Berhari-hari, sebelum hari Sabtu (7/2/2015), Jabodetabek dirundung mendung dan diguyur hujan. Tetapi di hari Sabtu itu hingga Minggu (8/2/2015), sejak pagi hingga petang, cuaca selama di Pulau Harapan terang benderang berlimpah cahaya matahari. Rasanya, seperti berada di planet lain. Padahal Kepulauan Seribu masih berada dalam wilayah DKI Jakarta. Masih di bawah ‘atap’ yang sedang sama buruknya.
Sebetulnya, dalam bulan Januari sampai Februari tahun 2015 ini saya sudah berniat untuk tidak ngetrip ke mana pun. Cuaca buruk yang melanda Indonesia belakangan ini jadi alasan. Hujan, angin, bahkan musibah-musibah yang terjadi, bikin saya menciut.
Namun, di tengah kuatnya tekat untuk lebih banyak tinggal di rumah itu, Eki datang dengan racunnya. “Ayo, mbak, ke Pulau Harapan!”
Januari belum berakhir, itin ke Pulau Harapan itu mulai berseliweran di kepala.
“Sudah, ikut saja. Kan dekat, cuma semalam pula. Biar kamu bisa refreshing.”
Dalam bimbang, keluarga malah mendukung. Siapa yang ga girang coba? :D Tanpa pikir lama-lama, saya pun bergegas bilang ke Eki, “Saya daftar!” Maka, semua ciut dan rasa takut akan cuaca buruk itu pun melayang entah kemana. Racun trip yang sungguh aduhai.
Pasca mendaftar trip Pulau Harapan, cuaca baik belum menunjukkan tanda-tandanya. Yang ada, mendung dan hujan terus menerus terjadi. Saya berkali-kali bilang ke Eki, “Kalo hujan terus begini, ga asyik nanti tripnya, ya, Ki.” Saya beneran jadi ragu. Pesimis. Bahkan mulai tak berharap banyak.
“Kita berdoa saja, mbak.” Walaupun antusiasme saya tidak terdongkrak oleh ucapan Eki itu, setidaknya Eki sudah berusaha dan berhasil membuat saya tidak meng-cancel keikutsertaan saya dalam tripnya. Saya tetap membayar biaya trip.
Sekitar 10 hari sebelum keberangkatan, di rumah ada yang sakit, bahkan sampai dirawat di RS. Melihat kenyataan itu, saya mulai berubah pikiran. Bagaimana tidak, cuaca tidak juga bersahabat, ditambah ada anggota keluarga yang sakit, bayangan akan bersenang-senang di Pulau Harapan perlahan mulai pupus. Akhirnya, saya pun bulat untuk tidak jadi berangkat. Keluarga tetap yang utama. Buat apa merefresh badan dan pikiran kalau yang tersayang sedang kesakitan?
4 hari jelang keberangkatan, yang sakit kondisinya membaik dan alhamdulillah akhirnya sehat kembali seperti sedia kala. Meskipun begitu, niat untuk kembali melanjutkan rencana trip ke Pulau Harapan belum ada. Hingga akhirnya muncul tawaran dari obrolan singkat dengan dua orang redaktur media yang selama ini sudah saya kenal baik. Katanya, mereka tertarik dengan Pulau Harapan, dan bersedia memuatnya jika saya mau mengirimkan foto dan artikelnya. Dari sinilah niat untuk ngetrip itu muncul lagi.
Jumat malam (6/2/2015), saya baru berkemas. Saya tidak biasa seperti ini. Berkemas di detik-detik terakhir itu bukan ciri saya. Namun cuaca buruk, kondisi di rumah belakangan ini, membuat saya memang tidak begitu bersemangat. Packing pun abai. Saya lunglai seperti tanpa harapan. Dalam bayangan saya, trip ini akan dirundung ‘mendung’ seperti cuaca yang selalu mendung. Aura ‘mendung’ itu makin menjadi ketika charger kamera EOS 7D tidak ketemu. Arrrghhh!
Meskipun pesimis, saya tetap menyiapkan berbagai keperluan yang biasanya dibutuhkan di pantai, seperti topi, kaca mata, sunblock, dan baju-baju ‘ringan’ yang tidak bikin kepanasan. Sebetulnya ini aneh, sebab dalam pikiran saya adalah cuaca di Pulau Harapan pasti tidak akan cerah. JIka langit Jabodetabek kelabu, bukankah begitu juga dengan wilayah sekitarnya?
Ketika badan sudah memasuki lambung kapal feri di Muara Angke, pikiran bakal berhujan ria di pulau masih menggelayuti. Saya bahkan menganggap telah salah membawa perlengkapan. Bukankah seharusnya saya bawa jaket hujan, sepatu boot anti air, sweater tebal, kerudung tebal, kupluk tebal, dan segala sesuatu yang bisa menahan dingin? Memikirkan itu semua, perut saya jadi mual. Ombak besar yang membuat kapal berguncang, sukses bikin saya muntah-muntah hampir sepanjang perjalanan.
Lantas, apa kabar langit di balik dinding kapal yang tak sempat saya nikmati itu?
Ternyata…..
Cuaca sungguh cerah. Matahari bersinar hangat. Langit di atas Kepulauan Seribu begitu terang. Tiada awan kelabu, tiada rintik hujan, tiada pulai badai yang menerjang. Alhamdulillah.
Semua perlengkapan pantai yang saya bawa akhirnya terpakai dan tak sia-sia. Ini baru namanya di pantai, mengenakan topi, kaca mata, dan berpanas-panasan. Bukan berjaket, pakai kupluk, hujan-hujanan dan menggigil kedinginan :D
Lantas bagaimana cuaca di Jakarta ketika saya berada di Pulau Harapan? Saya tidak tahu. Sungguh tidak tahu apakah Jakarta dan sekitarnya hujan atau terang benderang seperti di Pulau Harapan. Namun yang pasti, saat kembali ke Jakarta pada hari Minggu sore (8/2/2015), Jakarta diguyur hujan deras dan esoknya dilanda banjir. Dan saya merasa, seperti kembali memasuki planet yang berbeda.
Sebetulnya, dalam bulan Januari sampai Februari tahun 2015 ini saya sudah berniat untuk tidak ngetrip ke mana pun. Cuaca buruk yang melanda Indonesia belakangan ini jadi alasan. Hujan, angin, bahkan musibah-musibah yang terjadi, bikin saya menciut.
Namun, di tengah kuatnya tekat untuk lebih banyak tinggal di rumah itu, Eki datang dengan racunnya. “Ayo, mbak, ke Pulau Harapan!”
Berlayar tenang tanpa gelombang kencang |
“Sudah, ikut saja. Kan dekat, cuma semalam pula. Biar kamu bisa refreshing.”
Dalam bimbang, keluarga malah mendukung. Siapa yang ga girang coba? :D Tanpa pikir lama-lama, saya pun bergegas bilang ke Eki, “Saya daftar!” Maka, semua ciut dan rasa takut akan cuaca buruk itu pun melayang entah kemana. Racun trip yang sungguh aduhai.
Pasca mendaftar trip Pulau Harapan, cuaca baik belum menunjukkan tanda-tandanya. Yang ada, mendung dan hujan terus menerus terjadi. Saya berkali-kali bilang ke Eki, “Kalo hujan terus begini, ga asyik nanti tripnya, ya, Ki.” Saya beneran jadi ragu. Pesimis. Bahkan mulai tak berharap banyak.
“Kita berdoa saja, mbak.” Walaupun antusiasme saya tidak terdongkrak oleh ucapan Eki itu, setidaknya Eki sudah berusaha dan berhasil membuat saya tidak meng-cancel keikutsertaan saya dalam tripnya. Saya tetap membayar biaya trip.
Sekitar 10 hari sebelum keberangkatan, di rumah ada yang sakit, bahkan sampai dirawat di RS. Melihat kenyataan itu, saya mulai berubah pikiran. Bagaimana tidak, cuaca tidak juga bersahabat, ditambah ada anggota keluarga yang sakit, bayangan akan bersenang-senang di Pulau Harapan perlahan mulai pupus. Akhirnya, saya pun bulat untuk tidak jadi berangkat. Keluarga tetap yang utama. Buat apa merefresh badan dan pikiran kalau yang tersayang sedang kesakitan?
Semua girang sebab tiada hujan apalagi badai, |
Jumat malam (6/2/2015), saya baru berkemas. Saya tidak biasa seperti ini. Berkemas di detik-detik terakhir itu bukan ciri saya. Namun cuaca buruk, kondisi di rumah belakangan ini, membuat saya memang tidak begitu bersemangat. Packing pun abai. Saya lunglai seperti tanpa harapan. Dalam bayangan saya, trip ini akan dirundung ‘mendung’ seperti cuaca yang selalu mendung. Aura ‘mendung’ itu makin menjadi ketika charger kamera EOS 7D tidak ketemu. Arrrghhh!
Meskipun pesimis, saya tetap menyiapkan berbagai keperluan yang biasanya dibutuhkan di pantai, seperti topi, kaca mata, sunblock, dan baju-baju ‘ringan’ yang tidak bikin kepanasan. Sebetulnya ini aneh, sebab dalam pikiran saya adalah cuaca di Pulau Harapan pasti tidak akan cerah. JIka langit Jabodetabek kelabu, bukankah begitu juga dengan wilayah sekitarnya?
Ketika badan sudah memasuki lambung kapal feri di Muara Angke, pikiran bakal berhujan ria di pulau masih menggelayuti. Saya bahkan menganggap telah salah membawa perlengkapan. Bukankah seharusnya saya bawa jaket hujan, sepatu boot anti air, sweater tebal, kerudung tebal, kupluk tebal, dan segala sesuatu yang bisa menahan dingin? Memikirkan itu semua, perut saya jadi mual. Ombak besar yang membuat kapal berguncang, sukses bikin saya muntah-muntah hampir sepanjang perjalanan.
Di bawah langit yang terang benderang dan sangat cemerlang |
Lantas, apa kabar langit di balik dinding kapal yang tak sempat saya nikmati itu?
Ternyata…..
Cuaca sungguh cerah. Matahari bersinar hangat. Langit di atas Kepulauan Seribu begitu terang. Tiada awan kelabu, tiada rintik hujan, tiada pulai badai yang menerjang. Alhamdulillah.
Semua perlengkapan pantai yang saya bawa akhirnya terpakai dan tak sia-sia. Ini baru namanya di pantai, mengenakan topi, kaca mata, dan berpanas-panasan. Bukan berjaket, pakai kupluk, hujan-hujanan dan menggigil kedinginan :D
Lantas bagaimana cuaca di Jakarta ketika saya berada di Pulau Harapan? Saya tidak tahu. Sungguh tidak tahu apakah Jakarta dan sekitarnya hujan atau terang benderang seperti di Pulau Harapan. Namun yang pasti, saat kembali ke Jakarta pada hari Minggu sore (8/2/2015), Jakarta diguyur hujan deras dan esoknya dilanda banjir. Dan saya merasa, seperti kembali memasuki planet yang berbeda.
Tetap gaya dengan dandanan ala pantai he he |
Salah satu kelebihan Jakarta, bisa melipir ke pulau-pulau cantik tanpa harus jalan jauh. Di Palembang "paling" ke Kemaro hehe. Mbak, itu kacamatanya mirip yang dipake Syahrini, jangan-jangan sodaraan mbak xixixixi
BalasHapusHaha...sodara jauh. Jauuuuh sekali tak terbilang angka-angka :)) Kalo kaca matanya mungkin aja sodaraan.....sodara satu pabrik :))
HapusPalembang jauh dari laut ya Cek Yan. Susah nemu pulau 'sungguhan' Ya Alhamdulillah dekat Jakarta banyak pulau. Mudah kalau sedang ingin melipir ke pulau. Pindah sini atuh ke Jkt :D
Cakeeeppp benerrrr mb ribanggg pake kacamata, jadi 11 12 sama dewi sandra... *_*
BalasHapusAku tersanduuuuuuung :))
HapusCakeppp beneerrrr kacamatanyaa... Uppsss yang pake kacamata maksudnyaaa.. ^_^
BalasHapusMakin tersandung hahahaha
Hapuskayak judul sinetron yang lama bingit itu yaakkk... hahahhahahaha
HapusWuuiiih... saya paling gak bisa tahan godaan kalo liat langit yang biru cerah kayak gitu... Selalu suka! Sama seperti saya selalu suka ama outfit plus asesoris yang dipake mbak Rien. Cantik dan modis.
BalasHapusSegala mumet terasa hilang kalo nemu suasana pantai kayak gitu ya mbaaaak.
HapusWah wah...aku dibikin GR nih mbak *terbang*
Charger oh charger... :(
BalasHapusDitunggu artikel di media ttg pulau harapan ya mba :)
Iya nih si charger pake ngumpet segala. Sepertinya tertinggal di suatu tempat yang sudah ga mungkin bisa diambil lagi :(
HapusInsha Allah :D
Suka banget ama foto-fotonya, Mbak. Iyah, setuju ama Mbak Dee An, Mbak Rien modis banget. Kalau aku suka ngasal pilih baju. Asal gak tabrakan aja, deh. ira
BalasHapusHihihi,......antara sungguhan modis atau niat banget pingin begaya saat difoto ini mbak :))
HapusAlhamdulillah, cerah yaaa....pantainya cantiikk...
BalasHapusAlhamdulillah. Betul mbak, pantainya cantik pisan
HapusMabuk sepanjang perjalanan? he3 saya tau banget rasanya, sungguh menyiksa dan bikin malu saja.
BalasHapusTapi semua udah terbayar dengan keindahan pantainya ya Mbak? Setuju juga sama Dee, Mbak Rien emang travelista kok. saya udah membuktikannya ketika dulu ke Balekambang :D
Haha....tapi aku ga malu sih. Kemarin di kapal muntah cuek aja di depan orang-orang. Sepanjang pelayaran aku megang kantong plastik yang dikit-dikit ditadahin ke mulut :))
HapusYup, terbayar semua siksaan itu. Langsung lupa kalo abis ngeluarin isi perut setengah kantong :D
Masa sih? Yang bener? Ah, jangan kayak gitu. Kan aku jadi senang. *eh.
Hahaha
masih bagian jakarta ya mbak tapi sepertinya agak terlupakan buat disambangi :D
BalasHapusMungkin gemerlap Jakarta lebih menyilaukan daripada Kep Seribu :D
HapusWaktu aku ke harapan, cuaca nya gerimis mendung2 ngak jelas tp puas hopping island nya :-)
BalasHapusKalau cuaca ga mendukung seperti itu, menikmati pulau jadi kurang maksimal biasanya ya mas. Ga asyik banget kalo gerimis2an di pantai :D
HapusMbak Rien itu topinya beli dimana mauuu... :D
BalasHapusBeli di Pantai Kuta, Bali, mbak. Di warung-warung souvenir gitu :D
Hapus