Sambungan dari tulisan sebelumnya:
Kisah Masigit Kareumbi Part 1 : Aksi Perdanaku Bersama Satu Cinta
Kisah Masigit Kareumbi Part 1 : Aksi Perdanaku Bersama Satu Cinta
TAK SEINDAH BAYANGAN
Eri belum banyak bercerita padaku
sehingga pengetahuanku tentang kondisi di MK (Masigit Kareumbi) saat itu sangat
minim. MK itu hutan alam, itu saja informasinya. Dalam bayanganku, hutan MK tentu
serupa dengan hutan rimba pada umumnya. Banyak pohon besar, tinggi dan lebat. Sebagai
penghuni Jamrud Khatulistiwa, kesimpulan sementaraku tentang hutan MK adalah kondisi
lingkungan yang jamak ada di Nusantara. Walaupun tak akrab dengan hutan rimba,
tetapi pengalaman pernah menjajakinya langsung, membuatku bukan mengarang cerita.
Tetapi, tak kelirukah aku? Bukankah
aku ke sana untuk menanam pohon? Jika kawasan itu perlu direboisasi berarti keadaannya tak seperti yang kubayangkan, bukan?
Tak ada hutan rimba, lantas kenapa disebut KW (Kawasan Wisata)? Wisata apa yang
bisa dinikmati ditempat gundul dan gersang? Aku sedikit bingung lalu menerka-nerka
sesukaku.
Bus memasuki kota Bandung dan aku
tak tertarik untuk mengedarkan pandang. Aku menggeneralisir, kota itu
dimana-mana sama: ramai, padat, macet, dan berisik! Kota Bandung bukan akhir
dari perjalanan. Lokasi Masigit Kareumbi masih jauh dari jangkauan, setidaknya
± 43 Km lagi untuk tiba di Tanjungwangi. Walau seluruh badan mulai terasa pegal,
perjalanan tetap harus terus dilanjutkan ke arah Rancaekek, Bypass Cicalengka, Sindangwangi
dan terakhir ke Tanjungwangi tempat pintu KW berada di kampung Leuwiliang.
Apakah panorama yang kulewati akan
seindah bayangan? Sejauh ± 30 Km perjalanan dari Bandung ke Cicalengka, tak
kulihat sesuatu yang benar-benar bisa menyegarkan mata. Memang, pemandangan
gunung-gunung tentu lebih keren dibanding gedung-gedung tapi masih belum bisa membuatku
terpana dan berteriak: Wow! Apalagi koprol!
PERJALANAN MENEGANGKAN
Kondisi jalan sepanjang ± 13 Km dari
Cicalengka menuju Sindangwangi memang masih cukup baik tapi tak bisa dikatakan aman.
Terlebih ketika di Sindangwangi, track
yang kami lalui semakin menanjak, berbatu, dan sempit. Jurang yang menganga di
sisi kiri atau kanan jalan sangat curam. Tergelincir sedikit saja akan berakibat
fatal. Berkali-kali bus mesti melambat atau bahkan berhenti sama sekali jika
berpapasan dengan sesama kendaraan roda empat. Aku super deg-degan. Seolah jika
menggerakan badan ke kiri, bus ikut bergerak miring ke kiri lalu terjun bebas
ke jurang. Owh, menakutkan.
Hujan tiba-tiba turun. Kondisi jalan
makin berat. Supir bus mengeluh. Ancaman longsor yang kerap terjadi dikala
hujan membuatnya putus asa lalu menyerah, tak bersedia melanjutkan perjalanan.
Mengetahui itu, aku dan teman-teman jadi panik padahal lokasi MK masih jauh. Bahaya
longsor itu terdengar mengerikan.
Bagiku masih lebih baik berjalan kaki ketimbang jatuh berguling-guling bersama bus yang terbawa longsor. Tetapi, kami masih terdampar di Sindangwangi. Mungkin ± 8km lagi jarak kami dengan lokasi MK. Itupun hanya mengira-ngira. Betapa jauhnya jika berjalan kaki. 500m saja aku tak sanggup. Hiks.
Bagiku masih lebih baik berjalan kaki ketimbang jatuh berguling-guling bersama bus yang terbawa longsor. Tetapi, kami masih terdampar di Sindangwangi. Mungkin ± 8km lagi jarak kami dengan lokasi MK. Itupun hanya mengira-ngira. Betapa jauhnya jika berjalan kaki. 500m saja aku tak sanggup. Hiks.
“Pak, kami beri tambahan biaya dua
ratus ribu asalkan Bapak tetap mau melanjutkan perjalanan.” Kami menyuap supir?
No comment! Inisiatif itu muncul saat
situasi kian genting. Berhasil! Supir bersedia melanjutkan perjalanan. Mungkin dia
tak tega jika perjalanan kami terhenti sampai di sini. Mungkin juga tak tega jika
uang dua ratus ribu terhenti di saku kami. Kekerasan hati kami membuahkan lega
tapi tak berarti kecemasan pupus dari hati. Bahaya longsor masih mengintai. Ya
Allah, lindungi kami dari longsor.
Pencarian lokasi dilanjutkan, kernet
turun naik bertanya ke penduduk setempat. Jawaban orang-orang: Masih jauh!
Belum nampak ada signboard yang memudahkan
penemuan lokasi. Tien dan Eri masih mencoba menghubungi HP Kang Feby, tim MK. Tetapi
yang terjadi: Tak ada sinyal ponsel di sini! Argh! Sebegitu terpencilkah kawasan ini hingga sinyal saja tak ada?
Iklan operator telpon cellular di TV itu berdusta. Huh! Rasanya aku pun mulai
putus asa.
Tiba di lokasi Masigit Kareumbi
TIBA DI KAWASAN WISATA MASIGIT KAREUMBI
Biar lambat asal selamat. Betul
sekali. Biarpun bus berjalan lambat dan terasa sangat lama, kami tiba juga di
desa Tanjungwangi. Di sebuah bukit yang berselimut padang rumput, kami menemukan
signboard dan peta Masigit Kareumbi. Horay!
Wajah cemas dan pucat berganti cerah. Kami mulai bersemangat, bus kembali melaju di jalan yang sempit dan berbatu. Ah, mestinya medan seperti ini dilalui dengan jeep 4WD, atau sejenis hardtop seperti di Gunung Bromo. Aku menggerutu dalam hati hingga akhirnya berhenti saat bus tiba di pintu KW. Waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang. Perut kosongku melolong.
Wajah cemas dan pucat berganti cerah. Kami mulai bersemangat, bus kembali melaju di jalan yang sempit dan berbatu. Ah, mestinya medan seperti ini dilalui dengan jeep 4WD, atau sejenis hardtop seperti di Gunung Bromo. Aku menggerutu dalam hati hingga akhirnya berhenti saat bus tiba di pintu KW. Waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang. Perut kosongku melolong.
Suasana di KW sangat berbeda. Tak nampak
lagi jurang-jurang dan lahan-lahan gundul. Pohon-pohon tumbuh tinggi, besar dan
rapat. Bagaikan kanopi alam, begitu meneduhkan. Bus berhenti tepat di depan Pusat
Informasi Taman Buru Masigit Kareumbi. Satu persatu kami keluar dari bus lalu berjalan
menuju basecamp KW, melewati jembatan
kayu di atas sungai Ci Mulu yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Bandung
dan Kabupaten Garut.
Wiiih…keren banget bisa berdiri di perbatasan! Kamipun norak-norak bergembira.
Wiiih…keren banget bisa berdiri di perbatasan! Kamipun norak-norak bergembira.
Di basecamp KW Masigit Kareumbi terdapat bangunan wisma dan aula dengan
model rumah panggung, kantor, kelas, mushola, toilet dan kamar mandi. Di bagian
belakangnya, air sungai Ci Tarik yang bening, mengalir dengan tenang. Empat
buah kano tertambat di dermaga. Terdapat juga warung makan terbuat dari bambu
yang dikelilingi oleh aliran sungai. Bagaikan berada di sebuah pulau. Ada
jembatan bambu yang bisa dititi untuk mencapainya. Dulu katanya letak warung
itu pernah jadi tempat pondasi kandang Beruang. Wew, sesuatu!
Sajian penganan ala pedesaan sebagai
sambutan atas kedatangan kami, menerbitkan liurku. Cacing di perut seperti
mengendus-endus lapar. Pisang goreng dan singkong rebus yang di masak dengan
gula jawa, menjadi hidangan yang istimewa. Ditambah minuman air aren manis yang
diambil langsung dari pohonnya, laksana sehangat dan semanis pengelola MK yang menerima
kami. Peluh dan keluh pun luruh ke bumi bersamaan dengan tenaga yang beranjak
pulih seusai rehat beberapa saat. Aku menyerbu toilet.
Bersambung ke Kisah Masigit Kareumbi Part 3 (tamat) : Plant A Tree, Save The Planet
Hidangan Selamat Datang
Menikmati welcome drink :D
Share this
Give us your opinion