Perjalanan menjelajah Dieng pada hari Minggu (19/10/2014) dimulai pukul tiga pagi. Tempat pertama yang ingin kami (saya dan rombongan trip Mbak Yayah) datangi adalah puncak Bukit Sikunir, bukit terkenal yang menjadi andalan wisata Dieng. Apa yang ingin diburu di puncak Sikunir? Apa lagi kalau bukan eksotisme golden sunrise.
Kami berangkat menggunakan bis kecil dari Desa Sendang Sari di Wonosobo dengan jarak tempuh sekitar 25 km. Ayam belum berkokok, alam raya masih gelap. Langit ditutupi awan kelabu, tak ada bintang gemintang, apalagi terang bulan. Sehingga tak ada apapun yang bisa dipandangi selama perjalanan.
Supir bis mengemudi perlahan di kegelapan, hanya mengandalkan lampu bis untuk menerangi jalan. Saya tidak bisa melihat apakah ada jurang di kiri dan kanan jalan, hanya bisa merasakan bis berulangkali melewati turunan dan tanjakan. Jalan yang dilalui pun tidak selalu mulus. Berkat doa dan kesabaran, alhamdulillah 1,5 jam kemudian kami selamat mencapai gerbang Desa Sembungan, tempat Bukit Sikunir berada.
Kami berangkat menggunakan bis kecil dari Desa Sendang Sari di Wonosobo dengan jarak tempuh sekitar 25 km. Ayam belum berkokok, alam raya masih gelap. Langit ditutupi awan kelabu, tak ada bintang gemintang, apalagi terang bulan. Sehingga tak ada apapun yang bisa dipandangi selama perjalanan.
Supir bis mengemudi perlahan di kegelapan, hanya mengandalkan lampu bis untuk menerangi jalan. Saya tidak bisa melihat apakah ada jurang di kiri dan kanan jalan, hanya bisa merasakan bis berulangkali melewati turunan dan tanjakan. Jalan yang dilalui pun tidak selalu mulus. Berkat doa dan kesabaran, alhamdulillah 1,5 jam kemudian kami selamat mencapai gerbang Desa Sembungan, tempat Bukit Sikunir berada.
Singgah di masjid untuk salat Subuh |
Di Desa Sembungan, mestinya bis yang membawa kami berhenti di area parkir di dekat kawasan Telaga Cebong. Namun, karena parkiran sudah penuh, kami diturunkan di gerbang desa. Sebelum keluar dari pintu bis, ada yang berkata bahwa kami harus jalan kaki sekitar 2 km lagi untuk mencapai kaki bukit. Dalam ruang pikiran saya yang terkungkung oleh gelap dan dinginnya udara pegunungan, jarak 2 km itu terasa seperti belasan kilo.
Ketika keluar dari pintu bis, udara dingin menyambut, angin berhembus, saya menggigil. Kulit wajah saya yang terbuka terasa seperti ditampar dan ditusuk-tusuk jarum. Musim kemarau membuat udara menjadi lebih dingin. Tak peduli pada jaket, kaos kaki, celana panjang 2 lapis, dan sarung tangan tebal yang saya pakai, udara dingin tetap ganas menerjang.
Kami mulai berjalan namun tak bisa cepat, sebab kondisi jalan tidak rata, pun suasana saat itu minim cahaya. Kendati demikian, jalan yang kami lalui tidak terlalu gelap, sebab ada cahaya dari senter yang digunakan oleh para wisatawan lainnya. Ada yang menggunakan senter tangan kecil dengan cahaya seadanya, ada yang menggunakan senter tangan besar dengan cahaya yang menyorot terang, ada juga yang menggunakan senter kepala yang simple dan tidak merepotkan untuk di pegang-pegang. Sesekali, cahaya datang dari motor ojek yang melintas.
Puncak Bukit Sikunir ramai wisatawan |
Pagi itu memang bukan hanya rombongan kami yang bergerak menuju bukit Sikunir, ada ratusan orang lainnya yang punya tujuan sama. Saya sendiri sebetulnya membawa dua senter, yakni senter kepala dan senter tangan. Namun, keduanya tidak jadi saya pakai karena sudah terbantu oleh cahaya dari senter orang lain yang berjalan di antara kami.
Ojek mendekat, menawarkan jasa. Kami menolak sebab ingin ke masjid untuk salat Subuh terlebih dahulu. Sekitar 100 meter dari gerbang desa kami berjumpa masjid. Karena waktu Subuh telah tiba, kami pun singgah untuk menunaikan kewajiban salat. Bukan main senangnya bertemu masjid, selain bisa mendapatkan tempat yang nyaman untuk beribadah, juga bisa menumpang ke kamar kecil. Air di masjid melimpah, tapi dingin bukan main. Badan saya jadi gemetar.
Seusai salat kami melanjutkan perjalanan. Baru dua ratus meter berjalan, saya terseok, akhirnya memutuskan naik ojek. Dari pada menguras energi sebelum mendaki, lebih baik tenaga saya simpan. Teman saya setuju, akhirnya ikut naik ojek juga. Saya kira jarak ke titik awal pendakian masih jauh, ternyata kurang dari 100 meter saja.
Pukul 04.35 kami mulai mendaki. Orang-orang makin ramai. Ada ratusan bahkan ribuan orang lain yang turut bergerak naik. Jalur pendakian padat. Pendakian tersendat. Hal ini biasa terjadi di tiap akhir pekan. Wisatawan membludak. Area parkir penuh. Itu sebabnya bis kami tidak kebagian tempat.
Untuk mencapai puncak Bukit Sikunir tidaklah
mudah, diperlukan perjuangan dan stamina yang kuat selama pendakian.
Menahan udara dingin yang membuat badan gemetar, serta meniti jalan
setapak berbatu dan berkelok selama 25 menit, menjadi bagian dari
perjuangan itu. Namun, semua itu terbayar dengan eksotisme alam yang
begitu memukau. Apalagi saat cuaca mulai cerah, warna jingga hingga
proses kuning keemasan pun muncul, dan matahari pun mulai menyinari alam
semesta.
Wisatawan yang berada di puncak Sikunir seolah serentak berdecak, bahkan ada yang bertepuk tangan. Betapa menakjubkan. Pengalaman mendaki Bukit Sikunir ini menjadi salah satu pengalaman berharga yang saya dapat dari Dieng.
Wisatawan yang berada di puncak Sikunir seolah serentak berdecak, bahkan ada yang bertepuk tangan. Betapa menakjubkan. Pengalaman mendaki Bukit Sikunir ini menjadi salah satu pengalaman berharga yang saya dapat dari Dieng.
Teman-temanku berfoto di gerbang Desa Sembungan seusai memuncaki Bukit Sikunir |
Aku waktu kesana sepi banget. Soalnya Dieng kondisi siaga. Jadi nggak ada turis sama sekali. Waktu ke sikunir, Aku sewa motor. Jam 3 menggigil melewati tenang dan gelap malam. Kadang ada asap yang membumbung tinggi. Tak Kira mbak kunti. hehehe
BalasHapusmenikmati Sunrise gunung Prau juga nggak mbak ?
Tahun berapa ke Sikunirnya mbak? Enak pas sepi ya mbak. Kata temen, sekarang Sikunir rame terus. Baik weekday atau pun weekend sama ramenya. Haha kunti. Asap dari kawah ya?
HapusEngga ke Prau. Kemarin mainnya ke Telaga Warna, Telaga Menjer, Telaga Cebong, Curug Sikarim, ama Komplek Candi Arjuna :)
Terakhir kesana tahun 2013. Pas kawah timbang "marah". Ya, Dieng berasa milik pribadi. Di Candi Arjuno cuman aku sama temenku berdua. hehehe . kayaknya itu Asap dari cerobong Geothermal.
BalasHapusNggak ke Kawah Sileri, Kawah Sikidang sama Kawah Candradimuka, Sumur Jolotundo ? Jadi ngelap iler pingin makan carica :)
Kemarin waktu ke sana sempat lihat asap geothermal, liatnya siang. Jadi ga merasa kayak lihat hantu :D
HapusOh, enggak ke Kawah kami mbak. Waktunya ga cukup. Soalnya mesti cepet2 balik ke Wonosobo. Takut kemaleman balik ke Semarangnya.
Ini salah satu tempat favoritku di Dieng.. Sama seperti mbak Zulfa, waktu aku ke Sikunir sepii banget. Sekitar tahun 2011 aku ke sana. Di puncak Sikunir cuma kami berempat plus 3 orang dari rombongan lain. Jadi enak buat foto-foto.
BalasHapusKemaren liat foto kakak ipar yang baru pulang dari Dieng, di Sikunir rameee banget. Mungkin karena mereka perginya pas liburan sekolah ya, jadinya rame gitu...
Pasti lebih terasa nuansa 'gunung' nya kalo ke sana pas sepi ya mbak. Magisnya pasti dapet banget. Meskipun kemarin rame, tapi Alhamdulillah tetap bisa menikmati.
HapusRame banget yaaaa, dingin nya mana tahan dan kalian dari wonosobo itu lumayan jauh yaaaa.
BalasHapusWaktu itu aku nginep dari mesjid depan dieng jadi cuman 10 menit bawa mobil dah sampai :-0
Iya mas jauh. Kemarin kami menginap di Wonosobo karena ada jalan2 ke beberapa tempat di Wonosobonya. Pingin kalo ke sana lagi nginep pake tenda di tepi Telaga Cebongnya. Cuma selangkah buat naik bukit SIkunir :D
HapusZahra suka foto2 mba Rien selama di Dieng... Kameranya keren *uhuk*
BalasHapusAlhamdulillah. Hihihi...awas keselek kamera :D
Hapuspengen ke sini, tapi belum ada kesempatan. jadi ya baca dulu deh. kalau tak lihat di foto2nya rame euy. pengne bikin video saat sunrise gitu apa bisa ya?
BalasHapus