Sebagaimana pengetahuanku soal makanan khas Lombok yang baru sebatas Ayam Taliwang dan Pelecing Kangkung, maka sebatas itu pula indra pengecapku mengenal citarasa dari sepotong ayam taliwang yang selama ini aku cicip di luar Lombok. Terpikir olehku, barangkali jika menikmatinya di Lombok, yang diolah di tempat asal dan oleh orang-orang asli Lombok, akan terjadi sedikit perubahan pada cita rasa. Tak lagi sebatas cita rasa ayam yang hanya "itu-itu" saja.
Akan tetapi, ketika tiba kesempatan untuk menikmati Ayam Taliwang di tempat asalnya, Lombok, aku malah menukar kesempatan itu dengan mencicipi masakan lain : Ikan Gurame Bakar Taliwang! Jadi ga nyicip Ayam Taliwang sama sekali? Nyicip dong. Bukan hanya Ayam Taliwang dan Pelecing Kangkung saja, tetapi juga Beberuk Terong dan Sate Rambiga.
Ikan Gurame Goreng Taliwang & Ikan Gurame Bakar Taliwang
*ikan bakarnya ketutupan es :D
Rabu, 16 Oktober 2013
Ada sedikit alasan yang membuatku enggan mencicipi ayam taliwang di makan malam perdanaku di Lombok. Selain karena aku (sesungguhnya) bukanlah penggemar ayam (tapi bukan berarti ga mau makan ayam), juga karena adanya anggapan (pribadi) yang terlanjur melekat dipikiranku (pasti ga sama dengan pikiran orang lain ya) bahwa daging ayam digoreng seperti apapun, rasanya tetap sama. Dan anggapan itu seenaknya meruntuhkan antusiasmeku yang petangnya begitu berharap dapat menemukan citarasa asli sepotong ayam taliwang versi Lombok (asli). Ah.
Boleh jadi Ikan Gurame Bakar Taliwang tidak sepopuler Ayam Taliwang, tapi masakan yang satu ini mendadak menjadi populer di khasanah kuliner pribadiku. Bombastis banget ya sebutannya. Ga bermaksud berlebihan juga sih, sebab tampilan si ikan gurame bakarnya tak hanya menggoda pandang mata, tetapi juga selera. Aromanya membuat lubang hidungku kembang kempis. Cocok dengan perutku yang makin kempis malam itu.
Sebutan istimewa, kurasa cocok untuk Ikan Gurame Bakar Taliwangnya. Rasa dagingnya jauh lebih manis. Siapapun yang merasakan daging ikan seperti itu, akan menduga bahwa ikan gurame tersebut diberi makanan tradisional di tempat budidayanya. Selain indra pengecap, indra penciuman pun ikut bekerja. Maka bisa tahu, bahwa gurame yang kumakan malam itu absen dari bau lumpur.
Pelecing kangkung menjadi teman setia. Makanan khas yang satu ini tentu saja menjadi penyempurna nikmat rasa. Walau pedasnya membuatku tak tahan untuk tidak mendesis, tapi tetap saja kunikmati. Tak banyak. Ingat perut. Ingat jatah juga. Tapi kuakui, aku bukan pemakan banyak pada kondisi normal. Maksudku, dalam kondisi tidak super duper lapar, porsi makanku hanya separuh dari porsi makan orang dewasa. Ya, beruntung juga sih punya lambung kecil. Ga membuat isi dompet menjerit. Preeeeeet...
Sate Rambiga
Kamis 17 Oktober 2013
Kami kulineran selalu malam hari sebab siang hari jadwal kami padat. Andaipun dipaksa jadwal kulineran diselipkan pada siang hari, aku yakin banyak jadwal yang tak kami tuntaskan. Jadi, kulineran di malam hari justru tepat menurutku. Walau badan (badanku lho) terasa begitu lelah dan remuk redam. Hahaha...ga segitunya kok. Seperti malam itu, seusai menjelajah kaki gunung Rinjani (ke Sembalun Bumbung, Air Terjun Sendang Gile, Air Terjun Tiu Kelep), aku terkantuk-kantuk di dalam ELF. Kaki dan badanku dingin, sebab baju dan kain yang kupakai lembab. Rasanya ingin lekas ke penginapan saja. Tidur.
Tiba di Mataram, hari sudah malam. Bukan penginapan yang dituju tapi warung Sate Rambiga. Kata Duta dan Pak Haji Ismail (supir ELF), Sate Rambiga ini sangat terkenal. Orang luar Lombok yang datang ke Lombok, pasti tak akan melewatkan kuliner yang satu ini. Katanya nih (kata artikel-artikel online di internet juga), Sate Rambiga ini masuk sebagai 10 besar kuliner Lombok yang wajib dicoba di Lombok. Wow banget. Pingin koprol rasanya dalam ELF.
Sate Rambiga. Rambiga dibaca Rambige. Nama Rambiga berasal dari nama sebuah desa bernama Rambiga, yang terletak di dekat bekas bandara Selaparang. Konon, sate rambiga sudah dimulai sejak jaman kerajaan. Dulu ada seorang keluarga raja Pejanggik yang tinggal di Rembiga, sangat ahli membuat sate. Keahliannya itu lalu diajarkan secara turun menurun ke generasi penerusnya hingga sekarang. Tentu tak sedikit orang Lombok yang menguasai keahlian membuat sate Rambiga, lalu menjadikannya sebagai usaha, yakni berjualan sate Rambiga.
Lantas, dimana warung sate Rambiga yang menawarkan rasa sate yang paling enak? Tentunya di tempat asal si sate. Di mana? Di Warung Sate Rembiga di Jalan Dakota Nomor 2 Rembiga Mataram. Tempat kami makan malam itu. Alhamdulillah. Terima kasih buat yang sudah membawa kami ke tempat Sate Rambiga ini.
Sibuk melayani pesanan sate
Oh ya, menurut cerita warung sate Rembiga yang kami datangi itu, sudah berdiri sejak 25 tahun yang lalu. Warungnya di pinggir jalan. Tempat makannya di dalam. Ketika kami datang, aku sebenarnya masih dalam keadaan mengantuk. Ngantuk banget. Ketika berdiri didekat tempat satenya dibakar, asapnya mengepul, ke arahku. Astaga, pedih. Sontak langsung terang kedua mataku yang tadi masih loading melihat. Timbul niat hendak memotret. Kujepret saja itu si mas-mas yang sibuk mengipasi bara api. Lalu mencuci kaki di tempat cuci piring, membuang kotor di kaki. Biar makan dalam keadaan nyaman.
Mbak pelayan menanyai kami. Astaga, suaranya menggelegar. Eh, ga ding. Setengah membentak saja sebetulnya. "Mbak apa?" katanya sambil menunjuk kasar. Maksudnya "mau pesan apa?" Aduh, kayak orang mau berantem liatnya. Kalo jantungan dah mati kali ini ditanya kayak begitu. Tapi dia kan bukan marah ya. Lagipula kayaknya efect banyak pesanan, jadi nanyanya kenceng-kenceng, buru-buru pula. Mengesankan kamu mbak. Haha.
Malam itu, di atas tikar, kami lesehan makan malam dengan Sate Rambiga. Sate yang berbahan utama sapi. Rasanya Alhamdulillah sangat lezat. Perpaduan antara gurih, manis dan pedas. Jujur saja, aku bukan seorang penggemar sate, apalagi sate sapi (biasanya kalo mau sate belinya sate kambing), tapi malam itu, Sate Rambiga sukses mempengaruhi seleraku. Citarasa baru dari seporsi sate yang berisi 20 tusuk sate (untuk bertiga), menambah pengetahuan baruku tentang makanan khas Lombok. Aku tak berkedip menyantapnya. Ah, lebay kamu Rien.
Pelecing kangkung juga tersaji. Seperti pengiring pengantin. Satenya si pengantin, pelecingnya si pengiring. Ga afdol kalo ga pake pengiring. Emangnya budaya mana pengantin mesti pake pengiring segala? :D
Ada sensasi lebih setiap kali sambal (pelecing kangkung kan memang sambal) menemani nasi dan lauk pilihan. Sensasi yang hanya bisa dirasakan oleh penikmat pelecing kangkung. Dan malam itu, tak hanya Sate Rambiga dan Pelecing Kangkung yang membuat lidah gembira, tetapi juga sop sapinya yang sedap. Ya, sedap sekali. Andai semangkok buat sendiri, pasti sudah kusikat habis hingga tetes terakhir. Akan kujilat ala meooooong....
Ayam Taliwang & Pelecing Kangkung
Jumat 18 Oktober 2013
Sedari pagi hingga petang, kami main air di Gili Nanggu, Gili Sudak, dan Gili Kedis. Alhasil, ada perubahan nyata dalam segala hal terkait perut. Lapar. Super duper lapar. Apa makan malam kali ini akan sama seperti malam-malam sebelumnya? Nasiku tidak habis. Bersisa? Let's see.
Malam itu kami makan di tenda Ayam Taliwang. Tapi tempatnya tidak sama dengan tenda ayam taliwang yang kami makan pada Rabu 16/10/2013. Kami berjalan sedikit lebih jauh dari tempat sebelumnya.
Ada dorongan kuat dari dalam diri, untuk menuntaskan keinginan mencicipi Ayam Taliwang Lombok di Lombok. Ha? Sebenarnya Taliwang itu apa toh? Kalau ga gugling, aku ga nemu info kalo Taliwang itu ternyata nama sebuah tempat. Jadi, mirip Sate Rambiga yang berasal dari nama desa Rambiga, maka Taliwang itu juga berasal dari nama desa. Oh, sungguh aku baru tahu. Tahu dari mbah gugel, bukan dari penjual Ayam Taliwang tempat kami makan malam itu. Kebiasaan jelek, ga mau nanya langsung.
Seperti si vampire Edward Cullen yang vegetarian, tak makan darah kecuali darah yang keluar dari tubuh Bella ketika Bella melahirkan Renesmee (dia makan darahnya karena buat bantu bersiin Bella gitu maksudnyee). Astagaaaa....kok ngasih contoh sereeeem amaaat maaaaak. Tepok jidat dah. Nah, mungkin seperti itulah aku malam itu, ga doyan ayam tapi karena demi menolong si perut yang super duper lapar dan penuh nafsu, maka habislah sepotong ayam taliwang yang disajikan untukku. Bener-bener ga bersisa. Ayamnya habis. Nasinya habis. Mbak Ima yang sepertinya sudah hafal aku ga pernah ngabisin nasi dipiringku, menawarkan agar nasiku dipindahkan sebagian. Tapi dengan mantap aku menjawab: "Aku habis, Mbak." WOW, Tumben!!!!!
Jadi, bagaimana rasanya Ayam Taliwang Lombok? Jelas lebih nikmat. Iklan.
Eiiits....satu lagi nih. Ada lalapan Beberuk Terong juga lho. Aku baru tahu. Hohoho. Terongnya terong ungu yang dipotong-potong trus disiram sambal yang terbuat dari cabe merah, cabe rawit, bawang merah, bawang putih, kencur, terasi, dan gula pasir yang dihaluskan. Trus dikasih perasan jeruk limau. Rasanya segaaaaaaar banget!
Sepiring Beberuk Terong di hadapan mbak Fathia
Sabtu, 19 Oktober 2013
Seharian kami jalan. Keliling-keliling dari Pantai Selong Belanak, Pantai Mawun, Pantai Kuta, hingga Desa Sade. Menguras tenaga, menguras sumur keringat. Ah masa? ELF kan ber-AC dingin. Oh iya ya. Hehe.
Kami pulang malam lagi. Sampai di Mataram kami ga langsung ke penginapan, tapi langsung ke tempat makan. Kali ini kami kembali ke Sate Rambiga. Mengulang kembali enaknya rasa Sate Rambiga, tentu saja tak bikin bosan. Justru makan yang kedua kalinya ini jadi lebih menikmati. Karena yang pertama baru mencoba dan lidah masih dalam rangka adaptasi. Mereka-reka rasa.
Lesehan, makan Sate Rambiga
******
Selama di Lombok, kesan pedas pada makanan yang kumakan, tentu tak mudah untuk pupus. Apakah karena bernama Lombok yang artinya cabe, makanya pedas? Padahal, banyak yang bilang Lombok bukan cabe. Nah lho.
Alhamdulillah mbak Ima sudah berbaik hati sekali melakukan banyak hal demi membantu kelancaran trip Lombok kemarin. Makanan selalu tersedia tepat waktu. Beliau gesit, aku (mungkin kami semua) jadinya seperti dimanjakan. Jadi tak enak sebetulnya.
Mengenai makanan, makan pagiku selalu kumakan menjelang siang, bukan karena aku ga cocok, tapi makanannya agak berat untuk perutku. Tiap pagi kan aku mules tuh, tapi ga bisa BAB (efect banyak minum obat maag). Kalo sarapan nasi campurnya kumakan pagi-pagi, bisa makin mules. Apalagi sarapannya itu kan pedas, jadi supaya acara jalan-jalannya ga terganggu oleh urusan perut, mending kutunda. Jadinya ya gitu, sarapanku kumakan dalam perjalanan, lumayan bikin aroma mobil jadi bau makanan hehe. Maaf ya teman-teman.
Waktu berangkat ke Gili juga gitu, sarapanku kumakan di perahu. Amboiiiii....makan di atas perahu, sambil memandang laut, dihembus angin sepoi-sepoi....nikmaaaaat banget deh ya hehe Yang menunda makan bukan hanya aku, tapi mbak Fathia juga. Asyik ada teman. Eh tapi, hari Sabtu waktu mau keliling dari pantai ke pantai, aku makan pagi. Ga tau kenapa, pagi itu tingkat laparku lebih dari biasanya. Jika biasanya cukup dengan 2 potong kue, pagi itu tidak. Kurasa efect abis berenang di hari sebelumnya.
Sarapan di dalam mobil ELF
Sarapan di perahu
ngantri beli sarapan nasi campur
==========
Alhamdulillah.
Atas rejekiNya masih bisa makan.
Tanpa
campur tanganNya, tak kan bertambah pengetahuanku akan ragam makanan
khas Lombok. Tanpa kejeniusan orang-orang terdahulu, yang dengan
beraninya mengkombinasikan kangkung, parutan kelapa, cabai, terasi dan
tomat hingga menjadi Pelecing Kangkung, maka tak kan bertambah jumlah
karya yang bisa kuhafal saat ini. Bukan tentang Empanadas Argentina,
atau Kimci dan Bibimbapnya Korea, hingga aku diam ketika ditanya tentang
Sate Tanjung, Nasi Balap Pucung, Ares, Sate Bulayak, Poteng Jaje Tujak
dan Iwel. Tapi karena memang belum berkesempatan mencoba. Insha Allah
suatu hari, saat luang waktu dan rejeki lagi. Akan kucari tahu lagi kekayaan kuliner Lombok. Doakan ya.......
Pelecing
Kangkung, Sate Rambiga, Ayam Taliwang, Ikan Gurame Bakar Taliwang, dan
Beberuk Terong, yang telah kucicipi rasanya di tempat asalnya, adalah
bagian kekayaan kuliner Indonesia yang membuat rasa syukurku kian raya.
Semoga lestari.
========
Terima kasih kepada semua teman-teman MB, karena bersama kalian trip ini menjadi berkesan.
Lombok, 16-20 Oktober 2013
lagi ngebayaing terongnya ...
BalasHapusjarang pake kencur, jadi mereka-reka gimana rasa sambelnya...
Bercita rasa manis, pedas, asam dan segaaaaaar banget :D
HapusDuuuh, mupeng ke Lombooook
BalasHapus