Travel

Hotel

Culinary

Recent Posts

Liburan ke Lembang Lewat Subang: Mampir ke Asstro Highland Ciater, Destinasi Wisata Keluarga yang Menakjubkan

Asstro Highland Ciater Destinasi Wisata Keluarga di Subang

Asstro Highland Ciater, Destinasi Wisata Keluarga di Subang

Akhir tahun 2024 dan awal 2025 ini punya tiga momen liburan sekaligus: Natal, Tahun Baru, dan libur semester anak sekolah. Totalnya ada dua minggu waktu luang, tapi kami memilih liburan di akhir-akhir saja, ketika orang-orang mulai kembali ke rutinitas. Kok begitu? Karena buat kami, seringnya nih saat liburan justru lebih nyaman di rumah.

Liburan di rumah itu jadi momen langka di keluarga kami. Biasanya, anggota keluarga sibuk dengan aktivitas masing-masing: suami kerja, Aisyah sekolah, dan Alief kuliah. Apalagi hampir setahun ini Alief magang, pulangnya lebih malam lagi sehingga sedikit waktu ada di rumah. Jadi, saat libur, semua kompak di rumah, menikmati waktu bersama: tidur, makan, leyeh-leyeh, nonton, atau sesekali keluar makan bareng di sekitaran BSD saja. Praktis, jalanan dan tempat wisata yang ramai selama liburan tidak jadi pilihan kami. Namun, tidak liburan di musim libur ini bukan mutlak, kadang tergantung situasi dan kondisi, serta tujuannya.

Nah, pada musim libur kali ini, saat masa libur hampir usai, barulah kami memulai perjalanan. Kali ini tujuannya sederhana: Lembang, Bandung. Awalnya sempat kepikiran liburan ke pantai di Aston Anyer, tapi melihat cuaca yang kurang bersahabat, seperti angin, ombak tinggi,  dan hujan, bahkan saya mengkhawatirkan adanya potensi gempa dan tsunami. Akhirnya kami pilih daerah yang lebih aman dan adem di daerah pegunungan, yakni di Lembang.

Baca juga: Liburan Keluarga di Pulau Pari Kepulauan Seribu

Jepretan dari balik jendela mobil yang terus melaju. Makin jauh sungainya makin bagus. Airnya jernih, mengalir deras di antara batu-batu di dasar sungai. 

Rute Perjalanan Ke Lembang Via Subang

Sebelum berangkat, saya tanya ke beberapa teman yang tinggal di Bandung soal kondisi lalu lintas dari dan menuju Lembang. Saran yang saya dapat bervariasi. Ada yang bilang macet parah, ada yang menyarankan lewat Punclut, dan Bang Dede, yang merupakan teman saya dari Bandung, menyarankan rute lewat Subang. Akhirnya, suami memutuskan untuk mencoba jalur Subang.

Awalnya, jalanan terasa biasa saja: lebar dan ramai. Tapi semakin jauh, jalannya mengecil, mulai masuk ke pedesaan dengan pemandangan sawah, kebun, dan sungai. Kami bahkan melewati sungai dangkal berair jernih dengan batu-batu besar. Di sekitar sungai ada warung-warung kecil, tempat beberapa mobil singgah dan ada keluarga tampak asyik bermain air. Sempat tergoda ingin turun, tapi langsung ingat target harus sampai di Lembang maksimal jam 1 siang. Anak-anak dan suami sudah menatap sungai dengan penuh harap, tapi sama-sama menahan diri supaya nggak terlalu malam sampai Lembang.

Akhirnya sampai di puncak, melewati kebun teh yang diselimuti kabut tebal
  
Oh iya, kami berangkat dari BSD itu sekitar jam 10. Mestinya perjalanan 3 jam saja kami sudah di Bandung. Tapi karena ada mampir-mampir di jalan dan rest area untuk belanja camilan, salat, dan ke toilet, jadinya lebih lama dari perkiraan. Apalagi setelah lewat Subang, makin bertambah panjang durasi perjalanan.

Ternyata, jalan terus menanjak, dengan tikungan tajam dan jurang di sisi jalan. Beberapa kali berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan, jantung saya rasanya mau copot! Dalam hati mulai bertanya, “Ini bener nggak sih jalannya?” Tapi suami, dengan gaya tenangnya, menjawab, "Kalau macet sih nggak mungkin, tapi deg-degan iya."

Sumber gambar: Asstro Highland Ciater

Ketemu Asstro Highland!

Setelah tanjakan yang bikin sport jantung, kami sampai di ketinggian dengan panorama kebun teh sejauh mata memandang. Suasana di sepanjang jalan mulai ramai. Dari kendaraan yang melintas, hingga orang-orang yang tampaknya tengah berwisata. Saya bahkan melihat ada bus terparkir dekat sebuah tempat makan di sisi kiri jalan. Warung-warung makan memang mulai terlihat ramai. Sepertinya memang sudah berada di kawasan wisata kebun teh.

Kabut saat itu berubah menjadi lebih tebal, jarak pandang makin pendek. Saya suka melihatnya, terasa indah meskipun pandangan berkurang.

Lalu saya melihat sebuah bangunan di tengah kebun teh dengan banyak mobil di sekitarnya. “Alief, pelan-pelan, itu kayaknya restoran. Kalau iya, kita makan di sini saja,” kata saya ke Alief yang menggantikan suami menyetir. Ternyata, tempat yang saya maksud itu adalah Asstro Highland Ciater!

Kanan pas baru datang, kiri udah mau pulang 😁

Karena sudah hampir jam 3 sore, kami memutuskan berhenti untuk makan. Niat awal makan di RM Sindangreret Lembang sebelum jam 1 pun bubar sudah. Fyi aja nih ya, Sindangreret Lembang masih 2 jam perjalanan lagi dari Asstro. Haha, masih jauh.

Untungnya, dalam perjalanan kami membawa bekal makanan ringan, jadi nggak sampai kelaparan banget. Bekal sederhana ini sukses jadi penyelamat: roti, biskuit, dan beberapa camilan favorit Alief dan Aisyah.

Saat masuk Asstro, kami salah jalur ke pintu keluar. Bapak petugas dengan ramah mengarahkan ke pintu masuk yang benar. Di loket, kami dikenai biaya Rp 25.000 per orang untuk tiket masuk, dan Rp 5.000 untuk parkir. Rupanya, Asstro Highland adalah tempat wisata dengan restoran di dalamnya – bukan sebaliknya. Oh jadi gitu konsepnya. Oke. 

Parkiran luas

Pintu masuk resto sekaligus jalan masuk kawasan wisata Asstro Highland

Apa yang Menarik di Asstro Highland?

Daya tarik utama ada pada penginapan glamping-nya. Namun, di sini, pengunjung bisa menikmati wisata kebun teh dengan banyak aktivitas seru seperti naik ATV, flying fox, berkuda, hingga foto-foto di spot yang estetik. Harga tiketnya cukup terjangkau:

  • Tiket Masuk (Senin-Jumat): Rp 20.000/orang (termasuk soft drink).
  • Tiket Masuk (Sabtu-Minggu): Rp 25.000/orang (termasuk soft drink).
  • Flying Fox: Rp 30.000/orang.
  • ATV/UTV: Rp 200.000/unit.
  • Berkuda (khusus anak-anak): Rp 40.000/anak.
  • Feeding Animal: Rp 20.000/orang.
  • Offroad: Mulai Rp 300.000 tergantung rute.

Fasilitas di sini lengkap: ada musholla besar, gazebo, spot foto indoor dan outdoor, restoran, hingga penginapan dan area parkir yang lega. Saya dan Aisyah sempat tergoda mencoba flying fox, tapi batal karena berharap bisa makan dulu, baru nanti main. Taunya abis makan malah surut niat main flying foxnya karena turun hujan. Haha.

Flying fox, bisa ditonton dari teras resto
ada spot foto di kebun teh
menyusuri kebun teh
Spot foto berbentuk sarang burung di ketinggian, dengan latar kebun teh yang diselimuti awan
Pose mode gelut antara ibu dan anak
Di malam hari, lampu-lampu yang terpasang pada rangka besi itu menyala, menciptakan penampakan seperti lorong bercahaya
Ketika kabut sedang tebal seperti ini, terasa sekali bahwa udara di tempat ini memang dingin
 

Kuliner di Asstro Highland Ciater

Restoran "Liwet Asep Stroberi" (Asstro) merupakan restoran khas Sunda yang berdiri sejak 2006. Menyantap sajian khas Sunda yang memanjakan lidah dan menggugah selera di sini bisa sambil memetik stroberi sendiri merupakan kelebihan yang hampir ada di seluruh cabang restoran ini. 

Dengan berbagai inovasi wisata alam maupun permainan hingga 17 tahun terakhir ini, kini Asstro sudah memiliki lebih dari 20 cabang yang tersebar di wilayah Jawa Barat hingga Jogjakarta.

Restoran

Untuk mempermudah, kami pesan paket liwet gurame bakar yang sudah termasuk tempe mendoan dan tahu goreng, ikan peda masak cabai, sayur asem, sambal, dan lalapan. Tambahannya, kami pesan pisang goreng yang dicocol ke selai stroberi dari kebun, bandrek hangat, dan minuman lainnya.

Rasanya? Enak dan porsinya cukup besar. "Lalapannya ini fresh banget, kayak baru dipetik dari kebun belakang," celetuk suami yang memang doyan lalapan.

Nasi Liwet Gurame Bakar
Pisang Goreng dengan cocolan stroberi dan minuman bandrek

Selama menunggu makanan datang, saya, suami, dan Aisyah asyik menjelajah area sekitar restoran. Kami mencoba spot foto, berjalan-jalan di kebun teh, dan melihat-lihat pemandangan dari ketinggian. Sementara Alief dan ibu lebih memilih tetap duduk di meja makan yang kebetulan di area teras (semi-outdoor) sambil mengagumi pemandangan kabut tipis yang menyelimuti kebun teh.

Setelah makanan datang, Alief memberitahu kami yang masih berada di kebun teh dan saat itulah kami mengakhiri berfoto-foto. Suasana makin jadi seru karena pesanan yang ditunggu-tunggu akhirnya terhidang. Alhamdulillah ikan gurame bakar beserta lauk-lauk pelengkapnya habis diserbu. Pisang gorengnya pun jadi rebutan. Enak dicocol selai stroberi segar, dengan rasa manis yang menyegarkan tanpa tambahan pemanis. "Ini lebih enak dari yang biasa kita bikin di rumah," kata anak saya, sambil menyantap potongan terakhirnya.

Pilihan menu di sini sangat beragam, dengan harga yang wajar sesuai kualitas rasa yang ditawarkan. Untuk informasi menu dan harga, silakan cek bio Instagram @asstrohighlandciater. Kami berlima  menghabiskan sekitar 500ribuan, yang artinya setiap orang hanya membayar sekitar 100ribuan saja. Enak, tapi gak mahal. 


 Asstro Highland Ciater

Asstro Highland Ciater adalah destinasi yang cocok untuk liburan keluarga di Subang. Tempatnya nyaman, fasilitas lengkap, dan pemandangannya luar biasa. Kalau kamu mencari destinasi baru untuk healing di sekitar Subang dan Lembang, tempat ini wajib masuk daftar kunjungan! Saya pun memasukkan tempat ini untuk tempat glamping bersama keluarga. Semoga suatu hari nanti ada kesempatan baiknya. Tunggu aja.

Kalau penasaran, kamu bisa cek informasi lebih lengkap tentang Asstro Highland Ciater melalui IG @asstrohighlandciater. Di bio profilnya terdapat link untuk melihat harga tiket wisata, menu restoran, dan tarif menginap yang mereka tawarkan. Untuk penginapannya bervariasi, mulai dari 2 jutaan hingga 5 jutaan per malam.

Berikut saya tampilkan map kawasan wisata Asstro Highland Ciater beserta sekilas informasi penginapan dan kegiatan yang bisa dilakukan di Asstro. Sumber gambar dari Asstro.



 

Sebuah Pengingat dari Serunya Menemukan Asstro Highland Ciater

Senang bisa berada di sini! Jujur, saya baru pertama kali dengar nama Asstro Highland Ciater, jadi agak ketinggalan informasi, hehe. Tapi, ternyata tempat ini asyik buat wisata keluarga. Selain pemandangannya yang keren, makanannya juga enak-enak.

Sekali lagi, semua ini berawal dari anggapan saya seolah kami telah salah jalan, atau lebih tepatnya nyasar. Saya bahkan sempat berpikir untuk mengajak suami dan anak-anak putar balik. Namun, ternyata melanjutkan perjalanan justru membawa kami ke tempat yang indah ini. MasyaAllah, tak disangka! 

Dari situasi ini saya seolah kembali diingatkan bahwa jangan mudah menyerah atau terburu-buru mengambil keputusan ketika menghadapi situasi yang tampak salah. Kadang, jalan yang kita anggap keliru justru bisa membawa kita ke tempat yang indah dan penuh hikmah. Bersabarlah dan teruslah melangkah, karena hasil terbaik sering datang dari perjalanan yang tak terduga.

  
Meskipun betah di sini, kami tetap harus segera melanjutkan perjalanan ke Lembang. Cukup singgah sebentar saja, yang penting sudah tahu tempat ini, menikmati suasana dan makanan, dan tentu saja, keindahan alamnya. Insha Allah lain kali ingin kembali!

Pukul 16.25, kami meninggalkan Asstro Highland Ciater dan melanjutkan perjalanan ke Lembang. Dua jam kemudian, pada pukul 18.45 WIB, kami tiba di Lembang Asri Resort. Alhamdulillah, perjalanan panjang akhirnya berakhir dengan menyenangkan.

Selanjutnya, saya akan cerita pengalaman keluarga kami  staycation di Lembang Asri Resort. Banyak hal menarik yang kami temukan di sana. Tungguin ceritanya ya!

Pengalaman Liburan Keluarga di Pulau Pari, Destinasi Favorit Dekat Jakarta

Menikmati Pulau Pari di Tengah Oktober yang Hujan

Oktober memang penuh kejutan, salah satunya cuaca. Hujan di bulan ini cukup intens, meskipun biasanya hanya sore hingga malam hari. Pagi hari, matahari bersinar terang, bahkan cukup menyengat. Namun, ketika sore menjelang, langit berubah mendung, lalu hujan pun turun dengan durasi yang tidak bisa dibilang singkat. Jadi, kalau ada niat berburu sunset di tengah musim seperti ini, ya, relakan saja deh. Hampir setiap petang hujan mengguyur.

Tapi, bagaimana kalau hasrat liburan ke pulau sudah tak tertahankan? Tentu harus ada solusi, dong! Setelah diskusi panjang lebar dengan suami dan anak-anak, akhirnya Pulau Pari menjadi pilihan. Lokasinya masih di Jakarta, tepatnya di Kepulauan Seribu. 

Kenapa Pari? Ini adalah strategi utama saya untuk: liburan murah, dekat, tapi tetap seru. Cocok banget untuk pelarian akhir pekan, baik dengan menginap atau sekadar one day trip

Trip mandiri ke Pulau Pari bersama keluarga 

Perjalanan ke Kepulauan Seribu

Bagi saya, ini adalah perjalanan ketiga ke Kepulauan Seribu. Dulu, pertama kali ke Pulau Tidung hanya berdua dengan suami. Perjalanan kedua ke Pulau Harapan bareng teman-teman traveler, dan yang ketiga ini ke Pulau Pari akhirnya lengkap, bersama suami dan kedua anak saya. Rasanya luar biasa senang! Anak-anak sangat antusias karena ini adalah pengalaman pertama mereka menyeberang ke Kepulauan Seribu.

Kami memulai perjalanan dari Dermaga Marina Ancol menggunakan kapal cepat. Ini juga pengalaman pertama buat saya, karena sebelumnya selalu memilih kapal feri dari Muara Angke yang murah tapi dengan kenyamanan yang, yaaa... beda jauh. Kali ini, saya ingin mencoba sesuatu yang lebih praktis dan nyaman. 

Naik kapal kayu dari Muara Angke dulu rasanya cukup melelahkan. Tidak ada jaminan tempat duduk, dan jika penuh, penumpang harus duduk di lantai atau di area yang tidak aman seperti dekat mesin. Jaket pelampung pun sering kali kurang, ada yang dapat, ada yang tidak. Hal ini membuat perjalanan terasa kurang nyaman, apalagi dengan bau solar yang menyengat dan ventilasi yang minim.

Perbedaan ini membuat saya menyadari betapa pentingnya memilih moda transportasi yang sesuai, terutama jika bepergian dengan anak-anak. Biaya yang lebih mahal terasa sepadan dengan kenyamanan dan keamanan yang diberikan. Kepulauan Seribu memang selalu menarik untuk dijelajahi, dan perjalanan yang nyaman semakin melengkapi pengalaman wisata ke sana.

Dermaga 17 Marina Ancol

Biaya Kapal ke Pulau Pari

Tiket kapal cepat ke Pulau Pari bisa dibeli langsung di loket dermaga atau melalui kontak Mas Alimsyah di 0813-8834-6712. Harganya Rp 190.000 per orang untuk perjalanan weekend. Harga ini berlaku untuk perjalanan dari Ancol ke Pari dan sebaliknya. Jadi PP ke Pulau Pari ga sampai 400ribu perorang ya kan? Kapal dijadwalkan berangkat pukul 08.00, jadi kami diminta sudah standby di dermaga sebelum pukul 07.00.

Berangkat dari BSD, kami memulai perjalanan sekitar pukul 05.00 pagi, langsung setelah salat Subuh. Syukurlah, jalanan masih sepi, jadi perjalanan lancar. Setibanya di kawasan Dermaga Marina Ancol, kami membayar tiket masuk seharga Rp 155.000 untuk satu mobil. Biaya ini berlaku untuk seharian. Kalau bawa motor lebih murah, sekitar Rp 75.000 untuk parkir seharian.

Parkir di dermaga ternyata tidak begitu luas. Area parkir berada di pinggir dermaga dan siapa cepat dia dapat. Untungnya ada petugas (yang tampak seperti petugas, meskipun tanpa seragam) yang mengarahkan kami ke tempat yang tersedia. Parkirnya tidak jauh dari dermaga, jadi cukup nyaman. 


Sedikit Drama di Dermaga

Setelah parkir, kami menuju dermaga dan tinggal menunggu nama kami dipanggil. Tiket kami atas nama saya, jadi nanti yang dipanggil adalah: "Katerina, 4 orang." Prosesnya manual, dipanggil pakai toa, jadi pastikan tetap fokus mendengarkan. Jangan sampai kelewatan panggilan karena asyik ngobrol, jajan, atau menjauh dari titik panggil.

Awalnya, kami diminta menunggu di Dermaga 16. Namun, menjelang keberangkatan, ada pengumuman: penumpang tujuan Pulau Pari dipindahkan ke Dermaga 17. Untung jaraknya hanya sebelahan, jadi tidak repot pindah.

Waktu menunjukkan pukul 07.30, tapi nama saya belum juga dipanggil. Saya mulai mendekati petugas untuk memastikan. "Mas, nama saya kapan dipanggil?" Dengan tenang, dia menjawab, "Tunggu sebentar lagi, Bu." Oke, sabar. Tapi saat pukul 08.00 kapal belum juga berangkat, saya kembali bertanya. Kali ini, dengan sedikit usaha ekstra (alias bolak-balik tanya), akhirnya nama saya dipanggil sekitar pukul 08.30. Kami pun naik ke kapal cepat bernama Tidung Express.

Pengalaman di Kapal Cepat

Kapal Tidung Express yang kami naiki berkapasitas sekitar 100 penumpang (saya kurang tahu jumlah pastinya) dengan dua area duduk: bagian bawah yang ber-AC dan bagian atas yang semi terbuka tanpa AC. Saya sebenarnya lebih suka duduk di atas karena bisa merasakan angin laut langsung. Tapi, apa daya, tempat duduk di atas sudah penuh. Kami akhirnya duduk di bagian bawah dengan posisi menyamping. Hmm, kurang nyaman, tapi ya sudahlah.

Anak-anak, untungnya, tetap tenang. Aisyah sibuk dengan HP-nya sambil sesekali melirik ke luar jendela, terutama saat mendengar suara ombak. Alief? Dia malah langsung tidur pulas begitu kapal mulai melaju. Saya sendiri, yang awalnya agak mengeluh karena mencemaskan anak-anak tidak nyaman soal posisi duduk, akhirnya malah ditenangkan oleh mereka. "Nggak apa-apa, Ma. Aman kok," kata mereka. Aduh, rasanya terharu!

Jaket pelampung lengkap dan baik. Kursi menghadap ke depan dan beberapa menyamping seperti ini.

Ketika Grup Besar Mendominasi Dermaga

Hari itu, berdasarkan panggilan yang saya dengar, kebanyakan penumpang adalah rombongan tur. Terlihat dari nama-nama yang disebut, seperti “Grup Tur Pari Bahagia 25 orang”, “PT Arum 75 orang”, dan lainnya. Itu contohnya saja, ya, saya lupa nama persisnya. Yang jelas, kebanyakan memang nama grup besar. Rombongan yang satu kapal dengan kami pun terlihat berseragam—mereka memakai kaos bertema yang sama.

Di antara banyak penumpang, terdapat beberapa turis asing mancanegara yang berangkat bersama rombongan keluarga. Mereka tampak mandiri tanpa tour guide, berangkat sendiri. 

Sementara itu, hanya sedikit penumpang yang bepergian dalam kelompok kecil seperti keluarga kami atau pasangan dengan 2-4 orang. Tidak heran kapal cepat penuh. Mungkin karena itu pula nama kami lama dipanggil, mendahulukan grup besar dulu. Saya sempat berpikir, mestinya grup kecil didahulukan biar cepat masuk, tapi ya sudahlah, mungkin ada pertimbangannya sendiri.

Sesampainya di dermaga Pulau Pari 09.36WIB

Tips untuk Perjalanan ke Pulau Pari

  1. Pilih transportasi yang sesuai kebutuhan: Kapal cepat nyaman, tapi kalau mau lebih hemat, bisa pilih kapal feri.
  2. Siapkan uang pas untuk tiket masuk dermaga dan parkir. Kalau membawa kendaraan, hitung juga biaya tambahan untuk parkir menginap.
  3. Datang lebih awal: Meski jadwal kapal jam 08.00, lebih baik sudah standby pukul 07.00 agar tidak terburu-buru.
  4. Bawa camilan dan minuman: Perjalanan di kapal bisa bikin lapar, apalagi kalau ada delay.

Perjalanan ini mungkin bukan yang paling mulus, tapi tetap jadi pengalaman yang seru dan berkesan. Pulau Pari menanti dengan segala pesonanya, dan saya tidak sabar untuk berbagi cerita tentang apa saja yang kami lakukan di sana. Simak terus cerita selanjutnya, ya! 

Perjalanan Laut 1 Jam Menuju Pulau Pari

Berangkat menuju Pulau Pari, kami menempuh perjalanan laut selama satu jam. Kapal cepat yang kami tumpangi berangkat pukul 8.35 dari Dermaga Kaliadem, dan tepat pukul 9.35 kami tiba di dermaga Pulau Pari.

Dermaga di Pulau Pari cukup sederhana, hanya mampu menampung satu kapal cepat untuk bersandar. Meski begitu, terasa sekali keramahan para petugas berseragam polisi yang membantu kami turun dari kapal. Karena kami datang tanpa pemandu wisata, saya pun meluangkan waktu sejenak untuk mengamati sekitar sebelum melanjutkan perjalanan ke Pantai Pasir Perawan. Kata teman, pantai ini bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi kalau enggan berjalan, ada bentor (becak motor) yang siap mengantar.

Anak-anak dan suami langsung memilih jalan kaki santai. Alasannya? Biar bisa lihat-lihat suasana kampung dan... jajan di warung! Hmm, modus banget, ya. Hehe.

Di dermaga, seorang abang bentor mendekat. Namun, berbeda dari kebiasaan pengojek atau kernet angkot, ia tidak langsung menawarkan jasanya. Justru saya yang bertanya, “Kalau mau ke Pantai Pasir Perawan dekat ya, Bang? Atau mesti naik ini?” 

Dengan ramah, abangnya menjawab, “Dekat, Bu, jalan kaki juga bisa. Kalau mau cepat, naik bentor juga boleh.” Wah, sopan sekali. Abangnya lebih memandu daripada sekadar menjual jasa.

Setelah mengucapkan terima kasih, kami memutuskan tetap jalan kaki. Beberapa langkah kemudian, saya melihat abang bentor itu mendapat penumpang lain yang menuju arah berbeda.

Sebagai informasi, tarif naik bentor dari dermaga ke Pantai Pasir Perawan Rp 5000 per orang. 


Jalan kaki melihat-lihat suasana pemukiman penduduk Pulau Pari

Jalan Kaki ke Pantai 

Jalan setapak menuju pantai tidak terlalu lebar, pas-pasan dengan ukuran bentor. Jadi, kalau ada motor, sepeda, atau bentor lewat, kami harus minggir—sangat minggir!

Sepanjang jalan, kami melewati banyak warung yang menjual minuman, makanan, hingga kebutuhan sehari-hari. Rumah-rumah penduduk bertuliskan homestay juga banyak terlihat, lengkap dengan sepeda dan motor yang disewakan untuk turis. Suasana kampung cukup padat. Beberapa titik terlihat bersih, sementara yang lain agak kotor. Ada rumah-rumah yang modern dan bersih, tapi ada juga yang sederhana.

Saya mencatat beberapa nomor HP yang terpajang di depan homestay. Siapa tahu suatu saat kembali dan menginap, bisa tinggal hubungi nomor yang sudah saya simpan. Bisa juga buat informasi bagi teman-teman yang mungkin saja nanti nanya-nanya ke saya minta info penginapan di Pulau Pari. Jadi, ini semacam oleh-oleh juga yang bisa dibawa pulang. Oleh-oleh gak melulu berupa barang dan makanan kan?

Homestay, penyewaan sepeda, dan penyewaan motor yang kami jumpai dalam perjalanan kaki menuju Pantai Pasir Perawan

Matahari pagi itu cukup terik. Topi yang kami pakai tidak cukup menghalangi keringat dan debu jalan. Namun, setelah berjalan santai sekitar 15 menit, akhirnya kami sampai di gerbang Pantai Pasir Perawan

Dari kejauhan, pantai dengan pasir putih bersih dan air hijau kebiruan langsung menyambut pandangan. Alhamdulillah, sampai juga! 

Di gerbang pantai, saya melihat fasilitas seperti musala, toilet, kamar mandi, dan penyewaan sepeda. Tiket masuk pantai hanya Rp 5.000 per orang—murah banget untuk menikmati pantai bersih ini seharian.

Bagian depan dan belakang pintu masuk Pantai Pasir Perawan
Sebagai tanda bahwa "Kami udah sampe nih di Pantai Pasir Perawan"



Pasirnya putih, pantainya bersih, nyaman sekali di sini!

Kegiatan di Pantai Pasir Perawan

Di kawasan pantai ini, ada banyak hal seru yang bisa dinikmati. Selain kafe dan warung makan yang berjejer, ada juga penjual makanan dan minuman yang menjajakan dagangannya dengan gerobak, serta penyewaan perahu untuk berkeliling. Menariknya, biaya untuk naik perahu keliling mangrove hanya Rp 15.000 per orang, tanpa batasan waktu. Kami bahkan boleh mampir ke pantai-pantai lain yang tak bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

Saya pun memutuskan untuk mencoba naik perahu dan langsung meminta bantuan petugas pantai. Tak lama, seorang bapak tua mendekat dengan perahu dayungnya. Ternyata, meski awalnya saya pikir perahunya bermesin, bapak ini mendayung manual dengan tenang. Rasanya begitu santai dan menyenangkan, apalagi saat berkeliling mangrove, beliau bercerita banyak tentang kehidupan masyarakat Pulau Pari. Salah satu cerita yang mengesankan adalah tentang kekhawatiran mereka terhadap rencana pembangunan vila di kawasan mangrove, yang bisa mengancam kelestarian alam. Pesan-pesan penting tentang menjaga keberadaan mangrove pun terpampang di sepanjang perjalanan, membuat pengalaman berperahu di mangrove ini semakin mendalam dan penuh makna.

Perahu dan pemiliknya yang membawa kami keliling mangrove. Biaya sewa Rp 15.000 / orang. Kapasitas bisa sampai 10 orang. 


Air di sekitar mangrove begitu jernih. Dasarnya terlihat dangkal. Aisyah sangat menikmati perjalanan ini, ia sibuk mengamati ikan-ikan kecil dan tumbuhan air yang terlihat jelas dari perahu.

Video naik perahu keliling mangrove ini dapat dilihat pada video berikut: 

Pantai yang Memikat

Setelah puas menjelajah hutan mangrove, kami berlayar menuju sebuah pantai kecil yang cukup unik, seperti gusung pasir terapung! Sebenarnya ini masih bagian dari pantai Pasir Perawan, hanya saja bentuknya menjorok ke laut. Ketika air pasang, pantai ini terlihat terputus karena sebagian tenggelam. Kalau air surut, gampang deh dijangkau dengan berjalan kaki. Tapi saat pasang, siap-siap basah kuyup, atau kalau kedalaman maksimal, ya harus berenang dulu.

Pantai ini ditumbuhi pohon mangrove serta beberapa jenis tumbuhan khas pantai, ada taman kecil, dan sebuah pondok kayu yang imut-imut. Tempat ini jadi favorit turis buat berenang, bermain pasir, atau sekadar leyeh-leyeh menikmati angin laut. Ketika kami mendekati pantai, sepasang turis bule tampak asyik berenang di area yang cukup dalam. Dan benar saja, ketika saya mencoba turun dari perahu, kepala saya dipastikan tenggelam—definisi "dalam" yang tidak main-main! Tapi karena itu juga, perahu bisa merapat tanpa khawatir tersangkut pasir.

Kami memilih singgah di sebuah pondok kecil yang posisinya gak jauh dari pantai tersebut, pas banget buat istirahat setelah berperahu keliling mangrove. Pondok ini dirancang cukup tinggi dari dasar laut, jadi aman dari genangan saat pasang. Tapi, jangan terlalu berharap bisa menginjak pasir kering untuk berlarian, ya. Selain pondoknya, sisanya air semua, dan bukan air dangkal. Ini bikin pondok terasa seperti pulau kecil yang terapung, bikin suasananya tambah asyik!

Pondok singgah

Singgah untuk beristirahat sambil menikmati makanan dan minuman ringan yang dibawa

Di ujung sana itu pondok yang akan kami tuju berikutnya, jaraknya cukup dekat dari pondok yang sedang kami singgahi ini. Bisa sih dicapai dengan berenang, kalau sudah siap basah-basahan.

Tak jauh dari pondok tempat kami singgah, ada pantai utama Pasir Perawan yang ikonik banget. Di situ ada tulisan besar “Pasir Perawan” yang bikin siapa pun pasti ingin foto di depannya. Suasananya mengingatkan saya pada taman bermain, tapi versi pantai. Dikelilingi pondok-pondok kecil yang asyik buat duduk-duduk santai, sambil menikmati angin laut. Dan yang tak kalah menarik, ada ayunan!

Saat itu tamannya sedang terendam karena pasang. Tapi kami tetap mampir ke sana, tentunya dengan misi mencoba ayunan yang berbeda dari biasanya. Main ayunan di taman darat, sih, sudah sering, kan? Tapi kalau ayunan di pantai dan di atas air laut? Ini level keseruan yang berbeda!

Nah, jangan bayangkan ini sekadar duduk di ayunan sambil melamun, ya. Main ayunan di atas air laut itu sedikit tricky, apalagi kalau ombak sedang genit-genitnya. Udah gitu, saya sedang tidak ingin terendam seluruh badan. Cuma kasih ijin air boleh kena kaki sampai lutut saja. Maka di situlah letak serunya! Ayunan bergerak seirama dengan deburan ombak, bikin rasanya seperti sedang bermain di atas panggung alam yang dinamis.

Video main ayunan yang bikin gemes sekaligus gregetan itu bisa ditonton di sini: 

Ini pengalaman yang nggak bisa didapatkan setiap hari, jadi tentu kami tidak melewatkannya. Ditambah latar belakang pemandangan pantai yang cantik, sesi main ayunan yang tampaknya sederhana ini jadi momen  yang wajib diabadikan!

Di pantai lainnya, kami kembali mampir dan berlama-lama. Main air, main pasir, berfoto, dan berjalan kaki menyusuri tepian pantai.

Aisyah tampak paling bahagia di sini. Ia sibuk memperhatikan kepiting-kepiting kecil yang berlarian dan menemukan kerang-kerang unik yang sudah kosong.

Makan Siang di Warung Ibu Munah 

Setelah puas bermain air dan pasir di pantai, kami kembali ke Pantai Pasir Perawan. Saya memilih warung untuk beristirahat, dan akhirnya jatuh hati pada Warung Ibu Munah. Warung ini tampak lebih lengkap menunya dibanding warung lainnya. Tempatnya pun nyaman, meski hanya berupa meja dan bangku kayu beralas pasir.

Di sini, tersedia perlengkapan pantai seperti baju dan celana pantai, kacamata, topi, alat bermain pasir anak, minuman, makanan kemasan, penyewaan sepeda, kapal keliling pulau, hingga homestay ber-AC dan non-AC.



Menu Makanan yang Menggoda Selera

Untuk hidangan makan, Warung Ibu Munah menawarkan banyak pilihan seperti nasi goreng, mie goreng, ayam bakar/goreng, ikan bakar/goreng, udang goreng/bakar/saus tiram, cumi saus tiram, cumi goreng tepung/bakar, cah kangkung, kentang goreng, hingga mie tek-tek. Pilihan yang pas untuk memuaskan rasa lapar setelah bermain di pantai!

Untuk harga makanan yang kami pesan, saya cantumkan pada foto berikut. Barangkali bisa buat gambaran untuk biaya makan saat berkegiatan di Pantai Pasir Perawan.

Pilihan Kamar dan Fasilitas Homestay

Bagi yang ingin menginap, tersedia kamar dengan kapasitas mulai dari 2 orang, 4 orang, hingga 10 orang. Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi nomor WA: 081906382964. Fasilitasnya cukup memadai untuk melepas lelah setelah seharian berkeliling Pulau Pari.

Kami cukup lama bersantai di sini. Makan siang yang mengenyangkan ditemani kelapa muda segar, kopi hangat, dan pisang goreng yang renyah. Setelah makan, Aisyah melanjutkan bermain air di pantai ditemani papanya, sementara saya duduk-duduk menikmati suasana.

Setelah puas bermain, kami membersihkan diri, ganti pakaian, sholat, dan beristirahat sejenak sebelum kembali ke dermaga. Sesuai informasi tiket, kami harus siap di dermaga pukul 2 siang karena kapal menuju Marina Ancol berangkat pukul 3. Karena tidak menginap, perjalanan kami menjadi one-day trip saja.

Perjalanan Kembali dengan Bentor yang Santai

Kali ini, kami memilih naik bentor karena sudah cukup lelah berjalan kaki. Biaya per orang Rp 5.000 dengan rute Pantai Pasir Perawan – Dermaga Pulau Pari. Sampai di dermaga, kami diminta untuk mendaftar ulang keberangkatan dengan membayar retribusi sebesar Rp2.000 per orang. Setelah itu, kami menunggu kapal sembari nongkrong di warung.

Di warung, Aisyah dan Alief memesan mie hangat serta minuman dingin. Sambil menikmati cemilan, kami menghabiskan waktu hingga kapal tiba. Namun, pukul 2.30 kapal belum juga datang. Jadi, kami memutuskan berjalan ke area water sport yang terletak sekitar 100 meter dari dermaga.

Toilet dan Kamar Mandi yang kami gunakan di Pantai Pasir Perawan

Akhirnya naik bentor. Buat simpan tenaga untuk perjalanan pulang kembali ke Marina Ancol

Water Sport, Buat Seru-Seruan di Laut

Di area water sport, pengunjung bisa bermain banana boat seharga Rp35 ribu per orang dengan kapasitas 6-10 orang per banana. Ada juga sofa boat yang bisa dinaiki hingga 6 orang dengan tarif Rp40 ribu per orang. Sayangnya, di sini tidak ada penyewaan jet ski. Siang itu, ada yang bermain jet ski, tapi ternyata mereka membawanya sendiri dari Jakarta menggunakan kapal sewaan pribadi.

Tempat bermain ini memang masih sederhana, tanpa jalan setapak atau loket tiket yang rapi. Antrian pun harus diatur sendiri, tetapi suasana tetap menyenangkan.




Akhir Perjalanan: Sunset yang Menawan

Kapal yang seharusnya membawa kami kembali ke Marina Ancol pukul 3 sore baru tiba sekitar pukul 4. Kalau tahu bakal molor begini, mungkin kami tadi masih sempat mencoba banana boat atau sofa boat dulu. Tapi, sudahlah, yang penting kapal akhirnya datang.

Saat menunggu kapal, saya teringat cerita @hardhi__ tentang insiden beberapa hari sebelumnya. Sebuah kapal kecil yang membawa penumpang terkena hempasan ombak besar hingga terbalik. Untungnya, semua penumpang mengenakan jaket pelampung, sehingga tidak ada korban jiwa. Tim penyelamat juga datang dengan cepat. 

Daftar ulang penumpang pulang naik kapal cepat Sea Leader Marine, nunggu kapal datang di warung, karcis naik kapal cepat buat balik ke Dermaga 16 Marina Ancol

Perjalanan pulang kami sendiri berjalan lancar tanpa hambatan. Meski sedikit terlambat, suasana di kapal tetap menyenangkan. Kali ini, kami memilih duduk di dek atas, menikmati angin laut yang segar dan pemandangan langit senja yang perlahan berubah warna. Matahari terbenam di ufuk barat benar-benar memukau, memberikan momen sempurna untuk mengakhiri perjalanan kami hari itu.

Sebelum tiba di Dermaga 16 Marina Ancol, kapal sempat mampir sebentar ke Baywalk Mall untuk mengantar beberapa penumpang. Ini memberi kami sedikit waktu tambahan menikmati suasana laut.

Pemandangan gedung-gedung pinggir laut dalam perjalanan pulang

Sore itu saya nggak nyangka cuaca tetap cerah sampai kami kembali ke Jakarta. Payung dan jas hujan yang sudah disiapkan dari rumah, malah jadi barang bawaan yang nggak kepake sama sekali selama di Pulau Pari. Dugaannya sih, karena saya sempat cek dulu di situs BMKG yang bilang cuaca bakal cerah sampai siang dan mulai berawan di sore hari. Ternyata memang bener, cuaca berpihak kepada kami!

Rencana awalnya sih mau nginep di Pulau Pari, tapi karena Minggu-nya ada urusan di Bandung, akhirnya kami memutuskan untuk one day trip saja. Meski cuma sehari, semuanya tetap menyenangkan, apalagi pergi bareng anak-anak dan suami. Semua pada senang, nggak ada yang merasa kekurangan waktu atau liburan, malah jadi makin berkesan karena bisa menikmati suasana pulau yang tenang dan pemandangan yang indah bareng keluarga.

Liburan nggak selalu harus lama kok, yang penting kebersamaan dan momen yang bikin hati senang. Kalau kamu lagi cari tempat liburan yang nggak jauh tapi tetap asyik, Pulau Pari bisa jadi pilihan tepat. Siapa tahu, kamu juga bisa ketemu kami di sana suatu saat nanti!