Hujan gerimis tak mau berhenti, sejak kami datang hingga pergi. Naik ontang-anting, merayapi tanjakan, bersama orang-orang. Sekitar 15 menit saja, berpayung ria, mengitari tak sampai separuh kawah, lalu pergi ketika bau belerang mulai menyengat. Inilah sejumput pengalaman mengunjungi Kawah Putih yang terletak di kawasan Ciwidey, Bandung, Jawa Barat.
*****
Setelah melalui perjalanan panjang dari Jakarta, akhirnya Minggu (3/5/2015) jam 2 siang kami tiba di Kawasan Kawah Putih. Tugu besar bertuliskan “Wisata Kawah Putih” di tepi jalan menjadi tanda bahwa kami telah sampai di tujuan. Di bawah rintik hujan, beberapa orang terlihat berfoto di depan tugu tersebut. Saya juga kepingin, tapi bojoku bilang nanti saja saat pulang.
Setelah belok kiri, sekitar 100 meter dari belokan, terlihat gerbang masuk kawasan Kawah Putih. Jika mobil kami lurus terus dan melintasi gerbang tersebut, lalu membayar tiket masuk RP 18.000 / orang, maka kami dapat langsung mencapai lokasi kawah. Namun, untuk parkir di atas dikenakan tarif Rp 150.000 per mobil. Mahal.
Kami memilih tak melintasi gerbang, melainkan belok kanan sebelum gerbang, menuju tempat parkiran. Orang biasanya menyebutnya dengan “Parkir Bawah”. Di sini tarif parkir hanya Rp 6.000. Untuk naik ke atas (mencapai lokasi kawah), kami bisa menggunakan kendaraan angkut wisata Kawah Putih dengan tarif Rp 15.000 per orang. Parkir di bawah memang jadi lebih murah. Biaya tiket masuk dan ontang-anting (sebutan angkutan wisata Kawah Putih) untuk kami bertiga totalnya hanya Rp 99.000. Kalau bawa mobil sendiri ke atas bisa mencapai Rp 204.000,-
Parkiran di bawah |
Ontang-anting Rp 15.000 per orang |
Gerimis turun cukup lebat, dan cuaca saat itu sungguh di luar perkiraan saya. Saat itu saya mulai menyadari, bahwa saya dan anak butuh mantel hujan. Sayangnya, saya tak membawanya. Ini kesalahan saya, padahal biasanya kemana-mana selalu dibawa. Hanya bojoku yang bawa jaket anti hujan. Katanya, saya saja yang pakai jaket itu, dia dan anak biar payungan saja.
Dengan sebuah payung kami mendekati deretan ontang-anting. Warnanya orange, seragam. Saya dan anak langsung masuk. Eh, ternyata, mesti antri beli tiket dulu. Jadi malu. Pas mau turun lagi, dicegah sama supirnya. Katanya duduk saja, biar bojoku saja yang antri beli tiket. Saya lihat di tempat semacam halte, orang-orang antri beli tiket. Tiketnya diprint di selembar kertas mirip struk belanja. Di dalamnya ada keterangan tiket ontang-anting dan tiket masuk wisata. Tiket tersebut sudah termasuk asuransi kecelakaan Rp 500 dari PT. Asuransi Amanah Githa.
Mencoba selfie dalam ontang-anting, dan....gagal :)) |
Di lokasi parkiran atas |
Antrian ontang-anting di atas |
Ada 12 orang penumpang ontang-anting yang naik bersama kami. Asyik juga ramai-ramai. Seru. Terpal transparan yang ada di sisi kiri dan kanan ontang-anting yang biasanya digulung, saat itu diturunkan agar kami yang ada di dalam tak terkena terpaan hujan. Namun angin dingin tetap menelusup masuk ke dalam mobil, saya merasa kedinginan.
Dalam ontang-anting yang melaju, anak saya tak henti-henti ngobrol. Excited sekali tampaknya. Tahu kenapa? Karena ini pertama kalinya dia naik angkutan umum :D Ontang-anting melaju meniti tanjakan, suara mesinnya seperti meraung-raung, berisik, namun asyik. Tak butuh waktu lama, kami pun tiba di atas. Saya sempat bertanya pada supirnya, apakah nanti turunnya pakai mobil yang sama? Ternyata nggak harus. Semua angkot wisata di sini boleh digunakan untuk naik dan turun.
Di atas ternyata ramai. Orang-orang berpayung. Payungnya seragam, berwarna silver pada bagian atas dan becorak kotak-kotak pada bagian dalam. Ternyata payung-payung itu payung sewaan. Saya lupa menanyakan berapa harga sewanya. Kami tak menyewa payung karena sudah punya payung sendiri.
Penyewaan payung |
Jual masker |
Seorang bapak tiba-tiba mengingatkan saya, katanya sebaiknya anak saya menggunakan masker. Bahaya katanya. Bapak itu lalu menunjuk suatu tempat, ke arah penjual masker. Saya berjalan ke sana, lalu membeli 3 masker. 1 masker Rp 5.000. Padahal di rumah punya banyak, sayang nggak tahu kalau di sini diperlukan. Kalau tahu, pasti sudah dibawa.
Sewaktu mulai meniti tangga untuk turun ke kawah, terdengar pengumuman dari pengeras suara yang mengingatkan pengunjung untuk tidak lebih dari 15 menit berada di sekitar kawah. Anak kecil mesti pakai masker. Jangan terlalu dekat dengan kawah agar tidak terjatuh. Jika merasa pusing dan mual, harus lekas meninggalkan kawah. Saya ketar ketir mendengar peringatan itu. Yang saya khawatirkan anak saya. Saya belum pernah membawanya bertualang di tempat seperti ini. Selama ini kami hanya membawanya ke tempat-tempat yang nyaman dan aman. Sekarang, dalam cuaca dingin, gerimis, berbau belerang, dia ikut bersama kami. Aman ga ya? Bismillah moga aman dan nggak terjadi apa-apa.
Papan peringatan |
Hati-hati turun tangga licin |
tali sepatunya lepas |
Ketika sampai di pinggiran kawah, sekeliling kawah masih terlihat jelas. Saya bisa melihat tebing tinggi di seberang kawah, lekuk-lekuk tepian, hingga air kawah yang berwarna putih dan terkadang kehijauan. Wisatawan lalu lalang dengan payungnya. Tak jarang di setapak sempit yang kami lalui, payung kami bergesekan dengan payung orang lain. Saya merasa payung saya beda sendiri. Di antara payung-payung putih yang bertebaran di pinggir kawah, payung pelangi saya tampak berwarna.
Entah kapan mulai datangnya, tahu-tahu kabut sudah menyelimuti kawah. Tebing terjal yang saya lihat tadi tak nampak lagi. Seperti air susu mendidih dalam sebuah wajan raksasa, asapnya mengepul, bergoyang, menyebar, menari-nari, menutupi segalanya. Anak saya terlihat takjub menyaksikan semua itu. “Beautiful!” begitu komentarnya.
Pesona Kawah Putih |
15 menit berlalu tanpa terasa. Peringatan dari pengeras suara terus menerus diperdengarkan. Bojoku mulai mengkhawatirkan anakku. Dia memilih keluar dan membawa serta si gadis kecil yang sejak tadi terpesona pada apa yang dilihatnya.
Saya meminta waktu 5 menit untuk mengambil gambar. Setelah diiyakan, saya mulai berjalan ke beberapa sudut. Mencari spot bagus untuk memotret. Orang-orang berpayung, bak jamur disiram abu, putih semuanya. Terkadang seperti menghilang, lenyap dalam kabut yang menyembunyikannya.
Melampaui batas |
Penjual batu belerang |
Jaga selalu anak, jangan sampai turun ke air |
20 menit terasa sangat singkat. Saya seperti masih ingin menambah waktu hingga 15-20 menit lagi. Tapi sungguh, bau belerang itu membuat kepala saya mulai pusing. Penglihatan masih jelas, tapi tengkuk saya mulai terasa sakit. Rasanya seperti ada yang mengganduli. Saatnya untuk pergi.
Jalannya sempit |
Nuansa mistis dari pohon-pohon mati |
Dalam gerimis yang belum mau berhenti, kami kembali memasuki ontang-anting. Turun, kembali ke parkiran yang ada di bawah. Selama di angkot, anak saya terus berceloteh.
“Kawahnya bagus, ya, Ma.”
“Kalau jatuh meninggal nggak, Ma?”
“Airnya bisa diminum?”
“Kenapa ada kabut?”
“Ada ikan nggak di dalamnya?”
“Tadi asyik ya, Ma.”
“Lain waktu mama jangan lupa bawa mantelku, ya.”
Deg…celotehan yang terakhir itu jleb banget naaaaaak.
Parkiran atas |
“Terima kasih pak supir,” ucap saya sesampainya di bawah.
Rasanya senang sekali naik angkot bareng-bareng. Ternyata aman dan nyaman saja naik ontang-anting. Walaupun memang pastinya lebih nyaman kalau pakai mobil sendiri, tapi di sisi lain, bisa memberi rejeki pada supir-supir angkot itu jauh lebih berarti. Mereka menggantungkan hidup dari wisatawan yang datang ke Kawah Putih. Kalau bukan para pengunjung yang menggunakan jasa mereka, lalu siapa lagi?
Untuk naik ke Kawah Putih, pakai jasa ontang-anting yuuuuk |
Sebelum kami meninggalkan kawasan Kawah Putih, kami mampir ke Musola yang ada di area parkir. Musolanya terletak di pojokan, di antara kios-kios jajan dan souvenir. Airnya bersih dan berlimpah, namun sebaiknya menggunakan alat solat sendiri karena mukenanya agak apek, mungkin sudah lama tak dicuci. Usai solat kami memesan semangkuk bakso di salah satu kios jajan. Setelah itu baru beranjak meninggalkan kawasan.
Aneka souvenir dan oleh-oleh Kawah Putih di area parkir bawah |
Hujan gerimis masih belum berhenti. Udara makin dingin. Jalanan basah. Sore kian tua. Kabut menyelimuti lembah-lembah yang terlihat di sebelah jalan. Terios tetap melaju. Saat jalanan sepi, terkadang dibawa agak ngebut. Anak saya belum menunjukkan tanda-tanda lelah. Dia membongkar kotak snacknya. Mengambil sebatang coklat, lalu mengunyahnya. Ia juga membongkar tasnya, lalu mengeluarkan boneka.
“Mama, ini kupluknya tadi kenapa tidak dipakai?” tanyanya sambil melepaskan sebuah kupluk dari kepala boneka Little Pony.
“Hah?”
Kupluk yang lupa dikenakan |
Astaga, saya lupa kalau kami membawa 3 kupluk. Kupluk itu rencananya mau dipakai saat berada di Kawah Putih. Saya sudah mengira kupluk-kupluk itu pasti berguna untuk mengurangi dingin di kepala. Ampun deh nih si mama makin pikun saja. Mantel lupa, kupluk lupa.
“Ya sudah. Kita pakai sekarang saja, yuk,” jawab saya.
“Ya sudah. Kita pakai sekarang saja, yuk,” jawab saya.
Anak saya tidak mau. Rupanya ngambek. Mungkin pinginnya dipakai tadi saat di Kawah Putih. Untuk mengalihkan ngambeknya, saya ambil salah satu, lalu saya pakai buat gaya-gaya sambil selfiean. Eh, berhasil. Dia mulai menggoda saya, mengganggu dari belakang. Terkadang memeletkan lidah, memasang wajah seram, menjulurkan lengan, sampai menggembung-gembungkan pipinya. Lucu.
Sementara, mobil terus melaju dalam kehati-hatian. Jalanan licin, menurun, dan berselimut kabut. Memasuki Soreang, barulah terang. Perjalanan menuju Bandung tak begitu lancar. Macet ‘menggila’. Waktu Magrib kami masih di jalan. Akhirnya, sekitar jam setengah jam delapan malam kami baru tiba di Hotel Padma. Alhamdulillah.
Hujan dan kabut mewarnai perjalanan pulang menuju Bandung |
Sementara, mobil terus melaju dalam kehati-hatian. Jalanan licin, menurun, dan berselimut kabut. Memasuki Soreang, barulah terang. Perjalanan menuju Bandung tak begitu lancar. Macet ‘menggila’. Waktu Magrib kami masih di jalan. Akhirnya, sekitar jam setengah jam delapan malam kami baru tiba di Hotel Padma. Alhamdulillah.
(*)
Semua foto dokumentasi pribadi.
Kawah putih emang cakep banget ya, mbak... Aku dulu gak sempat ngerasain naik ontang-anting. Dateng rombongan 2 keluarga dengan masing-masing 2 anak. Pas mau masuk itung-itungan dulu, murahan mana langsung naik bawa mobil ato naik ontang-anting? Eh ternyata waktu itu setelah diitung-itung lebih murah bawa mobil langsung ke atas.
BalasHapusKupluknya cakep. Meski awalnya aku ngiranya ini bandana, hehehe..
Kalau datang dengan rombongan, tentu lebih murah kalau naik pakai mobil sendiri, ya mbak. Kalau sedikit seperti kami, naik ontang-anting lebih hemat :D
HapusIyaaa...mirip bandana punya suami mbak Dee :)))
Kawah Putih ini sudah beberapa kali didatangi dan baca ulasannya. Tapi selalu dapat hal yang menarik dari setiap orang. Aku menikmati romansa keluarga di tulisan ini dan foto2nya tentu saja
BalasHapusTerima kasih mbak Donna. Aku baru pertama kali. Meski cuaca hujan, tapi tetap dapat pesonanya. Moga bisa ke sana lagi beberapa kali seperti mbak Donna :)
HapusKawah putih ini memang sangat menyenangkan sekali buat dikunjungi, apalagi ketika sedang cerah :) pun ketika hujan juga enak, karena bau belerang jadi agak berkurang dan suasana menjadi makin sejuk :D
BalasHapusOh, saya kira kalau hujan malah tambah menyengat bau belerangnya. Soalnya kemarin peringatan jangan lama-lama di kawah karena hujan bikin belerangnya tambah bau :D
HapusMoga suatu hari saya dan keluarga bisa ke sana lagi saat cuaca cerah. Terima kasih ya :)
Baca peringatannya itu jadi ikut berdebar-debar, tempat wisata yang indah namun 'berbahaya' ya Mbak :D
BalasHapusJadi ingat kunjungan saya dulu ke Tangkuban Perahu, bau belerangnya sudah menyengat ketika kami masih di atas ontang-anting, semoga nanti kami ada rejeki bisa main ke Kawah Putih n Tangkuban Perahu, aamiin.
Selama peringatannya didengar dan dipatuhi, insha Allah nggak berbahaya.
HapusKemarin aku ke Tangkuban Perahu kok ngga ada liat ontang-anting ya? Nggak kayak di Kawah Putih, ontang-antingnya mondar-mandir dengan warnanya yang ngejreng.
Aamiin. Semoga ya Wan :)
Paling enak sih pas lagi cerah, bisa foto - foto seru tanpa ribet keujanan, tapi biasanya kalau ujan lebih seger sih malahan :D
BalasHapusSayang kemarin cuacanya hujan. Tapi tetap dapat pesonanya. Sebenarnya kalau saya tidak lupa membawa jacket hujan, pasti nggak ribet pegang-pegang payung. Bisa motret lebih leluasa. Lain waktu mesti ke sana lagi, sampai dapat cuaca cerahnya :D
HapusDari foto-foto yg ada, sepertinya kawah putih benar2 menggoda untuk dikunjungi
BalasHapusMari ke Kawah Putih :)
HapusKalau saya selalu sedia masker di tas slempang, buat saya sendiri dan si kecil. kemanapun kita pergi, entah kawah atau perkotaan. Untung ya, mamanya nggak lupa ngegandeng anaknya, coba kalau lupa....
BalasHapusKupluk memang penting di tempat yang dingin. biar nggak terlalu merinding dan menggigil :)
Mestinya aku seperti mbak Zulfa, selalu sedia masker dalam tas. Jadi pelajaran nih mbak, apalagi kalau bawa anak, ya. Haha...jangan sampai deh lupa gandeng anak. Ga ada gantinya :D
HapusYuk mbak pake kupluk bareng-bareng. Kita bikin grup kupluk, abis tuh nge-rap bareng di India tahun depan :))
Mba... Aku blm pernah nih ke Kawah Putih, pengennya udah dari entah kapaann, belom kesampean. Heuheuu
BalasHapusDi parkiran kawah putih, makan indomie bakso dan teh anget itu desap banget haha
BalasHapus