Cuaca mendung menyelimuti ranah
minang sedari pagi. Udara terasa dingin. Rintik hujan pun terus menerus turun
semenjak kami meninggalkan Bukittinggi. Petang nanti, pesawat Garuda akan membawa
kami kembali ke Jakarta.
Sembari menanti petang, pergi mengisi waktu dengan berwisata ke tempat-tempat
yang belum didatangi dalam 3 hari sebelumnya, yaitu Desa Wisata Pande Sikek,
Danau Singkarak, Lembah Anai, dan Rumah Gadang di Padang Panjang, tentu menjadi
pilihan yang lebih menyenangkan.
Pertimbangan waktu dan jarak
menjadi alasan yang bagus karena tempat-tempat itu memang akan kami lewati
dalam perjalanan menuju Bandara International Minangkabau (BIM). Pun, tersedia
waktu yang cukup.
Pada tulisan terdahulu, sudah
kuceritakan kunjunganku ke Desa Wisata Pande Sikek dan Danau Singkarak. Setelah
mendatangi kedua tempat itu, perjalanan berlanjut ke Padang Panjang, tempat
dimana Rumah Gadang berada. Rumah Gadang di Padang Panjang ini sebenarnya
adalah pilihan alternatif setelah aku membatalkan niat untuk melihat Istana Pagaruyung.
Menurut supir mobil yang kusewa, saat itu istana Pagaruyung sedang dalam proses
renovasi sehingga dipastikan pengunjung terkendala untuk masuk dan
melihat-lihat. Daripada sudah datang dan kemudian kecewa, maka Rumah Gadang di
Padang Panjang ku pilih sebagai penggantinya.
Tiba
di Padang Panjang
Waktu salat Dzuhur baru saja tiba
ketika kami tiba di lokasi Rumah Gadang, yakni rumah yang juga dijadikan situs
sejarah atau Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM). Bersamaan
dengan kedatangan kami, tiba juga rombongan dari sebuah bank yang hendak
mengadakan acara gathering di tempat ini. Suasana langsung ramai, namun rombongan
tersebut terlihat menuju bangunan lainnya yang serupa pendopo. Mereka berkumpul di sana. Entah kenapa aku
jadi merasa lega melihat itu. Mungkin karena rumah gadang incaranku bakal tak
dipenuhi pengunjung. Dengan sepi, bisa lebih tenang mencari tahu.
Masih di parkiran, sebelum
melangkahkan kaki kemana-mana, kulayangkan pandang ke seluruh bagian kompleks
rumah gadang. Yang kulihat, di kawasan ini terdapat rumah gadang dengan ciri
khas atap melengkung dan runcing di puncaknya, 4 Rangkiang (lumbung padi),
taman baca (perpustakaan), Musala, Toilet, dan sebuah bangunan di bagian
belakang yang fungsinya tak sempat kutanyakan sebagai apa. Melihat musala,
teringat akan waktu dzuhur yang telah tiba. Kami lekas ke sana. Memulakan ibadah sebelum memuaskan
dahaga akan budaya dan sejarah yang kaya.
Mengenal lebih dekat
Dari musala aku berjalan di
setapak yang menanjak. Menatap lekat ke arah rumah besar nan menjulang. Separuh
badan rumah kulewati, berhenti di tangga yang dinaungi atap menjulang ke depan.
Menaikinya hingga anak tangga teratas. Melepaskan sandal di serambi lalu melangkah
memasuki pintu lebar yang terbuka. Persis di hadapan pintu, empat ibu-ibu
berbaju seragam dinas tersenyum ramah. Menyambut dengan sapaan yang hangat.
Bahasanya santun, dibalut logat Minang yang kental.
“Assalamu’alaikum, bu. Saya
Katerina, ingin melihat rumah ini beserta seluruh isinya.”
“Wa’alaikumussalam. Oh silahkan.
Karcisnya Rp 4000,-/pengunjung. Boleh di bayar nanti setelah berkeliling”
Salah satu dari dua wanita itu
lalu berdiri, mendekati, menyalami, lalu berkata dengan senyum yang terus
terkembang.
“Kalau ada yang ingin ditanyakan,
saya akan bantu. Mau mulai dari mana? Atau mau melihat-lihat dulu juga
silahkan.”
Tawaran yang hangat. Keramahannya
membuat beragam keingintahuanku lekas kusampaikan lewat tanya. Sebaris tanya,
berderet-deret kata menjadi jawaban. Aku menyimak. Mengetik hal-hal penting ke memo
ponsel. Merekam beberapa bagian yang tak bisa kuhafal dengan baik. Kami
menghampiri tiap sudut ruang. Aku mengikuti langkahnya, mengikuti gerak jari
tangannya yang menunjuk-nunjuk gambar-gambar yang terpajang rapi di dinding, memegang
beberapa benda, memandangi semua yang ada di dalam rumah gadang, membaca
keterangan-keterangan, menyentuh koleksi barang-barang kuno, atau sekedar
melihat aneka miniatur dari balik kaca tebal yang menghalangi sentuhan.
Ada banyak cerita, kisah, dan penjelasan yang kudapat, namun tak semua terekam dengan baik. Jadi, apa yang aku tuliskan setelah alenia ini sebagian besar adalah hasil pencarianku di berbagai sumber artikel dan bacaan, sembari mencocokannya dengan keterangan-keterangan yang kudapat secara langsung sewaktu berada di sana.
Rumah Gadang
Gadang artinya besar. Rumah
gadang berarti rumah besar. Rumah gadang adalah rumah adat Minangkabau. Hanya
sebatas itu yang kutahu selama ini. Maka, sungguh baru bagiku, kala mengetahui
bahwa rumah gadang terbagi menjadi 3 type yaitu Rumah Gadang Gajah Maharam,
Rumah Gadang Rajo Babandiang, dan Rumah Gadang Bapaserek. Pembagian mengenai
type rumah gadang ini disebutkan dalam naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan
staf BPSK.
Dalam penjelasannya, rumah Gadang Gajah Maharam memiliki bentuk
seperti gajah yang sedang mendekam (Maharam=mendekam). Memiliki anjuang
(anjungan), yakni bagian yang lebih tinggi dari lantai rumah. Letaknya di
sebelah ujung kanan dan kiri pintu masuk. Dengan bentuknya yang seperti itu,
terkadang type ini disebut dengan sebutan Rumah Baanjuang. Nah, sewaktu di
Bukittingi, aku sudah melihat dan masuk ke dalam rumah adat Baanjuang. Pernah
di tulis di sini.
Untuk Rumah Gadang type Rajo Babandiang, tidak memiliki anjuang dan atapnya lebih tinggi dari Rumah Gadang tipe Gajah Maharam. Sedangkan Rumah Gadang Bapaserek, hanya memiliki satu anjuang di sebelah kiri. Bagian yang ditinggikan tersebut dinamakan Tingkah atau Tindieh. Rumah Gadang ini bisa ditemukan di Kenagarian Koto Nan Ampek Payakumbuh, bangunannya memiliki bagian yang diseret sehingga ada bagian yang menonjol di belakang atau disamping. Bagian belakang yang diseret digunakan sebagai kamar, sedangkan yang disamping digunakan sebagai dapur.
Sebagian dari koleksi Foto Jadul dan Terkini yang menggambarkan
Budaya, Masyarakat, dan Rumah Tinggal etnis Minangkabau dari waktu ke waktu
Banyak filosofi di Rumah Gadang Gajah Maharram
Rumah gadang yang ku masuki
adalah rumah gadang bagonjoang tujuah. Tiang-tiang kayu (tonggak) tegak kuat di
ruang dalamnya. Satu tonggak utama dinamakan limpapeh. Lantai kayu rapat
mengkilap. Jendela-jendela yang lebar, dihias ukiran-ukiran indah dan berwarna.
Udara dari luar masuk dengan sangat leluasa melalui 10 jendela yang menghadap
ke depan rumah. Sejuk terasa. Terang bercahaya. Membingkai sejarah dan budaya
yang kaya. Mengasyikan untuk berlama-lama. Melenakan untuk mengisi ruang-ruang
pengetahuan yang masih sedikit.
Rumah gadang bagonjong tujuah berarti
memiliki gonjong tujuh. Gonjong itu bagian
atap yang melengkung dan berujung runcing. Tujuah atau tujuh adalah
jumlah gonjong. Terdapat dua anjungan di ujung kiri dan kanan. Dikarenakan
adanya anjungan inilah maka dapat diketahui bahwa rumah gadang ini berasal dari
Lareh Koto Piliang yang sistem pemerintahannya bersifat otokratis.
Koleksi foto jadul yang menggambarkan kondisi Jam Gadang,
masyarakat dan budaya Minangkabau di jaman Jepang dan Belanda
Biasanya jumlah ruang di rumah gadang berjumlah ganjil seperti 5, 7 dan 9. Ruang terbagi menjadi ruang pribadi (kamar) dan ruang umum. Ruang pribadi mengambil 1/3 bagian ruangan sedang ruang umum mengambil 2/3 bagian ruangan. Perbandingan yang merupakan makna kepentingan umum lebih utama dari pada kepentingan pribadi.
Di bagian
belakang rumah gadang terdapat kamar-kamar yang diperuntukan bagi anak-anak,
wanita yang sudah berkeluarga, ibu dan nenek. Bagi etnis Minangkabau, hal ini
menjadi bukti bahwa rumah gadang berfungsi untuk mempertahankan sistem
matrilineal-sistem kekerabatan dari garis ibu. Selain berfungsi sebagai tempat
tinggal, rumah gadang juga berfungsi tempat melaksanakan seremonial adat
seperti kematian, kelahiran, perkawinan, mendirikan kebesaran adat, tempat
mufakat dan lain sebagainya.
Bagian dalam Rumah Gadang sebagai ruang pamer
Terdapat anjungan di kiri dan kanan pintu masuk + tiang-tiang (tonggak) penyangga
Beragam koleksi barang dan foto yang memberikan beragam informasi
Ada hal istimewa yang
disampaikan si ibu yang menemaniku berkeliling di dalam rumah gadang, yakni
perihal kamar yang semuanya diperuntukan bagi kaum perempuan. Lantas di mana
kamar anak laki-laki? Rupanya, bagi anak laki-laki yang belum menikah, mereka diharuskan
tidur di surau (mesjid). Katanya supaya anak laki-laki giat belajar mengaji.
Kelak bila sudah menikah, anak laki-laki tidur di rumah istrinya. Di sini, saya
jadi paham alasan mengapa setelah menikah, justru pihak laki-lakilah yang ikut
ke rumah istrinya, bukan sebaliknya.
Bentuk dasar dari bangunan Rumah
Gadang sendiri adalah empat persegi panjang. Polanya berbentuk kapal yaitu kecil
kebawah dan besar ke atas. Bentuk atapnya punya bubungan yang lengkung ke atas
yaitu lebih kurang setengah lingkaran. Keunikan rumah adat ini tentu saja pada
atapnya yang lancip dengan lengkungan yang menyerupai tanduk kerbau. Badan
rumahnya juga melengkung, landai seperti badan kapal. Tangga untuk menaiki
terletak di muka rumah, tepat di tengah-tengah.
2 Rangkiang bertiang 4, 1 rangkiang bertiang 6, 1 rangkiang bertiang 9
Filosofi
Rangkiang (Lumbung Padi) penanda kepedulian sosial
Di halaman depan rumah Gadang
PDIKM, terdapat empat buah rangkiang yang memiliki nama dan makna
masing-masing. Mulanya aku hanya membedakannya dari jumlah tiang rangkiang,
namun setelah membaca lebih banyak informasi dari berbagai sumber, ada tambahan
lainnya yaitu berupa nama.
- Rangkiang Sibayau-bayau, adalah tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk pangan sehari-hari.
- Rangkiang Sitinjau Lauik, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk persediaan makan musafir dan tamu, juga acara adat.
- Rangkiang Sitangguang Lapa, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk membantu fakir miskin dan masa paceklik.
- Rangkiang Kaciak, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk benih pada saat masa bertanam tiba.
Nah, menurut penjelasan si ibu
(beneran aku lupa namanya) yang menjadi sumber informasiku selama di sana, pembagiannya seperti
ini:
- 2 buah Rangkiang bertiang 4, masing-masing untuk menyimpan padi yang digunakan untuk acara adat dan untuk membantu fakir miskin.
- 1 Rangkiang bertiang 6, untuk menyimpan padi yang digunakan untuk pangan sehari-hari.
- 1 Rangkiang bertiang 9, untuk menyimpan padi yang digunakan untuk pembangunan kampung.
Demikianlah Rangkiang. Melalui filosofinya itu, rangkiang tak semata berfungsi sebagai tempat menyimpan padi dan tempat menyimpan bahan pangan lainnya, tetapi juga menggambarkan rasa kepedulian sosial terhadap sesama. Perlambang kebersamaan, kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Perpustakaan di halaman Rumah Gadang. Bangunannya model rumah gadang Bodi Chaniago
Berlatar belakang gunung dan hutan alam
Pemandangan Indah dan
Perpustakaan di Halaman
Turun ke halaman. Berjalan agak
jauh ke depan. Berdiri di setapaknya, atau boleh juga di atas rumputnya yang
hijau sambil membelakangi rumah gadang. Berfoto. Klik. Wahai, rancak bana.
Apalagi jika sembari mengenakan baju adat Minang, beserta mahkota dan segala
perhiasan ala anak daro, bagai menyatu dalam budaya yang agung.
Di halamannya yang asri,
pemandangan hijau berlatar belakang gunung sungguh melenakan mata. Sebuah perpustakaan
berdiri di tengahnya. Berbagai koleksi buku dan foto-foto tertata apik di
dalamnya. Udara sekitar yang sejuk, suasana yang tenang, system pencahayaan
ruang dengan lampu-lampu yang menempel pada tiang, sungguh membuat betah
siapapun yang berada di dalamnya. Perpustakan ini memiliki sembilan ruang yang
digunakan untuk menyimpan dan memajang koleksi-koleksi perpustakaan.
Meja-meja baca dari kayu yang
bertekstur halus, di tata melingkari sembilan tiang. Apik. Terasa begitu nyaman
untuk. Membaca. Tak mesti membaca di meja, di lantaipun tak apa jika ingin
lebih santai. Tak ada larangan. Tak pula perlu merasa takut kotor, sebab tak
satupun pengunjung diperbolehkan beralas kaki selama dalam ruang perpustakaan
sehingga kebersihan selalu terjaga. Dan sesungguhnya, keseluruhan ruangan
memang terjaga kebersihannya, rapi, tiada berdebu. Mengkilap.
Tak hanya membaca, di perpustakaan ini juga bisa berpuas diri mengamati dengan seksama setiap foto hasil repro maupun orisinil yang terpampang di dinding dinding ruangan. 9 ruangan yang ada memang tak luas namun bisa digunakan untuk memamerkan koleksi yang dimiliki. Beberapa diantaranya adalah foto mengenai rumah gadang dari dua kelarasan, yaitu laras Budi Chaniago dan laras Koto Piliang yang merupakan foto repro yang dilakukan pada tahun 2008.
USAI
Sungguh, banyak
hal penting dan bermanfaat yang bisa kupetik dari kunjungan wisata budaya ke
tempat ini. Kamar-kamar yang diperuntukan bagi nenek, ibu, anak perempuan,
kemenakan perempuan, bagiku adalah wujud penghormatan kepada kaum wanita.
Bentuk penjagaan dan perlindungan yang begitu agung. Keharusan mengkaji ilmu
agama di surau bagi anak laki-laki sedari kecil. Filosofi rangkiangnya yang
menunjukkan kepedulian sosial kepada tetangga, dan fakir miskin. Penghormatan
kepada tamu. Juga kedermawanan untuk pembangunan kampung bagi yang mampu.
Rumah gadang
(besar), bukan hanya besar dalam pengertian fisik tetapi juga dalam pengertian
fungsi dan peranannya yang berkaitan dengan adat. Tak hanya berfungsi sebagai
tempat tinggal tetapi juga sebagai tempat melastarikan adat budaya masyarakat
Minangkabau. Rumah Gadang sebagai simbol budaya yang harus dipertahankan. Semoga, keberadaannya tak terkikis oleh
kemajuan zaman dan tak lapuk sejarah dimakan waktu.
Tepat pukul 4
sore, kunjunganku berakhir. Satu persatu ibu-ibu yang bertugas di Rumah Gadang
ku pamiti. Tangan mereka ku jabat erat. Ucapan terima kasih rasanya terlalu
kecil sebagai balasan atas apa yang telah berikan. Sebelum aku benar-benar
pergi, seorang ibu mengajakku berfoto berdua. Aku setuju. Ketiga rekannya
ternyata juga ingin ikut. Jadilah kami berlima berfoto bersama. Satu jam empat
puluh menit total waktu yang kuhabiskan di tempat ini. Semoga tiada kesia-siaan
didalamnya. Bila suatu hari kembali lagi ke ranah Minang, maka aku akan datang
lagi ke tempat ini.
Langit masih
mendung. Gerimis masih rintik-rintik jatuh ke bumi. Kami melanjutkan
perjalanan, ke Lembah Anai nan damai. Terima kasih Allah, telah Engkau gerakkan
kakiku untuk melangkah ke tempat ini. Alhamdulillah.
Padang Panjang, 05 September 2012
Terima kasih ibu-ibu yang baik ^_^
Catatan:
Semua foto
dengan watermark Katerina adalah jepretan dari kamera saya pribadi. Dua foto lainnya
saya copas dari sumber lain, dimana linknya saya tuliskan dalam gambar. Hal
tersebut dikarenakan kamera saya kehabisan batre sehingga tidak dapat lagi
mengambil gambar tampak luar rumah gadang secara utuh dan gambar perpustakaan.
banyak bgt informasi yang br saya tau tentang rumah gadangnya.. ya meskipun blm pernah kesana minimal pernah liat dipotonya teh rien dan baca tulisannya hehhe...
BalasHapusTerima kasih teteh. Kemungkinan informasi yang kuberikan masih banyak kekurangan, tapi semoga yg sedikit ini bisa menambah pengetahuan kita bersama :)
HapusDi TMII juga ada Rumah Gadang, teh. Lebih dekat.
Eh tapi aku 4x ke TMII, sekalipun belum pernah mampir :))
BalasHapusRangkiang Sibayau-bayau, adalah tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk pangan sehari-hari.
Rangkiang Sitinjau Lauik, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk persediaan makan musafir dan tamu, juga acara adat.
Rangkiang Sitangguang Lapa, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk membantu fakir miskin dan masa paceklik.
Rangkiang Kaciak, untuk tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk benih pada saat masa bertanam tiba.
nah ini ni mbak yg sy bilang kemarin. manajemen yg bagus kan :D
qeqeqeqe...
*kabur*
Jyaaah....kok kabur sih...kejaaaaar..... :))
HapusYup, manajemen yang bagus.
Kalau dilihat, untuk keperluan pribadi keluarga hanya 1 lumbung, 3 lumbungnya sbg persediaan untuk orang lain. "teknik" sedekah yang luar biasa. Tidak dimakan sendiri tapi dibagi-bagi. Kalau setiap orang begini, pasti tak ada saudara/tetangga yang hidup berkekurangan ya mbak.
menarik sangaaaat..... :)
BalasHapusTerima kasih, mbak :)
Hapus