Rumah Cina dan Jembatan Limpapeh
Sepi angkot, sepi ojek, ramai hotel
Akhirnya makan lontong sayur pakis
Dari Jl. Achmad Karim, saya belok kanan, melintasi Novotel Hills, memasuki jalan Yos Sudarso. Setelah berjalan sekitar 10 meter saya kembali ragu-ragu. Terus atau enggak. Terus atau balik lagi ke hotel. terus atau menelpon driver. Hadeuuuuuh....gimana sih ini??? Haha....ga tau deh, rasanya saya mulai pesimis. Pikir saya lontong sayur pakis itu pasti tak kan dapat saya temui. Apalagi jam di tangan sudah menunjukan pukul 10 siang. Mana ada lagi penjual lontong sayur sesiang ini. Setahu saya lontong sayur itu kan makanan pagi hari, bukan siang hari (bener ga sih? hihi). Ya sudahlah memang belum berjodoh kali. Tapi tadi kenapa pak kusir delman itu bilangnya ada. Katanya dekat. Udah dicari sampe jauh ga ada juga hiks. Ingin sekali rasanya putar balik kebelakang, balik ke hotel. Tapi aneh banget, rasa dihati ingin balik ke hotel tapi dua kaki ini terus saja berjalan ke depan. Haha...ga sinkron banget :p
Saya terus berjalan. Sampai di depan kantor dinas kebersihan kota Bukittinggi, tanpa sengaja saya melihat ada warung kecil. Letaknya persis di depan kantor tersebut, tapi di seberang jalan. Saya menyeberang dan menghampiri warung itu, dan ternyataaaaa.....menjual lontong sayur pakis. Wuaaaaaah, akhirnyaaaaa!! Berbinar mata ini. Bagai Ayu Ting Ting yang menemukan alamat. Tanpa ragu saya melangkah masuk. Mengambil tempat duduk disamping seorang ibu berpakaian dinas yang sedang menikmati sepiring lontong sayur pakis. Air liur saya bagai hendak menetes. Untungnya bisa ditahan. Saya berucap pada Ibu penjual lontong yang tersenyum memandang saya, "Lontongnya ya bu, satu." Ya iyalah satu, emangnya ada berapa orang yang bersama saya.
Diantar ke Benteng Fort De Kock
Saya meneruskan langkah. Bersiap memasuki 3 obyek wisata sekaligus.
Ceritanya saya lanjutkan pada tulisan berikutnya : Benteng Fort De Kock, Di atas Jembatan Limpapeh, dan Taman Marga Satwa Kinantan
Bukit Tinggi West Sumatera
Travel Notes
West Sumatra
Masih di jalan Achmad Yani Bukittinggi, saya kini berada sekitar
30 meter dari Jembatan Limpapeh. Tanpa saya duga, saya berjumpa sebuah bangunan dengan model atap yang khas, disertai warna keemasan dan
kemerahan, juga tulisan berhuruf China. Klenteng.
Inikah kampung Cina yang dimaksud itu? Kampung? Bukan Rumah China? Kalau kampung kan berarti pemukiman. Tapi, orang sekitar yang saya temui mengatakan: "Inilah kampung Cina itu". Hooo...baiklah kalau begitu. Saya mengambil gambar, kemudian pergi. Melanjutkan jalan, lebih dekat ke Jembatan Limpapeh. Saat saya merasa sudah menemukan tempat untuk memotret jembatan, saya berhenti. Tepat di depan Ruko Bank Niaga. Jeprat jepret hingga puas. Lirik kanan mencari seseorang yang lewat, siapa tahu ada yang bisa dimintai tolong untuk memotret. Mata saya menemukan sosok seorang satpam, satpam Bank Niaga. Saya samperi, dan memulai cakap dengan bertanya letak Kebun Binatang. Bukan maksud basa basi, memang saya sedang butuh informasi itu. Seorang laki-laki yang menghampiri pak Satpam, ikut membantu menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang lebih mudah untuk saya mengerti. Kenapa? Karena pak Satpam tadi berbicara dalam bahasa Minang yang cukup membuat saya roaming.
Inikah kampung Cina yang dimaksud itu? Kampung? Bukan Rumah China? Kalau kampung kan berarti pemukiman. Tapi, orang sekitar yang saya temui mengatakan: "Inilah kampung Cina itu". Hooo...baiklah kalau begitu. Saya mengambil gambar, kemudian pergi. Melanjutkan jalan, lebih dekat ke Jembatan Limpapeh. Saat saya merasa sudah menemukan tempat untuk memotret jembatan, saya berhenti. Tepat di depan Ruko Bank Niaga. Jeprat jepret hingga puas. Lirik kanan mencari seseorang yang lewat, siapa tahu ada yang bisa dimintai tolong untuk memotret. Mata saya menemukan sosok seorang satpam, satpam Bank Niaga. Saya samperi, dan memulai cakap dengan bertanya letak Kebun Binatang. Bukan maksud basa basi, memang saya sedang butuh informasi itu. Seorang laki-laki yang menghampiri pak Satpam, ikut membantu menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang lebih mudah untuk saya mengerti. Kenapa? Karena pak Satpam tadi berbicara dalam bahasa Minang yang cukup membuat saya roaming.
Rumah China, di Jalan Achmad Yani Bukittinggi
Usai bertanya ini
itu bak wisatawan kesasar, saya minta tolong pak satpam untuk mengambil foto diri saya. Mesti gitu? Mesti dong hehe. Setelah 3 kali jepret, akhirnya sesi foto dengan latar belakang Jembatan
Limpapeh berakhir. Apa sih bagusnya Jembatan Limpapeh sampe mesti dikunjungi
segala? Bagi saya, jembatan ini unik, baik dari segi bangunannya maupun dari fungsinya yang
menghubungkan obyek wisata Benteng Fort De Kock dengan Taman Marga Satwa Budaya
Kinantan. Yang tak kalah menarik adalah berdiri di atas jembatannya (tingkat ke tiga), lalu mengedarkan pandang sejauh mungkin.
"Jadi, dekat jembatan ini ga ada jalan pintas menuju Benteng Fort De Kock di atas pak?"
"Ga ada mbak, mesti muter ke sana (sambil menunjuk ke arah Jl. Sudarso))."
"Duh, jauh banget ya pak."
"iya mbak, sekitar 1 kilometer dari sini."
Waduh!!
Hampir lemes saya jadinya.
"Jadi, dekat jembatan ini ga ada jalan pintas menuju Benteng Fort De Kock di atas pak?"
"Ga ada mbak, mesti muter ke sana (sambil menunjuk ke arah Jl. Sudarso))."
"Duh, jauh banget ya pak."
"iya mbak, sekitar 1 kilometer dari sini."
Waduh!!
Hampir lemes saya jadinya.
Jembatan Limpapeh
Sepi angkot, sepi ojek, ramai hotel
Saya memunggungi jembatan Limpapeh, kembali
menyusuri jalan Achmad yani, mengikuti petunjuk arah yang diberikan pak Satpam Bank
Niaga. Bagaimanapun saya bertekat untuk mendatangi Benteng Fort De Kock dengan berjalan kaki. Walau saya tahu kaki ini mulai terasa pegalnya. Keringat telah menetes berkali-kali di wajah, membasahi leher, juga baju di badan. Rasanya ingin menelpon driver, minta di jemput dan di antar. Tapi niat itu saya urungkan. Saya masih ingin menguji sampai batas mana saya masih bisa bertahan.
Dalam penglihatan saya, ada begitu banyak penginapan di sepanjang Jl. Achmad Yani. Mulai dari penginapan kelas Melati hingga hotel berbintang lima. Hotel berbintang yang saya jumpai sepanjang perjalanan antara lain hotel Campago, Hotel Rocky, Hotel Pusako, dan Hotel Novotel Hills. Sedang penginapan kelas melati tak dapat saya hafal namanya, sebab cukup banyak hotel di kawasan ini.
Tepat dipertigaan antara Jl.Achmad Yani, Jl.Achmad Karim dan Yos Sudarso, rasa lelah kembali menghinggapi, saya diselimuti keraguan. Sembari mengayun langkah, saya terus berjalan sambil menimbang-nimbang pilihan. Akhirnya saya memilih jalan menuju Novotel Hills, yaitu Jl.Acmad Karim. Dari jarak 50 meter, bangunan hotel sudah nampak di mata. Saya bergegas namun sebuah warung tenda di seberang kanan jalan bertuliskan "Bubur Ayam Padang", seakan hendak menghalangi langkah saya. Pingin makan bubur. Lho? Ha, aneh.
Tapi lagi-lagi saya ragu, teringat lontong sayur pakis yang belum juga saya jumpai. Andaikata saya membeli bubur itu, dipastikan akan kekenyangan. Jika nanti berjumpa lontong sayur pakis, saya tak mampu lagi memakannya. Akhirnya ga jadi berhenti. Saya melanjutkan jalan. Anehnya, keinginan untuk kembali ke hotel jadi pupus. Tepat ketika sudah berada didepan hotel, saya tak jadi menyeberang melainkan berbelok ke kanan, ke Jalan Yos Sudarso.
Dalam penglihatan saya, ada begitu banyak penginapan di sepanjang Jl. Achmad Yani. Mulai dari penginapan kelas Melati hingga hotel berbintang lima. Hotel berbintang yang saya jumpai sepanjang perjalanan antara lain hotel Campago, Hotel Rocky, Hotel Pusako, dan Hotel Novotel Hills. Sedang penginapan kelas melati tak dapat saya hafal namanya, sebab cukup banyak hotel di kawasan ini.
Tepat dipertigaan antara Jl.Achmad Yani, Jl.Achmad Karim dan Yos Sudarso, rasa lelah kembali menghinggapi, saya diselimuti keraguan. Sembari mengayun langkah, saya terus berjalan sambil menimbang-nimbang pilihan. Akhirnya saya memilih jalan menuju Novotel Hills, yaitu Jl.Acmad Karim. Dari jarak 50 meter, bangunan hotel sudah nampak di mata. Saya bergegas namun sebuah warung tenda di seberang kanan jalan bertuliskan "Bubur Ayam Padang", seakan hendak menghalangi langkah saya. Pingin makan bubur. Lho? Ha, aneh.
Tapi lagi-lagi saya ragu, teringat lontong sayur pakis yang belum juga saya jumpai. Andaikata saya membeli bubur itu, dipastikan akan kekenyangan. Jika nanti berjumpa lontong sayur pakis, saya tak mampu lagi memakannya. Akhirnya ga jadi berhenti. Saya melanjutkan jalan. Anehnya, keinginan untuk kembali ke hotel jadi pupus. Tepat ketika sudah berada didepan hotel, saya tak jadi menyeberang melainkan berbelok ke kanan, ke Jalan Yos Sudarso.
Ada banyak penginapan kecil di sekitar Jl. Achmad Yani dan Achmad Karim
Akhirnya makan lontong sayur pakis
Dari Jl. Achmad Karim, saya belok kanan, melintasi Novotel Hills, memasuki jalan Yos Sudarso. Setelah berjalan sekitar 10 meter saya kembali ragu-ragu. Terus atau enggak. Terus atau balik lagi ke hotel. terus atau menelpon driver. Hadeuuuuuh....gimana sih ini??? Haha....ga tau deh, rasanya saya mulai pesimis. Pikir saya lontong sayur pakis itu pasti tak kan dapat saya temui. Apalagi jam di tangan sudah menunjukan pukul 10 siang. Mana ada lagi penjual lontong sayur sesiang ini. Setahu saya lontong sayur itu kan makanan pagi hari, bukan siang hari (bener ga sih? hihi). Ya sudahlah memang belum berjodoh kali. Tapi tadi kenapa pak kusir delman itu bilangnya ada. Katanya dekat. Udah dicari sampe jauh ga ada juga hiks. Ingin sekali rasanya putar balik kebelakang, balik ke hotel. Tapi aneh banget, rasa dihati ingin balik ke hotel tapi dua kaki ini terus saja berjalan ke depan. Haha...ga sinkron banget :p
Saya terus berjalan. Sampai di depan kantor dinas kebersihan kota Bukittinggi, tanpa sengaja saya melihat ada warung kecil. Letaknya persis di depan kantor tersebut, tapi di seberang jalan. Saya menyeberang dan menghampiri warung itu, dan ternyataaaaa.....menjual lontong sayur pakis. Wuaaaaaah, akhirnyaaaaa!! Berbinar mata ini. Bagai Ayu Ting Ting yang menemukan alamat. Tanpa ragu saya melangkah masuk. Mengambil tempat duduk disamping seorang ibu berpakaian dinas yang sedang menikmati sepiring lontong sayur pakis. Air liur saya bagai hendak menetes. Untungnya bisa ditahan. Saya berucap pada Ibu penjual lontong yang tersenyum memandang saya, "Lontongnya ya bu, satu." Ya iyalah satu, emangnya ada berapa orang yang bersama saya.
Saya menyapa ibu
berpakaian dinas, dan dibalas dengan ramah. Sebelum saya melanjutkan kata,
sepiring lontong sayur pakis tiba dihadapan. Wiiiiiiiiih.....betapa aliran air
liur di mulut bersiap tumpah ruah laksana air terjun. hihi...lebay.
Saya menikmati sayur lontong pakis sesuap demi suap. Lontongnya samalah kayak lontong dimana-mana, yang membedakannya ya sayur pakisnya itu.
Sembari makan, saya mengajak ibu berpakaian dinas ngobrol (sok kenal). Menanyakan arah jalan menuju Kebun Binatang dan Benteng Fort De Kock. Eh ditanggapi dengan antusias. Lalu tanpa diduga dari mulutnya mengalir banyak informasi yang saya butuhkan. Terpancar kegembiraan diwajahnya, betapa ia senang ada pengunjung luar daerah seperti saya yang tertarik dengan wisata Bukittinggi. Oh tentu saja bu, Bukittinggi kan gudangnya obyek wisata. Beliau meneruskan informasi bernada promosi, mulai dari aneka obyek wisata, hotel, rental kendaraan, hingga info wisata kuliner dan tempat oleh-oleh khas Bukittinggi. Walaupun sebelumnya sudah saya ketahui dari internet, tapi informasi beliau menjadi pelengkap informasi yang sudah saya miliki. Yang membuat saya terkejut adalah harga sewa kendaraan, ternyata saya menyewa kendaraan dengan harga yang kelewat mahal. Selisih 100.000 dari harga normal. Owh. Grrr…… Ingin rasanya protes pada pemilik rental kendaraan yang saya sewa.
Saya menikmati sayur lontong pakis sesuap demi suap. Lontongnya samalah kayak lontong dimana-mana, yang membedakannya ya sayur pakisnya itu.
Sembari makan, saya mengajak ibu berpakaian dinas ngobrol (sok kenal). Menanyakan arah jalan menuju Kebun Binatang dan Benteng Fort De Kock. Eh ditanggapi dengan antusias. Lalu tanpa diduga dari mulutnya mengalir banyak informasi yang saya butuhkan. Terpancar kegembiraan diwajahnya, betapa ia senang ada pengunjung luar daerah seperti saya yang tertarik dengan wisata Bukittinggi. Oh tentu saja bu, Bukittinggi kan gudangnya obyek wisata. Beliau meneruskan informasi bernada promosi, mulai dari aneka obyek wisata, hotel, rental kendaraan, hingga info wisata kuliner dan tempat oleh-oleh khas Bukittinggi. Walaupun sebelumnya sudah saya ketahui dari internet, tapi informasi beliau menjadi pelengkap informasi yang sudah saya miliki. Yang membuat saya terkejut adalah harga sewa kendaraan, ternyata saya menyewa kendaraan dengan harga yang kelewat mahal. Selisih 100.000 dari harga normal. Owh. Grrr…… Ingin rasanya protes pada pemilik rental kendaraan yang saya sewa.
Sebelum saya
mengusaikan makan lontong sayur pakis, seorang pria asal Bandung datang dengan sepedanya. Ibu penjual
lontong dan ibu berpakaian dinas nampak mengenalnya. Mereka terlibat
pembicaraan seputar dagangan sepatu produksi Cibaduyut. Selembar brosur
bergambar aneka sepatu, jadi rebutan. Ibu-ibu penggemar belanja. Yeah..! Saya memilih
lekas membayar lontong, dan mengambil dua cup air mineral kemasan. Bermaksud
membalas jasa, saya mentraktir si ibu berpakaian dinas. Eh ditolak. Saya memaksa.
Akhirnya beliau bersedia dan sebagai ganti sudah ditraktir, si ibu bersedia
mengantarkan saya ke Benteng Fort De Kock. Lho, ga habis-habis dong nanti kalau
berbalas kebaikan terus. Sebelum meninggalkan warung, saya menyempatkan berfoto
bersama mereka. Dan semua bersedia. Lumayan, ada bukti cerita.
Diantar ke Benteng Fort De Kock
Saya dan ibu
berpakaian dinas berjalan bersisian di trotoar, sembari ngobrol. Beliau
menanyakan saya dalam rangka apa ke Bukittinggi. Saya jawab, dalam rangka
jalan-jalan sambil kerja (rada ngasal hihi). Kami melewati hotel berbintang sekelas Novotel Hill, yaitu
Hotel Rocky. Sekitar 50m dari hotel Rocky, Benteng Fort De Kock mulai terlihat.
Si ibu mengantar saya hanya sampai di pertigaan jalan. Saya mengucap terima
kasih padanya. Untuk kenang-kenangan, saya memotretnya. Lho, mestinya diberi souvenir Jakarte dong. Ga ada, ga bawa tau :p
Inginnya sih berfoto berdua, tapi tak ada siapapun saat itu. Eh tiba-tiba dari rumah kosong di pertigaan itu, muncul seorang pria sedang bersih-bersih sampah. Saya mau minta tolong dia, eh tapi tangannya sedang kotor banget :D Ga jadi deh. Bukan jijik, tapi kayaknya sedang ga memungkinkan kalo dia mesti memegang kamera dengan tangan berlumur kotoran gitu. Ya sudah akhirnya aku moto sendiri (moto si ibu tanpa saya). Usai berfoto, kami saling berpamitan. Saya menyalaminya sambil menanyakan namanya, ternyata beliau bernama Si'ir. Dan di sini, saya abadikan gambarnya.
Inginnya sih berfoto berdua, tapi tak ada siapapun saat itu. Eh tiba-tiba dari rumah kosong di pertigaan itu, muncul seorang pria sedang bersih-bersih sampah. Saya mau minta tolong dia, eh tapi tangannya sedang kotor banget :D Ga jadi deh. Bukan jijik, tapi kayaknya sedang ga memungkinkan kalo dia mesti memegang kamera dengan tangan berlumur kotoran gitu. Ya sudah akhirnya aku moto sendiri (moto si ibu tanpa saya). Usai berfoto, kami saling berpamitan. Saya menyalaminya sambil menanyakan namanya, ternyata beliau bernama Si'ir. Dan di sini, saya abadikan gambarnya.
Ibu Si'ir balik badan, kembali ke kantornya. Saya memandanginya dan melambaikan tangan pada wanita baik hati itu. Lalu saya pun memutar badan, berjalan ke arah Benteng Fort De Kock yang berjarak sekitar 15 meter dari tempat saya berpisah dengan bu Si'ir. Di sebelah kiri, di seberang jalan, ada hotel di lereng bukit, namanya Hotel
Campago. Ini adalah hotel yang tidak jadi saya tempati. Jadi begini,
sebelum tiba di Sumbar, saya telah mengecek beberapa hotel di Bukittinggi dan
salah satunya hotel Campago. Menurut keterangan, hotel ini berbintang tiga dan
terbilang kecil dibanding hotel yang saya tempati. Sebenernya bukan soal kecilnya tapi tempat meetingnya kan di Novotel Hills, jadi cukup jauh kalo nginepnya di Campago. Lokasi Hotel Campago ternyata strategis. Letaknya di lereng, dekat Benteng, dan memiliki view
yang cukup indah. Panorama bukit dan gunung dikejauhan, juga kota Bukittingi tampak atas.
Hotel Campago
Saya meneruskan langkah. Bersiap memasuki 3 obyek wisata sekaligus.
Ceritanya saya lanjutkan pada tulisan berikutnya : Benteng Fort De Kock, Di atas Jembatan Limpapeh, dan Taman Marga Satwa Kinantan
=======
Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012
Share this
Give us your opinion