Sabang itu unik. Kotanya kecil namun indah. Topografinya meliputi dataran rendah, tanah yang bergelombang, berbukit dan bergunung, serta bebatuan di sepanjang pantai. Struktur tanahnya yang berbukit-bukit, membuat siapapun yang melakukan perjalanan di sepanjang jalan Sabang dapat melihat panorama alam yang memikat.
Di kota yang berjuluk kota seribu benteng ini terdapat Tugu Nol Kilometer Indonesia, sebuah monument prestisius sebagai penanda titik terujung di bagian barat Indonesia. Sabang berbatasan langsung dengan tiga negara yaitu Malaysia, Thailand dan India. Perairannya merupakan tempat bertemunya Samudera Hindia dan Selat Malaka. Memiliki lima pulau besar dan kecil yaitu Pulau Weh sebagai pulau terbesar, Pulau Rubiah, Pulau Klah, Pulau Seulako, dan Pulau Rondo. Pulau Sabang terkenal dengan wisata baharinya yang menawan. Sebutan “surganya para penyelam” memang tak dipungkiri. Jika tak melihatnya langsung, mungkin saya masih meragukannya. Memilih Pantai Sumur Tiga dan Pantai Iboih sebagai dua destinasi wisata saya selama di Sabang, sungguh merupakan pilihan yang ingin saya ulangi lagi jika kembali ke Sabang.
Tugu Nol Kilometer Indonesia
Dari kelima pulau yang ada di Sabang, hanya pulau Weh tempat kaki saya berhasil menjejak. Oh iya tadinya saya kira Pulau yang saya tapaki dan diami itu (nginep maksudnya) adalah pulau yang berbeda dengan Weh, eh ternyata Weh itu nama lain dari Sabang *ketinggalan berita. Pulau Rubiah saya jumpai dari jarak dekat sewaktu berperahu dari pantai Iboih. Walau tak menapakan kaki di atas pulaunya tapi saya berhasil mengelilingi pulau tersebut dengan perahu selama 2 jam.
Keberadaan Pulau Seulako tak jauh dari pulau Rubiah. Pulaunya kecil. Walaupun tak terlalu jauh namun untuk mencapainya mesti menyeberangi laut dalam yang berombak cukup besar. Rasanya jika menggunakan perahu (yang saya sewa waktu itu) agak sulit tergapai (membayangkan terbalik diterpa ombak). Pulau Klah, saya jumpai tatkala dalam perjalanan menuju Pelabuhan Balohan (saya lupa apakah setelah Kota Sabang atau sebelumnya). Pulau Rondo berdampingan dengan pulau Klah. Jika melihat pulau Klah, dipastikan pulau Rondo juga terlihat.
Pulau Klah dan Pulau Rondo
Pantai Iboih dan Pulau Rubiah menjadi penutup agenda wisata kami pada Senin 18 Januari 2010 lalu. Tak ada agenda wisata berikutnya. Kami bergegas meninggalkan Gapang dengan sekeranjang kesan dan kenangan. Rombongan kecil kami terdiri dari 5 orang dewasa dan 2 anak lelaki yang manis, berjubel tumplek plek dalam mobil yang kelebihan muatan. Meski begitu mobil tetap dapat melaju membawa kami bertujuh kembali ke Freddies Cottage di Pantai Sumur Tiga.. Ah tak apa. Berkendara di Sabang, meski badan terasa letih namun pemandangan yang tersaji di setiap jalan yang dilalui mampu menyegarkan kembali mata, pikiran, dan juga badan. Cuci mata gratis. Sabang memang indah….*puja puji ga habis-habis :D
Pantai Iboih & Pulau Rubiah
Perjumpaan tak sengaja dengan kera-kera menjadi hiasan cerita dalam perjalanan. Juga panorama alam berupa pemandangan laut dan pulau. Di sebuah warung kopi yang terletak di tepi jalan menuju kota Sabang, kami singgah. Tempatnya yang tinggi mampu memperlihatkan pemandangan kota bawah yang amat indah. Sekedar info saja, warga setempat menyebut kota Sabang dengan dua nama yaitu kota bawah dan kota atas.
Di persinggahan itu, terlihat dua pulau yang saya sebutkan sebelumnya yaitu Pulau Klah dan Pulau Rondo. Walau dibelah oleh lautan, namun jaraknya yang dekat membuat keduanya terlihat berdampingan. Kedua pulau itu terlihat berwarna kehijauan menandakan banyak pepohonan tumbuh di atasnya. Dari kejauhan tempat saya dan teman-teman duduk, nampak tepian pantai dengan sebuah dermaga. Dari dermaga itulah pulau Klah dan pulau Rondo bisa dicapai dengan perahu/kapal.
Tak terasa hampir satu jam kami singgah di tempat tersebut. Seakan tak bosan-bosan menikmati pemandangan petang berupa laut berhiaskan pulau-pulau cantik sembari menikmati rujak yang pedas cabenya bagai rasa sambal mercon (di Jakarta sambel mercon itu pedessss banget). Pedes tapi enak. Tuh buktinya dari anak-anak sampe yang dewasa pada makan rujak semua. Habis pula. Panorama pulau, laut yang jernih, bebukitan, desir angin, rujak, teh botol menjadi satu paket hidangan yang mengisi petang yang kian merapat. Langit makin memerah oleh untain benang senja. Saatnya melanjutkan perjalanan.
Pulau Klah dan Pulau Rondo
Jalan-jalan naik ambulance
Oh iya ini adalah hari terakhir bagi kami untuk menjelajah Sabang. Esok pagi hari Selasa kami mesti kembali ke Banda Aceh karna jam 13.35 siang adalah jadwal saya kembali ke Jakarta. Demikian jadwal yang tertera di tiket Lion yang tersimpan di tas. Oh waktu terasa begitu singkat. Belum puas rasanya bermain di pantai-pantai Sabang. Mendekati kepulangan, saya dibayangi kesedihan.
Jreng!! Wiiiiiing!!! Sedah sedih hilang melayang ketika si teman mendadak memberitahu kami bahwa untuk dapat menyeberang ke Banda Aceh esok pagi, kendaraan sudah mesti dititipkan di pelabuhan sejak sore ini juga! Si teman dapat info dari kerabatnya yang tinggal di Sabang. Aiiiih kabar yang bikin saya cemas. Jika kendaraan tak ada gimana malamnya saat kami ingin keluar dari penginapan untuk sekedar mencari makan atau jajan-jajan? Mesti sewa kah? Nyari sewaan mobil sesore ini dimana?
Namun cemas lekas terkikis saat si teman dapat kabar baik dari tantenya. Katanya, tantenya itu bersedia meminjamkan mobilnya untuk kami. Wuaaaah….seneng dan lega. Ga jadi deh mati gaya he he. Baik sekali tante yang berwajah cantik itu (terima kasih tante). Eh tapi kemudian sewaktu melihat kendaraannya saya ternganga, ternyata berupa mobil ambulan. Hahaha… Maklum tantenya teman itu bekerja di dinas kesehatan kota Sabang dan itu satu-satunya kendaraan roda empat yang dimilikinya. Bagaimanapun saya (dan yang lainnya) tetap bersyukur atas bantuan si tante. Setidaknya kami tak perlu jalan kaki atau ngojek atau mencari mobil sewaan di petang yang kian redup.
Petang itu, dengan wajah-wajah menanggung letih karena seharian jalan-jalan, kami mengantarkan mobil ke Pelabuhan Balohan untuk kemudian di tempatkan di barisan antrian masuk kapal. Setelah menemukan tempat antrian, mobil tersebut ditinggal dan kami kembali ke Sabang dengan menyewa Suzuki Carry tempo doeloe seharga Rp 100.000,- Lalu menjumpai si tante di suatu tempat untuk mengambil mobil ambulan pinjamannya. Dengan mobil ambulance itu kami berkeliling kota Sabang, termasuk pusat kotanya. Keren lho keliling-kelling pake ambulance. Coba pake sirine segala. Pasti seru haha.
Makan malam terakhir : Nasi goreng kambing!
Usai jalan-jalan malam di Sabang (malem? jam 8 juga belum kok :D ), saatnya makan malam di pinggiran kota Sabang (agak jauh dari pusat kota). Agak sulit juga nyarinya tapi syukurnya masih ketemu juga. Serupa warung kopi (di Aceh dan Sabang banyak warkop) namun menyediakan menu yang beragam. Siplah kalo gitu ya kan. Saya milih dinner dengan nasgor kambing ala Aceh. Aromanya sungguh menggoda, penampakannya menggiurkan, dan aduhai rasanya sedap sekali. Saya ga merhatiin yang lain lho soalnya sibuk sendiri dengan seporsi besar nasgor yang masih mengepulkan asap panas. Oooh…lidah saya terbelit citarasa lezat nasgor kambing yang berlemak… nyam…nyam *orang lapar semua jadi enaaaak dan nikmat.
Freddie's Cottage di Pantai Sumur Tiga
Kelar makan malam, kami kembali ke Freddies Cottage. Tak ada acara apapun lagi selain bergegas tidur. Namun sebelum meraih lelap saya membereskan dulu urusan pembayaran penginapan. Sayangnya si bule, Mr.Freddie, ndak ada ditempat. Rencananya pengen pamer bahasa Jerman ke dia wkwkwkw *padahal bisanya Ja Nein doank :)) Hoho setidaknya menyapanya Wie geht es ihnen? *toweeeeng…belagu tingkat dewa. FYI, Mr.Freddie adalah pemilik Freddies Cottage. Nama lengkapnya Freddie Rousseau. Mantan staf PBB itu pertama kali datang ke Aceh sebagai bagian upaya kemanusiaan menyusul tsunami tahun 2004.
Eh itu saya sengaja malam-malam beresin pembayaran sebab besok Subuh mesti melesat segera ke Pelabuhan Balohan. Berenam kami tidur dalam satu cottage, sedangkan teman satunya (yang jadi supir), harus menginap di Pelabuhan Balohan untuk menjaga mobilnya. Terlihat gontai ia menaiki ambulance, menyetir, lalu kembali ke pelabuhan dengan sisa-sisa tenaganya. Namun diwajahnya, terpancar keikhlasan. Sebuah pengorbanan. Danke shcön.
Saatnya balik...
Selasa 19 Januari 2010. Sebelum Subuh, semua sudah terbangun. Saya mendapati suasana yang riuh, bersaing dengan deru angin laut di atap cottage. Gemuruh ombak pantai begitu jelas di telinga, bagai hendak merubuhkan tiang rumah panggung yang saya tempati. Namun tak ada yang peduli. Masing-masing sibuk untuk berbagai urusan berikut: membereskan tas/koper dan barang bawaan, mandi, berpakaian dan salat. Teman datang dengan ambulan pada pukul 5 lewat 15 *masih hafal karna semua saya catat dengan baik he he. Kamipun meninggalkan cottage tanpa upacara pamitan lagi. Lho iya toh, kan malamnya semua urusan sebelum check out sudah saya bereskan *iyeee…..
Meluncur dijalanan Sabang saat matahari belum benderang itu sesuatu banget. Apalagi dengan ambulance haha. Seru juga sih. Hebohlah pokoknya. Dalam dingin yang membalut kulit, pemandangan pagi yang samar-samar di sepanjang jalan cukup membinarkan mata. Bagai tak ingin mengerjap kala menyaksikan gradasi langit dari gelap, putih, biru dan kemerahan. Juga laut dengan warna putihnya (buih), biru muda, lalu biru tua. Ah andai saja dalam beberapa jam kedepan bukanlah saatnya saya kembali ke Jakarta, tentulah saya masih ingin tinggal di kota Sabang yang tenang ini.
Menurut sejarahnya (saya baca dari berbagai sumber), kata sabang berasal dari bahasa Aceh yaitu ’saban’ yang berarti sama hak dan kedudukan dalam segala hal. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Sabang yang dulunya banyak didatangi pendatang dari luar untuk membuka kebun (seuneubôk) atau usaha lainnya. Pendatang tersebut berasal dari berbagai daerah dengan budaya yang berbeda baik sikap, nilai, maupun adat istiadat. Lambat laun terjadi asimilasi dimana beragam perbedaan tersebut akhirnya memudar dan kedudukan mereka menjadi sama. Istilah saban ini telah lama melekat kepada Pulau Weh yang kemudian perlahan berubah penyebutannya menjadi ‘sabang’.
Satu hal yang menjadi perhatian saya adalah keberadaan mobil-mobil mewah semacam Jaguar (masih banyak merk mobil mewah lainnya) di perkarangan beberapa rumah penduduk (juga kantor-kantor tertentu) yang saya lewati. Ga cuma satu atau dua, tapi banyak. Ada keheranan sebetulnya tapi ketika mengetahui ceritanya (lagi-lagi saya buta info tentang Sabang :p ) saya bisa maklum sebab aktifitas pelabuhan bebas dan perdagangan bebas Sabang pernah berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke kawasan Sabang pada tahun 2000. Denyut aktifitas yang telah diupayakan sejak 35 tahun (tahun 1965). Wow! Namun sayang, tahun 2004 aktifitas Sabang kembali terhenti karena pemerintah pusat menetapkan status darurat militer bagi Aceh. Pasca perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, Sabang kembali ramai. Pelabuhan Bebas Sabang kembali dibuka untuk mempecepat pembangunan ekonomi Aceh melalui hubungan ekonomi dengan luar negeri. Selain itu, beragam destinasi bahari dan keunikan budaya Aceh pun kembali diperkenalkan agar wisatawan berdatangan menikmati pesona keindahan pulau paling barat di Indonesia ini. *saya gugling nih nyari informasi ini :D
Sarapan di Pelabuhan Balohan
Pukul 6 pagi kami sudah berada di Pelabuhan Balohan padahal jadwal keberangkatan kapal ke Ulee Lheue Banda Aceh adalah pukul 8. Wah masih dua jam lagi. Kalo gitu MAKAN dulu!!!! Iyaaaaaa…..belum ada yang sarapan. Demi mengejar sarapan, kami bergegas memindahkan semua barang di mobil ambulance ke mobil jeepnya teman yang sudah semalaman menginap di pelabuhan. Setelah itu ambulance diparkir pada tempatnya, sedang kuncinya dititip ke personil keamanan pelabuhan. Eh lupa, personil keamanan apa pemilik WC umum ya? Hihi…saya lupa bagian ini. Sorry. Intinya tuh mobil ambulance kami titipkan di pelabuhan dan nantinya akan diambil sendiri oleh si tante baik hati. Masha Allah baik banget ya tante itu. *terkesan jadinya.
Di Pelabuhan Balohan, sedang menanti sarapan *tuh di ujung mobil ambulancenya keliatan :D
Nah, seusai beberes barang dan mobil, kamipun memutuskan makan tepat di area pelabuhan. Ada banyak warung makan disana. Namun seperti biasa, makanan yang tersaji pasti pedasss. Duh…si penderita maag ini perutnya kosong dan bentar lagi diisi dengan makanan hot (plus berlemak). Wuaduuuh! Gimana dong? Atau cukup dengan secangkir kopi dan beberapa potong pisang goreng? *padahal ga bisa minum kopi :p Ah saya harus makan nasi. Ayo terjang saja sakitnya! *semangat baja melawan maag.
Sembari nunggu hidangan tersaji saya moto-moto sekeliling. Termasuk moto diri sendiri *narsis tralala. Amat sangat jarang kan makan ditempat terbuka seperti ini? Pelabuhan lho…banyak orang hilir mudik. Sepeda motor dan mobil berjejer antri tuk masuk kapal. Huuuuuuu…..sensasinya luar binasa haha. Eiiit…tapi jangan salah, meski di pelabuhan tapi kondisinya bersih. Ga ada sampah ataupun aroma toilet yang dibawa angit laut ke tempat kami makan hehe. Jadi, makan di tempat terbuka dan hanya beratapkan langit dengan bias cahaya mentari pagi yang tumpah di persada itu rasanya bedaaaaaaa banget! Pengalaman yang tak terlupakan
Sabang, see you again
Ga terasa pukul 8 hampir tiba. Poooooon….pooooon…gaung kapal ferri BRR bagai meraung memberi tanda bahwa kapal tak lama lagi akan berlayar. Kebetulan acara sarapan telah usai sedari tadi. Sebelum kembali ke mobil, saya menyempatkan membeli souvenir berupa baju kaos bertuliskan segala sesuatu terkait Sabang. Lumayan murah tapi tak berarti murahan. Bagus kok kaosnya.
Berbagai jenis kendaraan memasuki lambung kapal dengan susah payah, termasuk mobil kami. Maklum padat. Jadwal kapal BRR dari Sabang ke Banda Aceh itu hanya 2x, yaitu pukul 8.00 dan 14.00. Penumpang pagi ternyata ruame. Di lambung kapal, rasanya bagai terjepit. Jika tak lekas keluar mobil dan naik ke lantai atas, bisa muntah saya oleh aneka aroma yang tercium. Di atas, saya mencari tempat dipinggir, melihat ke dermaga yang perlahan mulai ditinggalkan. Ingin rasanya dadah-dadah. Tapi mau dadah sama siapa? Sama cincin saya yang hilang sewaktu sengaja dilepas ketika hendak berwudhu. Tapi lupa dimana tempatnya :D
Kapal berlayar mengarungi lautan. Sabang menghilang dari pandangan. Dua jam perjalanan laut menuju Pelabuhan Ulee Lheue di pagi yang hangat, saya tempuh dengan kesadaran yang penuh. Artinya, saya menikmati penyeberangan ini dengan hati. Duduk di dek kapal ternyata lebih asyik ketimbang tidur-tiduran di tempat tidur penumpang yang bertingkat tingkat itu. Saya melihat Syauqi, bocah lelaki gendut yang bersama kami, bermain di sisi luar ruang tidur. Menggoda dari balik jendela kaca permanent. Lalu naik turun tangga dengan riang.
Ada banyak bangku di dek kapal yang dipoles semen. Wisatawan mancanegara, juga lokal, berbaur dengan penduduk setempat yang ingin menuju pelabuhan Ulee Lheue. Saya duduk beralaskan sepasang sandal. Dek yang saya duduki bergetar. Saya tak hirau. Hanya menatap ombak. Di samping saya ada bangku tapi penuh. Sepasang turis Belanda berusia muda, juga yang tua, duduk di bangku itu. Yang tua, sibuk menggunakan kameranya memotret apapun yang ingin dipotretnya. Cahaya mentari tumpah ruah. Angin laut menerpa. Perjalanan ini tenang. Saya senang.
Foto ini saya ambil dari atas kapal ferry sesaat ketika kapal mulai berlayar meninggalkan Sabang
Dua jam kemudian kapal berlabuh di pelabuhan Ulee Lheue. Hahay….2 jam lagi waktunya check-in di bandara. Kamipun melesat kencang ke Banda Aceh, mampir sejenak ke rumahnya teman tuk ngambil sesuatu. Setelah itu langsung meluncur ke bandara Sultan Iskandar Muda. Tak ada kesempatan lagi untuk mampir ke Mesjid Baiturahman. Seperti yang saya tulis pada jurnal sebelumnya, tgl 16 Jan itu saya ga jadi masuk ke mesjid tersebut, hanya memandang dari luar pagar saja. Dan ternyata di hari terakhir berada di Banda Aceh, saya tetap tak berkesempatan mampir dan masuk ke dalamnya. Belum jodoh rupanya.
Dalam sempitnya waktu mengejar jadwal keberangkatan ke Jakarta, saya sebetulnya bersyukur karena pikiran saya fokus ke jadwal yang sedang saya hadapi. Perasaan sedih yang kerap hinggap ketika meninggalkan tempat-tempat yang saya datangi, berhasil terkikis hingga pesawat tinggal landas. Sampai jumpa Aceh. Sampai jumpa Sabang. Tidak ada kata good bye di tiap perpisahan yang menjadi penutup (tiap) perjalanan saya, sebab (sedari dulu) saya selalu mengucap “see you again”, baik dengan tempat atau orang yang asing, baru maupun tempat/orang lama yang saya temui .
Sampai jumpa lagi. Sampai bertemu kembali....
Tulisan ini menjadi penutup catatan perjalanan saya selama di Aceh dan Sabang.Tulisan terkait bisa dilihat pada blog saya sebelumnya
yaitu sbb: