Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im terletak di Desa Burung Mandi, Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Vihara tertua dan terbesar di Pulau Belitung ini jadi tujuan akhir kami dalam tour hari pertama keliling Belitung. Setelah menikmati makan siang kesorean di Rumah Makan Fega, kami baru meluncur ke sana sekitar jam 15.25. Perjalanan menuju vihara kami tempuh selama 20 menit.
Dalam perjalanan, bang Romi supir sekaligus guide kami, bercerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Belitung terutama perihal mata pencaharian. Lelaki yang gemar guyon itu juga bercerita tentang kepercayaan masyarakat Belitung yang tidak menggunakan genteng sebagai atap rumah-rumah mereka. Awalnya aku dan mbak Samsiah diminta untuk mengamati rumah-rumah yang kami lewati. Lalu ditanya apa ada yang terlihat berbeda dari apa yang kami lihat. Aku berfikir keras, tapi tak menemukan sesuatu yang beda. Semua tampak biasa. Di sinilah Bang Romi mulai bercerita. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, tinggal di rumah beratap genteng itu dianggap tinggal di dalam “liang kubur”. Genteng terbuat dari tanah. Jika tinggal di bawahnya seolah tinggal di bawah tanah. Mereka tidak mau ‘masuk tanah’ sebelum waktunya. Aku dan mbak Samsiah agak keheranan mendengar cerita itu.
Suasana jalan yang kami lalui sepertinya agak beda dengan sebelumnya. Mulai agak menanjak. Banyak hutan di kanan dan kiri jalan. Lebih sejuk dan lebih asri. Beberapa kali melewati kebun lada, tanaman rempah yang menjadi komoditas andalan daerah setempat. Selain lada, juga ada perkebunan sawit dan karet. Aku kira tanah gersang bekas banyak tambang timah di pulau ini tak bisa ditanami apapun lagi. Ternyata aku salah terka.
Vihara terletak di perkampungan muslim, bukan di perkampungan etnis China yang menganut agama Budha. Menurut Bang Romi, ada alasan kenapa hal tersebut bisa demikian, tak lain karena masyarakat beda agama di pulau ini sama-sama ingin menunjukan sikap toleransi dan saling menghormati yang mereka miliki.
Dalam pahatan sejarah yang aku baca di Museum Tanjung Pandan, Belitung mulai dikenal oleh orang asing yaitu sejak abad ke-13 Masehi. Dalam catatan Tiongkok diuraikan bahwa armada Mongol yang dipimpin oleh Kau Hsing dan Shih-pi pergi hendak menyerang Kerajaan Singkasari (1293) dengan membawa banyak tentara yang diangkut dengan kapal-kapal besar. Dalam pelayarannya mereka terbawa arus dan terdampar di Kau-lan (suatu tempat di Pulau Belitung).
Ketika kapal pengangkut tentara Mongol terdampar di Kau-lan, banyak tentara yang jatuh sakit. Tentara yang sakit sebagian kembali ke Tiongkok, dan sebagian lagi tetap tinggal di Kau-lan bersama penduduk setempat. Banyak di antara mereka kawin dengan penduduk lokal. Sejak saat itulah Belitung mulai ditinggali orang-orang Tionghoa. Hingga sekarang populasi mereka di Bangka dan Belitung cukup banyak. Apalagi ketika timah ditemukan di Bangka, banyak pekerja tambang yang didatangkan dari Tiongkok.
Sejarah inilah yang membuat rasa heranku perlahan pupus. Iya, pupus. Tak lagi heran dengan banyaknya penduduk etnis yang banyak aku jumpai di berbagai tempat di Belitung.
Kami sudah kesorean tiba di Vihara. Dari gerbang masuk jarak vihara hanya beberapa puluh meter saja. Area Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur ini dibangun di atas tanah berbukit-bukit seluas 3 Ha. Ada tempat parkir yang luas. Warna merah tampak mendominasi semua bangunan vihara, termasuk ornamen dan lampion-lampion yang bergelantungan di langit-langit vihara. Di bawah cahaya matahari yang mulai menyorot miring, vihara terlihat begitu cantik. Aku dan mbak Iah bergegas menaiki tangga. Berharap bisa turun sebelum matahari menghilang di kaki langit.
Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur sudah sangat tersohor sejak lama, merupakan salah satu tempat ibadah warga Tionghoa yang paling tua di Belitung Timur. Lokasi vihara berada di sisi Timur Pulau Belitung, langsung menghadap ke Pulau Kalimantan yang berjarak sekitar 200 km, dan Laut Jawa.
Vihara Dewi Kwan Im ditemukan pertama kali pada tahun 1747. Vihara ini memiliki tiga tempat sembahyang. Yang pertama kami jumpai adalah yang di dekat anak tangga, namanya Shimunyo. Setelah kami naik naik lebih ke atas, ada satu lagi tempat sembahyang bernama Sitiyamuni. Sedangkan yang paling atas adalah tempat sembahyang yang paling besar yaitu Kon Im. Konon, Dewi Kwan Im bersembahyang di atas batu yang ada di Kon Im, salah satu tempat sembayang paling besar di vihara ini.
Wisatawan |
Sembahyang |
Sesampainya di Vihara Dewi Kwan Im, kami bertemu dengan pengurus vihara bernama Akhun. Ia bersama istrinya dan seorang wanita lainnya. Kami meminta ijin untuk masuk dan memotret di dalam. Tanpa ragu ia membolehkan. Ijin itu ia berikan karena vihara sedang sepi. Tak ada yang sedang sembahyang. Hanya saja kami diminta melepas alas kaki ketika masuk. Mengisi buku tamu dan memberi sedekah secara sukarela. Setelah beberapa saat masuk, datang sepasang pengunjung yang hendak sembahyang. Akhun dan istrinya membantu keduanya, mengajari ritual yang mesti dilakukan. Melihat itu aku menyingkir, lalu pindah ke pojok sambil memotret. Untungnya tak dilarang.
Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur terkenal hingga ke banyak negara di dunia. Sudah banyak peziarah yang jauh-jauh datang dan sembahyang di Vihara Dewi Kwan Im. Patung Dewi Kwan Im konon memiliki aura mistis di altar utama Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur. Patung Dewi Kwan Im dipercaya umat Budha bisa menyelamatkan manusia. Di dalam Vihara juga ada lukisan Dewi Kwan Im tengah duduk di atas teratai, dan sejumlah patung Dewi Kwan Im yang kebanyakan memegang botol labu di tangan kirinya.
Di dalam altar terdapat tiga buah patung Buddha, tambur dan genta kecil, hiolo, lukisan Dewi Kwan Im, dan patung Kwan Kong serta perlengkapan sembahyang lainnya. Di sebelah kanannya ada lagi bangunan terpisah berisi patung-patung Dewi Kwan Im. Di dalam vihara terdapat altar pemujaan bagi Pak Kung (Hok Tek Ceng Sin) atau Dewa. Ada pula Patung Toapekong (Tua Pek Kong) atau patung Dewa Bumi, yaitu patung yang biasa diarak sambil diringi barongsai pada perayaan hari besar Tionghoa.
Perayaan yang biasa dilakukan di Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur adalah acara ritual tahunan pada Hari Raya Imlek. Terkadang juga ada perayaan ulang tahun vihara yang berlangsung di bulan 2, tanggal 19, mengikuti sistem penanggalan Tiongkok.
Ada anjing hitam lewat, model tetap bergaya alay :D |
Menapaki 80-an anak tangga |
~Belitung, 11 September 2015
*Semua foto dokumentasi Katerina
Sayang sekali dulu saya tak sempat masuk ke wihara ini--cuma lewat. Saya pikir sejarahnya tidak panjang, ternyata ini wihara tertua di Belitung! Wow, hebat sekali ceritanya. Indonesia sebagai jalur perdagangan memang pada gilirannya menjadikan negara ini sangat kaya akan percampuran budaya ya Mbak. Saya baru tahu lho kalau ini dibangun di tengah kampung muslim, terus kepercayaan untuk tidak mengatapi rumah dengan genteng--itu unik sekali!
BalasHapusDewi Kwan Im memang welas asih--sehingga aura damai yang dirasakan peziarah di sana tentu sangat terasa. Dan agaknya Kon Im itu sebenarnya Kwan Im yang sudah disesuaikan dengan pengucapan lokal, ya?
Vihara dimana mana ya, dulu aku jarang sekali mendatangi Vihara. Sekarang sering datang ke Vihara untuk melihat sejarah penyebaran budaya Tionghoa di Indonesia.
BalasHapusYang ini lokasi viharanya keren
Bagus ya viharanya. Terawat. Viewnya kayaknya juga keren dari atas sana...
BalasHapusMemang objek apapun klo dirawat bisa jadi objek wisata yg apik...:-)
adem banget dah pasti suasananya... kebayang sama film jacky chan :D
BalasHapusBesok kita ke sini juga kah mba Rieen?
BalasHapusSuasananya seperti bukan di Indonesia ya. Sejuk banget kelihatannya.
BalasHapusIndah sekali pemandangan dari atas mbak Rien. Sayang aku belum pernah ke sana >.<
BalasHapusNanti kits diajakin ke sini juga kan?
BalasHapusharga tiket masukya berapa ka?
BalasHapusGratis om
Hapus