“Saya tidak bisa mengatakan tingkat kerumitannya sampai anda sendiri mencobanya.”
Kalimat itu meluncur pelan dari bibir ibu Hj. Erma Yulnita -pemilik Satu Karya Pandai Sikek. Ia mengatakannya tanpa ekspresi, namun tatapan matanya membuat saya gugup. Rasanya seperti ditantang untuk berkata: “Ok, saya coba.”
Ini memang sebuah tantangan. Tantangan untuk menyelesaikan sebuah hasil karya yang selama ini saya anggap mudah. Alat tenun itu sudah ada, persis di hadapan saya. Tak berjarak. Saya tinggal menyentuhnya, lalu menggunakannya berdasarkan petunjuk. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Mumpung ada ahlinya. Bisa langsung dimentori. Sampai bisa? Berapa lama? Seminggu, sebulan, setahun, atau seribu tahun? Entahlah. Kita lihat saja.
Alat tenun tradisional itu terlihat sangat sederhana. Hanya sebuah konstruksi kayu berukuran 2x1.5meter. Bukan berupa mesin canggih yang bisa menghasilkan karya hanya dengan menekan tombol power lalu abrakadabra selesai jadi kain. Tak ada material logam seperti besi, hanya kayu dan bambu. Masyarakat setempat menyebutnya panta, alat utama tempat merentangkan benang yang akan ditenun.
Kalimat itu meluncur pelan dari bibir ibu Hj. Erma Yulnita -pemilik Satu Karya Pandai Sikek. Ia mengatakannya tanpa ekspresi, namun tatapan matanya membuat saya gugup. Rasanya seperti ditantang untuk berkata: “Ok, saya coba.”
Ini memang sebuah tantangan. Tantangan untuk menyelesaikan sebuah hasil karya yang selama ini saya anggap mudah. Alat tenun itu sudah ada, persis di hadapan saya. Tak berjarak. Saya tinggal menyentuhnya, lalu menggunakannya berdasarkan petunjuk. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Mumpung ada ahlinya. Bisa langsung dimentori. Sampai bisa? Berapa lama? Seminggu, sebulan, setahun, atau seribu tahun? Entahlah. Kita lihat saja.
Alat tenun tradisional itu terlihat sangat sederhana. Hanya sebuah konstruksi kayu berukuran 2x1.5meter. Bukan berupa mesin canggih yang bisa menghasilkan karya hanya dengan menekan tombol power lalu abrakadabra selesai jadi kain. Tak ada material logam seperti besi, hanya kayu dan bambu. Masyarakat setempat menyebutnya panta, alat utama tempat merentangkan benang yang akan ditenun.
Alat tenun |
Hj.Erma Yulnita mengajarkan cara menenun |
“Duduklah, nanti saya akan jelaskan satu persatu,” ucap Hj. Erma Yulnita. Seperti sebuah perintah, namun di baliknya terkandung ilmu dan pengalaman yang siap ditumpahkan. Saya sedang jadi murid yang akan belajar memahami apa arti ‘mahal’ yang selama ini melekat pada kain tenun bernama songket.
Saya duduk di pangkal panta. Hj. Erma Yulnita mulai membimbing saya dengan mengucapkan istilah-istilah yang tidak semuanya bisa saya hafal dalam sekejab. Karok, tijak, skoci, turak, pancukie, palapah. Kata-kata itu terlalu asing. Baiklah, sementara hal itu belum penting. Yang penting saat ini adalah mulai menenun. Kaki menginjak tijak. Tangan memegang kasali. Memasukkan kasali dalam turak dari kiri ke kanan, atau kanan ke kiri. Bergantian, terus menerus hingga membentuk anyaman. Terakhir tapi bukan selesai adalah memukul anyaman dengan suri, sampai rapat dan membentuk kain.
Berhasil? Ya, berhasil. Dalam waktu yang tak sebentar saya berhasil memasukkan benang dari kanan ke kiri, tapi hanya SATU baris benang. Dan itu jelas belum membentuk anyaman. Ya, belum! Perlu ratusan hingga ribuan baris benang agar menjadi sebuah kain. Maka, bisa bayangkan berapa lama saya harus menganyam benang hingga menjadikannya sebuah kain songket yang indah.
“Pemasangan benang untuk satu kain songket memerlukan waktu 1 minggu. Jumlah benang harus 880 helai, dibagi dua untuk atas dan bawah. Untuk menghasilkan 1 buah kain songket, diperlukan waktu 3 bulan. Untuk 1 selendang songket diperlukan waktu 1 bulan.”
Maka, cukuplah keterangan ibu Hj. Erma Yulinta itu membuat titik-titik keringat di kening saya kian rapat. Udara desa yang sebetulnya sejuk, tak mampu membuat saya terhindar dari gerah. Pekerjaan menenun ini membuat hati saya patah. Saya menyerah sebelum berlomba. Ah, menenun bukanlah sebuah perlombaan. Tetapi sebuah cinta yang dibesarkan dengan kesabaran. Jika Hj.Erma Yulnita yang terlatih saja mengatakan perlu 3 bulan untuk membuat sebuah kain songket, maka berapa belas atau bahkan berapa puluh bulan yang saya perlukan untuk membuatnya? Biarkan saya bertanya pada Gunung Singgalang di latar belakang rumah tenun Satu Karya. Mungkin di sana ada jawaban.
Saya mencoba |
Menganyam benang |
Memasukkan benang |
Pande Sikek
Pande Sikek adalah sebuah desa penghasil kain tradisional di Sumatera Barat yang namanya tertera pada selembar uang kertas lima ribu Rupiah. Terletak di kaki Gunung Singgalang, tepatnya di kabupaten Tanah Datar. Nama desa ini berasal dari kata Pande yang artinya pandai, sedangkan Sikek artinya sisir. Sisir yang dimaksud bukan sisir biasa yang digunakan untuk rambut, melainkan sisir halus yang berukuran besar dan digunakan pada alat tenun. Pande Sikek berarti pandai menggunakan sisir (alat tenun).
Rumah Tenun Satu Karya adalah salah satu rumah tenun yang ada di Pande Sikek. Masih banyak rumah tenun lainnya yang dapat dikunjungi. Saya hanya kebetulan mendatangi Satu Karya, namun sudah bisa menyaksikan banyak hasil kerajinan yang memikat hati. Pelajaran berharga dari tempat ini adalah tentang menghargai sebuah harga. Sebuah kain tradisional tak dicipta dalam semalam. Tetapi berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Ia dibuat dengan cinta dan kesabaran.
Ini petunjuk desa Pande Sikek |
Songket Pande Sikek adalah karya seni tingkat tinggi yang mencerminkan kekayaan lokal. Nuansa tradisional yang begitu kental pada produk ini menjadikannya sangat khas dan tak ada duanya. Kain songket adalah bentuk kreatifitas yang dihasilkan dari pengalaman bertahun-tahun. Di sini, unsur songket tak hanya melekat pada produk busana, tetapi juga pada produk-produk lainnya seperti dompet, tas, sandal, bahkan hiasan dinding.
Hadirnya beragam produk yang menggunakan unsur songket, tentu memperbesar peluang songket makin dikenal dan digunakan oleh masyarakat luas. Dompet, tas, dan sandal adalah produk fashion yang biasa digunakan dalam berbagai aktivitas. Unsur songket pada produk tersebut tentu membuat penggunanya terlihat berbeda. Unik dan etnik. Tidakkah itu membuat bangga? Bangga menggunakan produk lokal yang dibuat dengan penuh cinta.
Para pengrajin di Desa Pande Sikek tak hanya menghasilkan salah satu kain tenun terbaik di Indonesia tetapi juga berbagai ukiran kayu yang dijual sebagai kerajinan khas untuk souvenir. Di sini, kerajinan bordir juga menjadi karya dalam bentuk busana dan perlengkapan ibadah seperti mukena. Semua produk yang dihasilkan tak hanya dibuat dengan ketekunan tetapi juga dengan dukungan bahan berkualitas. Bahan baku kain songket misalnya, berupa katun dan sutra asli yang bisa didapat dari Sumatra. Sedangkan benang mas (masih) diimport dari India.
Aneka produk busana bordir |
Kerajinan bordir pada mukena dan busana |
Semua produk lokal dijual di sini |
Desa Pande Sikek hanya berjarak 1 km dari jalan utama Kabupaten Tanah Datar. Lokasinya mudah ditemukan. Di pintu gerbang desa tertulis : Pusat Inovasi Tenun Pande Sikek. Saat mulai memasuki desa, tampak Gunung Singgalang menjulang di latar belakang. Atap-atap rumah menyembul di lereng-lerengnya. Kebanyakan rumah penduduk di sini terlihat modern, berupa rumah-rumah beton permanen dengan berbagai model, namun tetap beratap khas rumah adat Minangkabau.
Apakah setiap wisatawan yang berkunjung ke Sumatra Barat pasti mampir ke Pande Sikek? Entahlah. Saya hanya dapat memastikan diri saya sendiri, bahwasannya saya pasti akan singgah ke tempat ini. Karena sependek yang saya tahu, Pande Sikek merupakan desa wisata yang menjadi salah satu obyek wisata terbaik di Sumbar. Banyak produk lokal bermutu bisa didapatkan di sini. Bagi yang tinggal jauh dari Sumatra Barat, tak luang waktu ataupun rejeki untuk bertandang, kumpulan produk lokal daerah ini bisa dijumpai di SMESCO Indonesia yang ada di Jakarta. Di sana terdapat gallery UKM yang memamerkan sekaligus menjual produk dari 34 propinsi di Indonesia.
Ukiran kayu berbentuk rumah gadang |
Tempat produksi kain songket Satu Karya |
Salah satu rumah tenun di Pande Sikek |
Bagi yang dapat bertandang ke Ranah Minang, Pande Sikek layak masuk dalam daftar kunjung. Rumah-rumah seni yang ada di desa Pande Sikek tak hanya menjual beragam produk kain songket, mukena bordir Padang, busana wanita (gamis, kebaya, baju kurung), aneka kerudung, kopiah, dan produk kerajinan kayu saja, tetapi juga mengajarkan cara menenun kepada wisatawan yang berkunjung.
Belajar menenun di sini memberi pengalaman yang mengajarkan saya betapa sulitnya membuat kain songket. Keterampilan kaki dan tangan, diiringi dengan kejelian, serta sebuah "alat" yang paling penting selain benang, kayu, bambu, adalah sesuatu yang bernama kesabaran. Rumitnya proses pembuatan itulah yang menyebabkan harga kain songket mahal di pasaran. Namun, berapapun itu, ketika kita mengerti bahwa mendapatkan cinta juga harus dengan cinta, maka produk lokal yang dibuat dengan cinta juga harus dibayar dengan cinta. Cinta pada produk lokal akan membuat kita rela membayar, bukan?
Pasti ada perasaan bangga bercampur haru saat mengenakan sehelai kain indah yang mengundang decak kagum. Apalagi ketika mengetahui bagaimana kain itu dibuat dengan penuh kesabaran dalam hitungan bulan, juga filosofi di balik motifnya. Saya mendapat pengalaman berkesan di desa ini, dimana bukan sekedar melihat hasil karya tapi juga melihat proses karya itu diciptakan. Pun pelajaran berharga tentang makna sebuah kesabaran, serta semangat berkreatifitas, menjadi oleh-oleh manis dari Pande Sikek.
Hj. Erma Yulnita pemilik Satu Karya Pande Sikek |
*Semua foto dokumentasi Katerina, kecuali foto kain songket (paling atas).
ternyata, ada hal yang menarik dibalik cerita kain tanah minang ini dengan kain songket dari tanah rencong. keduanya memiliki keterkaitan erat tapi sayang, beberapa literature sejarahnya hilang
BalasHapusKeterkaitan dalam hal apa, Yud?
HapusBolak balik ke sumatra barat tapi ngak perna mampir ke tempat ini, kayak nya perlu sekali2 nyobain :-)
BalasHapusMampir mas Cum...pasti takjub kalo liat kreasi da invoasi warga Pande Sikek dalam membuat barang kerajinan tangan. Dekat dair Bukittinggi. Sekitar 25 menitan.
HapusAku juga beberapa kali ke Padang dan Bukittinggi tapi belum pernah mampir ke sini.. lain kali bolehlah nyobain ke situ
BalasHapusMesti mampir Rie. Unik nih desa. Kata ibu Erna kalo ingin nyari jodoh, di sini banyak gadis penyabar hihihi
HapusMbak Rien, Pandai Sikek dekat banget dari kampungku. Tapi aku baru sekali lho ke sana dan itu pun sudah sekitar 5 tahun lalu. Ah aku memang kurang piknik. Good luck ya Mbak :)
BalasHapusMbak Evi dimananya? Mbak Evi rendah hati, padahal aslinya banyak piknik :)
HapusAamiin. Terima kasih ya mbak :)
cantiknyaaa songketnya....
BalasHapusItulah kenapa harga songket sangat mahal ya mbak rien, karena proses pembuatanya membutuhkan kesabaran yang ekstra.
BalasHapusNice writing mb rien
Prosesnya panjang dan susah ya mbak ternyata.
BalasHapuswah.. kayaknya saya ga sanggup menenun berbulan bulan gitu ><
BalasHapusSalah satu harta di indonesia mesti di jaga baik-baik supaya nggak jatuh dan punah ke tangan negara lain :)
BalasHapusSelamat atas kemenangannya dalam lomba Smesco
BalasHapusSelamat tulisannya menang lomba smesco
BalasHapusIni tulisan ketje bangeeet, no wonder bisa menang :)
BalasHapus