"Wilt
U heerlijke Koffie drinken? Aroma en smaak blijven goed. Indien U de
Koffie van de zak direct in een gesloten stopfles of blik over plaatst.
Niet in de zak lateen staan!"
~
Maoe minoem Koffie selamanja
enak? Aromanja dan rasanja tinggal tetep, kaloe ini koffie soeda di
boeka dari kantongnya harep dipindahken di stofles atawa di blik jang
tertoetoep rapet.
Djangan tinggal di kantong!
-Koffie Faberik AROMA Bandoeng-
Demikianlah yang tertulis di kantong kemasan Kopi Aroma, baik jenis Robusta maupun Mokka Arabika. Kopi legendaris dari Bandung yang telah berdiri sejak 1930. Berlokasi di Jl. Banceuy No.51 Bandung, tempat toko sekaligus tempat diproduksinya Kopi Aroma.
Berkunjung ke pabrik Kopi Aroma, memang bukan sebuah keharusan. Namun mengetahui sejarah berdirinya pabrik kopi Aroma yang namanya begitu populer dan melegenda, serta sebuah rahasia tentang kopi enak yang tidak mengandung kadar asam tersebab disimpan 5-8 tahun sebelum diolah menjadi bubuk kopi, seperti pemicu untuk menjadikannya sebagai sebuah keharusan.
Pak Widyapratama, pemilik tunggal Pabrik Kopi Aroma menerima kehadiran saya. Beliau yang menemani saya keliling pbarik, menjadi guide, menerangkan hal-hal penting terkait sejarah berdirinya pabrik, serta proses produksi dengan peralatan yang terbilang kuno dan tua.
Masuk dari toko, berarti dari ruang terdepan pabrik. Jika diuraikan dalam cerita, maka cerita tentang proses produksi kopi Aroma ini akan bermula dari proses akhir produksi. Saya tidak akan mengurutkan proses produksi dari awal, ataupun sebaliknya.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari dua tulisan sebelumnya, yakni: Ke Bandung Mesti Ke Faberik Koffie Aroma dan Lebih Dekat Dengan Pemilik Pabrik Kopi Aroma. Dan tulisan ini menjadi penutup dari dua tulisan tersebut.
Tumpukan karung biji kopi
Biji kopi baru masih berwarna hijau
Biji kopi harus dijemur sebelum diolah
Seperti yang telah saya ceritakan pada tulisan sebelumnya, pabrik kopi Aroma berdiri sejak 1930. Pendirinya Tan How Sian, adalah ayah dari pak Widya (sapaan Pak Widyapratama). Pak Widya tak hanya mewarisi pabrik dengan segala peralatan produksinya, tetapi juga metode dan konsep yang dibuat ayahnya.
Dalam ruang pabrik yang tak terlalu luas, karung putih berisi biji kopi dari berbagai daerah, menumpuk di depan gudang penyimpanan. Siap untuk proses penyimpanan. Sedangkan biji kopi yang sedang menjalani proses penyimpanan, tersimpan dalam karung goni berwarna coklat. Karungnya diletakkan dalam gudang lainnya. Ketika saya melongok ke gudang tersebut, astaga...tumpukan karungnya menggunung, Atap gudang saja hampir tak terlihat saking banyaknya.
Biji kopi yang baru tiba dan belum disimpan, warnanya masih kehijauan. Setelah disimpan, warna biji kopi baru berubah menjadi coklat kehitaman. Biasanya berat biji kopi tersebut akan menyusut dari berat sebelum disimpan. Ketika hendak diolah, biji kopi dijemur terlebih dahulu di bawah matahari. Jika hujan, tetap harus menunggu sampai ada matahari. Tempat penjemuran kopi di bagian belakang pabrik. Di antara tumpukan limbah kayu karet yang dijadikan bahan bakar untuk proses penggorengan biji kopi (menggoreng tanpa minyak / sangrai). "Yang butut itu rumah tinggal saya," kata Pak Widya sambil menunjuk bagian belakang sebuah bangunan. Saya melihat rumah yang dimaksud, lalu memandang raut muka pak Widya yang tersenyum. Senyum ikhlas. Diam-diam saya merasa malu pada pak Widya yang sangat bersahaja.
Proses pengolahan biji kopi dengan mesin dan manual
Dengan bahan bakar kayu limba, biji kopi matang sempurna
Kualitas terpilih, siap untuk di giling
Biji kopi disimpan antara 5 sampai 8 tahun. Tujuannya untuk menurunkan kadar asam pada kopi. Dan inilah rahasia kenapa perut saya aman ketika minum kopi Aroma. Maag saya tidak kambuh. Tidak seperti biasanya jika saya minum kopi merk lain.
Lama penyimpanan biji kopi untuk membuat kopi Mokka Arabika adalah selama 5 tahun. Dan 8 tahun untuk kopi Robusta.
Untuk kopi Mokka Arabika, Pak Widya memakai biji kopi yang didatangkan dari Aceh, Medan, Toraja, dan Flores. Sedangkan untuk kopi Robusta memakai biji kopi dari Lampung, Bengkulu, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Mesin dan peralatan pengolah benar-benar terlihat tua dan usang. Jauh dari kesan modern dan canggih. Pak Widya memiliki 2 mesin penggarang, yakni buatan 1930 dan 1936. Telah lebih dari 80 tahun dipergunakan, dan mesin itu masih berfungsi dengan baik. Setia mengolah kopi, bersama 9 pegawai pak Widya. Ya, hanya 9 saja pegawainya. Dan selalu sejumlah itu, walau orangnya silih berganti.
Barang-barang kuno : Kulkas, baskom, mesin kasir, stappler, timbangan
Sepeda tua buatan tahun 1930
Kesan tua dan kuno itu tak hanya pada mesin pengolah, tetapi juga pada beberapa benda lainnya. Hampir semua benda kuno itu buatan tahun 1930. Sejenak saya seperti memasuki mesin waktu, kembali ke jaman Belanda yang tidak tahu seperti apa suasana yang sebenarnya. Hanya dapat merasakan saja, betapa pabrik ini memiliki sejarah yang tentu sangat berarti bagi sang pemiliknya. Pak Widya tentu punya seribu kenangan bersama sang ayah. Di jaman ketika negeri ini belum merdeka.
Kulkas tahun 1930, merk General Electric Made in Usa, masih tegak berdiri di lorong dapur pabrik. Dibalut tipis oleh debu, tak digunakan. 3 unit sepeda ontel, diletakkan di dinding, dekat atap pabrik. "Dulu ayah saya naik sepeda itu untuk mencari biji kopi," kenang pak Widya. Saya memandangi sepeda-sepeda itu. Membayangkan seorang laki-laki berwajah Tionghoa, kencang mengayuh pedal, menyusuri jalanan Bandung tempo doeloe. Mencari penjual biji kopi.
Peralatan jadul lainnya seperti baskom yang seperti terbuat dari bahan serupa aluminium tebal, tempat menampung bubuk kopi yang keluar dari mesin penggilingan. Rasanya saya pernah melihatnya, dulu, di rumah tua punya nenek kakek saya. Mirip bak mandi bayi-bayi, tapi dengan cekungan yang agak dalam. Di meja pengemasan, ada stapller tahun 1930-an. Pak Widya mendekatkan stappler produksi tahun 2013, menyandingkannya dengan stappler jadul. Kontras sekali. Dua stappler beda jaman, di atas satu meja. Sama-sama berfungsi.
Cukup banyak peralatan tua di pabrik ini. Setelah mesin pengolah, sepeda, kulkas, baskom, stappler, ada pula timbangan, bahkan mesin kasir. Sangat usang tapi bernilai sejarah.
Kantong Kemasan
Proses Pengemasan
Antrian pembeli
Sementara saya dan Pak Widya berkeliling, produksi kopi terus berjalan. Suara kayu bakar dilahap api, berpadu dengan suara mesin penggoreng, juga kipas angin yang terus berputar ke arah tungku. Para pegawai tetap bekerja. Hanya satu dan dua di ruang produksi, di gudang penuh karung, dan di alat pemilah kopi (QC). Dua lainnya di ruang pengemasan bersama seorang putri dan istri pak Widya. Yang lainnya, di dekat tempat penjemuran, dan ruang belakang. Tak begitu terlihat apa yang sedang dilakukan.
Hingga 'tur' itu kelar, dan saya kembali ke ruang depan. Membeli 10 bungkus kopi, masing-masing 5 kopi Robusta dan 5 kopi Mokka Arabika. Dilayani langsung oleh Ci Nonik yang ramah, putri sulung Pak Widya. Sementara di toko, antrian panjang hingga keluar pintu, di atas trotoar. Rupanya pembeli makin ramai. Menarik sekali melihatnya. Satu-satunya toko dan pabrik Kopi Aroma yang 'kecil' dan tua ini, diminati banyak pembeli.
Kopi Aroma Bandung.
Label. Cita rasa. Dan legenda. Saya bersyukur mengetahui dan mengenalnya dari dekat.
Pengakuan masyarakat luas untuk Kopi Aroma Bandoeng