Sabang, Sampai Jumpa Lagi

Sabang itu unik. Kotanya kecil namun indah. Topografinya meliputi dataran rendah, tanah yang bergelombang, berbukit dan bergunung, serta bebatuan di sepanjang pantai. Struktur tanahnya yang berbukit-bukit, membuat siapapun yang melakukan perjalanan di sepanjang jalan Sabang dapat melihat panorama alam yang memikat.


Di kota yang berjuluk kota seribu benteng ini terdapat Tugu Nol Kilometer Indonesia, sebuah monument prestisius sebagai penanda titik terujung di bagian barat Indonesia. Sabang berbatasan langsung dengan tiga negara yaitu Malaysia, Thailand dan India. Perairannya merupakan tempat bertemunya Samudera Hindia dan Selat Malaka. Memiliki lima pulau besar dan kecil yaitu Pulau Weh sebagai pulau terbesar, Pulau Rubiah, Pulau Klah, Pulau Seulako, dan Pulau Rondo. Pulau Sabang terkenal dengan wisata baharinya yang menawan. Sebutan “surganya para penyelam” memang tak dipungkiri. Jika tak melihatnya langsung, mungkin saya masih meragukannya. Memilih Pantai Sumur Tiga dan Pantai Iboih sebagai dua destinasi wisata saya selama di Sabang, sungguh merupakan pilihan yang ingin saya ulangi lagi jika kembali ke Sabang.
Tugu Nol Kilometer Indonesia
Dari kelima pulau yang ada di Sabang, hanya pulau Weh tempat kaki saya berhasil menjejak. Oh iya tadinya saya kira Pulau yang saya tapaki dan diami itu (nginep maksudnya) adalah pulau yang berbeda dengan Weh, eh ternyata Weh itu nama lain dari Sabang *ketinggalan berita. Pulau Rubiah saya jumpai dari jarak dekat sewaktu berperahu dari pantai Iboih. Walau tak menapakan kaki di atas pulaunya tapi saya berhasil mengelilingi pulau tersebut dengan perahu selama 2 jam. 

Keberadaan Pulau Seulako tak jauh dari pulau Rubiah. Pulaunya kecil. Walaupun tak terlalu jauh namun untuk mencapainya mesti menyeberangi laut dalam yang berombak cukup besar. Rasanya jika menggunakan perahu (yang saya sewa waktu itu) agak sulit tergapai (membayangkan terbalik diterpa ombak). Pulau Klah, saya jumpai tatkala dalam perjalanan menuju Pelabuhan Balohan (saya lupa apakah setelah Kota Sabang atau sebelumnya). Pulau Rondo berdampingan dengan pulau Klah. Jika melihat pulau Klah, dipastikan pulau Rondo juga terlihat.

Pulau Klah dan Pulau Rondo

Pantai Iboih dan Pulau Rubiah menjadi penutup agenda wisata kami pada Senin 18 Januari 2010 lalu. Tak ada agenda wisata berikutnya. Kami bergegas meninggalkan Gapang dengan sekeranjang kesan dan kenangan. Rombongan kecil kami terdiri dari 5 orang dewasa dan 2 anak lelaki yang manis, berjubel tumplek plek dalam mobil yang kelebihan muatan. Meski begitu mobil tetap dapat melaju membawa kami bertujuh kembali ke Freddies Cottage di Pantai Sumur Tiga.. Ah tak apa. Berkendara di Sabang, meski badan terasa letih namun pemandangan yang tersaji di setiap jalan yang dilalui mampu menyegarkan kembali mata, pikiran, dan juga badan. Cuci mata gratis. Sabang memang indah….*puja puji ga habis-habis :D


Pantai Iboih & Pulau Rubiah

Perjumpaan tak sengaja dengan kera-kera menjadi hiasan cerita dalam perjalanan. Juga panorama alam berupa pemandangan laut dan pulau. Di sebuah warung kopi yang terletak di tepi jalan menuju kota Sabang, kami singgah. Tempatnya yang tinggi mampu memperlihatkan pemandangan kota bawah yang amat indah. Sekedar info saja, warga setempat menyebut kota Sabang dengan dua nama yaitu kota bawah dan kota atas.  

Di persinggahan itu, terlihat dua pulau yang saya sebutkan sebelumnya yaitu Pulau Klah dan Pulau Rondo. Walau dibelah oleh lautan, namun jaraknya yang dekat membuat keduanya terlihat berdampingan. Kedua pulau itu terlihat berwarna kehijauan menandakan banyak pepohonan tumbuh di atasnya. Dari kejauhan tempat saya dan teman-teman duduk, nampak tepian pantai dengan sebuah dermaga. Dari dermaga itulah pulau Klah dan pulau Rondo bisa dicapai dengan perahu/kapal.

Tak terasa hampir satu jam kami singgah di tempat tersebut. Seakan tak bosan-bosan menikmati pemandangan petang berupa laut berhiaskan pulau-pulau cantik sembari menikmati rujak yang pedas cabenya bagai rasa sambal mercon (di Jakarta sambel mercon itu pedessss banget). Pedes tapi enak. Tuh buktinya dari anak-anak sampe yang dewasa pada makan rujak semua. Habis pula. Panorama pulau, laut yang jernih, bebukitan, desir angin, rujak, teh botol menjadi satu paket hidangan yang mengisi petang yang kian merapat. Langit makin memerah oleh untain benang senja. Saatnya melanjutkan perjalanan.
 Pulau Klah dan Pulau Rondo


Jalan-jalan naik ambulance
Oh iya ini adalah hari terakhir bagi kami untuk menjelajah Sabang. Esok pagi hari Selasa kami mesti kembali ke Banda Aceh karna jam 13.35 siang adalah jadwal saya kembali ke Jakarta. Demikian jadwal yang tertera di tiket Lion yang tersimpan di tas. Oh waktu terasa begitu singkat. Belum puas rasanya bermain di pantai-pantai Sabang. Mendekati kepulangan, saya dibayangi kesedihan.

Jreng!! Wiiiiiing!!! Sedah sedih hilang melayang ketika si teman mendadak memberitahu kami bahwa untuk dapat menyeberang ke Banda Aceh esok pagi, kendaraan sudah mesti dititipkan di pelabuhan sejak sore ini juga! Si teman dapat info dari kerabatnya yang tinggal di Sabang. Aiiiih kabar yang bikin saya cemas. Jika kendaraan tak ada gimana malamnya saat kami ingin keluar dari penginapan untuk sekedar mencari makan atau jajan-jajan? Mesti sewa kah? Nyari sewaan mobil sesore ini dimana?

Namun cemas lekas terkikis saat si teman dapat kabar baik dari tantenya. Katanya, tantenya itu bersedia meminjamkan mobilnya untuk kami. Wuaaaah….seneng dan lega. Ga jadi deh mati gaya he he. Baik sekali tante yang berwajah cantik itu (terima kasih tante). Eh tapi kemudian sewaktu melihat kendaraannya saya ternganga, ternyata berupa mobil ambulan. Hahaha… Maklum tantenya teman itu bekerja di dinas kesehatan kota Sabang dan itu satu-satunya kendaraan roda empat yang dimilikinya. Bagaimanapun saya (dan yang lainnya) tetap bersyukur atas bantuan si tante. Setidaknya kami tak perlu jalan kaki atau ngojek atau mencari mobil sewaan di petang yang kian redup.

Petang itu, dengan wajah-wajah menanggung letih karena seharian jalan-jalan, kami mengantarkan mobil ke Pelabuhan Balohan untuk kemudian di tempatkan di barisan antrian masuk kapal. Setelah menemukan tempat antrian, mobil tersebut ditinggal dan kami kembali ke Sabang dengan menyewa Suzuki Carry tempo doeloe seharga Rp 100.000,- Lalu menjumpai si tante di suatu tempat untuk mengambil mobil ambulan pinjamannya. Dengan mobil ambulance itu kami berkeliling kota Sabang, termasuk pusat kotanya. Keren lho keliling-kelling pake ambulance. Coba pake sirine segala. Pasti seru haha. 


Makan malam terakhir : Nasi goreng kambing!
Usai jalan-jalan malam di Sabang (malem? jam 8 juga belum kok :D ), saatnya makan malam di pinggiran kota Sabang (agak jauh dari pusat kota). Agak sulit juga nyarinya tapi syukurnya masih ketemu juga. Serupa warung kopi (di Aceh dan Sabang banyak warkop) namun menyediakan menu yang beragam. Siplah kalo gitu ya kan. Saya milih dinner dengan nasgor kambing ala Aceh. Aromanya sungguh menggoda, penampakannya menggiurkan, dan aduhai rasanya sedap sekali. Saya ga merhatiin yang lain lho soalnya sibuk sendiri dengan seporsi besar nasgor yang masih mengepulkan asap panas. Oooh…lidah saya terbelit citarasa lezat nasgor kambing yang berlemak… nyam…nyam *orang lapar semua jadi enaaaak dan nikmat. 



Freddie's Cottage di Pantai Sumur Tiga

Kelar makan malam, kami kembali ke Freddies Cottage. Tak ada acara apapun lagi selain bergegas tidur. Namun sebelum meraih lelap saya membereskan dulu urusan pembayaran penginapan. Sayangnya si bule, Mr.Freddie, ndak ada ditempat. Rencananya pengen pamer bahasa Jerman ke dia wkwkwkw *padahal bisanya Ja Nein doank :)) Hoho setidaknya menyapanya Wie geht es ihnen? *toweeeeng…belagu tingkat dewa. FYI, Mr.Freddie adalah pemilik Freddies Cottage. Nama lengkapnya Freddie Rousseau. Mantan staf PBB itu pertama kali datang ke Aceh sebagai bagian upaya kemanusiaan menyusul tsunami tahun 2004.

Eh itu saya sengaja malam-malam beresin pembayaran sebab besok Subuh mesti melesat segera ke Pelabuhan Balohan. Berenam kami tidur dalam satu cottage, sedangkan teman satunya (yang jadi supir), harus menginap di Pelabuhan Balohan untuk menjaga mobilnya. Terlihat gontai ia menaiki ambulance, menyetir, lalu kembali ke pelabuhan dengan sisa-sisa tenaganya. Namun diwajahnya, terpancar keikhlasan. Sebuah pengorbanan. Danke shcön.

Saatnya balik...
Selasa 19 Januari 2010. Sebelum Subuh, semua sudah terbangun. Saya mendapati suasana yang riuh, bersaing dengan deru angin laut di atap cottage. Gemuruh ombak pantai begitu jelas di telinga, bagai hendak merubuhkan tiang rumah panggung yang saya tempati. Namun tak ada yang peduli. Masing-masing sibuk untuk berbagai urusan berikut:  membereskan tas/koper dan barang bawaan, mandi, berpakaian dan salat. Teman datang dengan ambulan pada pukul 5 lewat 15 *masih hafal karna semua saya catat dengan baik he he. Kamipun meninggalkan cottage tanpa upacara pamitan lagi. Lho iya toh, kan malamnya semua urusan sebelum check out sudah saya bereskan *iyeee….. 



Meluncur dijalanan Sabang saat matahari belum benderang itu sesuatu banget. Apalagi dengan ambulance haha. Seru juga sih. Hebohlah pokoknya. Dalam dingin yang membalut kulit, pemandangan pagi yang samar-samar di sepanjang jalan cukup membinarkan mata. Bagai tak ingin mengerjap kala menyaksikan gradasi langit dari gelap, putih, biru dan kemerahan. Juga laut dengan warna putihnya (buih), biru muda, lalu biru tua. Ah andai saja dalam beberapa jam kedepan bukanlah saatnya saya kembali ke Jakarta, tentulah saya masih ingin tinggal di kota Sabang yang tenang ini. 

Menurut sejarahnya (saya baca dari berbagai sumber), kata sabang berasal dari bahasa Aceh yaitu ’saban’ yang berarti sama hak dan kedudukan dalam segala hal. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Sabang yang dulunya banyak didatangi pendatang dari luar untuk membuka kebun (seuneubôk) atau usaha lainnya. Pendatang tersebut berasal dari berbagai daerah dengan budaya yang berbeda baik sikap, nilai, maupun adat istiadat. Lambat laun terjadi asimilasi dimana beragam perbedaan tersebut akhirnya memudar dan kedudukan mereka menjadi sama. Istilah saban ini telah lama melekat kepada Pulau Weh yang kemudian perlahan berubah penyebutannya menjadi ‘sabang’.


Satu hal yang menjadi perhatian saya adalah keberadaan mobil-mobil mewah semacam Jaguar (masih banyak merk  mobil mewah lainnya) di perkarangan beberapa rumah penduduk (juga kantor-kantor tertentu) yang saya lewati. Ga cuma satu atau dua, tapi banyak. Ada keheranan sebetulnya tapi ketika mengetahui ceritanya (lagi-lagi saya buta info tentang Sabang :p ) saya bisa maklum sebab aktifitas pelabuhan bebas dan perdagangan bebas Sabang pernah berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke kawasan Sabang pada tahun 2000. Denyut aktifitas yang telah diupayakan sejak 35 tahun (tahun 1965). Wow!  Namun sayang, tahun 2004 aktifitas Sabang kembali terhenti karena pemerintah pusat menetapkan status darurat militer bagi Aceh. Pasca perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, Sabang kembali ramai. Pelabuhan Bebas Sabang kembali dibuka untuk mempecepat pembangunan ekonomi Aceh melalui hubungan ekonomi dengan luar negeri. Selain itu, beragam destinasi bahari dan keunikan budaya Aceh pun kembali diperkenalkan agar wisatawan berdatangan menikmati pesona keindahan pulau paling barat di Indonesia ini. *saya gugling nih nyari informasi ini :D

Sarapan di Pelabuhan Balohan
Pukul 6 pagi kami sudah berada di Pelabuhan Balohan padahal jadwal keberangkatan kapal  ke Ulee Lheue Banda Aceh adalah pukul 8. Wah masih dua jam lagi. Kalo gitu MAKAN dulu!!!! Iyaaaaaa…..belum ada yang sarapan. Demi mengejar sarapan, kami bergegas memindahkan semua barang di mobil ambulance ke mobil jeepnya teman yang sudah semalaman menginap di pelabuhan. Setelah itu ambulance diparkir pada tempatnya, sedang kuncinya dititip ke personil keamanan pelabuhan. Eh lupa, personil keamanan apa pemilik WC umum ya? Hihi…saya lupa bagian ini. Sorry. Intinya tuh mobil ambulance kami titipkan di pelabuhan dan nantinya akan diambil sendiri oleh si tante baik hati. Masha Allah baik banget ya tante itu. *terkesan jadinya.
Di Pelabuhan Balohan, sedang menanti sarapan *tuh di ujung mobil ambulancenya keliatan :D

Nah, seusai beberes barang dan mobil, kamipun memutuskan makan tepat di area pelabuhan. Ada banyak warung makan disana. Namun seperti biasa, makanan yang tersaji pasti pedasss. Duh…si penderita maag ini perutnya kosong dan bentar lagi diisi dengan makanan hot (plus berlemak). Wuaduuuh! Gimana dong? Atau cukup dengan secangkir kopi dan beberapa potong pisang goreng? *padahal ga bisa minum kopi :p Ah saya harus makan nasi. Ayo terjang saja sakitnya! *semangat baja melawan maag.

Sembari nunggu hidangan tersaji saya moto-moto sekeliling. Termasuk moto diri sendiri *narsis tralala. Amat sangat jarang kan makan ditempat terbuka seperti ini? Pelabuhan lho…banyak orang hilir mudik. Sepeda motor dan mobil berjejer antri tuk masuk kapal. Huuuuuuu…..sensasinya luar binasa haha. Eiiit…tapi jangan salah, meski di pelabuhan tapi kondisinya bersih. Ga ada sampah ataupun aroma toilet yang dibawa angit laut ke tempat kami makan hehe. Jadi, makan di tempat terbuka dan hanya beratapkan langit dengan bias cahaya mentari pagi yang tumpah di persada itu rasanya bedaaaaaaa banget! Pengalaman yang tak terlupakan

Sabang, see you again
Ga terasa pukul 8 hampir tiba. Poooooon….pooooon…gaung kapal ferri BRR bagai meraung memberi tanda bahwa kapal tak lama lagi akan berlayar. Kebetulan acara sarapan telah usai sedari tadi. Sebelum kembali ke mobil, saya menyempatkan membeli souvenir berupa baju kaos bertuliskan segala sesuatu terkait Sabang. Lumayan murah tapi tak berarti murahan. Bagus kok kaosnya. 

Berbagai jenis kendaraan memasuki lambung kapal dengan susah payah, termasuk mobil kami. Maklum padat. Jadwal kapal BRR dari Sabang ke Banda Aceh itu hanya 2x, yaitu pukul 8.00 dan 14.00. Penumpang pagi ternyata ruame. Di lambung kapal, rasanya bagai terjepit. Jika tak lekas keluar mobil dan naik ke lantai atas, bisa muntah saya oleh aneka aroma yang tercium. Di atas, saya mencari tempat dipinggir, melihat ke dermaga yang perlahan mulai ditinggalkan. Ingin rasanya dadah-dadah. Tapi mau dadah sama siapa? Sama cincin saya yang hilang sewaktu sengaja dilepas ketika hendak berwudhu. Tapi lupa dimana tempatnya :D 

Kapal berlayar mengarungi lautan. Sabang menghilang dari pandangan. Dua jam perjalanan laut menuju Pelabuhan Ulee Lheue di pagi yang hangat, saya tempuh dengan kesadaran yang penuh. Artinya, saya menikmati penyeberangan ini dengan hati. Duduk di dek kapal ternyata lebih asyik ketimbang tidur-tiduran di tempat tidur penumpang yang bertingkat tingkat itu. Saya melihat Syauqi, bocah lelaki gendut yang bersama kami, bermain di sisi luar ruang tidur. Menggoda dari balik jendela kaca permanent. Lalu naik turun tangga dengan riang. 

Ada banyak bangku di dek kapal yang dipoles semen. Wisatawan mancanegara, juga lokal, berbaur dengan penduduk setempat yang ingin menuju pelabuhan Ulee Lheue. Saya duduk beralaskan sepasang sandal. Dek yang saya duduki bergetar. Saya tak hirau. Hanya menatap ombak. Di samping saya ada bangku tapi penuh. Sepasang turis Belanda berusia muda, juga yang tua, duduk di bangku itu. Yang tua, sibuk menggunakan kameranya memotret apapun yang ingin dipotretnya. Cahaya mentari tumpah ruah. Angin laut menerpa. Perjalanan ini tenang. Saya senang.  


 Foto ini saya ambil dari atas kapal ferry sesaat ketika kapal mulai berlayar meninggalkan Sabang

Dua jam kemudian kapal berlabuh di pelabuhan Ulee Lheue. Hahay….2 jam lagi waktunya check-in di bandara. Kamipun melesat kencang ke Banda Aceh, mampir sejenak ke rumahnya teman tuk ngambil sesuatu. Setelah itu langsung meluncur ke bandara Sultan Iskandar Muda. Tak ada kesempatan lagi untuk mampir ke Mesjid Baiturahman. Seperti yang saya tulis pada jurnal sebelumnya, tgl 16 Jan itu saya ga jadi masuk ke mesjid tersebut, hanya memandang dari luar pagar saja. Dan ternyata di hari terakhir berada di Banda Aceh, saya tetap tak berkesempatan mampir dan masuk ke dalamnya. Belum jodoh rupanya.

Dalam sempitnya waktu mengejar jadwal keberangkatan ke Jakarta, saya sebetulnya bersyukur karena pikiran saya fokus ke jadwal yang sedang saya hadapi. Perasaan sedih yang kerap hinggap ketika meninggalkan tempat-tempat yang saya datangi, berhasil terkikis hingga pesawat tinggal landas. Sampai jumpa Aceh. Sampai jumpa Sabang. Tidak ada kata good bye di tiap perpisahan yang menjadi penutup (tiap) perjalanan saya, sebab (sedari dulu) saya selalu mengucap “see you again”, baik dengan tempat atau orang yang asing, baru maupun tempat/orang lama yang saya temui . 





Sampai jumpa lagi. Sampai bertemu kembali....


Tulisan ini menjadi penutup catatan perjalanan saya selama di Aceh dan Sabang.Tulisan terkait bisa dilihat pada blog saya sebelumnya
yaitu sbb:

Pantai Sumur Tiga, Di Cottagenya Mr. Freddie

Senin 18 Januari 2010
Subuh yang riuh. Suara debur ombak terdengar begitu jelas di telinga. Begitu pula dengan angin, terdengar kencang meniup helai-helai daun kelapa yang tumbuh di sekitar pantai dan cottage tempat saya menginap. Pelepahnya dipastikan bergoyang, saling bergesekan, menimbulkan suara-suara yang berisik. Angin juga menimbulkan sesuara pada atap yang terbuat dari rumbia.Tiang dan dinding kayu seakan berderit-derit. Saya terbangun. Membuka pintu, menuju balkon. Angin dingin menerpa, membelai seluruh kulit. Saya berusaha memandang ke kejauhan, menembus kabut. Dalam samar, nampak lautan biru terbentang begitu luas. Ah, rupanya saya berada di Pulau Weh. Tepatnya di Freddies Santai Sumur Tiga. *santai lho ya, bukan pantai.
Seusai salat Subuh, saya bergegas membuka pintu yang lain, menuruni tangga kayu, meninggalkan kamar  panggung berisi dua wanita dewasa dan dua bocah laki-laki. Menghampiri cottage berikutnya, tempat dua rekan kami yang lainnya bermalam. Namun pintu kamarnya belum terbuka. Saya berlalu, begitu saja. Kembali menuruni tebing. Menuju pantai. Tapi sepi. Sejenak saya ragu.  Ya, belum ada satupun orang di pantai, kecuali saya. Memutuskan untuk duduk di saung berbangku kayu, saya mendekap kedua tangan. Mengedarkan pandang ke sekeliling, kepada buih yang digiring ombak, pada ufuk timur yang kian benderang, juga pada nyiur yang melambai. Terakhir, ke balkon-balkon Freddie cottage di atas tebing berkarang. Berharap, mereka yang masih berselimut atau yang sedang menyeruput teh hangat, lekas turun. Menikmati pesona pagi dari bibir pantai.

Ini hari kedua saya di Pulau Sabang. Hari untuk menikmati suguhan eksotis dari pulau terujung di tanah air tercinta. Freddies Cottage ternyata memang tempat menginap yang strategis karena mempunyai view yang luar biasa. Semua cottage menghadap ke Samudra Hindia. Dipastikan, jika berlama-lama duduk dibalkonnya atau berbaring terayun dalam hammock, sembari menikmati sebotol fruit tea dingin pada siang hari atau kopi hangat dengan sedikit cream pada petangnya, akan betah. Tiada kebosanan karenanya. Ah, itu saya. Tentunya. Belum tentu dengan yang lain, bukan?
Pemilik cottage, Pak Freddie, seorang mantan staff PBB yang berkewarganegaraan Germany, mendesign penginapan dengan model yang sederhana, bergaya tradisional (rumah panggung), berbahan kayu, beratap rumbia, namun nyaman untuk ditinggali. Ia tak menyuguhkan kemewahan tempat bermalam, tapi menyuguhkan kemewahan alam dengan pemandangan yang menakjubkan. Pemandangan yang selalu digratiskan oleh Sang Pencipta. Subhanallah. Bersyukur sekali saya menemukan tempat ini, tempat yang pada mulanya saya temukan lewat internet, jauh sebelum saya menginjakan kaki ke Sabang. Kini, ketika seluruh anggota badan saya berada disini, hati saya jauh dari kecewa. Karena itu, Freddies cottage sangat saya rekomendasikan bagi siapa saja yang ingin menginap di Sumur Tiga.
Dua bocah lelaki menuruni tangga kayu dengan wajah gembira, mengajak saya bermain air laut. Mencari kerang. Menangkap kepiting. Saya nurut tapi belum berani nyebur. Dingin. Dengan kaki telanjang, saya belarian menghindari serbuan ombak di tepian. Menyisakan jejak kaki yang kemudian terhapus kembali. Menyusuri bibir pantai, berjalan ke arah timur. Menemukan bungker peninggalan jaman Jepang. Terlihat rusak. Sama sekali tak terawat. Sepertinya memang tak dipedulikan. Semak belukarpun liar tumbuh disekitarnya.

Banyak pohon tumbuh di sepanjang pantai Sumur Tiga. Pohon kelapa, pohon-pohon tinggi yang tak saya kenal namanya, pohon serupa bahan pembuat tikar, juga semak belukar. Hijau. Terasa teduh walaupun sinar matahari merajai bumi. Saya seakan tak ingin lekas meninggalkan pantai, mencoba berlama-lama duduk di atas karang-karang cantik yang tumbuh di ujung pantai yang tak dapat lagi saya tembus. Pohon, belukar, dan karang besar, menghalanginya. Saya berhenti disana. Duduk untuk beberapa lama. Hingga puas memanjakan mata, baru saya beranjak pergi. Membawa kaki menapaki pasir putih nan lembut, kembali ke pantai di Freddies Santai Sumur Tiga. Pantai tak lagi sepi, sebab para penghuni cottage mulai turun ke laut, mandi-mandi, renang-renang, senang-senang. Begitu juga saya. 
Laut, memang selalu menjadi tempat favorit dalam setiap perjalanan traveling saya. Bersentuhan dengan laut, seperti menemukan kepuasan tersendiri. Beruntungnya, pantai di Sumur Tiga ini (juga pantai-pantai lainnya di Pulau Weh), adalah salah satu pantai terindah di Indonesia. Hingga disebut sebut sebagai mutiara berkilau di Sumur Tiga. Pasirnya sangat halus, butirannya luruh menembus sela jemari ketika saya meraupnya dengan telapak tangan. Walau tak merebahkan diri di atas pasir, namun saya berkali kali duduk di sana. Dan saya merasakan kehalusannya. 

Andai banyak waktu, ingin rasanya berbulan-bulan berada di pantai ini. Membayangkan tiap malam, terlentang di atas pasirnya. Memandang bintang, juga bulan. Lalu tertidur sampai pagi. *eh pas bangun, udah dalam mulut hiu :p

Yeah…seperti biasa, laut selalu memberikan keasyikan yang melenakan. Jika tak diingatkan akan berangkat ke Tugu Nol Kilometer, mungkin saya masih saja bersenda gurau dengan bocah laki-laki yang masih seru-seruan bermain pasir dan air laut. Tapi baiklah, saya mesti mengusaikan pagi di pantai Sumur Tiga, untuk menyambangi Tugu Nol Kilometer yang tersohor dan legendaris itu.


Bersambung.....

Berperahu Di Iboih, Keliling Pulau Rubiah


Senin 18 Januari 2010

Tak keliru bila ada anggapan bahwa salah satu hiden paradise di Indonesia ada di Pulau Weh. Bila tak melihatnya sendiri mungkin saya masih meragukan anggapan itu. Pulau Weh yang menjadi pulau paling ujung di pulau Sumatera, sekaligus pulau terujung dari negara Indonesia ini, ternyata memang memiliki banyal pantai yang indah dan eksotis. Tak heran bila banyak wisatawan lokal maupun mancanegara datang untuk berkunjung ke tempat ini.

Salah satu objek wisata yang paling populer di Pulau Weh adalah Pantai Iboih. Lokasi pantai berpasir putih ini berada di sebelah barat Sabang dengan jarak tempuh sekitar 23Km. Namun siang itu, Senin 18 Januari 2010, kami berangkat menuju pantai Iboih dari Tugu Nol Kilometer yang berjarak sekitar 5km dari desa Iboih.
Siang itu saya bersama rombongan menuju Pantai Iboih selepas mengunjungi Tugu Nol Kilometer. Bertepatan dengan siang yang memuncak. Lapar dan lelah jadi satu. Namun, ketika menyaksikan keindahan Pantai Iboih dari dekat, rasa itu seperti terhenti. Menghilang begitu saja. Apa yang membuat saya begitu takjub? Pemandangan laut dengan dasarnya yang terlihat begitu jelas, menandakan betapa jernih air di tempat itu, sanggup membuat saya seakan membatu.

Pantai Iboih memang bukan pantai yang panjang, namun memiliki warna pasir yang putih bersih. Sinar matahari yang menerpa, membuat pasir di pantai seakan berkilau. Beberapa perahu tertambat di dermaga, juga di tepian. Owh, dermaga! Saya sangat terobsesi pada dermaga. Bagi saya, dermaga tempat berlabuh. Tempat orang-orang dan kapal-kapal pergi mengarungi laut, lalu kemanapun mereka pergi, ke dermagalah mereka kembali. Tempat berlabuh yang dirindu. Seperti manusia, sejauh apapun mereka meninggalkan rumahnya, keluarganya, mereka akan tetap kembali, berlabuh. Seindah-indahnya tempat kembali, adalah dermaga. 

Dermaga itu berada di ujung pantai. Di dekat pepohonan yang besar dan rindang. Laut yang ada di bawahnya, berair jernih dan kehijauan. Perpaduan yang sempurna.  Saya takjub memandangnya.

Di pantai, berjejer warung dan toko yang menjual berbagai keperluan. Mulai dari warung makan, toko sembako, toko souvenir, toko roti, hingga toko alat pancing dan keperluan berenang. Roti-roti yang dijual terlihat besar-besar. Jika dibandingkan dengan roti tawar yang biasa saya makan (Sari Roti dan Bread Talk), roti yang dijual di Pantia Iboih ini ukurannya jumbo. Serupa roti tawar yang dijual di Belanda (hanya contoh saja). Siapa di pantai ini yang makan roti besar-besar begitu? Tamu Bule! Wooooh....ternyata di sini banyak wisatawan asing. Mereka menginap di Gapang, dan cotage-cotage di dekat pantai Iboih. 

Cottage di Gapang itu sederhana. Bentuknya seperti rumah panggung. Terbuat dari kayu.  Letaknya di tebing pantai Iboih. Jadi, di pantai Iboih ini, ga cuma terdapat pantai yang landai, tapi juga terdapat tebing dengan lereng-lereng yang rimbun oleh pepohonan. Nah, cotage-cotage itu berdiri di antara pohon-pohon itu. Saya ga melihat dari dekat. Jika ingin mendekat mesti melalui jalan menanjak. Pun saya tak tahu mesti lewat jaur mana.

Dari Pantai Iboih, pandangan saya beralih ke lautan. Lalu, nampaklah Pulau Rubiah dalam jangkauan mata saya. Terlihat begitu dekat. Tapi tak dapat saya lihat isi pulau itu kecuali hanya pepohonan. Hijau daunnya seakan menutupi pulau itu. Saya ingin ke sana. Rasanya dengan berenangpun saya bisa mencapainya. Tapi saya tak bawa pakaian renang :D


Menurut pemilik perahu di pantai, kami bisa mengelilingi pulau Rubiah dengan perahu kalau mau. Biayanya Rp 200.000,- per perahu. Harga itu untuk satu kali keliling. Waktu keliling sekitar 2 jam katanya. Dan selama berkeliling, kami bisa menyaksikan pemandangan bawah laut lewat kotak kaca bening yang terdapat di bawah perahu. Oh, oke. Saya setuju.

Sebelum berperahu, kami mengisi perut terlebih dahulu. Kebetulan di dekat tempat kami berdiri, ada warung makan yang menjual menu ikan bakar. Kami makan di sana. Sebenarnya di warung itu ada bermacam variasi menu. Ada mie Aceh juga. Tapi siang-siang saya pikir makan nasi tentu lebih tepat ketimbang makan mie. Saya butuh kalori dan energi untuk petualangan pulau, bukan? Alhamdulillah. Makan siang saat itu rasanya nikmaaat sekali. Belum lagi saat ditutup dengan minum jus alpukat, nikmatnya double. Kalau sudah lapar, makanan apa saja jadi enak ya. Nikmatnya luar biasa hehe.

Oh ya, saat makan itu saya sempat bertanya ke pemilik warung makan mengenai tarif penginapan di tempat ini. Katanya cottage-cottage yang ada di lereng tebing itu harganya mulai dari 150.000 s/d 250.000. Owh, terbilang cukup murah ya. Eh tapi kondisinya memang sesuai juga sih. 


Seusai makan, kami mulai beranjak menuju dermaga. Dan, inilah tempat dan saat-saat yang paling saya sukai, yakni meniti jembatan (dermaga). Entah kenapa, selalu ada perasaan mellow yang hinggap. Seakan, ada begitu banyak kenangan di tiap langkah yang saya ayun meniti papan jembatan itu. Seakan suasana mendadak menjadi begitu romantis. Angin seperti berbisik merayu. Ombak yang berlari menuju pantai seperti berdendang. Dedaunan seperti menari-nari. Dan saya seperti berjalan menuju sebuah bahtera yang bersiap untuk membawa saya menuju samudera yang maha luas....

Sandal wedges yang saya kenakan nampaknya merepotkan. Gamis panjang di badan juga seakan mempersulit saya untuk menaiki perahu. Astaga...salah kostum ya ke pantai dengan pakaian dan sandal begini? Ya, apa boleh buat, saya kan memang selalu begitu. Banyak gaya. Eh, memang penuh gaya kan ya? Always modis lah...anytime anywhere...

Perahu membawa kami dengan kecepatan yang sangat minimal. Ya iyalah ya, mau ngejar apaan ngebut-ngebut? Apa yang bisa kami lihat kalau perahu dipacu bak speed boat? Perahu yang bisa diisi 10 hingga 12 orang ini hanya kami tumpangi bertujuh. Lega bukaaaan? Bisa selonjor kaki, dan bisa guling-guling malah! Hehe ga ding.


Oh iya, ini perahu bagian bawahnya didesign sedemikian rupa. Salah satu bidang lantai/pijakan, yang terletak dibagian tengah perahu, dibuat transparan dengan menggunakan bahan kaca (sebelumnya sudah saya ceritakan). Itu dimaksudkan agar wisatawan bisa melihat taman bawah laut dengan jelas. Wooooooooowww…I really really wow!!! Can you imagine? Itu air jernihnya bukan main. Dasar laut keliatan jelas. Karang, rumput warna warni, ikan warna warni...huaaaa.. Andai saja saat itu saya sudah jago diving (saya bisa diving thn 2011 waktu di Bali :p) mungkin saya udah nyemplung (pake perlengkapan nyelam tentunya). 

 Pulau Seulako di sebelah kanan, Pulau Rubiah di sebelah kiri

Laut Sabang jernih banget!

Setelah puas melihat pemandangan bawah laut, perahu membawa kami terus melaju. Lajunya kini lebih cepat karena mulai berada di laut dalam. Kami bergerak memutari Pulau Rubiah. Tak lama kemudian, terlihat oleh kami sebuah pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Seulako (dalam bahasa Aceh, Seulako artinya suami). Tak kami dekati karena jaraknya lumayan jauh. Ombaknya juga terlalu tinggi. Selain pulau Selako, tak ada yang lain selain hamparan laut luas yang tak terlihat batasnya. Sedikit ngeri saya melihatnya.Terbayang kalau saya tenggelam, hilang sudah di samudera Hindia.
Adakah penghuni pulau Rubiah? Katanya sih ga ada. Tapi banyak wisatawan yang berkunjung untuk memancing di pulau ini karena terdapat banyak ikan-ikan batu karang, seperti ikan kerapu, juga cumi-cumi yang besar.  Oh iya pulau Rubiah merupakan cagar alam yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Keindahannya tak hanya yang nampak oleh mata, namun juga oleh apapun yang ada didalam pulau dan lautnya.

Taman Laut Rubiah, dengan biota-biota lautnya yang menakjubkan, dimana disini bisa ditemukan coral reefs and motley fish. Seperti yang saya dengar dari pengemudi perahu, ditempat ini terdapat banyak kerang-kerang raksasa (gigantic clams), lion fish, sea fans, dan masih banyak lagi. Ah, pantai dan laut di Iboih…. clear water very ideal to swim and snorkel Sebuah tempat yang luar biasa

Perahu terus melaju, ¾ pulau Rubiah telah kami kelilingi. Kami menjauhi PUlau Rubiah, lalu lebih mendekat ke tepian Iboih. Ke arah lereng-lereng tebing tempat cottage-cottage berada. Ada lebih dari 10 cottage yang nampak di mata saya saat itu. Berhubung perahu kami cukup dekat dengan tepian, jadi saya bisa melihat dengan jelas ke cottage. Mata saya cukup jelas untuk melihat penghuni cottage. Ada bule terlihat sedang berbaring terayun di hanmock, di balkon cottage. Di cottage lainnya, ada yang sedang menjemur pakaian. Cottage-cottage lainnya sepi. Mungkin penghuninya berada di dalam. Ya, siang panas begini orang-orang malas kali ya keluar.  


Soal penginapan,  sebetulnya kalo butuh ga mesti yang ditepi pantai sih. Ada banyak penginapan yang availably di desa Iboih. Desa Iboih memang kecil, tapi jelas sangat indah. Penduduk setempat ramah dan mudah berbagi informasi. Sebuah daya tarik lingkungan yang mengesankan. Tapi tentu saja, siapapun yang ingin menginap disini, mesti tahu aturan yang berlaku di daerah setempat ya. Jangan sampai seperti Nadine Candrawinata, yang nginep bareng rekan artis laki-lakinya, di gedor-gedor tengah malem oleh polisi syariah (ada ceritanya dalam buku Nadrenaline yang ditulisnya). Padahal dia nginep di rumah pak RT lho…

Tak terasa telah lebih dari 2 jam kami berada di Pantai Iboih. Hari kian petang. Saatnya kami untuk pergi. Masih ingin berlama-lama sih sebenarnya. Masih pingin duduk-duduk di pantainya. Barangkali bisa lebih lama memandangi laut, sambil minum es kelapa muda, asyik tentunya ya. Tapi kami mesti lekas kembali ke Sumur Tiga. Kurang nyaman berjalan dalam gelap di daerah hutan dan pegunungan Sabang. Bukan apa-apa, buat keamanan saja. Maklum kami kan hanya pengunjung pulau alias tamu. Bukan penduduk. 




Pantai Iboih. 
Keelokan lautnya begitu memukau. Indah dalam kesan. Juga kenangan. Kaki saya belum beranjak pergi, tapi saya telah merindukannya. Sepertinya saya merasa belum puas menjelajah. Belum berenang. Belum menyelam. Belum main jetski. Ah...semua itu membuat saya berjanji suatu hari iakan datang lagi. 

Oke, saya merindukan Sabang. Merindukan Pantai Iboih dengan segala isinya.
Nantikan saya kembali ya... 















 











Sebuah Fakta Historis Kala Menjejakkan Kaki di Tugu NOL KM Republik Indonesia


Salah satu objek wisata sejarah yang ada di Pulau Weh adalah Tugu Nol Kilometer Indonesia (The Monument of Zero Kilometer of Indonesia). Sebuah tugu yang menjadi a marker of the westernmost tip of Indonesia. Terletak di areal Hutan Wisata Sabang. Tepatnya di Desa Iboih Ujong Ba’u, Kecamatan Sukakarya. Hanya sekitar 5 km dari Pantai Iboih yang terkenal cantik dan berair jernih. Tugu Nol Kilometer yang merupakan salah satu objek wisata andalan yang ada di pulau ini berada di sebelah barat kota Sabang. Jika dihitung dari pelabuhan Balohan, jaraknya sekitar 32 km dengan waktu tempuh sekitar 40 menit perjalanan berkendara.

Menapakkan kaki di sebuah tempat yang menjadi penanda geografis, simbol perekat Nusantara dari Sabang sampai Merauke, menjadi sebuah fakta historis dari cita-cita pribadi saya. Alhamdulillah. 


Di lantai dua bangunan terdapat sebuah beton bersegi empat. Disitu tertempel dua prasasti. Prasasti pertama ditandatangani Menteri Riset dan Teknologi/Ketua BPP Teknologi BJ. Habibie, pada 24 September 1997. Dalam prasasti itu bertuliskan penetapan posisi geografis KM-0 Indonesia tersebut diukur pakar BPP Teknologi dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS). Prasasti kedua  menjelaskan posisi geografis tempat ini yaitu 05 54" 21,99 Lintang Utara - 95 12" 59,02" Bujur Timur. Data teknis berdirinya tugu ini tertoreh di atas lempeng batu granit yang menyebutkan “Posisi Geografis Kilometer 0 Indonesia, Sabang. Lintang: 05o 54’ 21.42” LU. Bujur: 95o 13’ 00.50” BT. Tinggi: 43.6 Meter (MSL). Posisi Geografis dalam Ellipsoid WGS 84”.

Lantas, di mana letak titik nol? Ada di lantai dasar. Penandanya berupa sebuah pilar bulat terbuat dari besi dengan diameter kurang lebih 1 meter.

Yang perlu diketahui bersama bahwa Tugu Nol Kilometer Sabang sebenarnya tidak dipancangkan persis di garis terluar sisi barat wilayah Indonesia (menurut berbagai informasi yang saya baca di internet). Sebab secara teknis, masih ada pulau di sisi paling barat Indonesia yaitu Pulau Lhee Blah, berupa pulau kecil di sebelah barat Pulau Breuh. Hal ini sama terjadi dengan pulau paling selatan yaitu Pulau Rote, walau secara teknis Pulau N’dana ialah pulau paling selatan di Indonesia. 

Bangunan tugu berbentuk lingkaran berjeruji dengan ketinggian 22,5meter. Warna putih terlihat mendominasi tugu. Bagian atas lingkaran menyempit seperti mata bor. Lalu di puncaknya terdapat patung burung Garuda menggenggam angka nol dilengkapi prasasti marmer hitam yang menunjukkan posisi geografisnya.

======

Ini cerita saya ^_^

Di Sabang, saya dan teman-teman menginap di kawasan Sumur Tiga. Kami berangkat menuju Tugu Nol Kilometer dengan menyewa mobil. Tak saya ukur berapa kilometer jarak antara Sumur Tiga dan Tugu Nol Kilometer. Tetapi bisa saya ingat waktunya tak terlalu lama. Kurang dari 40 menit. Jalan yang ditempuh mendaki dan menurun. Hijaunya hutan alami dan biru cerah warna laut, menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Pengusir penat yang mujarab.

Mendekati kawasan Tugu, hutan yang kami lalui kian lebat. Dan saya sempat melihat ada plang yang menyebutkan bahwa hutan yang kami lalui adalah hutan lindung. Tak hanya pepohonan yang dilindungi, tetapi juga hewan-hewan yang tinggal di dalamnya. Terutama kera. 

Kera-kera di hutan lindung bukanlah kera yang jinak. Keliaran mereka bisa terlihat dari keusilan mereka saat menjumpai manusia. Jadi, jangan terlalu dekat. Pun ketika kami tiba di lokasi, kera-kera itu seperti girang mendekat. Bikin saya takut.

Ada sejumlah rupiah yang mesti dibayar sebagai biaya restribusi masuk areaTugu Nol Kilometer. Tak mahal, hanya Rp 5000,- per orang. Ada sebuah warung kopi di sana. Barangkali akan merasa haus dan lapar, boleh juga mencoba masakan di warung itu. Ada aneka olahan mie, mie Aceh tentunya. Juga souvenir baju kaos bertuliskan Tugu Nol Kilometer dan Sabang. Kalau bawa cukup uang, saya pikir beli saja souvenir itu. Setidaknya membantu perekonomian si penjual :)

Siang itu sepi pengunjung. Tentu saja, sebab ini bukan tempat yang mudah di capai bukan? Perlu ekstra waktu dan tenaga untuk kemari. Dari kota Banda Aceh saja mesti menyeberang laut dulu selama 2,5 jam. Lalu di Sabang, mesti naik kendaraan lagi sekitar hampir 1 jam. Jadi, yang datang kemari memang orang-orang yang benar-benar punya tujuan untuk melihat Tugu. Bukan sekedar iseng datang, atau lewat. Lewat mau kemana? Tak ada jalan yang bisa menghubungkan tempat ini dengan tempat lainnya. Ini ujung, bukan? Mentok. Buntu. 

Tugu Nol Kilometer ini terletak di atas tebing yang tinggi. Di bawahnya, samudera hindia luas membentang. Kebayang ga kalau melompat akan bagaimana? Nyemplung ga ngapung lagi.

Siang itu, serombongan pemuda bersepeda motor tiba di Tugu Nol Kilometer. Saya tanya salah satu, katanya mereka datang dari Medan. Naik motor dari Medan ke Sabang? WOW. Pingin koprol rasanya!
Hebatnya para pemuda itu, mereka bukan sekedar pengunjung yang ingin menapakkan kaki di ujung barat negeri, bukan sekedar pengunjung yang mau bersenang-senang menikmati tugu ujung negeri. Tapi mereka juga melakukan sesuatu yang berarti. Tau gak mereka ngapain? Mereka ngambil sapu, pel, golok, dan lap. Untuk apa? Untuk membersihkan Tugu dan area sekitar tugu. Salut!!!

Saya? Saya cuma nonton! Huh!

Lantas, kebalikannya dari perbuatan baik mereka, ada pula akibat perbuatan buruk ulah para pengunjung sebelumnya yang tak berahlak. Coba lihat di batu-batu besar yang berada di sekitar tugu, nampak coretan dari cat atau entah apaan, mewarnai batu-batu tersebut. Untuk apa coba coret-coret? Narcism, vandalism! Saya antipati pada orang-orang seperti itu. Sungguh!

Di sekitar tugu nih ya, ada banyak sekali kera. Kera-kera itu sampe masuk tugu lho. Mondar mandir sambil cekikikan. Ngeri saya.

Sejujurnya, tugu ini dekil. Kusam. Kotor. Tak terawat! Pantaslah kiranya para pemuda bermotor dari Medan itu bergerak bersama untuk bersih-bersih. Apa tak ada petugas khusus yang merawat tugu ini ya? Entah. Andaikata tak ada, maka kepada siapa saja yang kemari, yuk ringankan tanga untuk bantu-bantu membersihkan. Pegang sapu, ambil pel, buang kayu-kayu dan daun yang berserakan. Kalau tidak bisa, setidaknya jangan menambah jelek tugu dengan corat coret. Tak mau bersih-bersih, tapi bantu menjaga kebersihan tugu kita :)

Terakhir....jika ingin punya bukti otentik bahwa kamu pernah datang kemari, monggo silahkan datang ke Dinas Pariwisata Kota Sabang. Nanti di sana dapat dibuatkan sertifikatnya. Biayanya cuma Rp 20.000 (katanya sih begitu). Sayangnya saya ga bikin sebab baru tahu tentang hal itu setelah saya meninggalkan Sabang. Telat hehe. Tapi, saya rasa foto terakhir yang sertakan di sini, bisa jadi bukti otentik juga kok :)

 Aksi bersih-bersih para pemuda dari Medan


 Kera-kera liar

 Teman-temanku ^_____^

Samudera Hindia di latar belakang

 Farid dan batu penuh corat coret


 Syauqi Aditya


Di lantai dua Tugu Nol Kilometer

Dan aku di sini, berdiri di samping prasasti NOL KM RI


 =====


18 Januari 2010
 Pulau Weh - SABANG, Aceh - Indonesia