Assalamu'alaikum Wr Wb,
Sepertinya decak kagum terlalu sederhana untuk mengekspresikan kekaguman saya pada Pantai Mawun. Pekikan girang disertai lompatan juga belum cukup. Sujud syukur barangkali. Ah, tapi itu tanda terima kasih pada Allah. Saya rasa, bertasbih dengan melisankan Subhanallah lebih tepat. Nah iya, itu yang spontan terucap waktu itu. Walau tanpa pekikan, tanpa lompatan, tanpa decakan, ucapan Subhanallah menjadi ekspresi terbaik kala menyaksikan keindahan yang Allah tampakan pada saya.
"Subhanallah, Pantai Mawun indah nian."
Seusai dari Pantai Selong Belanak, kami melanjutkan berwisata ke Pantai Mawun. Ternyata, waktu tempuhnya kurang dari 30 menit. Pertanda jarak Pantai Selong Belanak ke Pantai Mawun tak begitu jauh. ELF yang membawa rombongan kami, kembali meluncur di jalan beraspal yang cukup lebar. Melintasi desa-desa, juga kebun tembakau luas yang terhampar di sisi kiri dan kanan jalan. Entah kenapa, setiap kali memandangi tembakau-tembakau itu, saya sampai melongo. Ya, melongo. Seakan tak percaya, bagaimana bisa daun-daun tembakau yang hijau segar itu bisa membunuh manusia ketika berubah dalam bentuk rokok?
Kebun Tembakau
Pak Haji Ismail bercerita pada saya yang sepanjang perjalanan memang bawel mengajukan banyak tanya. Berlagak ala wartawan, pingin tahu segalanya. Katanya, tembakau membuat orang Lombok (mungkin maksudnya: 'sebagian orang lombok') lekas kaya. Ya, kaya bagi yang punya kebun tembakau. Dari tembakau itu mereka pergi ke Mekkah, menunaikan ibadah haji. Lantas, bagi yang tak punya kebun tembakau, bagaimana? Tetap pergi ke negeri M juga. M inisial Mekkah maksudnya? Bukan, tapi M untuk Malaysia. Jadi TKW, kerja di kebun sawit. Waw. Saya jadi ingin tertawa sebetulnya, tapi sepertinya itu tidak lucu.
Cerita Pak Haji Ismail itu melekat dalam benak saya. Intinya, banyak uang atau sedikit uang, orang Lombok akan pergi ke luar negeri, ke negara M. Mekkah atau Malaysia. Tinggal tebak saja keadaannya jika pergi ke salah satu dari negara berinisial M itu.
Bukit-bukit tandus
Rumah-rumah beratap ilalang
ELF meluncur deras, meliuk-liuk kencang di perbukitan tandus yang kerontang. Desa-desa kekeringan, pohon-pohon kesepian, bukit-bukit cadas kecoklatan, gubug-gubug berselimut debu, semuanya menjadi pemandangan yang menimbulkan kelu. Alangkah hebatnya mereka yang mampu bertahan dalam keadaan alam yang tak nyaman itu?
Memang, masih ada hutan dengan pohon-pohon berdaun lebat, tapi apalah artinya kalau cuma tumbuh sepanjang 1 kilometer saja dari berpuluh-puluh kilometer tempat yang kami lalui.
Jarang sekali ada pepohonan rimbun begini
Kabarnya, Pantai Mawun itu tersembunyi. Bukan hanya letaknya, tapi juga kecantikannya. Banyak turis yang belum tahu akan keberadaannya, makanya masih sepi pengunjung. Jika benar, Pantai Mawun tentulah sebuah pantai yang tenang dan nyaman untuk berleha-leha sepanjang pagi hingga petang. Bahkan mungkin, bisa tidur nyaman di atas pasir tanpa takut ada yang akan mengusik. Membayangkan banyak hal tentang kesunyian, saya merasa seakan umur saya bertambah separuh abad. Hidup tanpa gangguan itu seakan memanjangkan umur.
Pantai Mawun ternyata memang terkesan sepi walaupun tak benar-benar sepi. Saat kami tiba, ada 2 mobil dan 3 motor terparkir di bawah sebatang pohon. Di pantai ada sepasang bule menenteng papan selancar. Di bale-bale ada 6-7 orang sedang duduk-duduk menikmati pemandangan pantai. Dengan jumlah orang yang masih terbilang dengan jari, Pantai Mawun jelas jauh dari keramaian. Nuansa tenangnya benar-benar terasa.
Mungkin karena Pantai Mawun jauh dari pemukiman penduduk, jadi tak banyak penduduk lokal yang berseliweran. Tak ada penjaja souvenir yang lalu lalang, tak ada perahu nelayan, tak ada penginapan, tak ada pondok-pondok liar tempat berjualan.
Pantai Mawun ternyata memang terkesan sepi walaupun tak benar-benar sepi. Saat kami tiba, ada 2 mobil dan 3 motor terparkir di bawah sebatang pohon. Di pantai ada sepasang bule menenteng papan selancar. Di bale-bale ada 6-7 orang sedang duduk-duduk menikmati pemandangan pantai. Dengan jumlah orang yang masih terbilang dengan jari, Pantai Mawun jelas jauh dari keramaian. Nuansa tenangnya benar-benar terasa.
Sepi, hanya kami
Mungkin karena Pantai Mawun jauh dari pemukiman penduduk, jadi tak banyak penduduk lokal yang berseliweran. Tak ada penjaja souvenir yang lalu lalang, tak ada perahu nelayan, tak ada penginapan, tak ada pondok-pondok liar tempat berjualan.
Bagaimana cara saya melukiskan keindahan Pantai Mawun yang pesonanya menyiratkan kedamaian itu? Ah, rasanya lidah ini seperti kehilangan kata-kata terindahnya. Begini saja, saya katakan semampu saya, nanti silahkan bayangkan dengan seindah-indah kamu membayangkan sebuah keindahan.
Fathi dan Aulia bermain bersama di pantai
Pantainya bersih. Pasirnya putih, teksturnya lembut ketika diraba. Ia berkilau diterpa cahaya matahari. Bentuk pantainya setengah melingkar, serupa teluk, tapi teluk kecil. Masing-masing ujung pantai diapit bukit. Seolah memagari pantai, membuat pantai Mawun jadi semi tertutup. Karena bentuknya serupa teluk, maka lautnya tenang, tak ada gelombang. Hanya ombak kecil yang berlari menuju pantai, membawa buih putih ke tepian tuk mencucupi pasir yang senantiasa menanti dengan penuh kerinduan. Membasahi pasir-pasir dalam sekejap, lalu pergi lagi tanpa kata-kata, menuju laut, kemudian kembali. Begitu seterusnya. Tak jenuh-jenuh, tak bosan-bosan.
Langit siang itu berwarna biru. Bersih dari gerombolan awan. Laut berwarna biru muda dan biru tua. Keduanya terlihat seperti menyatu, padahal jaraknya tak terbilang-bilang angka. Warna biru seolah merekatkan keduanya. Melihatnya, seakan alam baru saja diguyur dengan cat biru dari drum maha besar. Siapa yang tak hanyut dalam biru yang syahdu? Belum lagi angin yang berhembus, seperti dikirim untuk melenakan diri. Wahai.... di bumi saja sudah sebegini indah, bagaimana nanti di Surga?
Foto sesion dengan teman-teman MB
*Photo: Andrie*
Di Pantai Mawun, lagi-lagi kami hanya sekedar datang lalu pergi. Tak main air, apalagi mandi-mandi. Walau badan ini rasanya seperti tenggorokan yang telah berbulan-bulan menahan dahaga, saya beruntung masih punya kekuatan untuk menahan diri agar tak kalap menceburkan diri. Saya hanya tak tahan, jika tak berpose-pose ria. Bisa nangis bombay kalau tak punya foto di tempat ini. Baiklah, berfoto sendiri atau ramai-ramai, akan sama saja. Sama-sama memiliki bukti yang tak bikin Pantai Mawun rugi. Gambar!
Saya sungguhan berkata, bahwa Pantai Mawun adalah pantai terindah yang saya jumpai di Lombok. Tapi terindah hanya dari 4 pantai saja, yakni: Pantai Senggigi, Pantai Selong Belanak, Pantai Mawun dan Pantai Kuta. Di Lombok masih ada banyak pantai dengan keindahan yang berbeda-beda. Saya belum melihat semuanya. Apalagi di Lombok ada pantai bernama Pantai Pink. Disebut Pantai Pink karena pasirnya berwarna pink jika terlihat dari kejauhan. Nah, siapa tahu itu lebih indah dari Pantai Mawun, ya kan? Tapi yakin deh, Pantai Mawun juga salah satu yang terindah di Lombok. Buktikan sendiri ;)
Kemesraan di Pantai Mawun, bersama teman-teman MB
Ohya, biarpun Pantai Mawun masih disebut pantai yang sepi dan tertutup, tak berarti di pantai ini tak ada apa-apanya. Ada sih fasilitas kecil-kecilan seperti tiga bale-bale untuk duduk-duduk yang lumayan bisa dipakai untuk berteduh dari teriknya matahari yang panasnya seperti menusuk-nusuk kulit. Ada dua warung sederhana, ada penjual air kelapa, ada kamar mandi umum, ada tempat parkir. Yang belum ada tentu saja fasilitas penginapan, tempat makan seperti kafe, penjaga pantai, rambu-rambu informasi terkait keamanan pantai dan laut. Ya, moga-moga saja kedepannya akan ada pembangunan fasilitas-fasilitas semacam itu. Selama tidak menghilangkan kealamian pantai Mawun, saya pikir fasilitas-fasilitas itu sebaiknya lekas saja diadakan.
Membayangkan beberapa tahun kemudian Pantai Mawun berubah menjadi kawasan pantai elit yang bernilai jual tinggi bagi wisatawan, tentu dapat meningkatkan ekonomi dan wisata Lombok. Semoga saja...
Hei, tapi...biasanya kealamian suatu tempat otomatis menghilang jika telah diubah menjadi tempat berfasilitas serba lengkap? Bukankah orang-orang asing datang ke negeri tropis ini karena memburu keaslian? Saya jadi bimbang, apakah rasa dahaga para turis pemburu eksotisme dan kealamian alam itu akan terpuaskan atau malah sebaliknya putar badan lalu pergi?
Pembangunan berbagai fasilitas, biasanya diiringi dengan janji-janji untuk meningkatkan perekonomian daerah setempat (juga menambah pundi-pundi uang para pengusaha), bahkan penduduk lokal akan kecipratan banyak Rupiah. Keuntungan mana yang lebih besar didapat, apakah untuk manusia, ataukah untuk alam, waktu akan membuktikannya.
Sebenarnya, setelah makin banyak melihat banyak tempat menarik di negeri ini, saya makin ngeri. Maksud saya, kegiatan berwisata ini membuat saya mendadak tak ingin menyerukan "ayo datang dan lihat". Saya takut kealamian pantai-pantai seindah Pantai Mawun, akan tinggal cerita dalam lima atau enam tahun yang akan datang. Atau justru akan lebih cepat dari itu. Mengerikan.
Bagaimana jika saya sembunyikan saja? Ah, saya belagu benar.
Bagaimana jika saya sembunyikan saja? Ah, saya belagu benar.
Lombok, 19 Oktober 2013
Katerina
Share this
Give us your opinion