Selama ini jika ditanya hal apa yang paling diingat tentang Padang, jawaban yang paling cepat keluar dari mulut saya adalah Jam Gadang. Padahal sebenarnya menara jam itu tidak terletak di Padang, melainkan di Bukit Tinggi, sebuah kota berhawa sejuk yang berjarak tempuh sekitar 4 jam atau sekitar 116km (Bandara-Padang= 25km, Padang-Bukittinggi =91km) dari Bandara International Minangkabau (BIM). Walau saya mencatat sendiri waktu perjalanannya tapi saya tidak mencatat jumlah kilometer perjalanan yang saya tempuh. Jadi saya mencari tahu lewat beberapa sumber, salah satunya dari SINI.
Jam Gadang dalam bahasa Minangkabau berarti Jam Besar. Menara jam ini merupakan penanda pusat kota Bukittinggi. Menurut Wikipedia, Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk klenteng. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Keunikan dari Jam Gadang sendiri adalah pada kesalahan penulisan angka Romawi empat (IV) pada masing-masing jam yang tertulis "IIII". Kesahalan penulisan tersebut juga sering terjadi di belahan dunia, seperti angka 9 yang ditulis "VIIII" (seharusnya IX) ataupun angka 28 yang ditulis "XXIIX" (seharusnya XXVIII).
---ooo000ooo---
Selasa pagi, 04 Sept 2012, saya berjalan kaki dari Novotel Hill menuju Jam Gadang yang hanya berjarak sekitar 50 meter. Sangat dekat. Di samping N.Hills terdapat gedung serba guna yang disebut Balai Bung Hatta. Di sebelahnya, sebuah bangunan klasik berpenjaga dengan patung seorang tokoh proklamator, adalah Istana Bung Hatta. Nah, Jam Gadang berada di seberang istana tersebut (depan). Di sebelah kiri istana terdapat pusat perbelanjaan Ramayana, sedang di bagian depan Jam Gadang adalah pasar Ateh (pasar Atas). Di sisi kanan, ke arah bawah, adalah Pasar Bawah.
Pagi itu, cuaca nampak mendung. Langit memang tidak kehitaman tetapi putih buram pucat. Saya masih mengira itu adalah akibat asap (dari kebakaran hutan di Riau dan Jambi), bukan kabut berembun sebagaimana biasa terdapat di daerah pegunungan dan perbukitan. Pukul 9 pagi, ternyata taman di sekitar Jam Gadang masih sepi. Hanya beberapa pemuda dengan kamera DSLR di tangan mereka, sibuk mengambil gambar. Ramayana belum buka. Pasar Ateh telah buka tapi belum terlalu ramai.
Lokasi Jam Gadang ini berada di ketinggian, maka itu memungkinkan saya memandang kota Bukittinggi hingga jauh. Gunung Merapi yang berada di kejauhan, nampak membiru di latar belakang. Benar-benar sebuah pusat kota yang indah. Kendaraan tradisional berupa delman, berjejer rapi di depan Jam Gadang. Dengan tarif 30-50ribu, pak kusir siap membawa wisatawan yang ingin berkeliling sekitar kota Bukittinggi. Seperti yang ditawarkan kepada saya, rutenya adalah: Kampung Cina, Jembatan Limpapeh, Lubang Jepang, Taman Panorama, Kebun Binatang, dan Benteng Fort De Cort. Saya tak berdelman ria, melainkan berjalan kaki menyusuri rute yang dimaksud. Lebih seru, dan sukses bikin kaki imut saya pegal bukan kepalang!
Saya mengambil gambar dalam 3 waktu. Pertama pagi hari (Selasa 4/9), kedua siang hari (Selasa 4/9), dan ketiga pagi hari (Rabu 5/9). Berikut sajian foto dari kamera sederhana saya:
Share this
Give us your opinion