Siang sudah berada di puncaknya saat kami mulai memasuki kabupaten Agam. Sebelum perjalanan dilanjutkan, saya singgah ke sebuah rumah makan. Mengisi perut. Menambah tenaga. Juga, menumpang tempat untuk berwudhu dan salat Dzuhur. Adzan di ponsel saya berselang sekitar 15 menit lebih dulu ketimbang adzan waktu setempat.
Menu Padang di rumah makan Padang, berlokasi di Padang. Oh, bukan tepat di kota Padangnya. Tapi, setidaknya masih di propinsi yang sama. Makan bertiga, dengan ikan-ikan dan daging rendang, hanya habis 44ribu. Wow! Murah amat. Saya tadinya menaksir sekitar 100ribu, dengan acuan harga di rumah makan Padang Sederhana yang ada di Jakarta. Ternyata jauh beda, lebih murah.
Dengan tenaga baru dan semangat baru, perjalanan berlanjut. Tujuan berikutnya adalah Danau Maninjau. Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam. Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas Maninjau sekitar 99,5 km˛ dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter.
Cekungan danau Maninjau terbentuk karena letusan Gunung yang bernama Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding. Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan. Nah, saya tak mendapat penjelasannya nih mengenai kisah tersebut.
Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 KM mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau.
Takjub banget liat danaunya. Lebar dan panjang. Sayang pemandangan dari ujung ke ujung danau tak dapat terlihat jelas karena tertutup oleh asap. Asap yang saya kira kabut (berembun). Asap kiriman dari Riau dan Jambi akibat kebakaran hutan yang selalu saja terjadi saban tahun, terutama di musim kemarau.
Jalan raya yang saya lalui berada tepat di tepi danau. Jadi saya tak perlu turun dair kendaraan untuk sekedar menikmati pemandangan danau berair jernih itu. Pun, tidak ada tempat duduk-duduk yang nyaman untuk saya singgahi. Di awal tiba di danau, pemandangan penangkaran ikan terlihat dimana-mana. Baru agak ke tengah dan ke ujungnya, penangkaran ikan itu mulai berkurang.
Kelok 44 atau ampek puluh ampek kelok yang acapkali saya dengar dari teman-teman yang mudik atau sedang berada disana, kini berada di depan mata. Tak cuma itu, saya pun melaluinya dengan deg-degan. Maklum, kelokan yang tajam, di jalan yang mendaki itu, cukup bikin saya ngeri. Bagusnya, jalanan sepi, intensitas kendaraan yang melewati jalanan tersebut tak ramai. Hanya 1 atau 2 kendaraan dalam 5 - 10 menit laju kendaraan.
Meski deg-degan, perasaan senang lebih mendominasi. Tak lain dan tak bukan karena panorama yang tersaji dari ketinggian bukit itu sungguh luar biasa. Hutan alami subur dan hijau, padi-padi menguning, danau besar beratap asap (kalo awan pasti lebih keren), juga rasa yang melayang ketika berdiri di ketinggian yang memungkinkan mata bisa melahap pemandangan alam hingga jauh. Keren!
Pinginnya sih tiap kelokan saya moto signboard yang bertuliskan angka 1 sampe 44 itu. Tapi, karena moto sambil mobil melaju, ya agak susah. Beruntungnya, di kelokan terakhir, kelok 44, saya sukses mengabadikannya hehe. Norak sih, tapi ya namanya buat bukti diri, sah-sah saja rasanya.
Ternyata, usai melewati Kelok 44, bukan berarti jalan berkelok tamat sebab masih banyak kelokan-kelokan lainnya. Kata drivernya sih masih ada puluhan kelok lagi. Hanya saja, bukan seperti kelok 44 ang menanjak (atau menurun) tadi. Selanjutnya kami melewati kawasan Puncak Lawang yang katanya telah dikembangkan sebagai lokasi Take Off Olah Raga Dirgantara Paralayang (Paragliding). Lokasi mendaratnya di Bayur, tepian Danau Maninjau. Wuaw...tentunya sebuah pengalaman yang luar biasa sekali bisa menikmati keindahan Danau Maninjau dari udara ya.
Menurut driver (juga hasil ngecek di google), Puncak lawang merupakan salah satu tempat terbaik untuk olahraga paragliding di asia tenggara, terletak di ketinggian 900 mdpl. Kapan-kapan pingin juga nyoba melayang di udara dengan Terbang Tandem mengunakan Paralayang hehe....eh tapi tentunya terbang bersama penerbang-penerbang yang handal dan terlatih :) Eh katanya penerbang lokal handal2 dan terlatih lho...
Berikut sajian foto yang ala kadarnya dari saya:
Share this
Give us your opinion