Assalamu'alaikum Wr Wb
Di Lombok ada Kuta, di Kuta tak ada Lombok.
Menyebut Pantai Kuta, ingatanku langsung tertuju pada Pantai Kuta di Bali. Pantai populer yang sudah tak asing lagi di dunia wisata internasional. Tempat romantis para pasangan yang hendak berbulan madu. Atau bahkan tempat para pencinta olah raga surfing yang hendak menuntaskan hasratnya ber-surfing ria. Ombaknya yang sempurna, pantai panjangnya yang berpasir putih, air lautnya yang jernih dan berwarna biru, juga sunsetnya yang aduhai. Sungguh merupakan sebuah tempat yang berkesan bagi siapapun yang pernah menjejakkan kaki di sana. Tak terkecuali aku yang pernah berkunjung ke Pantai Kuta Bali pada 2011 lalu. Oh, ujung-ujungnya aku malah narsis.
Dari hasil mendengar cerita-cerita para teman yang pernah menjelajah Lombok, mereka sepakat mengatakan bahwa Lombok tidak identik dengan Kuta, sebagaimana Bali identik dengan Kuta. Lombok justru identik dengan Gili. Dan aku sepakat dengan itu.
Dari hasil mendengar cerita-cerita para teman yang pernah menjelajah Lombok, mereka sepakat mengatakan bahwa Lombok tidak identik dengan Kuta, sebagaimana Bali identik dengan Kuta. Lombok justru identik dengan Gili. Dan aku sepakat dengan itu.
Lain di Pantai Kuta Bali, lain pula dengan Pantai Kuta di Lombok. Apanya yang lain? Suasananya.
Aku di Pantai Kuta
Hotel Novotel di latar belakang
Alhamdulillah berkesempatan menapakkan kaki di Pantai Kuta Lombok --salah satu pantai populer di Lombok-- bersama rombongan Muslimah Backpacker. Tercapai salah satu keinginan untuk menjejak pantai menawan yang selama ini hanya bisa kudengar saja cerita-cerita tentangnya. Pantai Kuta ternyata jauh dari Kota Mataram. Perjalanan yang kami tempuh dari Cakranegara, sepertinya telah membuat kami mengelilingi separuh Lombok. Untuk mencapai Pantai Kuta, kami berkendara dengan ELF sewaan. Disupiri seorang Bapak yang kami panggil dengan Pak Haji Ismail.
Pantai Kuta Lombok bukanlah seramai Pantai Kuta Bali. Suasananya masih terbilang sepi dan tenang. Dalam artian tidak banyak orang yang berseliweran, apalagi berjejal seperti Pantai di Hawai. Memang pernah ke Hawai? Ya iyalah, masa belum? Sombong. Pentung aja.
Dalam sekejab pandang mata, nampak pondok-pondok sederhana berdiri di tepian pantai, di antara pohon-pohon yang miskin daun. Pohon yang unik. Miskin daun tapi kaya ranting. Eksotik kalo kata bule yang suka ama cewek pribumi yang item-item. Pohon apa? Entah aku tak sempat menanyakannya. Tak kulihat ada pohon kelapa di sini, ciri khas pohon yang tumbuh disekitar pantai.
Dalam sekejab pandang mata, nampak pondok-pondok sederhana berdiri di tepian pantai, di antara pohon-pohon yang miskin daun. Pohon yang unik. Miskin daun tapi kaya ranting. Eksotik kalo kata bule yang suka ama cewek pribumi yang item-item. Pohon apa? Entah aku tak sempat menanyakannya. Tak kulihat ada pohon kelapa di sini, ciri khas pohon yang tumbuh disekitar pantai.
Ketika sampai, kukira kami akan segera turun dari mobil lalu mencari tempat untuk duduk-duduk, tapi ternyata tidak. Ada permintaan untuk pindah dikarenakan teman-teman ingin mencari tempat yang lain. Jauh dari pengunjung lain. Agar lebih nyaman katanya. Pak Haji Ismail pun menurut, kamipun dibawanya untuk pindah tempat. Katanya hendak ke pantai dekat Hotel Novotel.
Mobil melintasi kawasan Kuta. Aku memandang keluar jendela dengan seksama. Memperhatikan keadaan. Ternyata kawasan Kuta cukup ramai. Tempat ini seperti begitu hidup. Beda sekali dengan tempat-tempat lain yang telah kami datangi dan lewati sebelumnya.
Ada banyak penginapan, kafe, dan juga restoran. Di pinggir jalan juga dengan mudah dijumpai tempat-tempat penyewaan papan surfing, life jacket, snorkel, perlengkapan selam dll. Bahkan diskotik dan bar juga ada. Ada banyak toko-toko yang menjual berbagai keperluan. Ada salon. Ada bank (BNI). Dan ada banyak turis asing yang nampak santai melenggang di pinggir jalan. Bukan satu dua tiga atau empat, tapi lebih banyak dari itu. Sekilas sudah mirip suasana di Pantai Kuta Bali, di mana jumlah turis asing terkadang justru mendominasi isi kawasan.
Pak Haji Ismail bertutur --inilah gunanya duduk tak jauh dari pak supir-- menurutnya nantinya kawasan ini akan dikelola oleh pemerintah. Akan ditata lingkungannya, juga bangunannya. Tetapi, penduduk setempat (para pengusaha hotel dan restoran) seakan tidak mengindahkan itu. Mereka tetap membangun kafe (itu terlihat saat kami melintas) dan penginapan. Bahkan penginapan yang sudah ada, justru diperbagus. Seakan tidak peduli kalau nantinya bangunan mereka itu akan dirubuhkan dan lahannya diambil oleh pemerintah.
Ohya, penginapan, kafe dan resto-resto di kawasan ini terlihat tidak sebagus dan seindah di Bali. Maksudku, bangunannya masih biasa. Tidak artistik. Belum megah apalagi terlihat mewah. Tapi tentu saja sudah cukup lumayan untuk dijadikan tempat menginap. Aku sih ga tahu gimana dalamnya, ya wong cuma melintas saja. Itupun mobilnya sambil ngebut.
Lain kali kalo ke Lombok lagi, ingin mencoba menginap di kawasan ini. Dekat dengan pantai-pantai. Bisa berbaur pula dengan bule-bule. Lho, buat apa? Eh iya ya buat apa. Ndak tau ah. Eh tapi....sepertinya di Kuta jauh dengan gili-gili. Kalo gitu, ya nginep di kota Mataram saja. Labil.
Mobil melintasi kawasan Kuta. Aku memandang keluar jendela dengan seksama. Memperhatikan keadaan. Ternyata kawasan Kuta cukup ramai. Tempat ini seperti begitu hidup. Beda sekali dengan tempat-tempat lain yang telah kami datangi dan lewati sebelumnya.
Kawasan wisata di Kuta
Ada banyak penginapan, kafe, dan juga restoran. Di pinggir jalan juga dengan mudah dijumpai tempat-tempat penyewaan papan surfing, life jacket, snorkel, perlengkapan selam dll. Bahkan diskotik dan bar juga ada. Ada banyak toko-toko yang menjual berbagai keperluan. Ada salon. Ada bank (BNI). Dan ada banyak turis asing yang nampak santai melenggang di pinggir jalan. Bukan satu dua tiga atau empat, tapi lebih banyak dari itu. Sekilas sudah mirip suasana di Pantai Kuta Bali, di mana jumlah turis asing terkadang justru mendominasi isi kawasan.
Pak Haji Ismail bertutur --inilah gunanya duduk tak jauh dari pak supir-- menurutnya nantinya kawasan ini akan dikelola oleh pemerintah. Akan ditata lingkungannya, juga bangunannya. Tetapi, penduduk setempat (para pengusaha hotel dan restoran) seakan tidak mengindahkan itu. Mereka tetap membangun kafe (itu terlihat saat kami melintas) dan penginapan. Bahkan penginapan yang sudah ada, justru diperbagus. Seakan tidak peduli kalau nantinya bangunan mereka itu akan dirubuhkan dan lahannya diambil oleh pemerintah.
Ohya, penginapan, kafe dan resto-resto di kawasan ini terlihat tidak sebagus dan seindah di Bali. Maksudku, bangunannya masih biasa. Tidak artistik. Belum megah apalagi terlihat mewah. Tapi tentu saja sudah cukup lumayan untuk dijadikan tempat menginap. Aku sih ga tahu gimana dalamnya, ya wong cuma melintas saja. Itupun mobilnya sambil ngebut.
Lain kali kalo ke Lombok lagi, ingin mencoba menginap di kawasan ini. Dekat dengan pantai-pantai. Bisa berbaur pula dengan bule-bule. Lho, buat apa? Eh iya ya buat apa. Ndak tau ah. Eh tapi....sepertinya di Kuta jauh dengan gili-gili. Kalo gitu, ya nginep di kota Mataram saja. Labil.
Kawasan Mandalika
(motret dari balik kaca jendela mobil)
(motret dari balik kaca jendela mobil)
Dari balik kaca mobil, aku membaca signboard bertuliskan "Kawasan Mandalika". Aku sengaja menatap keluar jendela dengan awas, bermaksud mencari keterangan tentang lokasi yang dituju. Dan beruntung ketemu signboard itu. Ga cuma itu sih yang aku temukan, tapi juga tugu-tugu batu yang memperlihatkan bentuk cicak dalam ukuran besar. Kenapa cicak? Ada maknanya lho. Apa? Aku lupa. Ntar aku gugling dulu :D
Kawasan ini cukup luas tetapi terlihat gersang. Tanahnya kering kerontang, tapi anehnya tak menimbulkan debu. Padahal angin laut kerap berhembus di sini. Dan mestinya jika ada debu, maka daun-daun dan apapun yang ada di tempat ini pasti akan berselimut debu. Tapi itu tak terjadi. Hotel serupa resort yang bangunannya menyesuaikan kondisi di pantai,
beratap serupa rumah adat suku Sasak. Lokasinya persis di tepi pantai.
Tanah lapang di samping hotel ditumbuhi pohon kelapa yang berbaris rapi. Di bawah pohon-pohon kelapa itu, kerbau-kerbau nampak merumput. Benarkah merumput? Entah. Sebab tiada kulihat rumput hijau di atas permukaan tanah. Jadi kerbau itu sedang makan apa? Mari tanya si kerbau.
Pantai di kawasan Mandalika masih disebut Pantai Kuta (katanya begitu). Ok, berarti tetap kesampaian ya buatku main-main di Pantai Kuta. Dan rupanya, kawasan ini sepi. Betul-betul sepi. Pengunjung pantai hari itu hanya rombongan kami. Ada sih selain kami, tapi hanya sepasang pengunjung saja. Mereka datang dengan motor. Sisanya, hanya ada para penjual souvenir. Apa ndak lihat ada tamu hotel yang turun ke pantai? Siang itu tak ada.
Maka ketika sampai, aku lekas berlarian ke arah bibir pantai. Menyeret segala perlengkapan, mulai dari kain pantai buat alas duduk, kamera, topi, dan juga ransel berisi aneka keperluan. Apa yang dilakukan? Foto-foto tentu saja !
Ninik, photographerku di Pantai Kuta :D
Aku minta tolong Ninik untuk mengulang mengambil gambarku. Sebab sebelumnya ketika di Pantai Mawun, fotoku blur semua. Rasanya tak sempurna kalau tiada foto bagus di tempat sebagus ini. Jadi jangan tanya apa yang terjadi kemudian, aku dan Ninik beraksi di bawah terik mentari yang menyengat kulit. Yang penting foto!
Alhamdulillah di tengah panasnya cuaca, ada air kelapa muda yang dibelikan untuk kami. Walaupun 1 kelapa diminum untuk berdua, ya tetap Alhamdulillah. Makin afdol rasanya ke pantai. Pinginnya 1 buat sendiri, tapi karena belinya terbatas, ya diminum saja berdua. Untungnya Mbak Fathia mau minum berdua denganku. Kalau enggak, aku yang untung hehe. Jangan gitu ah! Air kelapanya sebetulnya tidak manis, malah terasa sedikit asam. Tapi aku yakin itu asam bukan karena busuk. Jadi tetap kuminum. Termasuk daging kelapa mudanya. Segaaaar....
Satu kelapa untuk diminum berdua dengan mbak Fathia :D
Adik-adik kecil penjual souvenir, nampak gigih merayuku dengan gelang-gelang dan gantungan kunci berbentuk orang-orangan dan monyet. Ada tulisan "Lombok Primitif" di gantungan kunci itu. Wajah adik-adik itu begitu memelas. Kata-katanya terus mendesakku. Teringat pesan Pak Haji Ismail, kalau tidak minat beli jangan dipegang, jangan ditawar, dan jangan dijanjikan begini: "nanti aja". Kalau sampai iya, akan diikuti terus.
Tapi aku ga tega. Melihat upaya mereka dalam menjual, timbul rasa kasihan di hati. Akhirnya kuputuskan untuk membeli. Tapi ya gitu, satu penjual laku, penjual lain berdatangan mendekat. Tak ketinggalan pula tiga lelaki dewasa yang menjajakan baju kaos bertuliskan dan bergambarkan karakter Lombok. Tapi ya gapapa juga sih. Namanya jualan, ya harus upaya. Kebetulan aku melihat mbak Fathia, Mbak Andri, dan Mbak Hanifa membeli kaos-kaosnya, aku jadi ikut beli. Beli 5 kaos. Buat siapa? Ya buat siapa saja nanti kalau pulang. Sebagai oleh-oleh.
Penjual Souvenir
Makan siang di salah satu pondok. Makanan dengan rasa seperti biasanya, pedas. Kunikmati saja. Walau belum terlalu lapar, tapi aku harus makan. Bukan agar kenyang, tapi agar jadwal makanku tetap tepat waktu. Ada maag yang selalu mengintai lambungku. Jadi, karena ini jadwal makan siang, maka pedas ga pedas, lapar ga lapar, doyan ga doyan, harus aku makan. Soal habis atau tidak, itu urusan perut. Lho yang punya perut siapa? Aku dong.
Foto-foto sudah, belanja-belanja sudah, makan-makan sudah, minum-minum air kelapa sudah, apa yang belum? Apa ya? Ternyata belum sadar kalau pasir yang kuinjak sedari tiba di sini adalah pasir merica! Apa? Ciyuuuss? Miapaaa?
Pasir Merica Lombok.
(yang putih itu pecahan terumbu karang yang dikasih mbak Fathia)
Ya, sudah lama kudengar tentang pasir merica. Dan selama ini baru mendengar dan melihat dari foto saja. Belum pernah melihat langsung. Belum pernah memegangnya langsung. Belum pernah menginjaknya langsung. Dan belum pernah memakannya langsung? Lho emangnya bisa di makan? Ga ding.
Oh, masha Allah, ternyata pasirnya betul-betul serupa biji merica. Merica yang pastinya si bumbu dapur, bukan merica si artis. Eh ada ya nama artis Merica? Ga tahu. Yang ada sih Macica. Wiih...
Aku begitu ingin membawa pasir itu pulang. Ga harus 1 truk sih ya, itu mah namanya mau bangun rumah buuu! Cuma mau ambil sebotol kecil ukuran 300ml saja kok. Boleh ga ya? Bukannya ini namanya termasuk dalam upaya merusak alam? Hah? Masa sih? Haduuuh....tolong deh, minta sedikit saja. Boleh yaa...ya...ya?
Satu botol pasir merica di tangan Ibu Imas
(difoto dalam mobil ELF saat meninggalkan Pantai Kuta)
Kulihat teman-teman mengambil dan memasukkannya ke wadah botol minum. Akupun melakukan hal serupa. Mulanya kupunguti pasir di bawah pondok tempatku makan, menunduk-nunduk memindahkan pasir ke dalam botol. Hingga datang seorang anak kecil, yang ternyata bersedia mengambilkan pasir merica yang lebih besar, bagus, dan bersih. Di mana? Rupanya ke sisi lain pantai. Ke arah karang besar di sisi kanan pondok tempatku makan. Tapi bayar 2000 perbotol katanya. Okelah. Ga masalah. Sedekah juga buatmu ya dik. Sedekah 2000 doang? Ga dong. Berapa? Mau tau aja deh. Haduh, belagu.
Siang mencapai puncaknya. Matahari merajai hari. Masih ada tempat lain yang hendak kami tuju. Jadi, kami kembali akan berpindah tempat. Melanjutkan perjalanan. Membawa kenangan tentang Pantai Kuta, juga sejumput oleh-oleh. Oleh-oleh yang dibeli dari anak-anak kecil yang bertahan dengan panas, demi sejumput rupiah dari para pengunjung seperti kami. Di mana rumah anak-anak itu? Barangkali di desa-desa dekat kawasan hotel ini. Di sana, berjarak 1-2km sepertinya. Rumah-rumah sederhana, yang berada di kawasan memukau. Memukau para pencinta keindahan. Keindahan yang mengalirkan banyak rupiah tapi belum mengalirkan kesejahteraan pada mereka yang "punya tanah".
Sebelum meninggalkan Pantai Kuta, berfoto bersama Mbak Fathia, Ibu Imas, Zahra, dan Aulia (cucu ibu Imas)
Dua anak kecil (laki-laki berbaju biru dan perempuan ber-rok pendek) adalah dua anak yang mengambilkan pasir merica untuk kami ^_^
====
Lombok, 19 Oktober 2013
Terima kasih MB (sang founder dan para peserta) yang telah mengadakan di trip ini.
Karenanya aku berjalan dan belajar.
Terima kasih MB (sang founder dan para peserta) yang telah mengadakan di trip ini.
Karenanya aku berjalan dan belajar.
masih asri keknya tu pantai
BalasHapusIya benar, Priyo. Suasananya masih tenang. Terasa begitu nyaman :)
HapusBener-bener mirip merica pasirnya. Subhanallah... ira
BalasHapusIya mbak, besar-besar ya. Maha Besar Allah yang menciptakan beragam bentuk dan rupa pasir. Di Lombok ada yang serupa merica, ada yang halus putih serupa tepung, ada pula yang kecil kasar dan hitam.
HapusAku menjejak di sini, mba Rien. Skrg nginap di Kuta hahahaha
BalasHapus