Assalamu'alaikum Wr Wb
Saya suka dengan aroma dan rasa kopi tapi juga tak suka dengan dampak dari meminum kopi. Perut sakit, maag kambuh. Mual, mulas, bahkan muntah, begitulah yang terjadi. Apa sebab? Apa lagi kalau bukan karena kandungan asam pada kopi. Namun yang berbahaya dari sekedar kandungan asam, tentulah jika terdapat campuran zat kimia, pewarna, pengawet, bahkan soda kue yang membuat kopi terlihat putih berbusa menggoda mata. Siapa yang berani menyebutkan kandungan zat berbahaya itu pada bungkus kopinya? Barang mustahil ada, sebab jika iya, sama seperti bunuh diri. Mematikan pasaran. Bangkrut. Tutup usaha. Tapi lebih baik pabrik kopinya yang mati daripada saya yang mati. Kalau pabriknya tetap hidup? Tidak usah minum kopi!
"Kopi seperti musuh yang tidak ingin saya perangi.
Ia bukan kawan, tapi juga bukan lawan."
Suatu ketika saya berkeluh kesah tentang ketidakbisaan saya minum kopi. Lantas, seorang teman penggemar kopi mengomentari keluhan saya dengan bercerita tentang kopi yang aman buat penderita maag seperti saya. Katanya, ada kopi yang tak kan bikin saya mual, mulas dan muntah jika meminumnya. Pun, dijamin tanpa tambahan zat berbahaya. Asli hanya bubuk kopi!
Saya penasaran dan 'kesetrum' oleh jaminan amannya. Informasi itupun saya gali, blog si teman pun saya pelototi (si pemilik blog namanya Desi Ganteng). Ternyata ada rahasia di sana. Katanya, kopi itu bebas dari kandungan asam sebab disimpan terlebih dahulu selama 5-8 tahun (untuk menurunkan kadar asam) sejak sebelum di jadikan bubuk kopi. Kopi itu namanya Kopi Aroma Bandung. Desi berkunjung ke pabrik kopi Aroma pada Desember 2011 lalu. Cerita tentang kunjungannya itu dituangkan dalam tulisan: Koffie Faberik Aroma Bandung. Berawal dari cerita Desi inilah saya bertekat untuk berkunjung ke pabrik Kopi Aroma jika suatu hari pergi ke Bandung. Bukan semata berkunjung tetapi juga mendapatkan kopinya. Dan tiga tahun kemudian, kunjungan itu pun terealisasi (pada 15 Februari 2014).
Kenapa mesti ke Bandung? Sebab tempat produksi kopi Aroma di Bandung, dan hanya di Bandung. Tidak ada di tempat lain di manapun. Kopi Aroma juga tidak dijual bebas di supermarket-supermarket umum. Jika kopi lain mudah didapat di toko-toko, minimarket, dan supermarket, maka tidak dengan Kopi Aroma. Jikapun ada, hanya supermarket tertentu. Itupun hanya satu dan dua saja. Berdasarkan keterangan Pak Widyapratama (pemilik pabrik Kopi Aroma), di Jakarta ada dua supermarket yang diijinkannya untuk menjual (itupun karena Supermarketnya yang meminta). Jika saya tak salah dengar (karena saya merekam dengan telinga yang mulai tua), Kopi Aroma bisa didapat di Supermarket Papaya Jakarta. Katanya di daerah Sudirman. Dan satu lagi di sebuah supermarket yang saya lupa namanya. Selain itu tidak ada. Kopi Aroma juga tak bisa dipesan by phone (delivery order) ke tokonya. Jika berminat, silahkan datang langsung ke toko, lalu antri bersama pembeli lainnnya.
Saya fikir, dengan model penjualan seperti itu, penjualan dan pemasaran Kopi Aroma akan sulit berkembang dan meningkat. Jika Kopi Aroma hanya menjangkau sedikit konsumen, akan sedikit pula keuntungannya. Bukankah Kopi Aroma banyak peminatnya? Lagipula nama kopi ini sudah me-nasional bahkan internasional. Saya membaca ada yang menyebutkan bahwa pemesan Kopi Aroma ada yang berasal dari luar negeri seperti merika dan Inggris. Itu artinya kepopulerannya sudah mendunia. Belum termasuk warga Indonesia yang berdomisili di luar negeri (seperti mbak Rosa di Inggris) yang membawa kopi Aroma dari Bandung hingga ke Inggris.
Lantas, kenapa kepopuleran itu tak dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dan penjualan ke level yang lebih tinggi lagi? Pikiran penuh tanya ini akhirnya terjawab dari mulut Pak Widya. "Saya sudah bersyukur dengan apa yang ada seperti saat ini. Ikhlas dengan yang secukupnya. Banyak-banyak nanti tak bisa dibawa mati. Kita ga bawa apa-apa ke sana (akhirat). Yang penting tetap 'hidup' dan ada. Jalan terus."
Pabrik Kopi Aroma Bandung
Lantas, kenapa kepopuleran itu tak dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dan penjualan ke level yang lebih tinggi lagi? Pikiran penuh tanya ini akhirnya terjawab dari mulut Pak Widya. "Saya sudah bersyukur dengan apa yang ada seperti saat ini. Ikhlas dengan yang secukupnya. Banyak-banyak nanti tak bisa dibawa mati. Kita ga bawa apa-apa ke sana (akhirat). Yang penting tetap 'hidup' dan ada. Jalan terus."
Nyessss. Adem tentrem rasanya mendengar kata-kata Pak Widya itu. Usahlah lagi mencari kesederhanaan lain dari dirinya dan pabriknya. Menyelami makna dari kata-katanya itu saja membuat saya bisa melihat gambaran beliau ini usahawan seperti apa. Namun jika kamu tak yakin, cocokkan saja secara visual dengan apa yang terlihat dari tempat produksi kopinya yang tak besar itu. Amati mesin kopi kuno tahun 1930an yang masih digunakannya hingga saat ini. Tungku bakar dengan limbah kayu karet sebagai bahan bakar. Mesin giling usang, bak wadah kopi usia 80tahunan, QC (quality control /alat pemilah), stapler, bahkan alat timbang, yang semuanya jauh dari kecanggihan teknologi mutakhir seperti di pabrik-pabrik kopi merk terkenal lainnya. Proses pengemasan pun secara manual. Hitung pula jumlah karyawannya, hanya 9 orang saja. Sedari dulu. Walau orang-orangnya berganti, tapi jumlahnya tetap sama. Betapa Pak Widaya masih mempertahankan berbagai konsep yang beliau warisi dari orang tuanya. Untuk apa lagi semua itu kalau bukan untuk menjaga kepuasan pelanggan.
Saya kira, bonus saya datang ke pabrik Kopi Aroma ini hanyalah berupa Pak Widya, sang pemilik pabrik), yang menemani saya tur di pabriknya. Tapi ternyata ada bonus lainnya yang lebih bermakna, yakni filosofi hidup tentang kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan. Semua itu terselip indah ketika Pak Widya bertutur tentang kopi dan pabriknya. Disampaikan dengan sangat rendah hati, dengan pilihan kata-kata yang tepat, tidak menggurui, dan jauh dari kesan sombong. Kesan ikhlas itu nampak betul. Bukan hanya lewat ucap kata, tetapi juga dari bahasa tubuhnya dan visual sosoknya, semua menyiratkan kesahajaan.
Pak Widya bercerita bahwa beliau sangat mendamba keturunan laki-laki, yang mana dalam
keluarga keturunan Tionghoa anak laki-laki sangatlah berharga. Ia akan
menjadi pewaris dan penerus usaha keluarga. Tapi nyatanya Tuhan
menganugerahinya tiga anak, dan itu perempuan semua. Pak
Widya berseloroh : "Bapak saya sebagai generasi pertama adalah
pendiri. Saya ini sebagai generasi kedua, tukang kelolanya. Nah,
generasi ketiga (anak saya), tukang ngacak-ngacaknya." Usai mengatakan demikian, tawa pak Widya berderai. Saya juga ikut tertawa.
Di usianya yang ke 63 tahun, Pak Widya masih terlihat sehat dan kuat. Saat ini beliau berstatus sebagai dosen Coorporate Management di Unpad. Meski begitu setiap hari tetap turun tangan membantu mengerjakan proses produksi kopi Aroma dengan dibantu oleh istri dan putri sulungnya. Kebetulan siang itu keduanya ada di tempat, jadi saya bisa berkenalan. Putri sulung Pak Widya namanya Ci Nonik. Ci Nonik inilah yang kerap membantu Pak Widya mengurus usaha kopinya. Sedang putri kedua dan ketiganya, memilih fokus dengan profesi mereka sebagai dosen.
Ci Nonik sama ramahnya dengan ayahnya. Ketika saya memesan 10 bungkus
kopi Mokka Arabika dan Robusta, dia sendiri yang mengambilkannya.
Setelahnya, dengan senang hati ia saya ajak berfoto bersama. Sementara istri Pak Widya, terlihat sibuk di meja kasir. Melayani pembayaran pembeli yang siang itu antri di tokonya.
Putri sulung (kanan) dan istri (kiri) dari Pak Widyapratama
Pak
Widyapratama adalah pewaris tunggal usaha Kopi Aroma yang dirintis
ayahnya, Tan Houw Sian, pada 1930. Menurut Pak Widya, dulu ayahnya Tan
How Sian, memperoleh dasar pengetahuan tentang usaha kopi saat bekerja
di perusahaan kopi Belanda sejak tahun 1920 hingga 1930. Ayah Pak Widya
lalu berhenti menjadi karyawan dan memutuskan membuka usaha kopi
kecil-kecilan. Usaha inilah yang kini masih dijalankan oleh pak Widya.
Kondisi pabrik masih utuh seperti awalnya. Masih di tempat yang sama
seperti pada mulanya. Masih dengan konsep yang sama seperti yang dibuat
ayahnya.
Ini
memang bukan tentang kopi semata, tapi tentang usahawan bersahaja yang
begitu teguh mempertahankan warisan usaha seperti awal mula ketika
didirikan. 84 tahun bukan waktu yang singkat. Dalam rentang waktu
tersebut banyak hal baru tercipta. Namun dengan keaslian konsep, metode,
dan kualitas yang terjaga, produk kopi ini melegenda dalam satu label
yang tak ada duanya. Berapa pun lamanya waktu. Dan sesuatu yang melegenda, pasti akan dicari. Sekalipun kecil dan tersembunyi.
Kopi tak sebatas sebagai minuman yang nikmat untuk diteguk tapi lebih jauh juga berkhasiat sebagai pengobatan. Sebagai minuman, Kopi Aroma jenis Robusta (Kopi Aroma memproduksi 2 jenis kopi yakni Robusta dan Mokka Arabika) ternyata baik untuk pasangan suami istri. Khasiatnya dapat membuat sperma laki-laki memancar kuat di pagi hari. Bagi penderita diabetes, kopi Robusta bagus diminum pagi hari tapi tanpa gula. Bubuk kopi juga dapat digunakan sebagai obat luka yang sulit mengering. Caranya bubuk kopi itu ditaburkan ke atas luka.
Ketika menerangkan khasiat kopi, Pak Widya menunjukkan sebuah buku kepada saya. Judulnya : Coffee Powder For Wound Healing "The New Paradigm Of Wound Management." Karya Prof. Hendro Sudjono Yuwono, dr, PhD. "Tapi maaf, bukunya hanya satu ini saja. Belum terbit," lanjut Pak Widya. Saya yang mulanya berharap dapat info bahwa buku ini ada di toko-toko buku dan saya bisa mendapatkannya untuk membaca isinya, jadi kecewa.
Lalu bagaimana proses produksi kopi aroma sesungguhnya? Nah, itu dia yang penting. Baiklah, saya akan ceritakan itu, namun pada jurnal berikutnya. Sementara menunggu, biarkan saya menikmati secangkir kopi Aroma Robusta dulu. Meresapi setiap tetesnya, mencium aromanya, bahkan menanti apakah ketika nanti keluar lagi dalam bentuk air seni, akan tercium kembali aroma yang sama. Owh iya, Pak Widya berkata pada saya tentang satu hal lain, katanya jika kopi yang kamu minum membuat air seni yang keluar juga berbau kopi, itu artinya kopimu mengandung zat kimia! Nah. Pernah mengalami demikian? Saya pernah. Hehe.
Alhamdulillah hampir 1 bulan sejak pertama minum kopi Aroma, saya belum pernah merasakan maag saya kumat seusai minum kopi Aroma, baik Robusta maupun Mokka Arabika. Tak pula mencium aroma kopi pada air seni.
Ok, sampai di sini dulu ceritanya. Nantikan lanjutannya pada jurnal berikutnya tentang proses produksi kopi Aroma.Terima kasih telah membaca ^_^
*Sebelumnya tentang Pabrik Kopi Aroma bisa di baca di sini --> Ke Pabrik Kopi Aroma
Ketika menerangkan khasiat kopi, Pak Widya menunjukkan sebuah buku kepada saya. Judulnya : Coffee Powder For Wound Healing "The New Paradigm Of Wound Management." Karya Prof. Hendro Sudjono Yuwono, dr, PhD. "Tapi maaf, bukunya hanya satu ini saja. Belum terbit," lanjut Pak Widya. Saya yang mulanya berharap dapat info bahwa buku ini ada di toko-toko buku dan saya bisa mendapatkannya untuk membaca isinya, jadi kecewa.
Buku Coffee Powder For Wound Healing "The New Paradigm Of Wound Management.
Lalu bagaimana proses produksi kopi aroma sesungguhnya? Nah, itu dia yang penting. Baiklah, saya akan ceritakan itu, namun pada jurnal berikutnya. Sementara menunggu, biarkan saya menikmati secangkir kopi Aroma Robusta dulu. Meresapi setiap tetesnya, mencium aromanya, bahkan menanti apakah ketika nanti keluar lagi dalam bentuk air seni, akan tercium kembali aroma yang sama. Owh iya, Pak Widya berkata pada saya tentang satu hal lain, katanya jika kopi yang kamu minum membuat air seni yang keluar juga berbau kopi, itu artinya kopimu mengandung zat kimia! Nah. Pernah mengalami demikian? Saya pernah. Hehe.
Alhamdulillah hampir 1 bulan sejak pertama minum kopi Aroma, saya belum pernah merasakan maag saya kumat seusai minum kopi Aroma, baik Robusta maupun Mokka Arabika. Tak pula mencium aroma kopi pada air seni.
Ok, sampai di sini dulu ceritanya. Nantikan lanjutannya pada jurnal berikutnya tentang proses produksi kopi Aroma.Terima kasih telah membaca ^_^
*Sebelumnya tentang Pabrik Kopi Aroma bisa di baca di sini --> Ke Pabrik Kopi Aroma
===
Faberik Koffiee Aroma Bandoeng
Jl.Banceuy 51, BANDUNG - INDONESIA
Share this
Give us your opinion