Menyambangi Taman Nasional Bromo Semeru Tengger, bagai menjumpai satu keajaiban berbonus keajaiban-keajaiban lainnya. Tiada kukira jika panorama gunung semata yang mulanya akan kudapatkan, ternyata berlimpah berbagai pemandangan dan pengalaman istimewa yang mengindahkan banyak rasa.
Pada mulanya, belum bisa kubayangkan rasa seperti apa yang akan muncul ketika melihat langsung realita Bromo. Yang kurasa saat hanya melihat Bromo lewat gambar dan cerita yang tersaji di artikel Indonesia.Travel tentang Taman Nasional Bromo Semeru Tengger, adalah rasa takjub yang teramat sangat. Saat itu, aku melangitkan harap, semoga suatu hari berkesempatan menjejakkan kaki ke Bromo.
Alhamdulillah, kesempatan untuk itu akhirnya datang.
Suatu hari....
Perjalanan berkendara mobil selama dua jam dari Malang ke kawasan Bromo yang dimulai sejak pukul satu dini hari hingga pukul tiga, memang bukan sekedar perjalanan untuk melihat dan mendaki sebuah gunung bernama Bromo yang memiliki ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut, namun juga sebuah perjalanan yang ternyata melimpahiku dengan berbagai kejutan. Kejutan dari alam.
Pukul 4 pagi, di puncak Gunung Pananjakan yang bersuhu hampir nol derajat celcius, aku bersama ratusan pengunjung yang bertujuan sama, menanti sunrise. Langit masih gelap, tentu saja. Namun betapa terkejutnya aku ketika memandang angkasa tinggi di atas sana penuh oleh taburan bintang-bintang. Sangat banyak, tak terhitung. Bertumpuk-tumpuk. Menciptakan kerlip cahaya yang sangat indah. Sebuah dekorasi alam yang luar biasa.
Sayangnya kamera sederhanaku tak dapat menangkap gambar bintang-bintang itu dengan baik. Meskipun begitu, aku bersyukur karena tiada pernah menduga jika ternyata untuk pertama kalinya dalam hidupku, dengan mata telanjangku, aku melihat langit seindah saat itu. Betapa alam semesta seperti sedang menampakkan langit terbaiknya. Langit dini hari tercantik yang pernah aku lihat dalam hidupku.
Sayangnya kamera sederhanaku tak dapat menangkap gambar bintang-bintang itu dengan baik. Meskipun begitu, aku bersyukur karena tiada pernah menduga jika ternyata untuk pertama kalinya dalam hidupku, dengan mata telanjangku, aku melihat langit seindah saat itu. Betapa alam semesta seperti sedang menampakkan langit terbaiknya. Langit dini hari tercantik yang pernah aku lihat dalam hidupku.
Semua mata tertuju ke langit, pada sunrise yang dinanti-nanti
Pananjakan bukan hanya sebagai saksi atas ketakjubanku pada hamparan bintang-bintang di angkasa, tetapi juga saksi atas sajian spektakuler sunrise yang muncul pagi itu. Cuaca yang semula gerimis, kemudian berhenti. Seperti mengerti tentang keinginan semua orang. Kami diberinya kesempatan untuk melihat matahari terbit di ufuk timur. Benar saja, ketika tiba waktunya, semua orang yang sabar menanti dalam gigil, serentak bertepuk tangan ketika sepotong kecil cahaya berwarna merah muncul perlahan hingga akhirnya sempurna menjadi sebuah bulatan besar. Itu sunrise-nya!
Awesome! Awan yang terlihat bertingkat-tingkat, menyerupai rasa syukurku yang turut meningkat. Rasa syukur atas kesempatan menyaksikan karyaNya yang luar biasa. Sungguh sebuah pagi yang sempurna. Tak terlupakan.
Awesome! Awan yang terlihat bertingkat-tingkat, menyerupai rasa syukurku yang turut meningkat. Rasa syukur atas kesempatan menyaksikan karyaNya yang luar biasa. Sungguh sebuah pagi yang sempurna. Tak terlupakan.
Alam semesta mulai terang benderang. Panorama pagi memperlihatkan keindahannya. Gunung-gunung membiru dalam pandangan. Nampak Gunung Semeru, Gunung Bromo, dan Gunung Batok. Terlihat juga lembah-lembah dalam yang tertutupi kabut, juga hamparan laut pasir seluas 10 kilometer persegi mengelilingi kawah Bromo yang mengepulkan asap putih. Bukan main, satu tempat bernama Pananjakan, menjadi pembuka pesona keindahan Taman Nasional Bromo Semeru Tengger. Dari tempat ini, segalanya bermula. Semangat, inspirasi, kekuatan, serta keberanian serentak muncul dalam diri, tak sabar ingin lekas menjelajah.
Jeep yang kami sewa, supirnya baik hati dan ramah. Menjadi penumpangnya, bikin nyaman dan betah. Setiap tanya yang kami ajukan, selalu berbuah jawaban yang memuaskan. Memang semestinya demikian seorang pemandu wisata, bukan?
Menuruni Pananjakan yang licin sisa rintik hujan, tak menghadirkan kecemasan di hati. Medan yang tak mudah tentunya. Bahkan, terlonjak-lonjak dalam jeep berwarna kuning itu, membuat kami tertawa.
Menuruni Pananjakan yang licin sisa rintik hujan, tak menghadirkan kecemasan di hati. Medan yang tak mudah tentunya. Bahkan, terlonjak-lonjak dalam jeep berwarna kuning itu, membuat kami tertawa.
Spot terbaik untuk memotret tiga gunung sekaligus, ditawarkan dengan luwes. Apa yang aku lihat kemudian, dengan posisi lebih tinggi di atas bumi, adalah panorama alam yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Kekagumanku terus memuncak. Ini menjadi bukti bahwa jika aku tak berjalan kemana-mana, tak bisa membuatku lebih banyak melihat sudut-sudut indah di muka bumi. Bumi bagian Indonesia.
Naik jeep menuruni Pananjakan, bikin badan terbanting-banting. Tetapi pada akhirnya usai, berlanjut dengan permukaan tanah yang datar. Terbuka. Luas. Ditumbuhi banyak ilalang pendek-pendek, berdaun hijau, dan sebagian telah berbunga kuning. Jeep mengitari separuh Gunung Batok yang berjarak dekat dari jangkauan. Ingin rasanya berhenti, untuk sejenak berdiri di antara rumpun ilalang itu. Menyentuh daunnya, mencium bunganya, lalu kilat membuat puisi. Tapi itu tak terjadi. Jeep terus melaju menerjang medan yang tak mulus.
Dalam suasana pagi, kondisi padang pasir tentu lebih nyaman jika lebih dulu dijelajahi. Belum panas. Belum berdebu. Walau kabut belum sempurna pergi, namun justru disitulah keunikannya. Pikirku, jika aku berdiri di dalam kabut, berpose senatural mungkin, mungkin bisa menghasilkan gambar bak scene sebuah film. Wah, aku mulai menghayal. Bahaya!
Bagaimana bisa ada padang pasir di tempat seperti ini? Apakah gurun pasir di tanah Arab telah nyasar ke Indonesia dan terdampar di kawasan Gunung Bromo? Ah, jangan tanyakan itu. Itu kuasaNya. Cukup syukuri saja bahwa keajaiban itu ada di sini. Di negeri sendiri.
Tak berlama-lama di padang pasir sebab bukit savana telah menanti. Bagai tamu yang rakus mencuci mata, semua keindahan yang tersaji ingin lekas-lekas dilahap dan dituntaskan. Padang pasirpun kami tinggalkan. Nanti akan mengulangnya lagi setelah bukit savana kelar disambangi.
Kondisi padang pasir tak benar-benar mulus, tapi roda dan ban jeep seakan lebih hebat dalam menghadapi rintangan. Lubang-lubang dalam, yang berpotensi menenggelamkan roda jeep, dapat dilalui berkat kemahiran sang supir. Andai tak lincah mengendalikan kemudi, tentulah kami akan jadi tenaga pendorong yang diandalkan. Ga banget!
Makin dekat ke bukit Savana, makin aku mirip anak kecil. Sedikit merengek ingin berhenti, untuk menyentuh bunga edelweiss yang tumbuh liar di jalur yang kami lewati. Sangat menggoda. Ingin memetik tapi tentu saja itu tak baik. Jangan petik. Jangan petik. Cukup pandangi saja. Dinikmati dengan mata, juga hati. Ya, edelweis. Pertama kalinya dalam hidupku, melihatnya masih bersama batangnya, tegak ditopang akarnya. Bukan dalam buket yang dijual para pedagang.
Wahai, ajaib sekali tempat ini. Setelah padang pasir nan luas, kini yang tersaji adalah lembah hijau dengan tebing-tebing yang menjulang tinggi. Pemandangan yang sangat kontras. Begitu menawan. Dan aku hampir tak percaya, masihkah ini di gunung?
Bukit savana ditumbuhi banyak edelweiss. Rumput-rumput hijau yang segar dan subur, terbentang luas bagai permadani. Menyelimuti lembah hingga bukit. Hijau berseri.
Bukit savana dikenal juga dengan sebutan bukit Teletubbies. Di ambil dari nama sebuah film anak-anak, yang diperankan oleh 4 anak-anak berkostum dan bertopeng teletubes. Dalam filmnya, sering sekali 4 tokoh utama itu berada di lokasi bukit yang hijau dan halus. Mungkin karena penampakan bukitnya menyerupai bukit savana ini, makanya disebut bukit teletubbies. Dan di sini adalah tempat yang cocok bagi pengunjung yang ingin berkemah.
Seusai menikmati udara segar dan merasakan asrinya suasana di bukit savana, kami kembali ke padang pasir. Saat itu, matahari kian naik, barangkali padang pasir telah kering. Aku ingin mendengarnya berbisik. Namun ternyata, pasir masih basah, kabut pun belum pergi. Kabut! Aku selalu menyukai kabut. Aku suka berada di dalamnya. Tenggelam dalam kabut. Lalu, norak-norak bergembira berfoto, bergaya segala rupa. Kembali mengulang adegan, bak sebuah film yang entah.
Tibalah saat untuk menaiki gunung Bromo. Jeep menurunkan kami di pangkalan kuda. Sebuah tempat yang juga menjadi persinggahan para pengunjung. Ada WC di sana. Satu-satunya WC di kawasan Bromo dengan air yang berlimpah di dalamnya. Kondisinya bersih dan nyaman. Hmm...aku tak mengira jika WC yang disediakan bagi para pengunjung itu kondisinya akan sebaik ini. Dalam bayanganku, sebuah WC di pegunungan begini, yang disekitarnya terdapat padang pasir luas, tentulah akan minim air. Aku juga mengira kondisinya pasti kotor dan bau. Tapi ternyata, aku benar-benar telah salah menduga.
Untuk mencapai kaki gunung Bromo, ada dua alternatif yang bisa dilakukan. Berjalan kaki, atau berkuda. Berkuda? Aha! Aku tentu akan pilih berkuda sebab menunggang kuda adalah kegemaranku. Cukup dengan membayar Rp 100.000,- maka si kuda akan mengantar hingga ke tangga di kaki Bromo dan mengantar pulang kembali ke pangkalan Jeep. Lumayan, tak capai. Jadi, selamat tinggal jalan kaki.
Ingin rasanya berkuda sendiri, tetapi pemilik kuda khawatir aku akan terjatuh sebab medan yang dilalui tidak semulus di padang pasir. Memang sama-sama berlubang, tetapi lubang di kaki Bromo lebih besar dan dalam, juga berbatu. Jika kudanya tak bersahabat, penunggangnya bisa dibawa kencang dan tak terkendali. Jika jatuh, tentu sakit rasanya terhempas di atas bebatuan. Katanya, kuda yang kunaiki itu kuda betina. Kudanya suka sensi. Akhirnya aku mengalah, bersedia berkuda sambil dituntun oleh pemiliknya. Ga jadi macho dan gagah-gagahan deh he he he
Pada mulanya aku mengira, mendaki Bromo itu akan terasa sulit dan berat. Tapi ternyata, semudah menaiki sebuah gedung berlantai 4. Ada tangga dengan jumlah anak tangga sebanyak 250 yang bisa digunakan untuk naik. Tangga beton permanen yang sebagian pangkal anak tangganya telah tertutupi pasir. Terbenam dengan sendirinya.
Perlu keberanian dan kekuatan kaki untuk menaiki tangga menuju puncak Bromo. Meskipun ada sebuah tangga, tetap saja kaki terasa penat. Aku mesti singgah beberapa kali sebelum tiba dipuncaknya. Keringat bercucuran, padahal udara tidak panas. Bahkan saat itu, aku masih mengenakan mantel guna menahan dingin. Ketika memandang ke bawah, jantung rasanya berdetak lebih kencang. Antara ngeri dan takjub, melihat pemandangan yang tersaji. Tak bisa terlalu lama berdiam di tangga, sebab pengunjung yang naik dan turun silih berganti. Semua orang ingin lekas ke atas dan ke bawah.
Ketika akhirnya aku tiba di puncak, rasa penat itu luruh. Sebuah kawah besar berhasil menyita mataku dalam waktu lama. Menurut Wikipedia, diameter kawah lebih kurang 800 meter (utara-selatan) dan lebih kurang 600 meter (timur-barat).
Di tengah kawah ada sebuah lubang. Lubang besar yang membuatku merinding. Aku ngeri membayangkan andai terjatuh dan masuk ke dalamnya. Nah, siang itu tak ada asap putih tebal fenomenal yang katanya biasa keluar dari kawah Gunung Bromo. Disebut fenomenal karena jarang ada di Indonesia bahkan di dunia. Mungkin belum rejekiku untuk melihatnya. Oke, tak apa.
Di antara Edelweiss ungu
Sekali tiup keluar awan dari mulut hehe
Wahai, ajaib sekali tempat ini. Setelah padang pasir nan luas, kini yang tersaji adalah lembah hijau dengan tebing-tebing yang menjulang tinggi. Pemandangan yang sangat kontras. Begitu menawan. Dan aku hampir tak percaya, masihkah ini di gunung?
Bukit savana ditumbuhi banyak edelweiss. Rumput-rumput hijau yang segar dan subur, terbentang luas bagai permadani. Menyelimuti lembah hingga bukit. Hijau berseri.
Bagai tembok raksasa
Bukit savana dikenal juga dengan sebutan bukit Teletubbies. Di ambil dari nama sebuah film anak-anak, yang diperankan oleh 4 anak-anak berkostum dan bertopeng teletubes. Dalam filmnya, sering sekali 4 tokoh utama itu berada di lokasi bukit yang hijau dan halus. Mungkin karena penampakan bukitnya menyerupai bukit savana ini, makanya disebut bukit teletubbies. Dan di sini adalah tempat yang cocok bagi pengunjung yang ingin berkemah.
Sangat jarang kendaraan selain jenis jeep masuk kawasan ini
Seusai menikmati udara segar dan merasakan asrinya suasana di bukit savana, kami kembali ke padang pasir. Saat itu, matahari kian naik, barangkali padang pasir telah kering. Aku ingin mendengarnya berbisik. Namun ternyata, pasir masih basah, kabut pun belum pergi. Kabut! Aku selalu menyukai kabut. Aku suka berada di dalamnya. Tenggelam dalam kabut. Lalu, norak-norak bergembira berfoto, bergaya segala rupa. Kembali mengulang adegan, bak sebuah film yang entah.
Banyak kabut, banyak gaya hehe
Tibalah saat untuk menaiki gunung Bromo. Jeep menurunkan kami di pangkalan kuda. Sebuah tempat yang juga menjadi persinggahan para pengunjung. Ada WC di sana. Satu-satunya WC di kawasan Bromo dengan air yang berlimpah di dalamnya. Kondisinya bersih dan nyaman. Hmm...aku tak mengira jika WC yang disediakan bagi para pengunjung itu kondisinya akan sebaik ini. Dalam bayanganku, sebuah WC di pegunungan begini, yang disekitarnya terdapat padang pasir luas, tentulah akan minim air. Aku juga mengira kondisinya pasti kotor dan bau. Tapi ternyata, aku benar-benar telah salah menduga.
Jeep tangguh yang membawaku keliling kawasan Bromo
Ojek motor, melintas di padang pasir
Untuk mencapai kaki gunung Bromo, ada dua alternatif yang bisa dilakukan. Berjalan kaki, atau berkuda. Berkuda? Aha! Aku tentu akan pilih berkuda sebab menunggang kuda adalah kegemaranku. Cukup dengan membayar Rp 100.000,- maka si kuda akan mengantar hingga ke tangga di kaki Bromo dan mengantar pulang kembali ke pangkalan Jeep. Lumayan, tak capai. Jadi, selamat tinggal jalan kaki.
Ingin rasanya berkuda sendiri, tetapi pemilik kuda khawatir aku akan terjatuh sebab medan yang dilalui tidak semulus di padang pasir. Memang sama-sama berlubang, tetapi lubang di kaki Bromo lebih besar dan dalam, juga berbatu. Jika kudanya tak bersahabat, penunggangnya bisa dibawa kencang dan tak terkendali. Jika jatuh, tentu sakit rasanya terhempas di atas bebatuan. Katanya, kuda yang kunaiki itu kuda betina. Kudanya suka sensi. Akhirnya aku mengalah, bersedia berkuda sambil dituntun oleh pemiliknya. Ga jadi macho dan gagah-gagahan deh he he he
Berkuda di padang pasir dengan latar belakang Gunung Batok
(turun dari Bromo, balik ke Jeep, menunggang sendiri, ga dituntun lagi hehe)
(turun dari Bromo, balik ke Jeep, menunggang sendiri, ga dituntun lagi hehe)
Pada mulanya aku mengira, mendaki Bromo itu akan terasa sulit dan berat. Tapi ternyata, semudah menaiki sebuah gedung berlantai 4. Ada tangga dengan jumlah anak tangga sebanyak 250 yang bisa digunakan untuk naik. Tangga beton permanen yang sebagian pangkal anak tangganya telah tertutupi pasir. Terbenam dengan sendirinya.
Perlu keberanian dan kekuatan kaki untuk menaiki tangga menuju puncak Bromo. Meskipun ada sebuah tangga, tetap saja kaki terasa penat. Aku mesti singgah beberapa kali sebelum tiba dipuncaknya. Keringat bercucuran, padahal udara tidak panas. Bahkan saat itu, aku masih mengenakan mantel guna menahan dingin. Ketika memandang ke bawah, jantung rasanya berdetak lebih kencang. Antara ngeri dan takjub, melihat pemandangan yang tersaji. Tak bisa terlalu lama berdiam di tangga, sebab pengunjung yang naik dan turun silih berganti. Semua orang ingin lekas ke atas dan ke bawah.
Ketika akhirnya aku tiba di puncak, rasa penat itu luruh. Sebuah kawah besar berhasil menyita mataku dalam waktu lama. Menurut Wikipedia, diameter kawah lebih kurang 800 meter (utara-selatan) dan lebih kurang 600 meter (timur-barat).
Di tengah kawah ada sebuah lubang. Lubang besar yang membuatku merinding. Aku ngeri membayangkan andai terjatuh dan masuk ke dalamnya. Nah, siang itu tak ada asap putih tebal fenomenal yang katanya biasa keluar dari kawah Gunung Bromo. Disebut fenomenal karena jarang ada di Indonesia bahkan di dunia. Mungkin belum rejekiku untuk melihatnya. Oke, tak apa.
Kawah Gunung Bromo
Di kaki Gunung Bromo berdiri sebuah bangunan Pura yang biasa digunakan oleh masyarakat suku Tengger untuk tempat mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Menurut berbagai sumber, upacara tersebut biasanya berlangsung di Pura dan dilanjutkan ke puncak Gunung
Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan
purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut
penanggalan Jawa.
View dari tangga menuju puncak Gunung Bromo
Dari kejauhan terlihat Pura
Satu keajaiban, sarat keindahan. Ya, begitu banyak keindahan yang Tuhan berikan di kawasan Taman Nasional Bromo Semeru Tengger ini. Keindahan yang tak terbantahkan. Bukan hanya tentang Gunung Bromo dengan kawah fenomenalnya yang mengepulkan asap putih, tapi juga spektakuler sunrise yang bisa dilihat dari puncak Pananjakan. Bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Lembah-lembah yang dalam dan berselimut kabut. Lautan pasir yang bila kering dapat berbisik. Bukit savana yang berselimut rumput hijau, dihiasi oleh edelweiss yang tumbuh di mana-mana. Sungguh, sebuah tempat yang istimewa.
Pengalaman berkuda di lautan pasir, menumpang jeep tangguh sepanjang berkeliling kawasan, menaiki 250 anak tangga menuju puncak Bromo, bagiku semua itu adalah pengalaman yang tak kan terlupakan.
Sebuah perjalanan dan pengalaman yang membuatku makin mengenal alam dan Sang Pencipta. Perjalanan yang melahirkan rasa syukur yang kian raya.Terima kasih Tuhan, atas sepotong "surga" yang Engkau letakkan di negeriku.
Buat kamu yang ingin merasakan pengalaman menakjubkan di Bromo, datanglah ke sini. Bawa hati dan diri dengan baik. Bersiaplah untuk terpesona dan bersiaplah untuk menjadi pencinta alam sejati. Pencinta yang mengerti tentang perilaku menjaga alam dari kerusakan. Jangan buang sampah sembarangan. Jangan patahkan batang edelweiss, jangan petik bunganya. Jadilah pejalan yang penuh kasih sayang terhadap alam, agar wisata Indonesia tetap wonderful.
Pengalaman berkuda di lautan pasir, menumpang jeep tangguh sepanjang berkeliling kawasan, menaiki 250 anak tangga menuju puncak Bromo, bagiku semua itu adalah pengalaman yang tak kan terlupakan.
Sebuah perjalanan dan pengalaman yang membuatku makin mengenal alam dan Sang Pencipta. Perjalanan yang melahirkan rasa syukur yang kian raya.Terima kasih Tuhan, atas sepotong "surga" yang Engkau letakkan di negeriku.
Buat kamu yang ingin merasakan pengalaman menakjubkan di Bromo, datanglah ke sini. Bawa hati dan diri dengan baik. Bersiaplah untuk terpesona dan bersiaplah untuk menjadi pencinta alam sejati. Pencinta yang mengerti tentang perilaku menjaga alam dari kerusakan. Jangan buang sampah sembarangan. Jangan patahkan batang edelweiss, jangan petik bunganya. Jadilah pejalan yang penuh kasih sayang terhadap alam, agar wisata Indonesia tetap wonderful.
Kembali ke Jeep,akhir dari penjelajahan Bromo
-selesai-
-selesai-
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Wonderful Indonesia Blogging Contest tentang Bromo-Malang, yang diselenggarakan oleh Indonesia.Travel. Sebagai bentuk dukungan saya pada Indonesia.Travel, saya telah menambahkan Indonesia Travel di G+, mengikuti Twitter @Indtravel dan menyukai Pages Indonesia.Travel di Facebook, berikut capture-nya:
Dulu saat saya pertama ke Bromo dengan motor dari Malang, saya belum menyadari mengapa bisa ada padang pasir seluas itu. Lalu kunjungan kedua baru saya sadar, jika saya berada di cekungan kaldera purba yang sangat luas. Bukti dulu pernah terjadi letusan purba dan kini tinggal menyisakan kawah Bromo yang dulu pernah lebih tinggi dari Semeru.
BalasHapusSunrisenya, lautan pasirnya, kawahnya, savananya, kabutnya, kehidupan suku Tenggernya, ah, tidak pernah ada kata bosan untuk Bromo. Foto-fotonya keren Mbak :)