Keindahan dan Ketenangan Yang Tersembunyi di Balik Perbukitan
Satu kesempatan paling sempurna bisa menjejak Dieng, dataran tinggi nan memesona berjuluk Negeri Di Atas Awan. Terletak di propinsi Jawa Tengah, Dieng menawarkan alam pegunungan nan cantik, lengkap dengan telaga-telaga, mata air, dan kawah-kawah. Mengunjungi Curug Sikarim dan Telaga Menjer, merasakan serunya tubing di Saluran Wangan Aji, dan menikmati mie ongklok, membuat saya hanyut dalam keindahan Dieng yang tersembunyi di balik perbukitan.
Gemericik Air Menenangkan
Dieng terletak di Wonosobo, dengan jarak tempuh sekitar 3 jam perjalanan menggunakan kendaraan bus dari Semarang. Mendekati Wonosobo, mata saya dimanjakan oleh pemandangan jajaran gunung-gunung, ladang, dan kebun sayur yang memberikan warna hijau pada lereng-lereng pegunungan. Sangat asri dan menyegarkan mata.
Waktu menunjukkan pukul 8 pagi ketika saya tiba di terminal Mendolo, Wonosobo. Suasana terminal yang sepi dan tenang itu tampak bersih, rapi, dan sangat teratur. Rasanya, saya jarang menemukan terminal seperti ini di kota lainnya di Indonesia. Saya pun bergegas mendekati minibus berwarna merah dan kuning, yang telah terisi teman-teman satu rombongan. Inilah bus yang akan membawa saya menjelajah Wonosobo.
Ladang dan perkebunan milik warga di celah-celah perbukitan |
Tujuan pertama kami adalah Curug Sikarim yang berada di Desa Mandi, sekitar 18 kilometer dari pusat kota Wonosobo. Bus mulai bergerak perlahan ke utara menuju wilayah Kecamatan Garung, melalui Jalan Raya Dieng. Dari Kecamatan Garung, bus mengambil jalan arah barat dengan medan jalan yang didominasi oleh tanjakan berkelok. Di sisi kanan dan kiri terhampar ladang dan perkebunan milik warga. Sembari menikmati suhu udara yang sejuk, mata pun disuguhi suasana alam yang benar-benar alami. Dari kaca jendela bus saya dapat menyaksikan aktivitas petani sayur di kebun mereka.
Tapi, tak dipungkiri, jalan berbatu, menanjak, dan berkelok sepanjang perjalanan menuju Curug Sikarim sempat membuat saya tegang di perjalanan. Ngeri juga jika melihat tebing di sisi jalan yang curam dan lembah nan dalam. Syukurlah akhirnya kami tiba di pemberhentian bus di area perkebunan ginseng. Saya sangat antusias, inilah pertama kalinya saya melihat tanaman ginseng tumbuh di alam terbuka. Daunnya bulat lebar, berwarna hijau mengkilat dengan permukaan penuh urat (urat daun).
Dari tempat pemberhentian bus, saya sudah bisa melihat penampakan air berwarna keperakan yang mengalir di permukaan tebing. Untuk benar-benar sampai di ujung air terjun, saya berjalan kaki tak jauh, hanya sekitar 50 meter saja melewati hutan kecil yang ditumbuhi pepohonan dan ilalang. Tak ada karcis masuk ke kawasan wisata ini.
Curug Sikarim, laksana selendang air |
Tak salah jika air terjun ini dijuluki mutiara yang tersembunyi dari Dieng. Pemandangan air terjun yang mencapai ketinggian 50 meter ini memang atraktif, dengan latar belakang Bukit Sikunir yang menjulang dan banyak ditumbuhi perdu dan tanaman langka. Air terjun mengalir deras menyusuri dinding batu-batu cadas, turun hingga ke kaki bukit dengan dua jalur aliran air.
Derasnya air menimbulkan efek warna silver, laksana selendang yang panjang. Ada rasa ingin bermain air, tetapi sayangnya tidak ada genangan yang bisa dijadikan tempat berendam. Termasuk kawasan yang belum dijadikan objek wisata, tak ada fasilitas yang menunjang di lokasi ini. Bahkan, sekedar tempat untuk duduk-duduk atau toilet. Lokasinya pun jauh dari permukian penduduk.
Sejauh mata memandang hanya ada perbukitan menjulang dan tumbuhan pakis galar yang tumbuh subur. Menikmati suara gemericik air terjun, ditambah udara sejuk dan pemandangan yang begitu elok, benar-benar mampu menentramkan jiwa. Membuat saya betah berlama-lama.
Sewaktu hendak meninggalkan kawasan Curug Sikarim, kami melewati sebuah villa, satu-satunya bangunan yang berdiri di sekitar curug. Bangunannya berwarna putih, berpagar tinggi, dan terkunci. Kami penasaran, lalu turun dan melihat. Tetapi tak ada siapapun yang kami jumpai di villa itu.
Sebuah villa di perbukitan |
Kabut di Atas Telaga
Bus kembali menyusuri perbukitan, menuju Telaga Menjer yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Curug Sikarim. Suasana jalan masih sama, tampak lengang. Kami bahkan tak berpapasan dengan satu kendaraan pun. Fasilitas trasnportasi di kawasan ini masi sangat jarang. Mungkin itu sebabnya, sangat jarang wisatawan yang datang. Kendati tidak ada angkutan umum roda empat, di Desa Mlandi tersedia ojek yang bisa disewa untuk mencapai Telaga Menjer maupun Curug Sikarim. Sangat disarankan untuk menyewa kendaraan jika ingin mengunjungi objek wisata di kawasan ini.
Telaga Menjer terletak di Desa Maron, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Lokasinya dekat PLTA Garung di kaki Gunung Pakuwaja. Untuk memasuki kawasan Telaga Menjer, tiap pengunjung dikenakan tiket masuk seharga Rp 4.000. Selain tersedia area parkir yang cukup luas, di kawasan ini juga sudah tersedia kios-kios dagang, warung makan/minum, kamar mandi, toilet, dan saung-saung di tepi danau.
Suasana Telaga Menjer terasa sunyi. Hari itu, selain dua bus kami, hanya beberapa sepeda motor dan sebuah ELF yang terparkir. Saung-saung di tepi telaga membisu menanti pengunjung. Kedatangan rombongan kamilah yang membuat suasana sekitar telaga jadi ramai. Sebelum menjelajahi telaga, kami berkumpul di salah satu saung untuk menikmati santap siang berupa masakan tradisional khas Wonosobo.
Telaga Menjer berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, dengan luas 70 hektar dan kedalamannya mencapai 45 meter. Di sekelilingnya terdapat pepohonan pinus yang rimbun. Ada tangga semen yang dapat digunakan untuk turun mencapai tepian telaga. Di ujung tangga itu tertambat perahu-perahu getek yang siap mengantar wisatawan mengelilingi seluruh sudut telaga. Harga perahu Rp 10.000 per orang.
Bukit-bukit hijau memagari telaga, puncaknya ditutupi kabut. Menyisakan pemandangan separuh bukit. Ketika angin berhembus kencang dan terus berulang, kabut pun bergerak terbawa angin, turun membelah pohon-pohon pinus. Gerakannya seperti tarian. Tarian bidadari yang turun ke bumi.
Saya mengajak seorang teman pergi naik bukit, sejenak berpisah dari rombongan yang berebut naik perahu. Sayaingin mengambil gambar telaga dari ketinggian. Beruntung saya naik bukit, sebab di sana saya menjumpai kebun sawi yang subur, pohon labu yang lebat berbuah, kebun teh yang sangat indah, serta pemandangan pedesaan tradisional. Sungguh membuat kagum. Alangkah suburnya tempat ini. Apapun yang ditanam pasti tumbuh dan berbuah.
Ginseng |
Kubis |
Telaga Menjer termasuk ke dalam danau vulkanis dan merupakan telaga terbesar di Kabupaten Wonosobo. Itu sebabnya digunakan sebagai PLTA. Selain sebagai objek wisata, telaga elok ini juga digunakan sebagai tempat budidaya ikan nila. Keramba-keramba ikan berjajar di tepian telaga.
Di bagian barat telaga ada pohon besar menyatu dengan batu besar mirip sandaran dan di antara batu ada lubang seperti pintu yang ditutup tiga buah batu. Jika batu dibuka maka terlihat mata air dalam lekukan dan biasa disebut goa Song Kamal. Dari tempat inilah muncul kepercayaan masyarakat setempat bahwa apabila mereka melihat permukaan air tinggi, hal itu menjadi pertanda datangnya kemakmuran bagi rakyat desa. Sedangkan apabila permukaan air surut, pertanda ada hal-hal yang perlu diwaspadai.
Pemandangan di sini masih sangat asri dan udaranya pun sejuk. Derasnya suara aliran sungai dari PLTA berpadu dengan suara-suara alam sekitar. Tempat ini sangat cocok bagi wisatawan yang mencari ketenangan dari hiruk pikuk kota. Menyegarkan kembali lahir dan batin yang penat.
Pemandangan dari atas bukit |
Tubing Seru
Menjelang sore hujan turun rintik-rintik. Udara menjadi lebih dingin. Namun tak surut keinginan kami untuk tubing di saluran irigasi Wangan Aji di Desa Kalianget, Kecamatan Wonosobo. Di dalam bis, semangat anggota rombongan masih menyala. Bahkan semua mulai bersiap-siap jauh sebelum lokasi dicapai.
Desa Kalianget ternyata kering. Tak ada hujan yang turun setitik pun. Cuaca sepertinya mendukung kami. Kru lokal yang mengelola kegiatan tubing di saluran Wangan Aji langsung menyambut kami dengan ban-ban besar berwarna hitam. Lalu mereka membagikan perlengkapan keselamatan berupa life jacket dan helm pelindung kepala. Kami pun berganti pakaian. Bersiap main air di saluran.
Saluran Wangan Aji bukan serupa sungai lebar berarus deras penuh batu seperti Sungai Cicatih di Sukabumi. Saluran Wangan Aji lebih mirip parit. Saya tak percaya awalnya, bagaimana mungkin parit kecil itu bisa dilalui ban-ban. Setelah melihatnya, baru saya percaya. Jangan menyepelekan ukurannya, parit itu memang mampu memancing nyali.
Tidak seperti parit biasa, Wangan Aji agak lebar dan cukup untuk dilalui ban-ban. Airnya jernih dan deras dengan kedalaman air tidak lebih dari 1,5 meter. Dasar air di sini aman sebab batu dan ranting membahayakan telah dibersihkan.
Merasakan hanyut terbawa arus air sejauh 100 meter membuat kami bersenang-senang karena bisa mendapatkan pengalaman aktivitas luar ruang yang mampu memacu dopamin. Ada juga spot yang ketika dilewati membuat badan seperti diputar kencang, bahkan jika tak mampu menjaga keseimbangan bisa jatuh dan masuk air. Seru!
Tubing seru! |
Berikut adalah foto saya dan teman-teman saat bersama-sama menjelajah Wonosobo
Dalam perjalanan menuju Curug Sikarim -Mbak Riyadh, Dely, Lestari. |
Di kawasan Curug Sikarim, sebelum mendekati air terjun |
Briefing sebelum tubing |
Makan siang di saung tepi Telaga Menjer |
Naik perahu di Telaga Menjer |
*Semua foto dokumentasi Katerina
asoy banget dah..
BalasHapusbermain wahana air ditempat yang dingin?? hmm...
BalasHapusSelalu menarik cerita perjalanan mb katerine :)
BalasHapusDi kampung ku ada juga parit... Tapi belum pernah dipake tubing.... Hihihihi
BalasHapusSaya juga suka dan sebenarnya betah kalau boleh tinggal di Wonosobo berhari-hari. Kotanya sejuk, kalem...
BalasHapusTubing kayak gitu seru banget Mbak.
http://papanpelangi.co/2015/10/23/di-balik-kesulitan-ada-kemudahan/
Memang asyik banget.wonosono itu..ga.mboseni. betewe kemarin ga mampir ke bukit sikunir.mbak?
BalasHapusSubhanallah indahnyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.
BalasHapusIngat pernah ke Wonosobo bareng nenek. Saat itu masih kelas 2 SD, taunya asik aja di ajak jalan jauh.
BalasHapusJadi pingin kemari lagi...
Aku berkali ke Dieng dan selalu saja suka dengan alamnya. Benar2 negeri para dewa. Kebayang skrg ademnya kayak apa ya?
BalasHapus