Jangan Nyampah di Pulau Tidung

Saya termasuk orang yang paling geram pada pelaku pembuang sampah yang tidak pada tempatnya. Keberadaan sampah, yang saya temui di manapun dan kapanpun, selalu menjadi salah satu catatan penting dalam setiap perjalanan yang saya lakukan. Terkadang, keberadaan sampah menjadi tolak ukur saya dalam menilai manusia yang berada di lingkungan setempat. 

Upss...bolehkah demikian? Bukankah bisa jadi sampah itu hasil buangan orang-orang yang lewat di lingkungan tersebut, atau kiriman dari sebuah tempat nan jauh karena di bawa oleh arus air atau hembusan angin. Mungkinkah? Mungkin saja.

Okay, bisa jadi demikian. Jadi, saya hendak menggerutu pada siapa? Siapa saja yang membuang dan yang tidak memungut atau membersihkan sampah! Adil kan? Semua kena. Termasuk saya tentunya (jika ikut-ikutan seperti itu).

Sabtu kemarin, 6 April 2013 saya bepergian ke Kepulauan Seribu, tepatnya Pulau Tidung. Seperti biasa, berwisata bagi saya tentu untuk mendapatkan kesenangan, pengalaman, dan pengetahuan baru yang langsung berasal dari alam. Nah, banyak kesenangan dan pengalaman baru yang saya dapati selama di Pulau Tidung. Ceritanya nanti akan saya tuliskan pada tulisan berikutnya. Intinya, Pulau Tidung itu menakjubkan!

Saya sebetulnya belum siap untuk menuliskan catatan perjalanan selama berwisata di Pulau Tidung karena perjalanan belum usai dan cerita belum semuanya terangkum menjadi suatu ide yang layak saya gelontorkan di ranah publik ini. Tetapi, hal “unik” yang saya temui di pulau cantik ini, menjadi sesuatu yang terus menerus tumbuh dan memenuhi ruang pikiran saya. Mengusik ketenangan saya selama tinggal di Pulau Tidung. Sesuatu itu bahkan telah muncul sejak kaki saya belum menjejak daratan Pulau Tidung.

Saya tak tahan untuk tidak lekas menceritakannya di sini. Jadi, saya minta maaf kalau perjalanan wisata menarik ini akan saya dahului dengan sesuatu yang tidak menarik. Sebelum saya menyajikan banyak hal keren yang bisa ditemui di Pulau Tidung, saya ingin mengedepankan temuan menjengkelkan ini terlebih dahulu,

Sampah! Yups, itu yang ingin saya ceritakan.

Bau dan Becek di Dermaga Muara Angke
Ya, ini yang menjadi pemula atas cerita saya ketika bepergian ke Pulau Tidung. Sejak di dermaga Muara Angke, hal tak mengenakkan itu di mulai. Kondisi pasar ikan yang becek dari genangan air berwarna hitam di tepi kiri dan kanan jalan, menimbulkan bau yang sungguh tak sedap. Aroma amis ikan di pasar, bersaing dengan bau busuk dari air di selokan yang melimpah-limpah. Jalan yang sebenarnya beraspal, menghitam oleh campuran lumpur dan air yang berasal dari entah.


Di Dermaga Muara Angke

Taxi yang  saya naiki, pintu dan jendelanya tertutup rapat, tapi bau tak sedap itu seperti menyelinap dari lubang yang entah. Ketika jendela di buka untuk membayar karcis masuk dermaga, udara tak sedap itu menyeruak masuk bagai tsunami. Baunya bikin perut mual dan hampir bikin saya muntah. Saya heran, akses jalan menuju dermaga yang katanya tiap hari dilalui ribuan pengunjung (baik wisatawan maupun penduduk pulau) ini, kok kondisinya mengenaskan begini?

Saya melompat-lompat di terowongan besar yang menghubungkan jalur kendaraan umum (di sekitar SPBU Muara Angke) dengan dermaga Muara Angke. Jalannya bolong sana sini, pecah sana sini. Permukaannya yang tak rata itu seperti dilapisi lumpur berwarna hitam. Baunya sungguh tak sedap. Walau panjang terowongan itu mungkin hanya sekitar 10 meteran saja (sepertinya lebih), tapi terasa sangat panjang karena nafas saya sesak oleh bau tak sedapnya. Saat itu memang masih pagi, suasana hari masih temaram dan terowongan itu gelap. Tak ada lampu! Atau lampunya mati? Saya tak memperhatikannya karena sibuk memperhatikan jalan.

Mahasiswa/mahasiswi Nyampah di Kapal
Di kapal, saya duduk di buritan, di dek paling atas. Tempat lapang yang terbuka, tapi bukan berarti tak beratap. Terjebak di antara kerumunan muda mudi (apa ini berarti saya merasa tua dan tak muda lagi? :D). Saya mengambil tempat di dekat seorang gadis berkerudung hitam. Namanya Novi. Saya menanyakan asalnya, katanya dari Bandung. Dan ternyata, muda mudi yang duduk di sekitar saya saat itu adalah teman-temannya. Mereka datang dari Bandung, rombongan mahasiswa/mahasiswi UPI. Okay, itu identitas mereka.

Dek paling atas di buritan kapal ini memang didominasi oleh mahasiwa/mahasiwi dari UPI tapi tak berarti hanya saya saja yang bukan bagian dari mereka. Seingat saya waktu itu ada 5 orang lagi yang bukan bagian dari mereka, termasuk seorang pemilik travel agent wisata Pulau Tidung (Pak Yasir). Menurut Novi, penumpang di bagian depan dan tengah kapal juga merupakan rombongan mereka. Ya, saya melihat itu. Mereka bergerombol dan akrab. Saya perkirakan jumlah mereka lebih dari 30 orang.

2,5jam perjalanan menyeberangi lautan dari Muara Angke Jakarta Barat menuju Pulau Tidung, berjalan dengan lancar. Ketika kapal merapat di dermaga Pulau Tidung, semua penumpang beranjak dan berkemas, termasuk rombongan Novi. Saya tetap duduk, memilih keluar dan turun belakangan. Sebenarnya, selain enggan berdesakan, ada sesuatu yang saya tunggu dari mereka, yaitu tindakan mereka terhadap plastik-plastik dan botol bekas makanan/minuman yang mereka makan/minum selama di kapal. 

Di kapal, saya tahu di antara mereka ada yang merokok, makan roti (bahkan saya masih ingat merk rotinya: Sari Roti) dan aneka snack yang tak saya hafal namanya, minum air mineral botolan, makan kue yang dibungkus daun, dan makanan-makanan lainnya yang menggunakan plastik kemasan. Semuanya menyisakan sampah. Berantakan. Jadi, saya menunggu, tapi mereka tetap berdiri, tak satupun ada yang menunduk untuk memungut sampah-sampah itu. 

 Sampah bekas makanan/minuman yang dibiarkan saja

Saya berdehem sambil tangan ini memunguti salah satu plastik, berharap ada yang menyadari apa yang semestinya mereka lakukan. Saya berusaha mengingatkan dengan memberi contoh. Memang ada yang menoleh, tapi hanya melihat sekilas, setelah itu buang muka. Saya menatap mereka, geram, tapi hanya diam, tak bersuara apalagi berusaha memperingatkan dengan keras. Saya terlalu takut. Mungkin. Pikir saya, ah mereka kan sudah besar, masa tidak punya kesadaran untuk membawa sampah mereka sendiri. Hingga akhirnya mereka semua turun, tak satupun ada yang berbalik untuk mengambil sampah-sampah itu. Kalian!

ABK berteriak, menyuruh penumpang turun. Sementara di depan, tepat di dermaga, kerumunan orang begitu padat. Rupanya ada bapak-bapak berbaju seragam dinas (katanya sih staff dari kecamatan) sedang syuting video dengan mengambil setting penumpang turun dari kapal. Penumpang yang membludak di kapal (bukan hanya kapal kami), tertahan acara syuting. Saya berada dalam situasi antara ingin memunguti sampah-sampah itu, atau bergerak pindah menuju bagian depan kapal. Bimbang. Oke, saya akui saya meninggalkan sampah-sampah itu. Lagipula terlalu banyak untuk saya punguti. Arghhh! 
Rombongan Mahasiswa/i itu

Para mahasiswa itu bukan anak kecil lagi toh? Anak saya saja saat umur 1,5thn saja bisa mengerti kemana sampah mesti di buang, lantas mereka yang sudah besar dan saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di universitas, masa tidak mengerti kemana sampah itu mesti di buang? Apa susahnya memungut sampah-sampah itu, simpan dalam kantung plastik lalu buang di daratan, di tempat sampah yang sudah di sediakan. Dan saya jadi berprasangka, jangan-jangan selama makan minum di kapal tadi, ada yang membuang bekasnya di laut. Bah! Memikirkannya saja saya sudah muak, apalagi kalau melihatnya langsung.

Hei kawan, ABK kapal ferry yang kita tumpangi itu bukan manusia yang tugasnya memunguti sampah. Okay, boleh jadi karena kita sudah membayar tiket sebesar Rp 30.000 dan karena kita penumpang maka kita adalah “raja”, apa berarti lantas kita seenaknya saja menaruh sampah kita sendiri sembarangan?  Mengandalkan ABK untuk memunguti dan membuangnya? Apa susahnya tidak membuat bekas makanan/minuman berserakan? Kalau di rumah/kamar pribadi saja kita tidak suka dengan sampah yang berserakan, maka orang lain juga tidak suka tempatnya di penuhi sampah!

Sungguh, saya menyesal mengetahui mereka sebagai mahasiwa & mahasiswi, kalau akhirnya saya tahu perbuatan mereka di atas kapal saja sudah demikian. Tak terbayang apa yang akan terjadi selama di Pulau. Entah akan seperti apa tempat mereka menginap, pantai-pantai yang mereka kunjungi, perkampungan yang mereka lewati, jika ulah membiarkan sampah berserakan itu tetap mereka lakukan. 

Sampah di dekat kaki saya

Maaf, saya bukan hendak memperlihatkan keburukan mereka dengan membawa-bawa nama tempat mereka menempuh pendidikan, dalam hal ini UPI. Saya tahu dalam hal ini yang berbuat adalah oknum, jadi nama UPI itu sekedar identitas saja untuk saya sertakan dalam tulisan ini. Karena yang saya tahu asal mereka memang dari sana (sesuai pengakuan Novi). 

Maaf ya Novi, saya tidak benci teman-temanmu, tidak benci UPI, yang saya benci perbuatan teman-temanmu itu.

Sampah di lautan
Sejak di sekitar dermaga, sampah-sampah plastik terlihat mengapung di permukaan. Sangat kentara karena warnanya yang putih atau merah. Saya kira hanya di sekitar dermaga, ternyata hingga kapal berlayar jauh, sampah itu tetap bisa dijumpai. Bahkan ketika kapal melewati sebuah pulau yang banyak bentengnya (kata seseorang itu pulau Hantu, ga tau bener apa ga), sampah plastik masih ada. Ya ampun, sudah jauh dari daratan itu sampah masih saja ada. 

Saya sempat mengobrol dengan Novi. Kebetulan kami sama-sama sedang duduk menjuntaikan kaki di pinggir kapal. Aman sih, ga kan jatuh karena ada pagar pembatasnya. Nah, saat itu saya dan Novi ngobrolin kantong plastik yang kami lihat tak jauh dari kapal yang kami tumpangi. Saya bilang ke Novi, kalo sampai plastik itu dimakan oleh Penyu, Penyunya pasti mati. Kenapa Penyu makan plastik? Karena plastik itu dikiranya ubur-ubur. Saya tahu soal ini karena pernah membaca di buku Samudera; Penjelajahan Ke Dunia Di Bawah Ombak, karya Steve parker. Novi manggut-manggut. Dia baru dengar tentang itu katanya. 

Sampah yang dibuang sembarangan ke laut atau terbawa ke pantai dapat membahayakan satwa liar. Please deh ya teman-teman, saat di atas kapal atau perahu, jangan buang sampah ke laut.

Sampah di Pulau Tidung
Pulau yang indah dan menarik. Menyenangkan sekali berlibur di pulau ini. Tetapi sayang, keberadaan sampah cukup mengganggu keelokan pulau. Di beberapa tempat, di tepian pantai, sampah-sampah tampak berserakan dan bertumpuk. Kebanyakan di sekitar perkampungan, di dermaga (tempat kapal-kapal kecil berlabuh), bahkan di beberapa tempat di sekitar penginapan (home stay).

Salah seorang ABK perahu tradisional yang saya sewa untuk mengantar snorkeling, mengatakan bahwa sampah itu katanya sampah kiriman. Hmm..masa sih? Kiriman Jakarta maksudnya? Sejauh itu? Kawan, tahu tidak? Perahu yang membawa kami untuk snorkeling di salah satu pulau (dekat Pulau Tidung) tiba-tiba mesinnya mati. Setelah di cek, ternyata ada sampah tersangkut dibaling-balingnya. Tour guide saya sampe mesti terjun dan menyelam untuk melepaskan sampah plastic itu! Wiih.

Memang sih, kalau di area watersport (sekitar Jembatan Cinta), bersih dari sampah. Mungkin dinas kebersihan pemerintah setempat (Kecamatan), focus ya menjaga tempat ini. Apalagi di situ banyak tulisan besar-besar yang menghimbau untuk menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya, jadi cukup banyak yang “sadar” kebersihan. TETAPI, di ujung jembatan yang berada di Pulau Tidung Kecil, pemandangan sampah akan menyambut para pengunjung yang baru tiba. Lihat saja tepian pantai yang berada di sisi warung mie (satu-satunya warung yang ada), di atas pasirnya yang putih, sampah plastic berserakan di mana-mana. Padahal tempat ini kalau pagi selalu ramai oleh pengunjung yang ingin menikmati sunrise sambil menyeruput teh/kopi panas dari bangku-bangku yang berjejer di bibir pantai.  


Sampah di tepi pantai Pulau Tidung Kecil

Saat bersepeda sepanjang jalan kampung, memang sih yang dilihat itu lebih banyak bagusnya, tapi ya tetap saja kalo ketemu sampah-sampah, bisa rusak juga pemandangan. Biarpun bangunan tempat tinggal di kampong itu sederhana, tapi kalo bersih pasti enak dilihat. Nyaman itu bersih, bukan mentereng. Seperti halnya penginapan dan lingkungan sekitar tempat saya menginap, meskipun sederhana (mirip kos-kosan) tapi karena kondisinya bersih (pemiliknya memang terlihat rajin bersih-bersih), rasanya nyamaaan sekali.

Mudah-mudahan, baik penduduk pulau maupun wisatawan, pokoknya siapapun, sadar wisata ya. Sadar wisata itu berarti tidak merusak suasana tempat wisata dengan perbuatan “kekanakan” seperti membiarkan sampah bekas makanan/minuman tergeletak begitu saja. Simpan dan kantongi bekas makanan/minuman, bila perlu bawa balik lagi ke rumah, buang di tempat sampah di rumah.

Oh iya, saya juga berharap kepada para pemilik agent travel Pulau Tidung, hendaknya tak lupa untuk memberi peringatan keras kepada para peserta travel untuk selalu menjaga kebersihan selama di Pulau, termasuk ketika menuju pulau (berada di kapal). Akan sangat baik sekali jika para travel agent tak hanya promosi akan keindahan pulau tetapi juga giat mewanti-wanti para wisatawan yang mengikuti trip mereka untuk menjaga sikap baik terhadap alam dan lingkungan. Kita semua mesti bisa bersinergi dalam menjaga dan menikmati keindahan alam. Harus itu!

Yang bagus itu jika datang ke suatu tempat, dan melihat penduduk setempat belum sadar akan kebersihan lingkungan, ya ga ada salahnya membantu  memberi kesadaran akan kebersihan. Kalo penduduk setempat sadar kebersihan, kan kita-kita juga yang senang. Supaya lain kali kalo kita datang lagi ke pulau, kita sendiri yang nyaman. Jangan malah ikut-ikutan jadi orang jorok, menjadikan pulau sebagai tempat sampah. 

Sampah di beberapa tepi pantai Pulau Tidung Besar

Bersyukur negeri kita punya banyak pulau (ribuan lho) yang cantik-cantik dan menawan. Jadi, mari kita sama-sama menjaga agar tempat-tempat wisata di negeri kita ini tetap elok dan menawan dengan tanpa sampah.

Makin tinggi pendidikan kita, makin tinggi pula hendaknya kesadaran kita akan kebersihan. Ayo, bebaskan setiap tempat yang kita lalui dan jejaki, dari sampah. Apapun sampahnya. Di manapun berada, kapanpun waktunya, tanamkan selalu sikap menjaga kebersihan. Kebersihan itu sebagian dari iman, bukankah begitu kawan?

Tukang sampah itu sebutan untuk penyampah, bukan sebutan untuk orang yang membersihkan sampah. Jangan terbalik ya kawan ^_^

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

4 komentar

  1. Buat efek jera, jepret aja wajah mereka (mahasiswa dan mahasiswi) itu kemudian pasang fotonya di blog atau fb sebagai TERDUGA PERUSAK BUMI :)

    Kalo saya melihat pemandangan nyata seperti itu biasanya langsung saya tegur (tentunya dg bahasa yg sopan)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di kamera saya ada foto wajah-wajah mereka mas, cukup banyak malah. Hmm...coba nanti saya tambahkan di sini ya. Kalaupun enggak, akan saya upload pada tulisan berikutnya, khusus tentang "teman sekapal".

      Geram banget saya liatnya mas Iwan, tapi entah kenapa, segeram apapun, saya masih belum sanggup menegur langsung waktu itu. Akan saya coba di lain kesempatan, kalo ketemu lagi.



      Hapus
  2. kalau mba perhatiin juga saat nyebrang dari pelabuhan muara angke ke pulau tidung, di tengah laut pun juga suka nemuin sampah...malah ada loh yg secara sengaja dari atas kapal yang aku tumpangi, buang botol bekas gitu aja ke tengah laut... miriiss banget liatnya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah betul, aku ada melihat itu Pay. Aku kelupaan menuliskannya di sini. Nanti aku tambahkan lagi. Thanks ya Pay.
      Oh iya, kebetulan aku juga ada moto sampah2 yang aku lihat di laut (belum begitu jauh dari dermaga di MA). Bahkan waktu itu aku sempet lho ngomong sama mahasiswi UPI itu ttg sampah2 di laut itu. Aku bilang dia (si Novi), kalo sampah itu dimakan oleh ubur-ubur, ubur2nya pasti mati.

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!