Bali, 18 September 2011
Kami memunggungi Kuta menuju Tanah Lot dengan waktu kurang dari 40menit. Obyek wisata yang dituju kali ini terletak di desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sebuah tempat yang terkenal dengan panorama alam saat matahari tenggelam. Mobil yang membawa kami mencoba berkelebat cepat agar tiba sebelum matahari tenggelam. Dan, aku sungguh berterima kasih kepada Pak Arya, supir sekaligus guide kami, yang membawaku tiba 30 menit sebelum sang surya beranjak masuk ke peraduannya.
Kami membayar entrance ticket seharga Rp 7.500,-/ orang, dan Rp 5.000,- / kendaraan. Terbilang sangat murah, namun meskipun demikian bukan berarti tempat wisata ini tidak dikelola secara professional. Lihatlah fasilitasnya, tersedia area parkir yang luas, public toilet, art shop, restoran, hotel, open stage, tourist information centre, serta fasilitas security dan safety. Bahkan biaya masuk tersebut sudah mengcover asuransi untuk pengunjung dan kendaraan.
Dari tempat parkir, kami berjalan kurang lebih 10 meter ke arah pantai. Berbelok ke kanan, mencari celah di antara pengunjung yang ramai. Wisatawan mancanegara mendominasi obyek wisata yang sore itu berlangit cerah. Kilau cahaya matahari senja, membuatku melindungi mata dengan kacamata hitam, membuat langit senja nampak kehitaman di balik kaca mataku. Di antara padatnya pengunjung, kami tak sempat bertanya di sebelah manakah letak Pura Tanah Lot berada. Hanya mengikuti langkah kaki yang terus membawaku ke sisi kanan, entah ke arah mata angin yang mana.
Senja menyapa dengan mesra. Di antara gelayut awan yang tipis, pandanganku tertuju ke laut biru nan luas. Terlihat begitu jelas sebuah Pura nangkring dengan begitu cantiknya di atas laut. Bebatuan yang menghubungkannya dengan tepian, berlubang di tengahnya. Saat itu aku belum tahu apa nama Pura tersebut.
Siapakah yang tak terpesona kala melihat langit kemerahan melingkupi Pura ketika matahari terbenam? Deburan ombak yang menghantam karang, panorama yang romantis, dan laut biru yang dalam adalah keindahan yang tersaji di Tanah lot. Selain Pura Tanah Lot, di sini terdapat tujuh pura lainnya, yaitu Pura Batu Bolong, Pura Penataran, Pura Jero Kandang, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Mejan, Pura Luhur Pekendungan, dan Pura Hyang Api. Yang terkenal adalah Pura Tanah Lot, yang berdiri tegak di atas pulau kecil di tengah laut pantai selatan Bali. Menurut cerita guideku, pura tersebut di jaga oleh ular-ular sakti. Tapi ternyata senja itu, angin membawaku bukan ke pura Tanah Lot, tapi Pura Batu Bolong!
Aku meneruskan langkah, menuju sunset terrace. Mengikuti orang-orang yang berjalan di depanku. Lalu berhenti di depan sebuah gapura yang bertuliskan : Pura Batu Bolong. Oh..inikah pura yang terkenal itu?
Sebelum melangkah masuk ke Pura Batu Bolong, sejenak aku menoleh ke arah penjual barang-barang kesenian khas Bali yang ada di depan pintu masuk pura. Ada berbagai macam barang yang dijual seperti baju, sarung/ kain topi, sandal, pernak-pernik/ perhiasan, lukisan, patung dan barang lainnya dengan style bali. Aku belum terpikir untuk membeli apapun.
Untuk menuju Pura Batu Bolong aku meniti semacam jembatan dari batu yang menghubungkan tepian dengan Pura di atas laut tersebut. Pura yang terletak di atas batu yang menjorok ke laut ini berlubang di tengahnya, dan aku berdiri di atasnya. Terlihat begitu unik. Tadi sewaktu di lihat dari kejauhan, seolah bolongnya itu di sengaja. Padahal terbentuk dengan sendirinya oleh alam. Menurut cerita para pemuda Bali yang kebetulan berada tak jauh dariku, Pura batu bolong merupakan tempat untuk memuja/memohon kepada tuhan untuk kesucian. Pura ini juga merupakan tempat yang sering digunakan untuk menggelar upacara melasti.
Langit di Tanah Lot terus berubah kemerahan. Bulatannya tampak makin utuh seiring dengan cahayanya kian meredup. Terlihat sungguh cantik di balik indahnya siluet pura. Debur ombak yang berkejaran menghantam bebatuan, memberi pesona lain untuk indra pendengaranku. Sungguh eksotis!
Aku masih merenda sabar yang berseling debar kala menantikan sunset berada di balik bayangan Pura Batu Bolong. Cuaca yang bersahabat seakan ikut mengijinkanku untuk menyaksikan pemandangan sunset yang spektakuler. Langit yang memerah, cahayanya tumpah ruah ke laut. Keduanya indah laksana lukisan alam yang bernilai seni tinggi. Meskipun aku tak dapat menikmati pagelaran Tari Kecak yang di pentaskan di Surya Mandala tiap matahari tenggelam, namun penantian untuk menyaksikan prosesi kembalinya sang surya ke peraduan, lebih menarik minatku.
Tari Kecak adalah tari khas tradisional Bali yang menceritakan legenda klasik Ramayana. Legenda dari India ini menceritakan kisah cinta Rama dan Shinta, roman cinta yang mirip kisah Romeo dan Juliet. Dengan latar belakang matahari tenggelam, ritmik gerak penarinya melahirkan siluet yang menarik. Selama gerak itu pula, suara akapela dari puluhan penari bertelanjang dada terus menggema. "Cak...cak...cak…” Ah, dua kali tari Kecak terlewatkan olehku. Pertama sewaktu di Uluwatu, kedua di Tanah Lot ini.
Di depan Pura aku duduk menata hati sembari memandang langit dan laut yang bertaut. Para wanita, pria, dan beberapa anak-anak duduk dalam hening. Berjejer rapi tanpa suara. Semua mata tertuju ke kaki langit. Hanya sesekali terdengar suara pelan mereka yang sedang berfoto, saling memberi aba-aba untuk berpose. Ratusan kamera menuju ke satu arah. Ke matahari bulat yang memerah saga. Masya Allah, begitu magis kesan yang diberikan oleh sunset berlatar Pura di Tanah Lot ini.
Keindahan sunset di Tanah Lot, sungguh menjadi daya tarik yang luar biasa. Debur ombaknya gagah tanpa henti. Suasana puranya tenang dan hening. Aku tak ingin kehilangan moment demi moment yang begitu menghanyutkan itu. Dengan mereka, dengan waktu, dengan rasa, aku menuliskan cita dan cinta. Melangitkan doa ke angkasa. Mengirimnya sejauh kaki langit yang entah dimana, juga ke palung-palung samudera yang tak pernah terselami. Teringat pada orang-orang yang dipilihkanNya untuk berada di hidupku. Seperti senja, begitu pula aku ingin, bersama-sama dalam keindahan, dalam kehangatan, hingga hidup berada pada senja usia, lalu kembali ke peraduan yang tidak abadi.
Aku harus mengatakan apa dan pada siapa tentang senja yang dramatis ini? Padaku sendiri saja. Lalu ku guratkan filosofi warnanya di kisi-kisi hati. Tentang perpaduan merah, orange, putih, dan kuning yang begitu dominan. Warna merahnya adalah seperti hati yang sedang diliputi rasa bahagia. Mewakili perasaan yang menggebu-gebu (seperti perasaan kita (?) ), juga sebagai symbol sebuah kehangatan. Sedang orange, adalah simbol yang mewakili perasaan friendly. Ketika perasaan itu tumbuh maka suatu hubungan yang terjalin begitu akrab dan erat. Putih pada langit senja yang membawa rasa nyaman, memberikan kesan sesuatu yang tulus. Seperti perasaanmu (kamu?) yang tumbuh dari rasa ketulusan, kemurnian, kesucian, atau bahkan sebuah pengabdian. Lalu kuning, sebagai sebuah "kemenangan", kemenangan atas hati. Perlambang 'kebanggaan', juga sebuah "kemewahan". Dengan kuning, sebagai sebuah perasaan yang sangat luar biasa, bersamanya akan merasa 'berbangga' diri, merasakan sebuah kemenangan merebut hati, merasa mewah memilikinya. Sungguh senja, dengan warna-warnanya yang indah, adalah warna-warna yang mewakili sebuah perasaan hati. Begitu dengan senja, begitu dengan ku. Adalah kita sama.
Seolah di beri aba-aba, aku, teman-temanku, dan semua orang yang tadi duduk menjuntaikan kaki di bibir jembatan batu, beranjak berdiri lalu pergi. Satu-satu meninggalkan pura Batu Bolong yang mulai gelap. Kami mengayun langkah dalam irama yang sama. Menundukan wajah yang mengguratkan cerita tanpa suara, tentang kesan tak terlupakan, kala senja di Tanah Lot.
Di pintu masuk Pura, sebelum aku benar-benar keluar, sempat ku tolehkan wajahku ke belakang, ke Pura yang terlarang untuk di masuki. Aku mencatat di hati, bahwa suatu hari mungkin akan kembali lagi ke tempat ini....
Sajak pun terlahir disini.
Matahari, kembalilah cinta……
Walau mega-mega menenggelamkanmu pada wajah bumi yang menggulita
Sesayat pedih merenggut ceria, mencipta sedih sukma akan perpisahan pada siang
Tapi aku tahu kau akan kembali untuk memberiku sihir bahagia
Sebab doaku telah menembus aras langit pintakan segalanya
Di senja ini, kita bersama-sama menyeberangi jembatan lintasan rindu
mengantungi misteri yang kita agungkan, juga yang kita jaga baik-baik
Hari ini dan esok, ada langgam elok dalam hari-hari kita
-Katerina-