132 tahun silam, tepatnya tanggal 26-27 Agustus 1883, Gunung Krakatau menggelegar membangunkan penduduk planet. Ledakannya setara 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia II. Getarannya terasa sampai Eropa dan letusannya terdengar hingga sejauh 4.653 kilometer sampai Australia dan Afrika. Sebuah bencana besar yang merubah sebagian wajah bumi. Mengakibatkan Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan lenyap, setengah kerucut Gunung Rakata hilang. Terjadi gelombang tsunami setinggi 40 meter yang mengakibatkan puluhan ribuan penduduk tewas. Langit separuh bumi gelap gulita selama dua hari. Debu vulkanisnya menutupi atmosfer bumi, menyebabkan perubahan iklim global sampai setahun berikutnya.
Puluhan tahun kemudian (1927) muncul daratan baru di tengah Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung yang kelak dikenal dengan nama Gunung Anak Krakatau. Gunung tersebut kemudian dilindungi oleh negara dan diperuntukkan sebagai cagar alam. Kini, setelah berhasil lepas dari wilayah administrasi Provinsi Banten, Gunung Anak Krakatau menjadi kebanggaan warga Lampung. Pemerintah setempat kemudian mengangkat nama besar Krakatau di kancah dunia pariwisata secara internasional, salah satunya melalui Festival Krakatau. Salah satu kegiatan dalam festival yang digelar secara rutin tiap tahunnya ini adalah Tour Anak Krakatau. Tour ini difasilitasi oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lampung. Dan karena mengikuti tour inilah saya dapat menginjakkan kaki di Gunung Anak Krakatau.
|
Kapal-kapal cepat merapat di pulau |
|
Kapal seperti ini yang kami naiki |
BERKUNJUNG KE KAWASAN CAGAR ALAM
Sebagai kawasan cagar alam yang dilindungi negara, setiap orang yang hendak berkunjung ke Gunung Anak Krakatau tidak bisa masuk begitu saja. Harus ada ijin dari petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung. Kunjungan pun hanya diperbolehkan untuk tujuan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan terkait flora dan fauna atau dokumentasi liputan khusus. Cagar alam memang bukan sebuah “surga baru”, melainkan sebuah tempat yang dilindungi baik dari segi tanaman maupun binatang yang hidup secara alami di dalamnya agar kelak dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan di masa kini dan mendatang.
Selain harus mendapat ijin dari BKSDA, pengunjung yang datang ke kawasan seluas 13.605 hektar ini juga harus mematuhi seluruh aturan yang ditentukan oleh pengelola cagar alam. Setiap orang wajib menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan, serta membawa kembali sampah yang dihasilkan selama beraktivitas di lokasi. Keganasan Gunung Anak Krakatau pun mesti diketahui, karena pasir dan tanah yang menyelimuti permukaan gunung terasa sangat panas pada siang hari. Tanpa alas kaki yang tepat, kulit bisa melepuh.
Meski ada bahaya yang mengintai, tetapi sekeliling kawasan gunung berapi ini memiliki pemandangan menawan. Itu sebabnya banyak pejalan yang sedang melakukan tur di Anyer dan Ujung Kulon Banten, menjadikan kepulauan vulkanik ini sebagai tujuan akhir dari perjalanan mereka. Sensasi mendaki gunung legendaris tentu menjadi sesuatu yang menarik untuk dirasakan. Saya pun merasa demikian. Soal ijin, selama tidak untuk melakukan perbuatan yang merusak alam, ijin bisa didapatkan. Jika sudah mengantongi ijin, yuk manfaatkan itu sebaik mungkin.
BERLAYAR MENGARUNGI SELAT SUNDA
Dari Bandar Lampung, saya bersama beberapa teman traveler berangkat menggunakan bus, menempuh waktu sekitar satu setengah jam menuju Kalianda. Biasanya, traveler yang akan berangkat ke Gunung Anak Krakatau bertolak dari dermaga Canti di Kalianda, namun kali ini dari dermaga Grand Elty Krakatoa di Pantai Merak Belantung.
Perjalanan dilanjutkan dengan berlayar selama tiga jam mengarungi Selat Sunda, menggunakan perahu motor berkapasitas 20 orang. Cuaca cerah, namun angin kencang dan hempasan gelombang sesekali naik turun mengguncang kapal. Selain Tour Anak Krakatau, di waktu yang sama juga digelar Krakatau Jetski Adventure. Suguhan parade jetski menjadi hiburan tersendiri. Kelihaian peserta jet ski ngebut di atas laut Selat Sunda cukup mengundang perhatian. Kapal melewati beberapa pulau tak berpenghuni, namun ada juga pulau cukup besar dan berpenghuni seperti Pulau Sebesi.
|
Gunung Anak Krakatau di latar belakang |
Sang raja siang telah duduk di puncak singgasananya ketika kapal merapat di Kawasan Cagar Alam Krakatau. Lidah ombak bergulung-gulung membelai bibir pantai yang diselimuti pasir berwarna hitam. Mengundang rasa tak sabar untuk lekas meloncat dari kapal agar segera menjejakkan kaki di permukaan pantainya yang ditutupi pasir hitam. Di kepulauan vulkanik ini tak ada dermaga. Untuk mendarat di pantai, kami harus menggunakan tangga kayu kecil yang mudah bergeser tiap kali diterjang ombak.
Di pelataran gunung terdapat sebuah plang nama bertuliskan “Cagar Alam Krakatau”, terpancang tak jauh dari pantai. Di dekat plang itu, di bawah pohon-pohon, ada beberapa papan informasi yang tertancap di jalan setapak menuju jalur pendakian, berisi sejarah singkat Krakatau yang dapat dibaca sendiri oleh pengunjung. Dan di sana, sekelompok orang dari Pulau Sebesi sedang menampilkan kesenian tradisonal. Irama gendang yang ditabuh mengiringi gerakan pencak silat seorang anak lelaki. Sajian sederhana itu mengundang perhatian. Orang-orang berkerumun menyaksikan. Sementara di pantai sebelah timur, terlihat ada tenda dan warga asing yang sedang asyik bermain air. Mungkin peneliti yang diijinkan masuk oleh petugas BKSDA. Masih di pelataran gunung, terdapat sebuah bangunan berbentuk rumah panggung, sepertinya rumah petugas jaga. Saya sempat masuk untuk menumpang salat.
|
Selamat datang di kawasan cagar alam Krakatau |
|
Salah satu dari empat papan informasi |
|
Rumah jaga, tempat istirahat, bisa untuk salat, juga tersedia toilet |
MENDAKI GUNUNG LEGENDARIS
Anak Krakatau adalah sebuah kepulauan vulkanik aktif yang terletak di Selat Sunda yang memisahkan Pulau Jawa dan Sumatra dengan status cagar alam. Bagi saya pribadi, bisa menjejakkan kaki di sini tentu menjadi sebuah pengalaman berharga. Namun, hal paling penting dari perjalanan ke tempat seperti ini adalah saat tahu cara menikmati alam, yaitu mempelajari sejarah erupsi dan kemudian mendaki sampai ke puncak Gunung Anak Krakatau.
Pagi hari, tentunya adalah waktu yang sangat ideal untuk mendaki. Di siang hari, udara terasa sangat panas dan menyengat. Apalagi, selepas pelataran hutan pinus menuju puncak tak ada pepohonan sama sekali. Pasir hitam yang menutupi permukaan gunung berapi aktif ini juga tak kalah panas saat dipijak. Tanpa sepatu gunung dipastikan kulit akan melepuh. Tapi apa boleh buat, kami sampai di sana tengah hari, saat udara sedang panas-panasnya. Terpaksa mendaki di bawah hujaman sinar matahari yang tak bisa diajak kompromi.
|
Teman-teman medsos, blogger, dan jurnalis |
|
pepohonan sampai sebatas ini saja, selanjutnya berpanas-panas ria |
Sulit untuk bersuka cita meniti pasir vulkanik dengan kemiringan 30 derajat. Padahal, puncak Gunung Anak Krakatau tidaklah tinggi, hanya memerlukan waktu setengah jam pendakian. Saat dipijak, tanah dan bebatuan yang tidak padat memang membuat langkah jadi terasa berat. Pasir-pasir halus berhamburan, debu-debu pun berterbangan. Saat kaki maju dua langkah, kaki merosot mundur satu langkah. Begitu seterusnya.
Lelah dan penat tak begitu terasa, hanya panas saja yang sulit untuk ditahan. Saya lihat banyak orang-orang terus naik, bersemangat seolah pantang turun sebelum mencapai puncak. Dari yang muda sampai tua. Bahkan seorang oma-oma terus berjalan dengan payung di tangan, ditemani seorang opa-opa. Mungkin suaminya. Hebat sekali keduanya. Melihat itu saya jadi tersemangati. Jika mereka mampu, kenapa saya tidak? Semangat saya naik, tapi sayang kaki tidak terus naik. Baru setengah pendakian saya menyerah. Bendera putih pun dikibarkan. Sudahlah kalau begitu, berhenti saja. Saya tak tahan, udara panas membuat saya tersiksa. Ya, saya berhenti. Lalu duduk, foto-foto bersama Ikram dan Dennis, dua pemuda Lampung yang ikut serta dalam pendakian hari itu.
|
Mas Elvan pura-pura gagah, abis itu ngos-ngosan :)) ~ w/ Melly, Ikram, Eltra, |
|
hamparan pasir dan bebatuan |
|
naik naik ke puncak gunung |
Meski tidak berhasil mendaki hingga puncak, tapi di ketinggian yang dicapai sudah dapat membuat saya melihat pemandangan laut biru dengan kapal-kapal yang berlayar di atasnya. Terlihat pula atlit-atlit paramotor sedang terbang, melayang di atas pulau-pulau dan laut sekitar Gunung Anak Krakatau. Yang lebih menarik, dari tempat saya berdiri saya bisa menyaksikan penampakan Pulau Rakata dengan dua pulau lainnya, Pulau Panjang dan Pulau Sertung. Sejarah mencatat, lebih dari seribu tahun yang lalu ketiga pulau itu merupakan satu kesatuan gunung besar bernama Gunung Krakatau Purba. Hingga tahun 400-an Masehi gunung meletus sehingga menyisakan kaldera besar di Selat Sunda. Menjadi gugusan gunung api yang terdiri dari Gunung Danan, Gunung Perbuwatan dan Gunung Rakata dalam satu pulau yang kemudian diberi sebutan Gunung Krakatau.
|
Bersama Encip, Melly, Kiki, dan Pak Indra Kusuma *Photo by +yopie franz
|
Pada akhirnya, perjalanan Tour Anak Krakatau membuka mata saya akan kekuatan sebuah gunung api dalam mengubah lanskap, sekaligus menumbuhkan peradaban baru. Banyak kepercayaan masyarakat yang dikait-kaitkan dengan Krakatau. Namun hal yang penting adalah bagaimana setiap orang bisa hidup berdampingan dengan alam.
~~
Sebuah pengalaman berharga.
Terima kasih Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lampung atas undangannya!
|
Mari pulang.... |