Hujan Deras Di Danau Cileunca Pengalengan
Hujan deras mengguyur Pengalengan
sedari pagi. Niat hati ingin menjelajah alam Pengalengan dengan berjalan kaki
jadi urung, terhapus oleh derai hujan yang tak jua reda. Mantel, payung, dan boot
mungkin bisa melindungi diri dari kucuran air langit namun aktifitas
mengasyikan yang kuimpikan di danau Cileunca tentu akan sulit kudapatkan.
Nopember, ah benar-benar November rain.
Berdiam diri di hotel berselimut
tebal sembari menghirup hangat teh Walini hasil dari perkebunan teh Malabar,
atau melotot menatap TV menyaksikan berita yang menyajikan kabar Palestina yang
digempur habis-habisan oleh tentara Is**el yang tak berperikemanusiaan, sungguh
bukanlah mauku hari ini. Apa yang kemudian kulakukan, adalah tetap memaksa diri
keluar, berpetualang di tengah deras hujan.
Yeah, bagiku keinginan untuk berwisata dan menyatu dengan alam laksana menemui kekasih, penuh syahdu, kecintaan dan perasaan damai. Lalu, taraaaaaaaaaaaa! Hujan reda. Kok bisa? Entahlah, cuaca sungguh tak menentu. Sesaat hujan, sesaat kemudian reda, lalu hujan lagi, reda lagi. Bagai permainan alam. Lantas aku bagaimana? Pergi ke Situ Cileunca.
Yeah, bagiku keinginan untuk berwisata dan menyatu dengan alam laksana menemui kekasih, penuh syahdu, kecintaan dan perasaan damai. Lalu, taraaaaaaaaaaaa! Hujan reda. Kok bisa? Entahlah, cuaca sungguh tak menentu. Sesaat hujan, sesaat kemudian reda, lalu hujan lagi, reda lagi. Bagai permainan alam. Lantas aku bagaimana? Pergi ke Situ Cileunca.
Situ Cileunca atau Danau Cileunca
adalah sebuah danau yang ada di daerah Pangalengan. Danau ini merupakan danau
buatan yang luasnya 1.400 Hektar dengan dikelilingi bukit-bukit dan background pegunungan yang indah. Selain
berfungsi sebagai objek wisata yang menarik, situ Cileunca juga berfungsi
sebagai sumber air bagi pembangkit tenaga listrik. Air dari danau dialirkan
melalui sungai Palayangan, yang juga sering digunakan sebagai arena ber-arung
jeram (rafting). Rafting? Sesuatu yang amat menantang! Owh..urat syaraf
berpetualangku menegang secara mengejutkan. Hey…ingat, alam raya sedang diguyur
hujan, dan anakmu akan dibiarkan menonton ibunya berarung jeram sendirian. Oh
no! Kepalaku menggeleng keras.
Bagaimana menuju Danau Cileunca?
Danau Cileunca terletak di Pengalengan. Jika datang dari arah Bandung, maka ketika
berada di pertigaan depan kantor kecamatan Pengalengan yang ada bundarannya, belok ke
kanan. Kalau belok kiri menuju Hotel Puri, jaraknya sekitar 100m. Pada 19 Nopember itu aku masih menginap di Resort Citere 1 yang berjarak sekitar
3km dari bundaran. Sedangkan jarak dari bundaran ke Danau Cileunca sekitar
3km.
Panorama indah yang tak terfoto
Hujan kembali datang ketika perjalanan 1km terlalui. Wujudnya berupa gerimis besar-besar. Kemudian terhenti di penghujung 2km. Akankah tetap tanpa hujan hingga mencapai danau? Oh ternyata tidak. Hujan justru kembali turun, bahkan sangat lebat. Curahnya mengurangi jarak pandangku pada panorama alam sepanjang perjalanan. View
bukit dan pegunungan yang semestinya indah, buram terlihat dibalik kaca jendela mobil
yang kami kendarai. Satu dua kali terlihat jelas, selebihnya hanya samar-samar
tanpa kejelasan rupa. Tapi batinku memastikan bahwa apa yang tersaji diluar sungguh
amat indah.
Lantas, kapan hujan reda?
Jangankan reda, sebab hingga kami menjumpai wujud danau itu hujan justru kian
tercurah deras dari langit. Aku memegang erat camdig dengan kedua tangan,
sembari mata tertuju pada sosok danau yang selalu saja membuatku bagai tersihir
oleh kumpulan airnya yang mengartikan banyak hal. Mata ini jeli mencari lokasi yang
tepat untuk memotret, namun apa guna lokasi strategis jika hujan menghalangi
pandangan. Aku membisu, namun berucap banyak kata dalam hati, semoga sekelebat
gambar bisa kudapatkan.
Satu dan dua kesempatan teraih
kala jendela mobil diturunkan. Air seakan berebut masuk dari jendela yang
terbuka, aku tak hirau akan ulah hujan pada baju dan bangkuku yang mulai terasa
basah. Bergegas beraksi dengan camdig jadulku. Dan klik! Dua perahu yang sedang
melaju di tengah danau tertangkap olehku. Puas? Tentu saja belum!
Tiba di danau
Kami menemukan pintu masuk menuju
area Danau Cileunca setelah 500meter sejak pertama kali melihat keberadaan
danau ini. Selembar tiket seharga Rp 4000 kubayar pada pria berjaket dan
bertopi yang berbasah ria menghampiri
kendaraan kami. Lewat jendela mobil yang terbuka dia menghitung jumlah orang,
lalu menyebut sejumlah angka. Aku berteriak berusaha mengalahkan suara hujan,
juga petir, menanyakan apakah di dalam ada tempat makan? Katanya ada. Lalu pria
itu mengikuti kami yang bergerak mencari tempat parkir. Lho, kami mau parkir
trus turun dan main perahu di danau gitu? Oh tentu saja tidak, hujan masih
mengguyur bumi dengan derasnya. Keraguan untuk turun terasa menggunung
ketimbang keinginan untuk berpesta keindahan alam di danau Cileunca.
Ada apa di
Danau Cileunca?
Lewat pandang mataku, inilah yang
bisa kuceritakan tentang danau Cileunca.
Area parkirnya cukup luas.
Mungkin cukup untuk menampung puluhan mobil.
Ada banyak warung makanan dan minuman ringan.
Ada juga warung
makan dengan menu khas sunda. Hanya warung kecil, bukan semacam Rumah Makan
sekelas restoran.
Ada taman bermain anak dengan harga tiket Rp
2000/orang. Mainannya sama kayak di sekolah taman bermain, ada perosotan,
ayunan, gantungan, bebek2an.
Di tepian, terlihat bersandar
perahu-perahu untuk disewakan seharga Rp 10.000/orang . Bisa buat keliling danau.
Jika ramai-ramai harga tersebut bisa ditawar.
Di seberang danau, terlihat
hamparan rumput hijau. Ada
kebun strawberry yang buahnya bisa dipetik oleh pengunjung. Tapi mesti bayar.
Harganya Rp 5000/orang.
Menurut keterangan pria petugas
karcis tadi, di danau ini untuk
pengunjung yang datang dengan rombongan biasanya melakukan kegiatan seperti:
Flying fox Rp 5000/orang
Arung jeram Rp. 150.000 / orang.
Jet Ski
Rp. 150.000 / orang
Yang tak ada dan tak bisa
Pria petugas tiket masih
mengikuti kami, dengan baik hatinya dia menunjukkan sebuah tempat parkir yang
berada dekat dengan tempat makan. Sebuah warung sederhana bertuliskan warung
makan khas Sunda terlihat kuyu dibawah deras hujan. Oh, entah kenapa, rasa
laparku mendadak hilang. Keenggananku (juga yang lain) untuk turun menerjang
hujan sederas ini, membuat kami akhirnya menolak untuk keluar dari mobil. Pria
itu sepertinya menunggu, ia masih berdiri di warung itu. Kami mencoba pindah
tempat, mendekati tepi danau. Namun tak bisa melakukan apa-apa. Hujan ini
benar-benar menghalangi banyak keinginan.
Kami terdiam menunggu, barangkali
hujan mendadak berhenti. Lalu kami bisa berperahu, bahkan menyeberang menuju
kebun strawberry. Aiiih…seperti mimpi saja rasanya. Hujan benar-benar tak bisa
diajak kompromi. Dengan rasa kecewa kami memilih meninggalkan danau. Sebelum
benar-benar keluar dan melewati gerbang, kami mencoba mencari musala. Tak
nampak ada wujudnya, bahkan bayangannya pun tidak. Ah baiklah, pulang saja!
Yeah, tiada aktifitas apapun yang
bisa kami lakukan di Danau Cileunca ini. Esoknya, lusanya, esok sesudah lusa,
sama saja. Hujan tiada henti mengguyur tanah Pengalengan. Kalaupun matahari
leluasa bersinar, hanyalah sejenak, tak sampai 3 atau 4 jam. Sedang di
waktu-waktu tersebut, ada aktifitas lain yang tak bisa ditinggalkan. Sungguh,
berwisata, menjelajah, atau apapun itu sebutannya, di musim hujan bukanlah saat
yang tepat. Ke gunung kena longsoran, ke danau Cuma berdiam diri saja di dalam
mobil. Namun yang pasti, saya tetap mendapati objek-objek wisata dalam
kesimpulan yang cukup, bahwa sangat layak untuk dikunjungi.
Untuk wisata dan untuk kebutuhan warga
Menurut cerita, danau buatan ini
dulunya merupakan areal hutan belantara. Kemudian pada tahun 1918 kawasan ini
dibuat sebuah situ (danau) yang berfungsi sebagai sumber kebutuhan air
masyarakat setempat. Kedalaman danau
Cileunca mencapai 17 meter . Memiliki warna air yang bening, yang menjadikannya
sungguh sedap dipandang mata.
Danau Cileunca tak sekedar
sebagai objek wisata yang menarik tapi juga berfungsi sebagai pembangkit
listrik tenaga air (PLTA). Air yang berasal dari danau tersebut dialirkan
melalui Sungai Palayangan. Sungai Palayangan memiliki beberapa bagian yang
menantang, karena itulah sering dijadikan sebagai arena arung jeram (rafting). Bagi
pengunjung yang ingin camping, danau ini bisa menjadi pilihan yang
tepat karena pengelola objek wisata ini memang menyediakan arena camping
round.
Ke Danau Cileunca aku datang,
hanya sekejab datang lalu pulang. Kecewa? Memang. Maka itu, jadi pelajaran agar
selanjutnya dapat memilih waktu yang tepat. Tentunya disaat musim hujan sedang
tak datang agar aktifitas yang bisa dilakukan di danau bisa tercapai.
Pengalengan adalah kawasan pegunungan dengan curah hujan yang lebat. Berhati-hati
bila berkendara, jalanan dengan jurang ditepian sungguh patut diwaspadai.
Alam terkembang jadi guru.
Terakhir, berhubung gambar hasil jepretanku di atas tak dapat menampilkan keindahan apapun, maka perkenankan aku meminjam foto dari SUMBER INI (klik), agar nampak keindahan rupa Danau Cileunca lewat kamera profesional orang lain.
Selamat menikmati
Terakhir, berhubung gambar hasil jepretanku di atas tak dapat menampilkan keindahan apapun, maka perkenankan aku meminjam foto dari SUMBER INI (klik), agar nampak keindahan rupa Danau Cileunca lewat kamera profesional orang lain.
Selamat menikmati
Sumber 6 (enam) foto terakhir dari "Panduan Wisata Bandung"
Ngebolang ke Cibolang Hot Spring Water
Cibolang Hot Spring merajai
jadwal yang dibuat untuk Jumat tgl 23 Nopember 2012. Tiada agenda lain selain
menyambangi objek wisata yang terletak di rimba hutan Gunung Wayang Windu itu. Bagiku, ke Cibolang seakan menjadi puncak perjalanan selama berada di Pengalengan sejak 5 hari sebelumnya.
Pagi hari yang riuh di Hotel
Puri, tempat kami menginap, semua bersemangat. Bergegas mandi walau hawa dingin
sekitar 20deg terasa menyergap dari segala arah. Juga bergegas menyantap sarapan
yang diantarkan ke kamar sejak pukul 6 pagi, berharap tak lekas dingin sehingga
mengurangi selera makan di pagi yang begitu cepat menyerap panas dan segala
kehangatan.
Lalu, jreeeeeng!!! Bumi nampak
begitu terang dan hangat ketika matahari muncul dengan pancaran sinarnya yang
tak berpenghalang. Semua bersyukur, terang benderang membuat semua senang.
Semoga tiada hujan apalagi badai. Maklum, seperti hari-hari kemarin, mendung
dan hujan begitu rutin mengisi hari. Tak bisa kemana-mana jika cuaca sudah seperti
itu. Tinggal di Pengalengan jadi terasa membosankan. Tapi semoga hari ini,
cuaca bersahabat dengan kami, juga kepada seluruh penghuni bumi termasuk
kawasan Soreang Bandung yang masih
dilanda longsor dan banjir. Semoga bencana alam lekas berakhir. Amin.
Perkebunan Teh
Malabar
Menurut
informasi yang kudapat dari pihak Hotel Puri, jarak yang akan ditempuh dari
Pengalengan (tempat hotel kami berada) menuju Pemandian Air Panas Cibolang
sekitar 15km. Cukup dekat. Kami memulai perjalanan sekitar pukul 9. Diperkirakan akan
memakan waktu sekitar 40menit dengan laju normal. Itu lama! Oh, tentu. Ini perjalanan menanjak, juga sesekali menurun ketika melewati
desa-desa di lembah Wayang. Hotel Citere 1 (resort) yang kami inapi selama 3
hari sebelumnya berjarak sekitar 2km dari Hotel Puri. Kami melewati hotel
tersebut, hotel yang ownernya juga adalah owner hotel Puri yang kami inapi.
Perkebunan Teh Malabar dengan Gunung Wayang di latar belakang.
Setelah 10km
pertama, sekitar pukul 9.27 kami mulai
memasuki kawasan Perkebunan Teh Malabar. Sebuah lapangan bola di sisi kiri
jalan dengan bangku-bangku penonton yang berkapasitas kecil, menarik perhatianku.
Sekumpulan anak laki-laki berkostum olahraga nampak mempermainkan bola. Dua
pria dewasa berdiri di pinggir lapangan. Sepertinya mereka adalah murid dan
guru dari sekolah yang bangunannya terletak di belakang lapangan tersebut.
Sekolah milik PTP Nusantara XIII Pengalengan.
Di stadion mini
itu terdapat sebuah signboard berukuran besar berwarna hijau, tertera tulisan
“Perkebunan Teh Malabar”. Ahay… kami sudah berada di perkebunan teh Malabar
rupanya. Tempat dimana pemandangan indah dan hijau membentang luas
sepanjang mata memandang. Sekitar satu kilometer kemudian, di sisi kiri jalan, terdapat Tea Corner
Malabar, berupa dua bangunan yang terlihat sepi dan jadul. Satu bangunan dalam
keadaan rusak, atapnya ambrol dan tak nampak diperbaiki. Sebuah mobil
terparkir, mungkin pengunjung yang singgah. Tea corner yang tak lagi menarik untuk disinggahi.
Malabar Tea Corner
Bebukitan tak semua bagai permadani hijau, tapi juga ada beberapa lahan yang masih gundul dan baru ditanami dengan pohon teh. Nampak petani laki-laki dan perempuan sedang bekerja. Sebuah papan yang tertancap di pinggir di lokas bertuliskan “Persemaian Teh.”
Geothermal
di Wayang Windu
Gunung Wayang
dan Gunung Windu yang menjadi latar belakang perkebunan teh Malabar, nampak gagah
dengan pesona hutan alamnya yang rupawan. Sebuah pemandangan menarik menjadi
perhatianku sepanjang perjalanan, yakni asap putih yang keluar dari perut bumi,
membubung tinggi memenuhi langit di atas kedua gunung itu. Itulah Geothermal,
energi panas bumi yang dikelola oleh perusahaan Star Energy, yang akan dimanfaatkan
untuk listrik Jawa Bali.
Pipa-pipa
keperakan yang kemudian kujumpai sepanjang perjalanan menuju Cibolang,
terpasang dari lereng ke lereng, diantara kebun kol yang tertata rapi di
tanah-tanah yang subur. Pipa-pipa raksasa itu mengalirkan panas bumi, bak ular
raksasa yang menjalar di gunung perkasa. Pemandangan itu nampak jelas ketika
jalan yang kami lalui berada di ketinggian bukit. Tak hanya itu, ketinggian
bukit juga menampakkan pemandangan pemukiman karyawan perkebunan berupa
atap-atap rumah dengan genteng yang berwarna hampir seragam. Kontras. Paduan
hijau dari hutan alam, perkebunan teh, kabut putih, serta warna-warna segar
dari atap rumah penduduk membuat pagi begitu segar dan cerah.
Sungguh indah pemandangan yang kutemui sepanjang perjalanan menuju pemandian air panas Cibolang ini. Perkebunan teh yang menghijau sejauh mata memandang dan hamparan pegunungan menjadi suguhan pemandangan alam yang maha indah adalah dua khasanah keindahan alam yang mampu membius mata siapapun, termasuk saya.
Sungguh indah pemandangan yang kutemui sepanjang perjalanan menuju pemandian air panas Cibolang ini. Perkebunan teh yang menghijau sejauh mata memandang dan hamparan pegunungan menjadi suguhan pemandangan alam yang maha indah adalah dua khasanah keindahan alam yang mampu membius mata siapapun, termasuk saya.
Pesona Gunung Malabar dan perkebunan teh, dengan udara yang sejuk alami, tak hanya cocok untuk dinikmati oleh pandang mata tetapi juga sangatlah cocok untuk kegiatan olah raga jalan
kaki / tea walk sambil ber-rekreasi. Di tengah-tengah perkebunan bisa dijumpai bermacam-macam bangunan kuno yang masih terawat dengan baik, seperti guest house,
perumahan administratur perkebunan pada masa penjajahan hingga makam
K.A.R. BOSSCHA.
Cibolang Hot
Spring
Sejak memasuki
5km terakhir menuju Cibolang, mata ini terus memperhatikan jalan. Mencari
petunjuk lokasi. Maklum, kalau terlewat lumayan jauh baliknya. Mana jalannya
tak terlalu lebar pula. Susah putar balik ya kan? Dan benar saja, 1km sebelum lokasi,
signboard itu berdiri menjulang di sisi kiri jalan. Tepat disebuah pertigaan yang terdapat sebuah pangkalan
singgah berlantai semen beratap seng. Nampak jelas tulisan : Cibolang Hot
Spring dengan gambar pendukung berupa kolam pemandian. Menurut keterangan,
Cibolang Hot Spring berjarak 900m dari letak signboard tersebut.
Kami lalu belok
kiri dan mendapati jalan sempit yang hanya cukup untuk dilewati satu kendaraan
saja. Jalannya tak beraspal. Hanya berupa jalanan tanah yang agak berbatu.
Jalan kecil ini melewati perumahan karyawan perkebunan, kebun kol, juga semacam
empang yang entah ada ikan peliharaan apa di dalamnya.
200m sebelum
Cibolang Hot Spring, disebelah kanan jalan, terdapat 1 kolam renang bernama
Tirta Camelia. Mulanya kami kira itu pemandian air panasnya tapi karena tak
menemukan kata “Cibolang” kami urung masuk. Padahal sudah mengarah ke
gerbangnya lho hehe. Akhirnya kami lanjut lagi.
Tiket masuk
dan fasilitas
Tepat pukul
10.00 kami tiba di objek wisata Cibolang Hot Spring. Lokasinya berada di sisi
kiri jalan. Gerbangnya terlihat besar dan tinggi. Kami masuk dan membayar tiket
seharga Rp 10.000 perorang. Harga itu sudah termasuk asuransi kecelakaan Rp
500/orang. Sudah termasuk biaya parkir. Tapi tidak termasuk tarif pemakaian
kamar mandi/kamar ganti.
Tempat parkirnya
luas dan terlihat bersih. Ada
banyak warung makan di sekeliling tempat parkir, baik itu warung
makanan/minuman ringan, maupun warung makan yang menjual makanan berat. Ada mushola, MCK, Pos
Jaga, Papan Petunjuk, Shelter (gardu pandang), kamar ganti, kolam pancing,
terapi ikan, tempat duduk, dan tempat sampah.
Untuk pemandian,
terdapat dua kolam besar yang keduanya menggunakan air panas. Hari ini salah
satu kolam yang biasanya digunakan untuk dewasa sedang dikuras dan dibersihkan.
Menurut keterangan kolam air panas ini dikuras dan diganti airnya seminggu
sekali setiap hari Jumat. Hal ini dilakukan karena pengunjung akan menjadi
ramai pada Sabtu dan Minggu dan pada dua hari itu pengunjung bisa mandi dengan
air kolam yang bersih.
Selain kolam kamar
mandi air panas, juga terdapat pancuran pemandian air panas dan kolam/kamar
rendam air panas. Kolam rendam itu berupa kamar-kamar yang bisa digunakan untuk
berendam sendiri/pribadi. Tarifnya Rp 6000. Disekitar kolam tersedia juga kios
penjualan dan penyewaan perlengkapan renang seperti pelampung, kacamata renang,
dan baju renang. Peralatan memancing juga ada disewakan.
Kondisi kolam
renang terlihat baik dan juga berfungsi dengan baik. Hanya saja menurut saya kamar
ganti/kamar mandinya nampak kurang memadai. Selain karena ukurannya sangat kecil, juga karena kamar mandi/kamar ganti itu merangkap toilet (WC). Maka, makin kecil saja ruang mandi itu. Saya pribadi jadi kurang nyaman. Warna keramik lantai dan klosetnya sudah berubah warna. Maaf, walau tiada kotoran atau sampah yang terlihat, saya rada tak nyaman melihatnya.
VILLA
Sewaktu memasuki
gerbang Cibolang, saya ada melihat dua villa mungil berdiri di sisi kanan
setelah pintu masuk. Nah, kedua villa itu katanya disewakan. Harganya saya tak
tahu. Sedang kamar harganya Rp 350.000/malam. Letaknya lebih dekat ke arah
kolam. Berupa sebuah bangunan mirip rumah panggung, dengan tiga kamar yang
masing-masing kamar pintunya langsung keluar. Petugas penjaga kamar ganti yang
saya tanyai tak bisa memberikan info lebih banyak tapi setidaknya saya tahu
bahwa villa-villa itu memang diperuntukan bagi pengunjung yang memang bermaksud
menginap di kawasan sejuk ini.
Tentang
Cibolang Hot Spring
Dari beberapa
sumber yang kubaca (gugling), disebutkan bahwa objek wisata ini terletak pada
ketinggian 1450 m dpl, konfigurasi lapangan umumnya datar dan berbukit. Sedangkan
untuk curah hujan adalah 4000 mm/th dengan suhu udara 23 – 25 derajat Celcius.
Memiliki Luas 2 Ha. Berada di Desa Wayang
Windu, Kec.Pangalengan, Kab.Bandung.
Obyek wisata
Cibolang pertama kali berdiri pada tahun 1985. Kala itu pemandian masih berupa
bak-bak yang tertutup. Lalu, seiring dengan banyaknya kemajuan yang telah dicapai untuk mencakupi
fasilitas yang dibutuhkan oleh turis domestik maupun asing, maka pada tahun
1987 mulai dibuat kolam renang dewasa dan kolam renang anak lengkap dengan
kamar ganti. Keberadaan kolam renang itu membuat arus pengunjung kian
meningkat, maka pada tahun 1990 sebuah kolam tambahan kembali dibuat.
Di bagian belakang kolam dewasa, saya ada menjumpai sebuah kolam kecil dengan asap yang terus menerus mengepul. Kata seorang bapak yang saat itu sedang bertugas, kolam kecil itu merupakan kolam penampungan sumber air panas sebelum dialirkan ke kolam pemandian. Berhubung suhu airnya tinggi, jadinya ditampung dulu. Kan ga mungkin langsung dipergunakan untuk mandi. Bisa melepuh ntar :D
Kabarnya, sumber
air Cibolang yang berupa mata air panas ini dapat menyembuhkan penyakit rematik
karena memiliki kandungan kadar yodium yang cukup tinggi.
Yang unik
dan menarik di sekitar Cibolang
Tak jauh dari
kolam mandi dewasa, di atas rumput-rumput hijau yang segar, terlihat
tenda-tenda dan sebuah panggung kecil dengan hiasan kain berwarna kuning
menyolok. Katanya itu punya pengunjung yang datang dengan rombongan. Mereka
menginap di tenda sambil mengadakan berbagai kegiatan alam lainnya.
Kawasan Cibolang
ini ternyata sudah biasa dijadikan tempat camping. Biasanya selain camping,
wisatawan melakukan kegiatan lintas alam sembari berpiknik. Trekking ke Kawah
Burung bisa menjadi kegiatan menarik lainnya. Oh iya, wana wisata di kawasan
ini terdiri dari hutan tanaman (kaliandra dan pinus).
Nah, selain alam dengan
pemandangan permadani teh yang hijau sekaligus udara yang bersih dan sejuk,
wisatawan juga dapat menikmati Kawah Gunung Windu dengan jarak ± 600 m dari
lokasi.
Oh iya, konon, Gunung Wayang
Windu ini menjadi tempat bertapa para dalang terkenal lho. Seorang sumber
menyebutkan, dalang Asep Sunarya biasanya bertapa di sini juga. Entah benar
atau tidak tapi beberapa orang lainnya mengiyakan hal tersebut. Selain itu,
konon pula di tempat ini dipenuhi dengan cerita mistis dan mitos yang saya
sendiri sebenarnya tak ingin mengetahuinya kecuali cukup tahu yang realistis
saja.
Buat siapa saja, jika datang ke
Pengalengan, tak lengkap rasanya jika tak mengunjungi objek wisata pemandian
air panas Cibolang ini.
Saung di atas kolam pancing untuk duduk-duduk
Tempat duduk-duduk
Kolam mandi dewasa yang sedang dikuras
Saung dan taman depan Villa
Kebun Kol dan Pipa-pipa yang mengalirkan energi panas bumi (Geothermal)
Kumbang Rupawan di Pengalengan
Dua Kumbang rupawan ini kutemukan bersama anakku kala berada di Pengalengan, Bandung Selatan. Begitu spesial karena kedua kumbang ini baru pertama kali kami temui hidup-hidup. Kusebut hidup-hidup karena sepertinya kami pernah melihatnya dalam keadaan mati-mati (dua mati hihi) sewaktu di Museum Serangga TMII. Selain itu kedua kumbang ini warnanya sangat cantik, dan Alhamdulillah bisa mengambil gambarnya dengan (lumayan) cantik.
Kumbang Coklat
Bersembunyi
di pangkal daun tanaman hias di halaman depan Resort Citere yang kusewa
di Lembah Wayang. Aku tak tahu nama tanamannya. Tanaman hias ini serupa
pohon nanas. Nah, kumbang ini berada di kelopak daun paling atas.
Hampir tak terlihat. Ketika daun yang menutupinya kusingkap, ia
bergerak, berjalan sangat perlahan. Dengan tangan kiri menahan daun,
tangan kanan memegang kamera, aku membidik gambarnya. Siapa kamu hai
kumbang? Apa namamu? Sampai saat ini aku masih mencari tahu tentangmu.
[Pengalengan, Bandung Selatan, Senin 19 Nopember 2012)
Kumbang Hijau
Kulitnya hijau terang berkilauan, apalagi kala
ditimpa cahaya. Bersayap keras. Kaki berduri. Tidak suka mencengkeram
tapi sekalinya mencengkram sulit dilepas kecuali dia melepaskan kakinya sendiri.
Tidak banyak gerak. Jika terbalik/telentang sulit kembali pada
posisi normal. Tidak tahu dari mana asalnya. Ia sendirian berada di
lantai balkon hotel Puri ketika ditemukan. Aku berusaha mencari tahu dengan cara searching di Google. Seorang
Fotographer (ilambra.blogspot.com) pernah menemukannya di Jayapura. Di flickr
LoveBorneo, kubaca kumbang hijau ini disebut Green Scarab Beetle.
[Pengalengan, Bandung Selatan, Kamis 22 Nopember 2012)
Garasi Super Besar bernama Museum Transportasi Indonesia
Okay, ku ceritakan disini
bahwa ke TMII kali ini aku mendapat pengalaman mengesankan dengan berkunjung ke
Musium Transportasi. Ga sekedar suci mata cuci kaki lalu tidur, tapi juga
mendapat pengetahuan tentang sejarah transportasi di Indonesia. Ya…walau dikata
terlambat banget tahu, masih mendinglah
daripada tak tahu sama sekali. Kalau tidak Tahu nanti Tempe makannya. Nyam..nyam.
Aku ga hendak mengatakan
bahwa aku mendapat pengetahuan berlimpah tentang sarana transportasi yang
dipamerkan di musium ini. Yang kuketahui hanya sedikit saja sebab aku ga
berkeliling ke seluruh tempat, melainkan hanya melihat yang menurutku menarik
saja untuk diketahui. Yang unik. Yang dekat di kaki. Yang asyik jadi latar
belakang foto narsis. Gitu lho.
TIKET
MASUK
Untuk masuk ke musium ini
cukup bayar Tiket seharga Rp 2000. Murah banget ya kan? Bukan mau sombong,
rasanya bayar 10ribu pun aku mau sebab yang pengetahuan kudapatkan dari tempat
ini lebih besar dari sejumlah uang itu. Kawasan musium ini luas. Kalo mau
lebay, kusebut mirip garasi super besar yang menyimpan aneka monumen
transportasi. Segala transportasi udara, laut dan udara ada. Mulai dari Cikar
hingga kapal terbang sungguhan. Nah, koleksi tertuanya adalah lokomotif seri
B5004 yang dibuat di Inggris tahun 1880.
KOLEKSI TRANSPORTASI
UDARA
Monumen transportasi menempati
area outdoor dan indoor. Yang pertama kali nampak di area outdoor bagiku adalah
pesawat DC 9 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang terlihat begitu megah
dan perkasa. Pesawat ini buatan Amerika Serikat tahun 1979 yang beroperasi di
Asia dan Australia.
Muatannya 104 penumpang. Pengunjung bisa menaiki, masuk dan melihat bagian
dalam pesawat. Namun lihat-lihat jadwalnya ya. Soalnya ga tiap saat. Ada pramugarinya juga lho.
Di samping pesawat DC 9
terdapat helikopter berwarna orange milik TIM SAR Nasional. Tulisan
dilarang masuk terpampang di pintunya. Aku udah niat banget tuh pengen narsis
di bangku pilotnya, eh sementara cuma ngimpi saja dulu deh. Helikopter SAR ini
buatan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nasional) tahun 1982. Digunakan untuk
mencari korban yang hilang atau memberi bantuan melalui jalur udara.
Di sebelah kanan dari
pintu masuk terdapat berbagai koleksi kereta Presiden Pertama
RI dan kereta Wakil Presiden Pertama RI.
Pingin motrat motret eh hujaaan. Akhirnya aku memilih setengah berlari menuju
bangunan utama musium. Jaraknya sekitar 50meter dari pintu masuk. Kontur
tanahnya menurun lalu naik. Di pertengahan jalan ada rel kereta. Sewaktu nengok
ke kiri, ealaah ada kereta tua yang mati gaya.
Ya iyalah, udah abis umurnya. Cuma bisa mejeng ga bergerak-gerak.
KOLEKSI
TRANSPORTASI DARAT
Aku menuju ruang pamer di
dalam ruang yang dibagi dalam beberapa ruangan yang seolah-olah
merupakan bangunan tersendiri, disebut modul; terdiri atas modul pusat, modul
darat, modul laut, dan modul udara; baik dengan benda asli, tiruan, miniatur,
foto, maupun diorama.
Modul darat
menggambarkan keberadaan dan layanan transportasi darat, mencakup transportasi
jalan raya, jalan baja, sungai, danau, dan penyeberangan, berupa alat
transportasi yang sudah mulai menggunakan tenaga mesin awal sampai sekarang;
antara lain cikar DAMRI yang merupakan armada pertama DAMRI dan berperan pada masa kemerdekaan (tahun 1946) sebagai alat
angkut logistik militer di wilayah Surabaya dan Mojokerto. Bus Djawatan
Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) ini bermerek TATA buatan India.
Kalau dilihat sih kondisi armadanya sudah mulai kurang terawat dengan baik.
KLASIK, UNIK DAN ANTIK
Nah, di modul
darat ini, setelah tadi melihat keberadaan kereta api tua yang mati gaya, kini aku melihat dua
taksi group Bluebird yang super
kinclong. Bener-bener hidup gaya,
kebalikan banget ama kereta tua tadi. Nissan Cedric Y31-TD25 berwarna hitam,
menjadi tontonan menarik. Antik banget. Ini kendaraan silver bird pertama yang
dioperasikan pada tahun 1992. Disampingnya, Holden Torana LJ Series, si biru
lembut yang bentuknya lebih antik dan unik daripada Nisaan Cedric, adalah taksi
blue bird pertama yang dioperasikan pada tahun 1972. Uuuuh….suka banget lihat
design belakangnya itu. Rasanya dua mobil ini menjadi favoritku deh…
Tak jauh dari
dua taksi bluebird tadi ada bus tingkat berwarna merah. Sebutannya Si Jangkung.
Bis tingkat pertama ini buatan Inggris. Mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1968 sampai
tahun 1982. Ada
pula oplet. Hoooo….ini oplet ternyata mirip dengan oplet di sinetron si Doel
itu. Pendek dan kuno. Ya iyalaaah. Ini oplet merk Morris, di operasikan di Indonesia
pada tahun 1959 sampai 1976. Tapi hanya beroperasi di Jakarta lho katanya. Oh iya, Oplet itu
berasal dari kata Open dan Cabriolet. Open artinya terbuka. Cabriolet artinya
tertutup terpal. Lha, mana terpalnya? Au ah…
Di tempat ini
juga terdapat Taman Lalu Lintas lengkap dengan instrumen pengenalan rambu-rambu
lalu lintas, yang juga dapat digunakan sebagai tempat pelaksanaan suatu event.
Sewaktu kutengok, terlihat tumpukan kain berukuran panjang dan lebar-lebar
berwarna kuning, merah dan putih tergeletak begitu saja. Seperti habis
digunakan untuk sebuah acara. Di sisi utara musium adalah tempat koleksi
berbagai lokomotif kuno. Jadul banget, tapi dijejerkan dengan rapi. Walau
begitu tetap saja bagiku terlihat seram dan kusam meskipun tak dapat dipungkiri
benda-benda tua ini begitu unik dan gagah.
Di ruangan
selanjutnya ragam koleksi lebih banyak dipamerkan dalam bentuk koleksi foto.
Dari ruangan ini terdapat tangga untuk menuju ke atas. Sayang sekali aku naik
waktu itu. Bener-bener udah lelah rasanya. Padahal di atas terdapat arena
pameran koleksi miniatur kayu bus PPD dan DAMRI terpampang rapi dengan berbagai
model dan merek. Yang paling menarik adalah adanya sebuah Cikar DAMRI buatan
tahun 1946 yang dalam catatan sejarah merupakan armada pertama yang dimiliki
DAMRI yang berperan dalam masa kemerdekaan sebagai alat angkut logistik
keperluan militer di wilayah Surabaya. Cikar ini ditarik dengan dua ekor sapi
atau kerbau yang di jaman tersebut juga dikorbankan sebagai lauk pauk saat
perbekalan habis.
KOLEKSI TRANSPORTASI LAUT
Sebelum menuju
pintu keluar dari modul pusat ini, aku sempat melihat keberadaan danau kecil
yang berada di samping ruangan indoor. Sebuah danau yang tak hanya berfungsi
sebagai penambah keindahan, tetapi juga terdapat koleksi kapal dari RI yang
berasal dari US Navy. Menurut cerita, bahkan karena keindahannya, kapal ini
sering dipakai untuk acara pre wedding oleh mereka yang akan melangsungkan
pernikahan.
Aku masih
mengamati sekeliling. Lalu terduduk di teras, persis di depan meja informasi Museum. Hujan masih turun dalam bentuk
gerimis. Menunggu beberapa menit tak jua reda. Lalu nekat menembus hujan,
berjalan setengah berlari. Sampai di rel kereta, aku menoleh ke kanan, ke
kereta tua yang mati gaya,
beuuuh…dramatis euy. Bak di film-film :p
KERETA BERSEJARAH
Dan…gerimis
perlahan reda. Wuuuuah…. Saat yang tepat untuk mengambil gambar kereta Presiden
Pertama RI.
Pinginnya sih begaya trus difoto dengan latar belakang kereta tua itu, pikirku
pasti unik dan klasik, eh tapi yang lain sudah berlarian ke mobil khawatir
gerimis kecil itu kembali menderas. Lha aku difoto oleh siapa dong? Pingin
minta tolong pengunjung lain yang saat itu sedang foto-foto di kereta itu, tapi
kok ya sungkan ya. Ya sudah, kali ini ajang narsis lewat dulu deh. Sewaktu
mendekat aku ga jumpa satu petugaspun jadi ga bisa menanyai sejarah kereta
tersebut kecuali membaca sedikit informasi pada keterangan yang terpampang
bertuliskan KLB (Kereta Luar Biasa) IL.7 dan IL.8 yang dibuat oleh bengkel
kereta Staatspoorwegen (S.S) di Bandung Tahun 1919. Kereta ini digunakan oleh
Presiden dan Wakil Presiden RI
pertama pada waktu pemerintah RI hijrah dari Jakarta
ke Yogyakarta. Selain itu juga ada Kereta
Merdeka Atau Mati. Kereta ini digunakan pada masa perjuangan kemerdekaan untuk
pengiriman logistik atau bala bantuan ke medan
perang.
SEJARAH dan KESAN YANG MENGAGUMKAN
Kereta tua yang
pernah ditumpangi oleh Presiden dan Wakil Presiden pertama RI itu menjadi
sajian terakhir yang kusaksikan di garasi super besar bernama Museum
Transportasi. Jujur, aku begitu terkesan dengan koleksi-koleksi kuno di tempat
ini. Takjubku bukan sekedar atas penampakan benda-benda masa lalu yang telah
ada sejak puluhan tahun sebelum aku sendiri lahir ke dunia ini, tetapi kisah
dan cerita dalam bingkai sejarah yang menyertainya.
Apa yang kemudian muncul dari kepalaku adalah lintasan bayangan akan masa-masa perjuangan kemerdekaan yang entah seperti apa. Bila membayangkan tentang perang, bagiku adalah tentang pengorbanan dan perjuangan tanpa kenal lelah, bertarung nyawa, bertumpah darah, bermandikan air mata. Lantas di sini, saat ini, aku dengan begitu tenangnya memandangi sisa-sisa perjuangan masa lalu bangsa ini, tanpa harus merasa cemas dan panik apakah akan ada letusan senjata, dentuman bom, atau bunyi-bunyi mengerikan lainnya yang membawa aroma kematian… ah… kereta tua bernama Kereta Merdeka Atau Mati itu telah membuatku membayangkan banyak hal.
Apa yang kemudian muncul dari kepalaku adalah lintasan bayangan akan masa-masa perjuangan kemerdekaan yang entah seperti apa. Bila membayangkan tentang perang, bagiku adalah tentang pengorbanan dan perjuangan tanpa kenal lelah, bertarung nyawa, bertumpah darah, bermandikan air mata. Lantas di sini, saat ini, aku dengan begitu tenangnya memandangi sisa-sisa perjuangan masa lalu bangsa ini, tanpa harus merasa cemas dan panik apakah akan ada letusan senjata, dentuman bom, atau bunyi-bunyi mengerikan lainnya yang membawa aroma kematian… ah… kereta tua bernama Kereta Merdeka Atau Mati itu telah membuatku membayangkan banyak hal.
Museum Transportasi yang merupakan lembaga milik Departemen Perhubungan ini memang di buat dengan maksud mengumpulkan, memelihara, meneliti, memamerkan bukti sejarah dan perkembangan transportasi, serta peranannya. Tak sekedar memberikan informasi dan tambahan pengetahuan kepada para pengunjung mengenai transportasi dan sejarah perkembangan teknologi transportasi tetapi sekaligus sebagai tempat rekreasi yang edukatif.
Kalian tertarik? Ayo datang dan lihatlah garasi super besar ini.
*Jakarta, Oktober 2012