Assalamu'alaikum
Wr Wb.
Desa Sade
di daerah Rambitan, Lombok Tengah, terletak di pinggir jalan raya menuju Kota
Mataram. Berjarak tempuh kurang lebih 30menit dari Bandara International
Lombok. Lokasinya mudah dicapai dan ditemukan. Selain karena jalan aspalnya
yang mulus, juga karena ada plang besar
yang menjadi penanda desa. Saya dan teman-teman MB tiba di sana sekitar pukul
setengah satu siang. Seorang pemuda yang berprofesi sebagai guide menyambut di pintu gerbang. Sayangnya
waktu itu saya dan mbak Fathia tak berada dalam rombongan, jadi tak tahu
sambutan seperti apa yang dilakukan si pemuda.
Saya tertinggal dari rombongan bukan
karena memisahkan diri, melainkan memang tertinggal karena mencari sesuatu di dalam ransel. Beberapa
detik sebelum saya menyeberang jalan menuju gerbang Desa Sade, terdengar suara
mendecit keras dari ban mobil yang dipaksa berhenti. Saya sempat menoleh sepintas
dan melihat ada mobil melaju kencang. Beberapa detik kemudian terdengar suara tabrakan
keras yang disusul suara jeritan orang-orang. Mobil ternyata
menabrak pohon di pinggir jalan. Penyebabnya karena pemgemudi mobil yang masih
anak SMU, ugal-ugalan di jalan raya. Polisi bermotor yang sedang mengawal
rombongan (mungkin pejabat), menyuruh mobil tersebut untuk minggir. Sayangnya si
pengemudi muda salah pengertian, dia malah ngebut dan tak terkendali. Terjadilah
tabrakan tunggal. Beruntung nyawanya tak melayang.
Saya dan
mbak Fathia bergegas memasuki gerbang Desa Sade, menyusul rombongan yang akan menunaikan salat zuhur di masjid
desa. Setelah melewati gerbang, yang nampak pertama kali adalah bangunan serupa
pendopo yang disebut beruqa. Bangunan
yang biasanya digunakan untuk tempat musyawarah dan hajatan penduduk desa itu berdiri
di atas enam pilar, dengan atap yang terbuat dari rumput gajah. Bangunan mesjid yang terletak di salah satu
sudut desa, memiliki ciri khas bangunan adat Suku Sasak. Atapnya
yang bertingkat tiga terbuat dari alang-alang. Berpondasi kayu dan
berdinding anyaman bambu. Ruang
mesjid dan tempat wudhunya bersih. Suasananya
juga tenang. Menurut keterangan mas Lalu, pemuda desa yang
menjadi guide kami, Suku Sasak asli
yang menjadi penduduk Desa Sade masih menganut kepercayaan Wektu Telu yaitu
kepercayaan Islam yang memiliki unsur-unsur Hindu, Budha, maupun kepercayaan
tradisional kuno lainnya. Meski demikian, mereka tetap melaksanakan salat wajib
lima waktu. Saya yang saat itu sedang tidak salat -–sedang menstruasi—kemudian
serius menyimak penuturan mas Lalu tentang sejarah masuknya
Islam ke Lombok pada masa lalu.
Tempat wudhunya bersih. Air mengalir dari Bong
Menyimak penuturan mas Lalu tentang kisah masuknya Islam di Lombok
Di Desa Sade, rumah adat jenis
bale tani paling banyak dijumpai. Ciri
khas rumah bale tani terdiri dari 3 ruangan dengan 3 tingkatan. Ruangan
pertama merupakan serambi depan yang dipergunakan untuk tempat menerima tamu,
tempat menenun, tempat memintal benang, dan tempat menampi beras. Didalamnya hanya
terdapat sebuah tempat tidur dan sebuah lemari untuk menyimpan pakaian dan
barang-barang. Ruang kedua pada
lantai yang kedua, terdapat dapur yang juga berfungsi sebagai tempat bersalin. Tak
ada jendela di ruang dapur. Penerangan seadanya hanya mengandalkan cahaya dari
sebuah lampu. Terdapat hiasan kepala sapi pada dindingnya, juga foto-foto
keluarga mereka. Untuk mencapai ruang kedua ini, ada 3 anak tangga yang mesti
dititi. 3 anak tangga yang juga memiliki makna, lambang
3 tahap kehidupan yang dilalui manusia yaitu lahir,
berkembang dan mati. Ruang ketiga berfungsi sebagai ruang tidur anak-anak
perempuan.
Seluruh rumah adat tradisional Suku Sasak beralaskan
tanah, berdinding anyaman bambu, dan beratap alang-alang atau rumput gajah. Keunikan
lain dari rumah adat bale tani yaitu
pada pintunya yang hanya berjumlah satu dengan ukuran pintu yang rendah. Pintu berjumlah satu dimaksudkan agar terciptanya
keakraban antara anggota keluarga, dimana dengan satu pintu intensitas pertemuan
tentu akan lebih banyak. Ukuran pintu rumah yang dibuat agak rendah sehingga
orang dewasa yang masuk mesti menundukkan kepala, mengandung makna untuk mengajak
kita menghormati tuan rumah. Yang tak kalah unik yakni cara orang Suku Sasak membersihkan
lantai rumah mereka dengan menggunakan kotoran segar hewan kerbau. Menurut mereka,
dengan cara tersebut lantai akan lebih bersih, licin, hangat dan bebas nyamuk. Bagaimana
dengan bau? Entah bagaimana bisa aroma tak sedap itu tak tercium sama sekali.
Bale lumbung berbentuk gunung
Piringan kayu tebal pada tiang lumbung, penghalang tikus masuk lumbung
Bale lumbung yang merupakan icon NTB, berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil bumi. Atapnya
yang berbentuk gunung, juga terbuat dari alang-alang. Konon gunung adalah lambang kepercayaan Suku Sasak terhadap Tuhan yang
Maha Esa. Satu bale bumbung biasanya dipergunakan oleh 5 kepala keluarga. Posisi
lumbung diletakkan di atas, sedangkan dibawahnya dibiarkan kosong sebagai ruang
serba guna. Arsitektur lumbung yang menempatkan piringan kayu tebal pada tiap
tiangnya, merupakan kearifan local yang
dimaksudkan untuk menghalangi hama tikus agar tidak bisa masuk ke dalam
lumbung.
Sebetulnya
masih ada satu bangunan unik lagi yang bisa kami jumpai, namanya Bale Kodong. Sayangnya kami tak sempat
ke sana. Saya tak ingat apa alasannya. Dari keterangan warga desa, bale kodong dibangun khusus untuk
pasangan pengantin baru. Semacam romantic
room. Tidak ada arsitektur special pada bale
kodong layaknya villa cantik nan menarik. Bangunannya sama seperti rumah
adat pada umumnya. Pun, jika pasangan pengantin baru telah punya rumah, bale kodong mesti ditinggalkan untuk
kemudian ditempati oleh kalangan lanjut usia.
Wanita Suku Sasak mengerjakan kain tenun
Zahra, pura-pura saja ya...bisa ancur ntar susunan benangnya hihi
Buah karya cantik untuk buah tangan...beli yaaaa...
Di Desa
Sade, menenun menjadi kegiatan utama para wanita. Kerajinan ini diajarkan pada
anak perempuan sejak usia dini. Bahkan, seorang gadis belum diperbolehkan
menikah jika belum bisa menenun. Hasil tenunan wanita Suku Sasak dapat dengan
mudah dijumpai selama berkeliling desa. Hampir tiap rumah memajang hasil tenunan.
Tak jarang kegiatan menenun dilakukan para wanita di serambi rumah. Seorang perempuan
lanjut usia terlihat lincah memintal benang. Ketika saya mendekat dan
mengajukan tanya, dengan ramahnya nenek tua itu membalas sapa dan tanya dari
saya. Usianya hampir 90 tahun. Beliau terlihat bahagia menikmati hari tua
dengan memintal benang.
Tak hanya
kain tenun Suku Sasak yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh khas Lombok, warga
desa juga membuat dan menjual buah tangan berupa gelang tali, cincin mutiara, dan
perhiasan kerang. Dalam hal ini, Suku Sasak mendapat bimbingan dari PNPM Mandiri
Pariwisata yang sekretariatnya ada di Desa Sade.
Saya tak
membeli apapun karena sedari awal memang focus untuk mengenal lebih banyak
kehidupan tradisional Suku Sasak di Desa Sade. 2 jam berada di Desa Sade rasanya
informasi yang saya gali masih belum cukup. Pun belum puas menjelajah hingga ke
ujung desa (melihat romantic room
hehe). Kalaupun ingin berbelanja, saya tak suka jika dalam keadaan
terburu-buru. Saya memerlukan ketenangan sehingga bisa leluasa dalam memilih
dan menentukan oleh-oleh apa yang akan saya beli. Sebaliknya mbak Fathia, terlihat
bersemangat sekali berbelanja. Saya dengan setia menemaninya. Saking asyiknya
berbelanja, tak sadar teman-teman telah meninggalkan Desa Sade. Kami tertinggal
lagi. Mas Lalu yang menjadi guide selama kami berkeliling, melakukan pencarian,
dan ia menemukan kami masih dalam keadaan sibuk bertransaksi.
Kemampuan Suku
Sasak dalam mempertahankan keaslian budaya dan tradisi memang kuat. Namun kehidupan tradisional tak semestinya membuat mereka terbelakang dalam hal pendidikan dan sosial. Budaya kawin lari (menyampingkan prosesi lamaran sebagaimana halnya aturan dalam Islam), menikah antar saudara, tradisi menikah muda (bagi anak perempuan), pendidikan yang rendah, penolakan atas siapapun warga kampung yang ingin kembali setelah keluar kampung, menjadi bagian yang menurut saya pribadi tidak semestinya dipertahankan. *Lihat tulisan saya sebelumnya: Kawin Lari, Tradisi Unik Suku Sasak.
MB di Desa Sade, Rambitan Lombok Tengah
Tanggal 19 Oktober 2013
[foto oleh: mbak Andrie.P]
Tanggal 19 Oktober 2013
[foto oleh: mbak Andrie.P]
Share this
Give us your opinion