Selamat pagi Bohe Silian
Assalamu'alaikum Wr Wb,
Hari itu di Bohe Silian, merupakan pagi pertama sejak aku dan teman-temanku tiba pada malam hari sebelumnya. Kokok ayam terdengar di jam 4 pagi, berselang 3 jam sejak aku terbangun di jam 1 dini hari. Hanya terjaga tanpa beranjak bangun, gusar memikirkan langkah menuju kamar mandi. Antara ingin buang air kecil, atau takut gelap karena kamar mandi yang tak berlampu. Ada senter berkaki 3, tapi apa masih ada di dalamnya? Aku galau memikirkannya.
"Zahra...ssst...."
Adik satu itu tak bergerak, masih lelap. Ia mungkin letih seusai snorkeling dan mengarungi lautan seharian kemarin. Sama sepertiku. Uuuh....kenapa aku terus terjaga, gelisah dengan haid di hari kedua yang tak bikin nyaman ini ?
Keluar kamar melewati ruang tamu, ruang tengah, dapur, lalu belok kanan. Kamar mandinya di situ. Ruang kamar mandinya cukup besar, baknya besar, tapi penerangannya minim. Di belakang pula. Paling kalau ada apa-apa, aku harus siap lari dan menjerit. Hiii. Penakut! Padahal empunya rumah kamarnya bersebelahan dengan kamarku. Malahan hanya dibatasi oleh sehelai gorden. Arrgh!
Rumah tempatku menginap dengan Zahra, Mbak Andri, dan Mbak Nanit
Ruang tamu
Kamar depan (kamarnya mbak Andri dan mbak Nanit)
Kamar tengah (kamarku dan Zahra)
====
Ribuan larik cahaya matahari pagi lembut menerobos sela dedaunan, juga atap-atap rumah. Jatuh menimpa rumput halus di halaman (rumputnya bagus-bagus), bangku-bangku kayu, dan jalanan desa, menimbulkan bayangan indah yang magis dan syahdu. Aku tertegun di depan pintu, bagai tersihir.
Ibu tuan rumah tempatku menginap sedang duduk di bangku kayu seberang rumah. Ia mengobrol dengan tetangganya dalam bahasa yang entah. Bisa kumengerti sedikit, sisanya aku perlu google translate :p Aku melirik kalung emas di leher si ibu, menjuntai panjang dan besar. Tiba-tiba teringat olehku rampok asal Filipina yang katanya suka datang ke desa, merampok dengan senjata berbahaya. Dan kalung ibu itu....hiiiiii.
Orang-orang desa Bohe terbilang mapan. Pekerjaan mereka sebagai nelayan bisa menghasilkan puluhan juta rupiah dalam sekali melaut. Sebuah nominal disebutkan, 30jutaan untuk hasil menangkap ikan. Itu untuk sekali. Dengan rupiah senilai itu, mereka habiskan untuk sekian bulan. Setelah habis, baru melaut lagi.
Kaya itu memang relatif. Dari segi materi yang nampak, penduduk Desa Bohe nampak berpunya. Tiap keluarga punya jenset sendiri (belum ada PLN di Bohe), perahu (speed boat) sendiri, rumah besar (beton maupun kayu), parabola, kendaraan sepeda motor, juga perhiasan-perhiasan emas di tubuh para wanitanya. Walaupun anak-anak berbadan langsing, tapi ibu-ibunya subur makmur sejahtera. Tak nampak derita dan nestapa.
"Ibu, foto sama kita ya?" tanya saya pada ibu tuan rumah.
Si ibu mengangguk, tanpa kata-kata, hanya tersenyum. Anak-anak kecil yang sedari tadi mengelilingi kami (aku, Frida, Mandy, Zahra dan Efi), bergerak mendekat dengan malu-malu. Saat lensa kamera terarah kepada mereka, senyum di wajah mereka melebar. Tawapun berderai. Girang bukan main difoto. Bahkan mau diajak foto berulang-ulang.
Bangunan rumah penduduk Desa Bohe Silian
Orang-orang desa Bohe terbilang mapan. Pekerjaan mereka sebagai nelayan bisa menghasilkan puluhan juta rupiah dalam sekali melaut. Sebuah nominal disebutkan, 30jutaan untuk hasil menangkap ikan. Itu untuk sekali. Dengan rupiah senilai itu, mereka habiskan untuk sekian bulan. Setelah habis, baru melaut lagi.
Kaya itu memang relatif. Dari segi materi yang nampak, penduduk Desa Bohe nampak berpunya. Tiap keluarga punya jenset sendiri (belum ada PLN di Bohe), perahu (speed boat) sendiri, rumah besar (beton maupun kayu), parabola, kendaraan sepeda motor, juga perhiasan-perhiasan emas di tubuh para wanitanya. Walaupun anak-anak berbadan langsing, tapi ibu-ibunya subur makmur sejahtera. Tak nampak derita dan nestapa.
"Ibu, foto sama kita ya?" tanya saya pada ibu tuan rumah.
Si ibu mengangguk, tanpa kata-kata, hanya tersenyum. Anak-anak kecil yang sedari tadi mengelilingi kami (aku, Frida, Mandy, Zahra dan Efi), bergerak mendekat dengan malu-malu. Saat lensa kamera terarah kepada mereka, senyum di wajah mereka melebar. Tawapun berderai. Girang bukan main difoto. Bahkan mau diajak foto berulang-ulang.
Bersama ibu tuan rumah (baju daster ungu) dan anak-anak desa yang girang diajak berfoto
Di
Bohe Silian, kami menginap di rumah penduduk. Rumah-rumah itu tersebar
di beberapa tempat, mulai dari sekitar dermaga hingga masuk desa. Tiap
rumah menyewakan 1-2 kamar. Dan tiap kamar, diisi oleh 2 peserta.
Perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki. Aku selalu sama
Zahra. Mbak Andrie berdua mbak Nanit. Kami 1 rumah. Hehe. Geng MB kata Eki.
Kamarnya cukup luas. Tempat tidurnya besar. Tidak ada AC, hanya sebuah kipas angin, tapi itu tidak perlu sebab udara tidak panas. Sebab kamar dibuat tanpa plafon. Jika mendongak, pandangan langsung tembus ke atap rumah. Terbuka dan tinggi. Kamarnya rapi dan cukup nyaman. Bahkan, bagiku semua tak ada masalah. Asyik saja.
Kamarnya cukup luas. Tempat tidurnya besar. Tidak ada AC, hanya sebuah kipas angin, tapi itu tidak perlu sebab udara tidak panas. Sebab kamar dibuat tanpa plafon. Jika mendongak, pandangan langsung tembus ke atap rumah. Terbuka dan tinggi. Kamarnya rapi dan cukup nyaman. Bahkan, bagiku semua tak ada masalah. Asyik saja.
Desa yang tenang dan damai
Ini pengalaman pertamaku menginap di rumah penduduk yang empunya rumahnya juga tinggal di dalamnya. Senang, jadi bisa lebih dekat dengan penduduk lokal. Bisa mengenal kebiasaan mereka secara langsung dan juga berinteraksi langsung.
Meskipun
rumah penginapan kami terpisah-pisah, tapi soal makan tetap di satu
tempat. Kami tidak makan di rumah yang kami inapi,
melainkan di satu rumah yang ditunjuk sebagai 'rumah makan'. Bagus idenya, jadi semua bisa kumpul saat makan. Uniknya, hidangannya
disajikan ala prasmanan. Rasanya jadi mirip tamu kondangan hehe
Malam
itu, kami makan malam di depan rumah. Berlantai bumi, beratap langit.
Ada bulan bulat terang, warnanya keemasan. Langit indah sekali. Angin
lautpun semilir berhembus. Ah, sesederhana apapun santap malam, jika
suasananya begitu, semua jadi nikmat.
Di
Bohe Silian, sinyal Telkomselku tidak tiarap. Meskipun begitu, tak
berarti sinyalnya selalu bagus. Kadang-kadang ada, kadang tidak ada.
Itupun sinyal buat telp dan mengirim/menerima SMS saja. Kalau GPRS sinyalnya
tewas. Mati gaya tak bisa internetan.
Tak
sampai 24 jam kami di Bohe Sillian, kamipun pergi melanjutkan
petualangan, menyeberangi lautan, menuju Kakaban. Baru sejenak, tapi
hati ini sudah tertaut di sana. Teringat pengalaman menyusuri hutannya.
Mendaki bukit, menuju Goa Simbat yang menyimpan danau berair biru
jernih.
Adakah
dulu Bohe Silian itu juga lautan? Entahlah. Aku menemukan bebatuan
serupa karang ketika menuju Goa Simbat. Seperti bukan batu pegunungan.
Mungkin peneliti Jerman perlu ke sana untuk membuktikannya, seperti
ketika meneliti bebatuan di Lembah Harau yang ternyata merupakan batu
yang berasal dari laut.
Danau biru di dalam Goa Simbat
====
====
TENTANG DESA BOHE SILIAN
- Secara administratif, wilayah Pulau Maratua terbagi menjadi empat desa, yaitu Bohe Silian, Bohe Bukut, Payung Payung, dan Teluk Alulu. Bohe Silian adalah desa tertua di Kecamatan Maratua.
- Mayoritas penduduk desa ini adalah Suku Bajo. Suku Bajo dari Sulawesi adalah suku asli yang mendiami Pulau Maratua. Suku pendatang juga berasal dari Sulawesi, Suku Bugis.
- Mata pencarian utama adalah menjadi nelayan.
- Fasilitas pendidikan yang ada di Bohe Silian mulai dari TK hingga SMU (tersebar di desa-desa lainnya juga). Untuk melanjutkan kuliah, mereka pergi ke Berau. Ada juga yang ke Samarinda.
- Fasilitas umum lainnya seperti Posyandu, Puskesmas, Balai Desa, Mesjid, Lapangan sepak bola, transportasi sepeda motor dan speed boat, Kantor Desa dll *bisa lihat di blog ini untuk lebih lengkapnya --> Fasilitas di Pulau Maratua.
===
=====
Alhamdulillah. Perjalanan yang indah.
Terima kasih teman-teman semua ^_^
Trip Derawan 17-21 April 2014