Senin 18 Januari 2010
Subuh yang riuh. Suara debur ombak terdengar begitu jelas di telinga. Begitu pula dengan angin, terdengar kencang meniup helai-helai daun kelapa yang tumbuh di sekitar pantai dan cottage tempat saya menginap. Pelepahnya dipastikan bergoyang, saling bergesekan, menimbulkan suara-suara yang berisik. Angin juga menimbulkan sesuara pada atap yang terbuat dari rumbia.Tiang dan dinding kayu seakan berderit-derit. Saya terbangun. Membuka pintu, menuju balkon. Angin dingin menerpa, membelai seluruh kulit. Saya berusaha memandang ke kejauhan, menembus kabut. Dalam samar, nampak lautan biru terbentang begitu luas. Ah, rupanya saya berada di Pulau Weh. Tepatnya di Freddies Santai Sumur Tiga. *santai lho ya, bukan pantai.
Seusai salat Subuh, saya bergegas membuka pintu yang lain, menuruni tangga kayu, meninggalkan kamar panggung berisi dua wanita dewasa dan dua bocah laki-laki. Menghampiri cottage berikutnya, tempat dua rekan kami yang lainnya bermalam. Namun pintu kamarnya belum terbuka. Saya berlalu, begitu saja. Kembali menuruni tebing. Menuju pantai. Tapi sepi. Sejenak saya ragu. Ya, belum ada satupun orang di pantai, kecuali saya. Memutuskan untuk duduk di saung berbangku kayu, saya mendekap kedua tangan. Mengedarkan pandang ke sekeliling, kepada buih yang digiring ombak, pada ufuk timur yang kian benderang, juga pada nyiur yang melambai. Terakhir, ke balkon-balkon Freddie cottage di atas tebing berkarang. Berharap, mereka yang masih berselimut atau yang sedang menyeruput teh hangat, lekas turun. Menikmati pesona pagi dari bibir pantai.
Ini hari kedua saya di Pulau Sabang. Hari untuk menikmati suguhan eksotis dari pulau terujung di tanah air tercinta. Freddies Cottage ternyata memang tempat menginap yang strategis karena mempunyai view yang luar biasa. Semua cottage menghadap ke Samudra Hindia. Dipastikan, jika berlama-lama duduk dibalkonnya atau berbaring terayun dalam hammock, sembari menikmati sebotol fruit tea dingin pada siang hari atau kopi hangat dengan sedikit cream pada petangnya, akan betah. Tiada kebosanan karenanya. Ah, itu saya. Tentunya. Belum tentu dengan yang lain, bukan?
Pemilik cottage, Pak Freddie, seorang mantan staff PBB yang berkewarganegaraan Germany, mendesign penginapan dengan model yang sederhana, bergaya tradisional (rumah panggung), berbahan kayu, beratap rumbia, namun nyaman untuk ditinggali. Ia tak menyuguhkan kemewahan tempat bermalam, tapi menyuguhkan kemewahan alam dengan pemandangan yang menakjubkan. Pemandangan yang selalu digratiskan oleh Sang Pencipta. Subhanallah. Bersyukur sekali saya menemukan tempat ini, tempat yang pada mulanya saya temukan lewat internet, jauh sebelum saya menginjakan kaki ke Sabang. Kini, ketika seluruh anggota badan saya berada disini, hati saya jauh dari kecewa. Karena itu, Freddies cottage sangat saya rekomendasikan bagi siapa saja yang ingin menginap di Sumur Tiga.
Dua bocah lelaki menuruni tangga kayu dengan wajah gembira, mengajak saya bermain air laut. Mencari kerang. Menangkap kepiting. Saya nurut tapi belum berani nyebur. Dingin. Dengan kaki telanjang, saya belarian menghindari serbuan ombak di tepian. Menyisakan jejak kaki yang kemudian terhapus kembali. Menyusuri bibir pantai, berjalan ke arah timur. Menemukan bungker peninggalan jaman Jepang. Terlihat rusak. Sama sekali tak terawat. Sepertinya memang tak dipedulikan. Semak belukarpun liar tumbuh disekitarnya.
Banyak pohon tumbuh di sepanjang pantai Sumur Tiga. Pohon kelapa, pohon-pohon tinggi yang tak saya kenal namanya, pohon serupa bahan pembuat tikar, juga semak belukar. Hijau. Terasa teduh walaupun sinar matahari merajai bumi. Saya seakan tak ingin lekas meninggalkan pantai, mencoba berlama-lama duduk di atas karang-karang cantik yang tumbuh di ujung pantai yang tak dapat lagi saya tembus. Pohon, belukar, dan karang besar, menghalanginya. Saya berhenti disana. Duduk untuk beberapa lama. Hingga puas memanjakan mata, baru saya beranjak pergi. Membawa kaki menapaki pasir putih nan lembut, kembali ke pantai di Freddies Santai Sumur Tiga. Pantai tak lagi sepi, sebab para penghuni cottage mulai turun ke laut, mandi-mandi, renang-renang, senang-senang. Begitu juga saya.
Laut, memang selalu menjadi tempat favorit dalam setiap perjalanan traveling saya. Bersentuhan dengan laut, seperti menemukan kepuasan tersendiri. Beruntungnya, pantai di Sumur Tiga ini (juga pantai-pantai lainnya di Pulau Weh), adalah salah satu pantai terindah di Indonesia. Hingga disebut sebut sebagai mutiara berkilau di Sumur Tiga. Pasirnya sangat halus, butirannya luruh menembus sela jemari ketika saya meraupnya dengan telapak tangan. Walau tak merebahkan diri di atas pasir, namun saya berkali kali duduk di sana. Dan saya merasakan kehalusannya.
Andai banyak waktu, ingin rasanya berbulan-bulan berada di pantai ini. Membayangkan tiap malam, terlentang di atas pasirnya. Memandang bintang, juga bulan. Lalu tertidur sampai pagi. *eh pas bangun, udah dalam mulut hiu :p
Yeah…seperti biasa, laut selalu memberikan keasyikan yang melenakan. Jika tak diingatkan akan berangkat ke Tugu Nol Kilometer, mungkin saya masih saja bersenda gurau dengan bocah laki-laki yang masih seru-seruan bermain pasir dan air laut. Tapi baiklah, saya mesti mengusaikan pagi di pantai Sumur Tiga, untuk menyambangi Tugu Nol Kilometer yang tersohor dan legendaris itu.
Share this
Give us your opinion