Assalamu'alaikum Wr Wb
Seharian main ke gili, mulai dari Gili Nanggu, Gili Sudak, hingga Gili Kedis, bikin aku dan teman-teman MB bagaikan abis mandi matahari. Jadi keling. Sengaja? Ya ga lah. Trus kenapa disebut berjemur? Sebenarnya bukan berjemur, tapi terjemur. Emangnya tinggal di Indonesia selalu kekurangan sinar matahari sampe mesti sunbathing segala kayak bule-bule berbikini itu?
Yang namanya berada di alam terbuka, pantai pula, ya mau ga mau jadi terjemur. Dari pagi hingga petang berada di bawah terik matahari, kulit tangan, muka dan kaki sampe berubah warna dari warna semula. Seminggu pasca terjemur, warna kulit punggung tanganku belum juga balik. Oh matahari, bertahun-tahun kurawat kulitku, kini kau rusak hanya dalam waktu kurang dari sehari. Nangis. Eh ga jadi nangis, ntar dianggap ga bersyukur dikasih sang surya oleh Allah.
Seharian main ke gili, mulai dari Gili Nanggu, Gili Sudak, hingga Gili Kedis, bikin aku dan teman-teman MB bagaikan abis mandi matahari. Jadi keling. Sengaja? Ya ga lah. Trus kenapa disebut berjemur? Sebenarnya bukan berjemur, tapi terjemur. Emangnya tinggal di Indonesia selalu kekurangan sinar matahari sampe mesti sunbathing segala kayak bule-bule berbikini itu?
Yang namanya berada di alam terbuka, pantai pula, ya mau ga mau jadi terjemur. Dari pagi hingga petang berada di bawah terik matahari, kulit tangan, muka dan kaki sampe berubah warna dari warna semula. Seminggu pasca terjemur, warna kulit punggung tanganku belum juga balik. Oh matahari, bertahun-tahun kurawat kulitku, kini kau rusak hanya dalam waktu kurang dari sehari. Nangis. Eh ga jadi nangis, ntar dianggap ga bersyukur dikasih sang surya oleh Allah.
Kelar terjemur, saatnya kami menyetrika dan melipat diri. Wuoh...lucu banget ya kalo manusia bisa dilipat. Aneh. Kami meninggalkan gili, kembali menyeberang ke dusun Tawun, desa Sekotong. Bersiap memasuki mobil untuk kembali ke penginapan. Namun, badan dan baju yang basah disertai pasir yang
bertebaran di setiap sudut badan, bikin tak nyaman. Ingin mandi tapi
tiada pemandian umum di sekitar Pantai Sekotong. Sebenarnya di Gili Nanggu ada public shower tapi karena rute kami dimulai dari Gili Nanggu, Gili Sudak dan berakhir di Gili Kedis, kayaknya makan waktu juga kalo mesti balik ke Gili Nanggu, walaupun sebenarnya perahu yang kami naiki melewati Gili Nanggu.
Aku tanya ke Duta, dia menyarankanku untuk menumpang mandi di rumah penduduk saja. Atau, ke mesjid terdekat pun bisa. Mesjid Baiturrahman namanya. Katanya di mesjid itu ada kamar mandinya.
Aku tanya ke Duta, dia menyarankanku untuk menumpang mandi di rumah penduduk saja. Atau, ke mesjid terdekat pun bisa. Mesjid Baiturrahman namanya. Katanya di mesjid itu ada kamar mandinya.
Ini mbak yang meminjamkan sumur dan kamar mandinya pada kami
Aku sebenarnya
bukan hendak mandi hingga benar-benar bersih, setidaknya mengganti baju basah
dengan yang kering. Nanti mandi bersih-bersihnya biar di penginapan
saja. Selain agar mobil tak basah dan kotor, juga agar kulitku tak
dihinggapi rasa gatal akibat alergi dingin. Alergi yang timbul jika
badan basah (baik oleh air biasa maupun air keringat) bertemu dengan terpaan angin
ke badan, yang mendatangkan gatal-gatal di kulit.Seorang perempuan muda berjilbab biru muda yang aku temui di sebuah warung, dengan baik hatinya menawarkan diri untuk meminjamkan tempat mandinya padaku. Kuajak mbak Fathia Nursha. Kami lantas mengikuti mbak berjilbab biru. Rupanya rumahnya terletak di belakang, agak jauh dari jalan raya tempat warung berada.
Tempat kami menyewa perlengkapan snorkeling
ga ada tempat bilas
Sampai di sebuah tempat yang ada sumur timba, kami berhenti. Perempuan yang tak sempat kutanyakan namanya itu menunjuk sebuah bangunan kecil beratap seng. "Itu kamar mandinya," katanya. Lantas dia masuk ke dalam rumah yang bangunannya masih setengah jadi. Tak lama kemudian terdengar suara mesin yang berbunyi kasar. Dilanjut dengan air yang mengucur pada sebuah pipa. Aku dan mbak Fathia masuk ke kamar mandi yang dimaksud. Menutup pintu. Gelap. Tak ada lampu.
Aku tak melihat bak mandi sebagaimana biasanya tempat penampungan air. Kutatap keran air yang mengalir. Di situkah? Ternyata, tembok yang kukira hanya tembok, adalah bak air yang tingginya setembok. Kecil memanjang. Barangkali ukurannya hanya 25cmx1m. Aku tak dapat melihat permukaan bak karena tinggi. Jadi, ketika hendak mengambil air dengan gayung, tanganku meraba-raba saja. Ciduk, ciduk, ciduk...byurrr. Ini menciduk air lho, bukan koruptor.
Aku sebenarnya cemas, kamar mandi ini banyak lobangnya. Lobang dekat keran yang masuk ke bak itu besar. Andai ada orang diluar yang berjinjit, pasti terlihatlah keadaan kami di dalam. Belum lagi di sisi lainnya, lubang dekat atap terbuka seperti menganga. Tapi lubang-lubang itu justru berguna karena dari sanalah cahaya masuk ke dalam kamar mandi.
Cemas. Takut ada yang mengintip. Ngintip emak-emak mandi. Wow! Emang ada yang mau ngintip? Astagaaaa maaaak.....biar kebuka juga orang ga bakal mau ngeliat. Yang ada malah kabuur.
Di latar belakang, nampak kubah hijau mesjid.
Itu mesjid tempat teman-teman numpang bilas dan ganti baju
Teman-teman yang lain sedang mengantri di luar. Sementara aku belum juga mandi. Masih mencari-cari paku atau apapun yang bisa membuat ransel dan baju-bajuku digantungkan. Temaram yang bikin tak leluasa melihat. Semuanya bikin aku lama banget di dalam. Saat mbak Fathia sudah selesai pun aku masih belum kelar dengan urusanku.
Ketika usai, aku melongok keluar, astaga!!! Sudah tak ada siapa-siapa. Rupanya yang tadi pada ngantri sudah pergi ke tempat lain. Mungkin menumpang sumur dan kamar mandi orang lain. Aduuh....lamaaa banget ya aku pake kamar mandinya. Merasa bersalah jadinya. Eh tapi ternyata, menurut Ninik, mereka masuk ke rumah yang terletak di sebelah sumur. Di rumah itu Zahra, Ninik, Citra, dan mbak Dewi numpang ganti pakaian.
Nah, si mbak yang punya kamar mandi tak nampak, padahal aku ingin menemuinya, menyampaikan rasa terima kasih atas kebaikannya. Dicari-cari ga ada, ya kami tinggal. Eh ga taunya dia malah sedang nangkring (emangnya apaan nangkring? ) di batang pohon di tepi pantai. Sedang menelepon dengan hp-nya. Nelpon siapa ya? Kepo deh.
MBers di Pantai Sekotong
Kemana teman-teman yang lain? Mbak Andri dan Lestari rupanya menumpang mandi di sumur yang lain. Mereka nimba. Pake otot. Dah mirip Ade Rai kata Lestari. Kebayang kan kalo Lestari berotot kayak Ade Rai? Aku langsung teringat pada sosok musuhnya si Popeye. Pletak. Haduuuh...maaf ya Lestari. *sungkem. Oh iya, kata Lestari, itu tali timbanya pendek pula. Untung dikasih selang, jadi bisa buat nambah panjang. Aku kebayangnya kalo talinya tetap pendek, bukannya timba dan airnya yang naik ke atas, malah Lestarinya yang kejungkal masuk sumur. Wiiih jahat. Dilempar timba.
(Foto oleh Mbak Andrie Potlot)
Sedangkan Gita dan Ikha, mereka numpang bilas di mesjid. Lucunya nih, menurut Gita, sewaktu Gita yang bilas, airnya masih mengalir. Giliran Ikha yang bilas, airnya berhenti mengalir. Wuow...kalo airnya mati saat sedang samphoan dan badan sedang penuh sabun, gimana tuh jadinya? Aku ga tahu ending ceritanya. Yang jelas ketika aku menjumpai mereka di mesjid, Gita dan Ikha sudah rapi. Ga tahu itu Ikha gimana cara menyelesaikan bilasannya. Mungkin numpang masuk mesin cuci penduduk, trus mencet tombol rinse dan spin, dibilas giling-giling. Cetar!!! Aduh ditembak Ikha pake peluru bulu mata Syahrini.
Alhamdulillah dipinjami kamar mandi. Coba kalo ga, bakal ga ganti baju, dan sepanjang perjalanan alergi dinginku akan kambuh. Kalo kambuh, bakal ngalahin monkey, garuk-garuk ga berhenti hehe
Mandi di sumur. Nimba air sumur. Pengalaman yang unik. Jebreeeet... Gol masuk box story.
Desa Sekotong, Lombok Barat
----
Lombok Barat, 18 Oktober 2013
----
Lombok Barat, 18 Oktober 2013
Share this
Give us your opinion