Uluwatu merupakan tempat wisata yang menawan yang terletak di ujung selatan pulau Bali yang mengarah ke samudra Hindia. Tepatnya di Desa Pecatu Kecamatan Kuta sekitar 20 km dari Sanur ke arah Selatan. Hari itu saya memilih berangkat siang dari hotel yang terletak di Nusa Dua, dan setelah dari Uluwatu saya berharap di petang harinya dapat menikmati matahari tenggelam di Tanah Lot.
Dalam perjalanan menuju Uluwatu kami singgah ke Pujamandala, yaitu sebuah lokasi di tepi jalan raya yang mana terdapat lima bangunan rumah ibadah berdiri saling berdampingan. Kata pak Arya, driver sekaligus guide tour, Pujamandala adalah simbol kerukunan umat beragama masyarakat Bali. Terdapat Mesjid Ibnu Batutah, Gereja Khatolik, Pagoda umat Budha, Gereja Protestan, dan Pura umat Hindu. Semua rumah ibadah dibangun sesuai dengan karakter agama masing-masing. Kokoh, cantik, rapi, bersih dan semuanya bisa digunakan untuk beribadah. Siang itu nampak area parkir dipadati oleh bis-bis wisata dan mobil-mobil combi travel, juga kendaraan pribadi.
Setelah menempuh perjalanan kurang dari 40menit dari Nusa Dua akhirnya kami tiba di Uluwatu. Area parkirnya luas. Di tempat ini tersedia warung aneka makanan dan minuman, toko pakaian dan souvenir khas Bali. Di antara pohon-pohon yang daunnya sedang berguguran, 3-4 ekor kera berloncatan seakan ikut menyambut kedatangan kami. *Jyaaah...disambut kera
Siang itu kendaraan belum padat. Biasanya akan sangat ramai pada sore hari menjelang matahari terbenam. Hal ini dikarenakan banyak pengunjung yang datang untuk menyaksikan Tari Kecak (Apen Dans) atau tarian kera dan Fire dance yang di pertunjukan pada pukul 6 sampai 7 petang.
Pak Arya, adalah pria seusia almarhum ayah saya yang punya segudang pengalaman dalam membawa pengunjung selama berwisata di Bali. Berkat beliau pula kami tahu dimana letak mesjid dan restoran/kafe yang menyajikan masakan halal. Termasuk siang itu, ada satu tempat yang beliau tahu sebagai warung makan yang aman untuk kami. Namanya warung Jawa. Penjualnya muslim. Di warung ini saya memesan pecel ayam. Menikmatinya dengan lahap, sembari cengar cengir melihat warung sebelah yang bertuliskan “Babi Guling” lengkap dengan gambar babi merah yang sedang ditusuk-tusuk :D
Seusai melepaskan lapar dan dahaga, kami beranjak menuju kawasan Pantai dimana didalamnya terdapat Pura Uluwatu. Berhubung ada rumah ibadah, sebagai tempat suci umat Hindu, maka itu diwajibkan mengenakan sarung dan selendang, dimana sarung berfungsi untuk menutupi bagian bawah yaitu bagian tidak suci dan selendang sebagai pembatas antara bagian suci dan tidak suci. Kebanyakan turis asing yang hanya bercelana pendek yang mengenakan sarung. Saya tidak pakai sarung karena sudah mengenakan baju panjang. Hanya selendang saja yang dililitkan di pinggang. Seperti di Pura lainnya, sarung cerah ceria yang disediakan berwarna merah, hijau dan ungu. Sedang selendangnya berwarna kuning. Satu lagi, untuk wanita yang sedang haid / menstruasi tidak bisa masuk kedalam pura karena dianggap kotor. Hmm..jadi teringat dengan aturan masuk mesjid.
Di pintu masuk ada penjual kacang untuk makanan kera. Jika berminat memberi makan kera-kera, belilah kacang-kacang yang dijajakan itu. Saya sih ga beli, jadi memilih langsung jalan. Jalanannya menurun. Seperti di lereng saja rasanya. Pohon-pohon berjejer disepanjang kiri dan kanan jalan yang membuat jalan setapak tersebut mirip lorong. Pohon-pohonnya terlihat unik karena setengah gundul, alias sedang gugur. Berasa di Eropa kalau di lihat. Dan yang pasti, banyak kera di pohon-pohon itu.
Tujuan pertama saya adalah ke tempat pementasan Tari Kecak. Tempatnya berada tepat di bibir tebing yang menghadap pantai. Bangku-bangku penonton berjejer melingkari pelataran pementasan. Saya menjejakan kaki ditengah-tengah, sejenak berdiri sembari membayangkan para penonton yang terkesima sambil memperdengarkan gemuruh tepuk tangan dari bangku yang tertata.
Terbayang pula hentak kaki para penari menarikan tarian yang diciptakan oleh Wayan Limbak dan pelukis Walter Spies (Jerman) itu. Sebuah tarian yang yang diciptakan berdasarkan kisah Ramayana dan tradisi Sanghyang yaitu tradisi tarian yang penarinya berada dalam kondisi tidak sadar. Tari Kecak tak diiringi musik dan pada irama tertentu menyerukan kata “cak” sembari mengangkat tangan para penari yang duduk melingkar. Selain para penari itu, terdapat pula penari yang memerankan tokoh Ramayana yaitu Rama, Sita, Hanoman, Laksamana dan Rahwana. Seperti yang kita ketahui bahwa cerita Ramayana merupakan kisah percintaan mirip dengan Romeo dan Juliet.
Pura di ujung tebing yang kupandang dari tempat menari, terlihat kecil dan seakan hendak jatuh. Begitu pinggir letaknya. Perlu tenaga ekstra untuk mencapainya, yaitu menaiki tangga nan tinggi. Para kera dimana-mana, berloncatan kesana kemari. Jinak-jinak merpati. Merenggut apa yang dia mau. Meng-isengi pengunjung dengan gerak cepatnya yang tak terduga. Jika lengah, maka hilanglah barang yang kita pakai. Tak kembali kecuali minta bantuan pada penjual kacang yang ada di pintu masuk. Sebab dengan kacang-kacang itu pula kera-kera itu mau kembali. Kera-kera itu semakin dikejar semakin cepat larinya. Dan saya terpingkal-pingkal ketika seorang pemuda asing terkaget-kaget ketika kacamatanya raib disambar sang kera yang bergegas kabur ke atas pohon.
Jadi, hati–hati dengan barang berharga semacam perhiasan anting. Barang yang tidak perlu tidak usah dibawa, atau tinggalkan saja dalam mobil. Jaga jarak sebisa mungkin. Teman-teman saya sudah menyelamatkan barangnya sejak awal. Melepas kaca mata, melepas anting, dan mengikat tali kamera dengan kencang ke tangan. Dan saya membuktikan sendiri ketika melihat barang curian si kera berupa anting terjatuh dekat kaki saya. Entah punya siapa. Saya membiarkannya tergeletak di tanah.
Guna keamanan dan keselamatan pengunjung bibir tebing dipagari sepanjang bibir tebing. Panjang. Sekilas mengingatkan saya pada tembok cina. Kita bisa berjalan-jalan disisinya sembari melihat ombak, pantai, dan tebing yang curam. Tak ingin pergi rasanya. Ingin selalu berada disana, memandang tiap milimeter ciptaan Tuhan yang begitu mempesona. Indahnya, serupa puisi pujangga dari negeri antah berantah. Melenakan.
Pura yang berdiri kokoh di atas batu karang yang menjorok ke arah laut dengan ketinggian sekitar 80 meter adalah daya tarik yang luar biasa. Meskipun saat itu terlarang untuk dimasuki, setidaknya masih bisa berfoto di bagian depannya. Di sisi kanan Pura ada ruang terbuka, didalamnya ada beberapa orang yang berpakaian seperti Pecalang. Juga ada wanita Bali berbaju tradisional. Di antara mereka, kera-kera bermain dengan manisnya. Begitu akrab. Sementara, bau kemenyan tercium dimana-mana.
Dari pak Arya saya mengetahui sedikit tentang sejarah Pura Uluwatu yang ternyata begitu sarat akan makna dan nilai sejarah. Pura Luwur Uluwatu merupakan salah satu dari 6 Pura Sad Kahyangan di Bali. Sad artina enam, Sad Kahyangan adalah 6 pura yg merupakan sendi - sendi pulau Bali. Uluwatu berasal dari kata Ulu yang artinya ujung atau kepala dan watu artinya batu atau karang. Dalam kepercayaan Hindu, disebutkan: Utpatti Bhagawan Brahma, stithi Wisnuh tathewaca. Pralina Bhagawan Rudrah,trayastre lokya sranah (Buana Kosa. 25) Yang artinya: Tuhan sebagai Dewa Brahma sebagai pencipta Utpati, sebagai Dewa Wisnu menjadi pemelihara atau Stithi dan sebagai Dewa Rudra sebagai pemralina. Tuhan dalam wujud tiga Dewa itulah pelindung bumi.
Dalam banyak artikel tentang Pura Luhur Uluwatu yang saya baca, Pura yang berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung disebutkan bahwa Pura Luhur Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi ini. Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang.
Pembangunan Pura Uluwatu diawali oleh Mpu Kunturan pada abad ke 11. Pada abad ke 16 Danghyang Nirartha melakukan kunjungan–kunjungan ketempat suci, setiba di Uluwatu beliau mendapatkan bisikan jiwa bahwa tempat itu baik untuk memuja Tuhan. Berdasarkan pertimbangan tersebut Danghyang Nirartha memperluas pambangunan Pura Uluwatu dan memlilih tempat tersebut untuk Ngaluwur “kembali ke asal (moksa)”. Kunjungan kedua beliau melepas moksa di Uluwatu dan disaksikan oleh nelayan bernama Ki Pasek Nambangan, beliau bagaikan kilat berupa cahaya masuk ke angkasa.
Disebelah timur pura terdapat alas kekeran (hutan larangan) yang dihuni banyak kera. Dan itulah kera-kera yang saya lihat hari itu. Setiap pura pasti memiliki candi bentar (gapura) yang bila disatukan akan berbentuk seperti gunung, namun candi bentar Uluwatu memiliki sayap. Candi bentar bersayap sangat jarang ditemukan, ini merupakan kombinasi Bali dan Jawa (desa Sendangduwur, Lamongan).
Menurut cerita pak Arya, sejak dibangun Pura Uluwatu telah mengalami beberapa kali pemugaran. Bahkan katanya pura ini sempat terbakar akibat sambaran petir di tahun 1999. Sungguh tak cukup baik otak saya menghafal sejarah Pura Uluwatu yang panjang itu, tapi yang jelas semuanya dibangun atas nama kisah dan kepercayaan umat Hindu di Bali.
Ombak di sepanjang kawasan pantai Uluwatu cukup besar. Tentunya sangat menantang bagi pencinta olahraga surfing. Karena itulah di tempat ini setiap tahunnya kerap diselenggarakan event berlevel internasional.
Hembusan angin laut menerpa wajah saya kala menikmati keindahan samudra yang ombaknya senantiasa membentur tebing, mengeluarkan asap putih, bagaikan asap tungku pemujaan. Entah kenapa mata saya mendadak berembun di siang yang terik itu. Seakan ada sesuatu yang tak mampu terlukiskan dengan kata-kata, membuat saya tertegun, termangu dalam ketakjuban. Atau sesuatu? Entahlah..
Rasanya, seakan tak ingin berhenti berkeliling menelusuri tepi tebing sembari memandang samudra nan luas. Memang ada kengerian yang tinggi setiap kali memandang ke bawah, jantung saya berdegup. Ada desir yang seolah datang dari angin laut yang meniupkan aroma kematian. Astagfirullah. Kalau sampai jatuh ke bawah, alamat dijemput maut dalam sekejab. Hiiii.........
Sebelum meninggalkan tempat itu, saya kembali memandang debur ombak yang membawa buih putih ke tepian. Seakan mengucapkan sayonara, dan berjanji untuk kembali. Lalu, suara benturannya di batu karang terdengar menggetarkan sanubari, seakan menjawab salam perpisahan saya. Langit biru diujung pandangan, membingkai Uluwatu dengan pesona yang tak mudah terlupakan. Indah nian.....