akhirnya, masih ada cerita yang dibawa pulang.
Perjalanan memang tak berujung. Nikmati proses. Mari terus melangkah.
@ deLotuz Kitchen |